Sudah berbulan-bulan lamanya Fero berpisah dari istri yang begitu ia rindukan. Nampak swastamita yang memanjakan sepasang netra true sapphire yang kini tengah berada di balkon kamarnya. Di mana tempat itu akhir-akhir ini setiap harinya menjadi saksi perasaan gundah gulana yang menyelimuti relung hati yang kosong. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini, ia hanya menatap lurus kedepan bak seorang model yang sama sekali tak bergerak ketika sedang di lukis pada sebuah kanvas. Al yang baru saja mencari keberadaan sepupunya di setiap sudut rumah, hingga akhirnya ia telah menemukan sosok yang dicarinya itu di balkon kamarnya.
“Apa kamu masih memikirkan Sinta?” tanya Al lirih sambil menoleh ke arah Fero yang masih saja diam termangu.
“Sedetikpun aku sama sekali tak bisa berhenti untuk memikirkannya. Aku begitu merindukannya. Perasaanku kini campur aduk jadi satu, semakin hari perasaan cintaku kepadanya semakin kuat namun di
Terima kasih banyak buat segala support serta kesetiaannya All Reader Lovers untuk terus membaca karya saya ini hingga sekarang 🙏🙏🙏 Luv U ❤️💜💙
Devano sengaja membiarkan Al melakukan temu kangen dengan Sinta. Ia hanya menatap mereka yang pergi ke kantin dari kejauhan, dan ia sengaja membiarkan pula mereka untuk berbicara di kantin berdua untuk tidak mengganggunya. Setelah menutup pintu mobil ia berjalan ke arah taman kemudian duduk di dekat air mancur sambil mengamati murid-murid yang mulai berdatangan. “Apa kabar Vano?” sapa Fero yang berada di belakangnya. “Fero?! apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Devano terheran-heran. “Aku ke sini mau menemui istriku!” jawab Fero. “Aku tidak pernah main-main dengan kata-kataku Fero, dari awal kamu sudah aku berikan kesempatan untuk menjaga istrimu baik-baik, tapi apa yang malah kamu perbuat? kamu justru memilih untuk menceraikannya kemudian merayakan pesta pertunangan besar-besaran dengan Nindy dengan disaksikan oleh ratusan orang pula, di mana hati nuranimu? Apa kau tahu Sinta benar-benar syok mengetahui hal itu hingga j
Meski baru saja Sinta mengalami suatu hal yang mengejutkan untuknya, namun dengan tetap mengedepankan profesionalisme dalam menjalankan pekerjaannya, kelasnya yang semula di handle oleh Ibu Kepala Sekolah kini ia ambil alih kembali, tak lupa Sinta mengucapkan terima kasih kepada beliau. Meski ia saat itu merasa sedih karena harus kembali mengingat perasaan yang seharusnya ia kubur dalam-dalam namun semuanya kini harus muncul kembali kepermukaan. Jujur dalam hatinya ia masih mencintai suaminya, karena bagaimanapun Fero adalah cinta pertamanya, laki-laki yang sudah ia dapuk untuk menjadi imam dalam menjalani biduk rumah tangga bersamanya, namun pada kenyataannya semua kini kandas. Kebohongan, b
Seperti hari-hari sebelumnya, sepulang mengajar Sinta dijemput Devano untuk meninggalkan sekolah. Untuk sekian kalinya juga Fero menyaksikan mereka dari jendela kantor Dewan Donatur. Peristiwa indah kemarin masih saja membekas dalam pikirannya hingga kini dan hal ini sangat wajar sekali karena terjadi baru kemarin adanya. Namun kini Sinta lagi-lagi bersama rivalnya, dan harus ia akui bahwa Devano sangat menghormati serta memperlakukan istrinya itu dengan sangat baik yang tidak pernah ia lakukan kepadanya selama mereka masih hidup bersama dalam satu rumah. Fero masih saja memandangi istrinya itu dari kejauhan hingga sosok yang sedang diamatinya itu masuk ke dalam mobil kemudian berlalu pergi bersama kendaraan yang membawanya. Kali ini Devano tak langsung membawa Sinta pulang ke rumah kembar, ia ingin mengajak
“Mengapa kamu tidak memberitahukan aku Dev, kalau kamu akan pergi?” tanya Sinta “Maafkan aku Putri, ini memang sangat mendadak sekali, rekan bisnisku mengajak kerja sama membuka showroom baru di Singapura aku lihat prospeknya sangat bagus sekali jadi aku pikir tidak ada salahnya kalau aku pergi untuk beberapa waktu!” jawab Fero “Beberapa waktu kamu bilang? 6 bulan kamu bilang beberapa waktu? bukankah itu adalah waktu yang sangat lama Dev? apa kamu tega meninggalkan aku selama itu? atau memang kamu dengan sengaja ingin menjauhiku dengan cara tinggal di Singapura?” Sinta semakin curiga serta menginterogasi Devano. “Ayolah Putri cantik jangan berpikir berlebihan se
Malam itu Fero masih terjaga. Pertemuannya dengan Sinta di kantornya tadi siang begitu mempengaruhi moodnya setelah itu. Sama sekali di luar ekspektasinya bahwa Sinta meminta kepadanya untuk diceraikan, karena yang ia tahu selama ini istrinya itu begitu menyayangi dan mencintainya. Bak seperti seorang remaja yang sedang kasmaran hingga akhirnya patah hati itulah yang tengah ia alami saat ini. Ia benar-benar syok begitu mendengar istrinya mengutarakan keinginannya untuk bercerai darinya. Gadis itu telah membuatnya banyak berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Kehadiran Sinta di kehidupannya kian membuatnya menyadari apa itu arti dari sebuah keikhlasan, cinta dan juga kasih sayang. Lama sekali ia yang sedari tadi hanya menatap ke luar jendela sambil melihat suasana di luar rumah yang penerangannya nampak remang-remang. Sama sekali ia tidak menduga bahwa Sinta meminta hal yang teramat sulit. Tentu saja hal ini benar-b
“Tok..tok…tok..!” Dalam seketika Fero yang masih termangu setelah Sinta pergi dari kantornya menoleh ke arah pintu. Dilihatnya Leon yang sedang tersenyum sambil mengetuk pintu kantornya. “Assalamu’alaikum Fero, apa kabar?” Leon mengucapkan salam serta menyapa Fero. “W*’alaikum salam! Alhamdulillah baik, ayo leon masuk dan duduklah di sini!” jawab Fero, sedang tangannya menunjuk ke kursi yang berada di depan meja kerjanya. Karena telah dipersilahkan untuk masuk Leon pun berjalan mendekati Fero kemudian menjabat tangannya, Fero pun menyambut jabatan tangan tersebut dan mereka berdua saling menyunggingkan senyuman. “Waduh sudah berapa lama ini kita sudah tidak bertemu, kamu masih tetap ganteng dan gagah ya!” goda Leon memulai pembicaraan. “Wah kamu bisa saja, sebenarnya kalau urusan tampang kamu masih di atasku jauh deh!” sahut Fero merenda
Malam itu Sinta dan juga Devano begitu menikmati semua menu yang telah disajikan di atas meja, kebetulan perut mereka berdua benar-benar lapar karena memang sengaja dari rumah tidak memakan apa pun. Setelah menyantap dengan lahap tanpa ada lagi perasaan canggung diantara keduanya karena mereka sudah sering sekali makan bersama hampir di setiap tempat yang mereka kunjungi. Hanya tinggal sedikit sisa makanan yang tertinggal di atas piring di hadapan mereka saat ini, sekarang tinggal menikmati serunya minuman yang mereka pesan yaitu Dalgona Coffe. Bahagia rasanya bisa menikmati makanan beserta minuman yang disajikan dengan diiringi musik klasik kesukaan mereka berdua yang kian menambah suasana romantis nan syahdu di malam itu. “Selamat malam!” sapa Fero yang tentu saja mengagetkan Devano dan juga Sinta kala itu. “Halo, hambar rasanya duduk sama Fero di pojokan sana, jadi kami memutuskan untuk ikut gabung di meja ini..he..he..he…!” sahut Leo
“Apakah di hatimu sudah tidak ada lagi perasaan kepadaku lagi Sinta, meski itu hanya sedikit saja?” tanya Fero penasaran. “Untuk saat ini perasaan itu sudah tidak penting lagi Fero dan aku sudah mulai terbiasa akan hal itu. Apa itu cinta, rindu apa pun itu sudah bukan prioritasku lagi saat ini.” Jawab Sinta dengan yakin. “Kenapa harus Devano? kenapa harus dia Sinta?” protes Fero. “Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu, yang aku tahu Allah telah mengirimkan seorang malaikat tak bersayap kepadaku, yang pada awalnya kebetulan dia selalu melihatku melamun dan menangis di sungai setelah kamu memaki dan menyakitiku saat aku masih tinggal di rumahmu, di saat kamu tidak peduli nyawaku ataupun harga diriku pada saat aku diculik, padahal bisa saja saat itu aku diperkosa ataupun dibunuh, tapi kamu sedikitpun tak memperdulikannya, bahkan kamu bilang pada mereka aku sama sekali tidak penting bagimu. Ada ataupun tidak ada aku dalam kehidupanmu
Hari-hari Sinta semakin berwarna dengan hadirnya Fero di tengah kehidupannya saat ini. Fero telah membuktikan bahwa dia adalah suami yang baik, begitu mencintai keluarga serta bertanggung jawab. Fero sudah bertekad ia akan selalu membahagiakan keluarga kecilnya tersebut, apalagi ia begitu menyayangi Azka seperti putra kandungnya sendiri begitu pula sebaliknya. Sinta yang bukan single parent lagi tentunya benar-benar merasakan kebahagiaan seutuhnya. Setelah rentetan kejadian tragis yang telah ia alami di sepanjang hidupnya kini telah tergantikan dengan kehidupan yang tentram serta bergelimang kebahagiaan. Memiliki 2 buah rumah yang saling berhadapan yang hanya terpisah oleh sebuah jalan raya membuat Sinta lebih banyak tinggal di rumah yang dibeli oleh Fero. Sejak malam pertama ia sudah lebih banyak tinggal di rumah tersebut dan untungnya pula putranya sama sekali tidak mempermasalahkan itu karena selama ada Fero maka Azka akan meng-iyakan.
Sekali lagi Sinta merasakan dilema yang teramat sangat dengan kejutan yang dibuat Fero bersama sang putra kali ini. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa karena untuk saat ini ia masih belum memikirkan untuk menikah kembali karena jujur saja perasaannya kepada Devano masih sangat kuat karena bagaimanapun juga dialah laki-laki pertama yang banyak memberikannya cinta dengan penuh ketulusan dan kesungguhan tanpa adanya rekayasa, dusta serta pengkhianatan. Namun mengapa saat ini perasaan takut karena trauma yang pernah dialaminya kian membuatnya bimbang. “Mama…Om Ganteng telah menolong Aka dali bahaya, Om Ganteng hampil meninjal kalena tolonyin Aka apa itu maci belum cukup buat Mama?” protes Azka yang tiba-tiba mengagetkan Sinta, lagi-lagi ucapan sang putra makin membuatnya heran karena bagaimana bisa ia melontarkan kata-kata yang begitu menohok. “Azka tidak boleh berkata demikian sama Mama ya sayang! biarkan Mama mengamb
“Aka cayang banget cama Om ganteng, Aka pingin punya Papa cepelti teman-teman teyus Aka pingin Om Ganteng jadi Papanya Aka!” jelas Azka dengan berterus terang. “Seperti yang Om bilang sebelumnya, Om akan selalu ada buat Azka dan juga Mama, Om tinggal menunggu kesiapan Mamanya Azka, begitu Mama bilang setuju dan siap untuk menikah dengan Om maka secepatnya Om akan menikahi Mama Azka!” terang Fero dengan begitu jelas. “Om Ganteng gak bohonyin Aka kan?” “Apa yang Om ucapkan pada Azka baru saja itu semua benar, dalam berbicara Om tidak boleh berbohong nanti kalau berbohong Allah bisa marah!” Azka mendengarkan penjelasan Feri sambil menganggukkan kepalanya. “Ya sudah kalau begitu sekarang Om pingin lihat mana senyum manisnya buat Om pagi ini?” seru Fero yang kemudian dibalas dengan sebuah senyuman manis yang tersungging dari bocah lucu tersebut. Dengan segera dipeluknya Azka oleh Fero dengan begitu hangat.
Pintu kamar Sinta tidak ditutup rapat, hanya beberapa centimeter saja pintu tersebut sedikit terbuka, maka dengan langkah pelan Fero memasuki kamar Sinta. Cukup luas sekali ukuran kamarnya berkisar 6 x 6 meter. Tatapan netra pemuda tersebut menelisik ke setiap penjuru ruangan, karena baru pertama kalinya ia masuk dengan tatapan menelisik seperti ini meski sebelumnya karena kondisi mendesak ia pernah masuk untuk melihat kondisi Sinta yang sedang pingsan begitu mendengar berita kepergian suaminya. Saat itu ia mencari foto pernikahan mereka di kamar tersebut namun ternyata ia tak menemukannya, bukankah kebanyakan pasangan pada umumnya selain memajang foto mereka di ruang keluarga, maka mereka juga akan memajangnya di dalam kamar, namun sepertinya hal tersebut tidak berlaku bagi Sinta dan juga Devano. Terlihat Sinta yang sedang tertidur lelap menggunakan selimut wol dengan warna cerah. Fero masih saja berdiri menatap wajah cantik itu,
Setelah dirawat di rumah sakit selama 2 minggu akhirnya Fero oleh Dokter diperbolehkan untuk pulang dengan catatan ia harus tetap rajin kontrol sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat oleh Dokter di buku Kontrol. Tentu saja hal tersebut disambut dengan sangat antusias oleh Fero karena menurutnya berada di rumah sakit dengan durasi waktu selama itu berasa setahun lamanya dan untungnya ada Sinta yang selalu berada di sampingnya yang selalu setia menunggunya sedari awal dia terbaring tak sadarkan diri karena koma hingga sekarang kondisinya yang sudah berangsur pulih. Tak dipungkiri lagi bahwa Sinta adalah motivasinya selama ini untuk bisa berjuang melawan koma selama seminggu lamanya, dan itu juga merupakan keajaiban serta anugerah tak terhingga yang telah diberikan Sang Pencipta kepadanya. Ditambah dengan kehadiran Azka putra semata wayang dari wanita yang sangat dicintainya kian menambah nuansa suka cita yang ia rasakan selama ini. Kehadiran Azka
Terlihat seorang Dokter sedang melakukan resusitasi ( CPR ), usaha tersebut dilakukan untuk mengembalikan irama jantung yang telah terhenti. Sinta yang mengetahui hal tersebut langsung meraih telapak tangan Fero kemudian digenggamnya dengan erat sambil berkata, “Ayo Fero kamu harus kuat, kamu harus bisa, jangan tinggalkan aku dengan perasaan bersalah seperti ini! bagaimana aku harus menjawab pertanyaan putraku jika dia bertanya tentangmu? Fero ayo bangun! Aku mohon jangan tinggalkan aku! bukankah kamu sering mengatakan kalau aku tidak boleh meninggalkan kamu, tapi mengapa justru kamu sendiri yang akan meninggalkan aku? aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi Fero, yang aku mau hanya satu yaitu kamu tepati kata-katamu dan kamu buktikan kepadaku bahwa kamu….bahwa kamu tidak akan pergi meninggalkanku, maka aku juga akan buktikan kata-kataku dan aku berjanji untuk memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu kepadaku maka aku juga tidak akan pernah me
“Sin..ta..Sin..ta…ma..af..kan a..ku!” Ucapan Fero yang di ulang-ulang pada saat itu membuat Sinta terbangun dari tidurnya, suaranya meski tidak keras namun masih terdengar jelas di pendengaran Sinta. Perlahan tapi pasti mata Sinta yang sedang tertutup rapat karena rasa kantuk yang hinggap kini terbuka. Di tatapnya Fero yang masih memejamkan mata dihadapannya. “Sin..ta…Si..nta...ma..af..kan a..ku! ja..ngan ting..gal..kan a..ku!” rintih Fero. Hal itu membuat Sinta kaget, ternyata ucapan Wika tadi sebelum pulang benar adanya bahwa ketika dalam kondisi yang tak sadarkan diri Fero masih mengingat dirinya. Seketika itu pula Sinta menutup bibir dengan kedua telapak tangannya tanpa disadarinya pula tetesan air mata bening mengalir dari sudut kedua netranya yang kian memerah. Semula ucapan Wika itu baginya hanyalah sekedar guyonan semata yang disematkan kepadanya, namun kali ini yang dikatakan Wika itu adalah fakta. “Sin..t
Suara tangisan Azka yang begitu kencang terdengar hingga di dapur tempat Sinta berada, dengan segera Sinta berlari ke halaman rumah namun ia tidak menemukan keberadaan putranya di tempat yang baru saja ia lihat. Curiga dengan pintu gerbang yang kini sedang terbuka membuatnya semakin mempercepat lagi laju larinya ke luar rumah, saat ia tiba di sana terlihat dari jarak beberapa meter darinya nampak kerumunan orang yang berada di tengah jalan raya persis sekali dengan asal suara tangisan putra semata wayangnya. Jantungnya semakin berdetak kencang tak mampu membayangkan jika suatu hal terjadi kepada putranya tersebut. Kakinya kian terasa lemas nafasnya tak beraturan, rasa takut kian menghantuinya pada saat ini. Sinta semakin mempercepat pace larinya, ia juga harus berani menerima kenyataan apapun yang akan terjadi di hadapannya kini. Bibirnya hanya mampu terkatup namun batinnya sama sekali tak berhenti untuk terus berdo’a serta berharap agar t
Sinta begitu asyik menonton acara talk show di sebuah stasiun televisi yang ditayangkan secara live sambil ngemil keripik tempe kesukaannya. Sudah 15 menit sudah ia menonton acara tersebut tanpa beranjak sama sekali dari atas sofa yang ia duduki di ruang tengah, beberapa saat kemudian Azka ikut bergabung duduk di sofa untuk duduk di sampingnya. “Mama!” panggil Azka “Iya sayang!” sahut Sinta. “Tadi di cekolah Aka ketemu Om Ganteng!” pamer Azka kepada Mamanya. “Om ganteng? siapa itu sayang?” tanya Sinta. “Om yang pelnah ke cini caat Mama gak mau banyun, Mama di kamal teyus nangis gak mau belhenti!” ungkap Azka. “Oh ya? apa benar itu?” tanya Sinta. “Iya benel!” jawab Azka yakin. Tiba-tiba terdengar sebuah truk berhenti di seberang jalan, Sinta mengecilkan volume televisinya. Melihat apa yang terjadi dari balik tirai jendela ternyata sebuah truk kontainer sedang menurunkan barang-barang yang se