Ambivalenci Fero kini mulai sirna, bersamaan dengan penyesalan yang teramat dalam. Matanya memerah menahan segala gejolak. Ia merasa marah pada dirinya sendiri mengapa selama ini bisa bertindak gegabah dan juga ceroboh? Bibirnya hanya mampu terkatup, axiomatic kini sudah di depan mata. Namun ia harus bersikap equanimity untuk menetralisir gundah gulana yang menyiksanya.
Dengan segera ia keluar dari ruang kerjanya, kini ruangan yang ditujunya yaitu gudang tempatnya membuang Sinta pada saat ia mengeluarkan dari kamarnya sesaat setelah mereka menikah. Setibanya di sana dibukanya pintu gudang tersebut, terlihat sempit, pengap dan gelap, terlihat pula pada dinding berwarna hijau pudar yang ia tahu persis dinding tersebut adalah bekas ditumbuhi lumut yang subur. Hal ini disebabkan karena kondisi dinding yang sangat lembab, di situ juga terhampar sebuah matras. Kardus-kardus yang berisi buku-buku juga barang-barang tak terpakai kini suda
💙 Thank U All Reader Lovers 🙏🙏🙏
Pagi itu Fero masih berkutat dengan laptopnya, ia yang terlihat serius sekali memeriksa laporan penjualan dari Departemen Pemasaran, tak menyadari ada sosok yang terlihat begitu ketakutan memasuki ruang kerjanya, nampak Anton berada persis di belakang sosok yang sedang ketakutan tersebut. Hingga terdengarlah suara Anton yang mampu memecahkan keheningan kala itu, “Selamat Pagi Pak Fero, tugas pertama sudah ada di hadapan Bapak saat ini!” ucap Anton lugas. Menyadari ada 2 sosok sedang berdiri di hadapannya saat ini membuat Fero menghentikan pekerjaannya dan kini tatapan matanya beralih kepada 2 orang di depannya. “Baik Anton terima kasih! saya tunggu kabar baik dari tugas kamu yang selanjutnya, semakin cepat semakin baik!” ujar Fero tegas. “Baik Pak! kalau begitu saya permisi!” pamit Anton. Begitu Anton pergi meninggalkan ruangan kerjanya. Sorot tajam mata Fero menatap Sarah yang kala itu sedang berdiri ketakutan, i
Sinta yang dengan asyiknya menatap indahnya danau Ciburuy, tak menyadari bahwa sudah beberapa saat yang lalu Devano telah lama berdiri sedang memperhatikannya. Semula Devano tak ingin mengganggu Sinta, namun karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan olehnya maka ia pun segera mendekati gadis itu. “Gak ada jenuh-jenuhnya ya meski tiap hari selalu ke sini?” goda Devano memecah kesunyian “Kamu? sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Sinta. “Sejak seorang Putri cantik yang wangi berjalan dari arah rumah kembar menuju ke danau ini.” “Oh ya? lalu kenapa tidak dari tadi saja kamu mendekat kemari?” “Aku sengaja menundanya dulu untuk mendekatkan diri kemari karena ingin memberikan ruang kepada Tuan Putri untuk me time sejenak” “Oh ya?” “Iya beneran, sebenar
Kata-kata Leon bagi Sinta sangat masuk akal dan cukup beralasan. Namun ia tak menyahut sepatah kata pun, ia hanya mendengarkan narasi Leon seraya memahaminya. “Jujur saja dulu saya tidak begitu akrab dengan Vano, namun sedikit banyak saya tahu perihal dia, yang mana dia itu dulu paling ogah dekat dengan seorang wanita, karena selain dia di kampus begitu populer di kalangan mahasiswi dengan fisiknya yang sangat tampan, jenius dalam berbagai mata kuliah, berprestasi pula dalam beberapa cabang olah raga sehingga banyak sekali diantara mereka yang mengejar-ngejarnya, namun bukan Devano namanya kalau ia tidak menjadi buah bibir di kampus. Seorang anak Rektor, anak dari seorang Pengacara ternama, juga anak seorang Jendral pernah mengejar-ngejarnya, tapi apa yang Vano lakukan sungguh aneh, dia sama sekali tidak memiliki minat, bahkan acuh tak acuh kepada mereka, makanya semua mahasiwa mahasiswi memberikan predikat kepadanya dengan julukam Mr. Cool.” un
“Maaf kalau pagi-pagi sekali harus memanggil anda kemari Dok!” ucap Fero sambil membenahi kancing kemejanya yang terlepas. “Loh Fero…kamu?” sahut sang Psikiater “Loh kamu Si Wika itu kan?” tanya Fero keheranan. “Iya benar, aku Wika teman sekolah kamu sedari SMP, tapi benar kan aku tidak salah rumah? tadi orang suruhan kamu memanggilku untuk datang ke rumah ini, bahkan dia sendiri yang mengantarkan aku sampai sini?” imbuh Wika. “Iya benar, aku memang yang menyuruhnya untuk memanggil Psikiater ke sini.” ungkap Fero. “Oke kalau begitu.” Jawab Wika mengerti. “Aku memanggilmu kemari untuk mendengarkan keluh kesahku, memberiku jalan kelua
Terdengar suara qiro’ah di menara masjid saat Fero dalam perjalanan pulang ke rumahnya seusai seharian beraktifitas di kantor, Fero menghentikan kaju mobilnya di area parkir. Dengan langkah perlahan ia melangkahkan kakinya mendekat ke arah pintu masuk masjid. Lumayan asing suasananya karena sudah lama sekali ia tak pernah menginjakkan kaki, jangankan hanya singgah ke dalam masjid barang sejenak, sekedar berhenti saja untuk mendekat dan melihat hiruk pikuk masyarakat yang berlalu lalang untuk melakukan aktifitas ibadah saja tidak pernah ia lakukan. Tentu saja hal itu membuatnya merasa canggung karena setelah sekian lama ini baru pertama kalinya ia memiliki sebuah tekad untuk memasuki tempat suci umat muslim. Mata Fero mulai menyisir di setiap penjuru masjid, sungguh rumah Allah yang sangat kokoh dan megah, apalagi di kejauhan terlihat begitu indahnya kubah emas yang ukurannya terbilang besar. Perlahan tapi pasti ia langkahkan kaki semakin mendekat ke ara
“Pokoknya aku memberikan narasi positif perihal kamu dan Insyaa Allah Sinta sudah tidak marah lagi sama kamu.” “Masak sih, serius kamu?” “Ya Allah Van, kamu kok susah banget ya kalau mau percaya sama aku?” “Ya heran saja, padahal kamu kan naksir Sinta nih ceritanya, biasanya kan kalau ada orang lain yang dekat dengan cewek yang ditaksir itu kan suka menjelek-jelekkan!” “Tapi untungnya aku bukan tipe orang seperti itu, yang namanya jodoh, rejeki dan maut itu sudah diatur Allah, manusia hanya bisa berdo’a dan berikhtiar, jadi aku hanya berusaha untuk bisa mendekati gadis yang aku suka dan juga berusaha untuk mengungkapkan perasaan ku kepadanya tanpa harus menjelek-jelekkan orang lain, bukankah dari awal kita sudah sepakat untuk bersaing secara sehat.” “Wah gak rugi ternyata punya teman baik seperti kamu ya, ineffable!” “Halah…biasa aja, server kan memang harusnya seperti itu!” “Yoi…!” ucap Devano sam
Saat Fero tengah berdiri memandang arunika di pagi hari, nampak bunga-bunga di sekelilingnya yang adiwarna. Dersik meniup dedaunan hingga melambai-lambai dengan indahnya. Asmaraloka kini bersemayam di relung hati. Nampak Sinta yang sedang duduk di atas jembatan kayu yang tertata dengan begitu rapi. Perasaan rindunya yang semakin lama sudah tak bisa dibendung lagi. Sontak dengan semangat didekatilah gadis yang begitu ia rindukan. Terlihat rambutnya yang tergerai menari-nari ditiup angin yang berhembus, pipinya yang merah merona, serta bulu matanya yang lentik terlihat jelas saat ia semakin mendekatinya. Jantungnya berdetak cepat, adrenalinnya kian berpacu dan perasaannya tak menentu. “Aku akan membawanya pulang, aku akan membahagiakannya, mencintainya dengan segenap hatiku dan takkan pernah ku lepaskan lagi!” batin Fero. Dengan perlahan Sinta menoleh begitu mendengar derap langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. “Sinta, ke
Melihat ukuran ikan koi yang jumbo dengan perpaduan warna unik diantaranya ada yang berwarna merah putih, putih hitam, putih orange, putih merah hitam, Putih polos, merah polos, orange polos dan masih banyak lagi warna yang lainnya. Dan bukan Sinta lagi namanya jika tidak seperti biasanya begitu melihat air kolam yang terlihat begitu jernih dan segar langsung membenamkan kedua telapak kakinya ke dalam air kolam meski penuh dengan ratusan ikan koi dari mulai ukuran mini sampai jumbo, tentu saja penampakan kaki Sinta di dalam air kolam membuat ratusan koi mengalihkan perhatiannya pada sepasang telapak kaki medium arch tersebut dan tentu saja membuat sensasi menggelitik pada kakinya yang membuatnya merasakan geli yang luar biasa. Mendapatkan sensasi demikian membuat Sinta sesekali mengangkat telapak kakinya sambil tertawa. Menatap gadis cantik di sampingnya tertawa bahagia seperti itu membuat jantung Leon berdetak lebih kencang, karena apa yang ten