Selepas sholat subuh sebagaimana biasanya Sinta memasak di dapur untuk membuat sarapan pagi. Beberapa saat kemudian setelah semuanya selesai maka disajikannya hidangan sarapan pagi di atas meja makan. Sinta pun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah selesai mandi barulah ia mengaplikasikan make up di wajahnya dan kemudian berganti pakaian untuk menghadiri undangan Fero di Ballroom Hotel Cinaya, ia pun mengenakan gaun berwarna coksu (coklat susu) yang unik, karena satu gaun akan tetapi memiliki 2 model, yaitu bagian dalam dengan gaya Mini Skirt ( rok mini ), sedang bagian luarnya dibalut dengan kain transparan model Rok Maxi yang disertai dengan belahan di depannya. Untuk model rambut Sinta hanya sedikit memangkas rambutnya agar lebih terlihat lebih rapi, kemudian dipakainya headbands ( bando ) untuk menghiasai rambutnya, terlihat sebuah kombinasi yang sangat apik, karena apapun itu yang Sinta kenakan selalu membuatnya tampil cantik, anggun dan juga mempesona. Setel
💙 Tanpa bosan saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga buat semua My Reader Lovers 🙏,,, semoga kalian menyukai ceritanya karena akan sangat menarik jika kalian semua kupas habis hingga akhir episode. Pastinya ceritanya lain dari yang lain karena asli karya original dari saya, no plagiat no tiru-tiru dan yang pasti bakal seru untuk terus disimak! 💙 U All !!!
Sebuah mobil Mercedes Benz AMG GT hitam mengkilap meluncur di tengah-tengah kota, nampak Al yang baru saja pulang dari luar kota sedang menatap jam tangan yang ia kenakan, saat itu ia duduk di belakang kursi kemudi, raut wajahnya terlihat begitu serius. "Langsung ke Hotel Cinaya ya Pak!" ucap Al. "Baik Pak." jawab Sang Sopir. Beberapa saat kemudian Al telah tiba di dalam Ballroom Hotel Cinaya, ia benar-benar tidak mengerti mengapa Fero menyuruhnya untuk datang ke acara pesta tersebut? karena memang ia tidak tahu apa-apa sama sekali, ia hanya mendapatkan pesan singkat dari Fero via W******p. So
Part 23 : Meninggalkan Kota Tercinta Pagi itu rumah Fero tampak sepi, Sinta melangkahkan kaki sembari menatap suasana sekitar dengan tak bersemangat, entahlah wajah yang biasanya ceria kini terlihat seolah tak bergairah. Nampak Bik Ijah dan yang lainnya sedang sibuk dengan aktifitas masing-masing hingga tak menyadari kehadiran Sinta yang tengah memasuki rumah kemudian bergegas menuju kamarnya yang sudah 2 hari tak disinggahi. Dipandanginya seisi kamar, tampak sama persis sebelum ia tinggalkan. Lalu diambilnya foto pernikahannya di atas nakas, sembari ditatapnya dalam-dalam foto dirinya yang berbalut kebaya serta berkerudung putih menjuntai berhiaskan manik-manik putih bulat berukuran mini yang tersebar di semua bagian tepi kerudung. Guratan kepedihan dari wajah cantik itu begitu terlihat jelas. Tangannya menyentuh kaca pigura dengan perlahan, foto dirinya dengan Fero sesaat sebelum prosesi ijab qobul kini tinggalah kenangan baginya.
Sinta mulai bereksplorasi dengan panorama di hadapannya yang begitu memikat hati, bagaimana tidak? Danau alami Ciburuy, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat itu begitu mempesona dalam pandangannya, air yang jernih dengan disertai deretan bukit hijau yang membentang menambah asri panorama. Hatinya begitu takjub dengan apa yang disaksikannya saat ini. Terpancar sebuah kegaguman yang mendalam di hatinya. Sungguh Ciptaan Sang Maha Kuasa Yang Maha Segala. Danau Ciburuy merupakan Tirta Amarta penduduk Ciburuy yang begitu kalis. Bukan Sinta namanya bila tidak bisa memanfaatkan sesuatu dihadapannya itu. Dengan segera diangkat roknya yang memanjang menyapu tanah, untuk kemudian telapak kakinya dicelupkan ke dalam air kalis nan segar. “Hemm….sudah dapat tempat merendam kaki yang baru nih!” Goda Devano “Iya, Jadi ingin di sini terus nih!” sahut Sinta sambil tersenyum senang. “Tapi gak boleh melamun loh disini!” seru Devano
Setelah berhari-hari Fero mencari keberadaan Sinta, akhirnya ia bertemu juga dengan sosok yang dicarinya itu. Tentu saja hal itu membuatnya merasakan sensasi yang berbeda dalam batinnya, ingin sekali ia meminta maaf karena telah menceraikannya secara sepihak tanpa ada pembicaraan sebelumnya secara empat mata. Maka mengetahui Sinta kini telah berada di depan mata, dengan segera Fero mendekatinya. “Sinta, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya Fero ketika sampai di belakang Sinta. Tak seperti biasanya Sinta tetap diam, dia sama sekali tetap pada posisi duduknya yang sedang membelakangi Fero, padahal biasanya ia Langsung menoleh ketika seseorang memanggilnya apalagi dengan suara yang terdengar jelas dari jarak yang begitu dekat. “Sinta….kamu kemana saja? berhari-hari aku mencarimu, tapi aku tidak menemukanmu?” Mendengar kedua kalinya Fero yang sedang menegurnya, pada akhirnya Sintapun menoleh ke ar
Waktu menunjukkan jam 10.12 WIB, terlihat Fero yang sedang sibuk membaca beberapa file, sambil sesekali ia menatap ke arah laptop di hadapannya itu untuk mengevaluasi pekerjaan dari tiap-tiap Departemen. Di Perusahaannya Fero terkenal sebagai Owner dan juga CEO yang sangat jeli dan juga teliti, sehingga semua Departermen di Perusahaan jika ingin meminta tanda tangannya, harus memeriksa laporan serta dokumen mereka hingga berkali-kali terlebih dahulu, karena jika ada yang selisih 0,25 saja Fero akan mengetahuinya. “Tit…tit…” telepon yang berada di atas meja kerja Fero berbunyi “Iya…!” jawab Fero “Nona Nindy ingin bertemu dengan Pak Fero sekarang!” ucap Dewi “Suruh dia masuk!” seru Fero “Baik Pak!” Tak lama kemudian Nindy masuk ke dalam ruangan Fero, sedangk
“Bagaimana kamu tahu kehidupannya dengan begitu detail? apa dia curhat semuanya sama kamu?” “Sulit sekali mengulik informasi tentangnya, karena ia menutup rapat kehidupan pribadinya termasuk kepadaku.” “Lantas bagaimana bisa kamu mengetahuinya sedetail itu? jangan-jangan kamu memata-matainya ya?” “Awalnya memang seperti itu!” “Apa? gila kamu ya?!” “Kamu dari dulu tahu sendiri sepak terjangku seperti apa?! aku paling anti kalau berurusan dengan yang namanya wanita, jangankan untuk dekat, mendengar nama wanita saja rasanya aku sudah ilfil duluan.” “Lalu?” “Seperti biasa keseharian ku saat sebelum dan sesudah dari rutinitas pekerjaan aku selalu meneropong keindahan alam sekitar, pada saat aku meneropong ke arah sungai dimana sungai tersebut adalah area Fero tinggal, aku melihat seora
Ambivalenci Fero kini mulai sirna, bersamaan dengan penyesalan yang teramat dalam. Matanya memerah menahan segala gejolak. Ia merasa marah pada dirinya sendiri mengapa selama ini bisa bertindak gegabah dan juga ceroboh? Bibirnya hanya mampu terkatup, axiomatic kini sudah di depan mata. Namun ia harus bersikap equanimity untuk menetralisir gundah gulana yang menyiksanya. Dengan segera ia keluar dari ruang kerjanya, kini ruangan yang ditujunya yaitu gudang tempatnya membuang Sinta pada saat ia mengeluarkan dari kamarnya sesaat setelah mereka menikah. Setibanya di sana dibukanya pintu gudang tersebut, terlihat sempit, pengap dan gelap, terlihat pula pada dinding berwarna hijau pudar yang ia tahu persis dinding tersebut adalah bekas ditumbuhi lumut yang subur. Hal ini disebabkan karena kondisi dinding yang sangat lembab, di situ juga terhampar sebuah matras. Kardus-kardus yang berisi buku-buku juga barang-barang tak terpakai kini suda
Pagi itu Fero masih berkutat dengan laptopnya, ia yang terlihat serius sekali memeriksa laporan penjualan dari Departemen Pemasaran, tak menyadari ada sosok yang terlihat begitu ketakutan memasuki ruang kerjanya, nampak Anton berada persis di belakang sosok yang sedang ketakutan tersebut. Hingga terdengarlah suara Anton yang mampu memecahkan keheningan kala itu, “Selamat Pagi Pak Fero, tugas pertama sudah ada di hadapan Bapak saat ini!” ucap Anton lugas. Menyadari ada 2 sosok sedang berdiri di hadapannya saat ini membuat Fero menghentikan pekerjaannya dan kini tatapan matanya beralih kepada 2 orang di depannya. “Baik Anton terima kasih! saya tunggu kabar baik dari tugas kamu yang selanjutnya, semakin cepat semakin baik!” ujar Fero tegas. “Baik Pak! kalau begitu saya permisi!” pamit Anton. Begitu Anton pergi meninggalkan ruangan kerjanya. Sorot tajam mata Fero menatap Sarah yang kala itu sedang berdiri ketakutan, i
Hari-hari Sinta semakin berwarna dengan hadirnya Fero di tengah kehidupannya saat ini. Fero telah membuktikan bahwa dia adalah suami yang baik, begitu mencintai keluarga serta bertanggung jawab. Fero sudah bertekad ia akan selalu membahagiakan keluarga kecilnya tersebut, apalagi ia begitu menyayangi Azka seperti putra kandungnya sendiri begitu pula sebaliknya. Sinta yang bukan single parent lagi tentunya benar-benar merasakan kebahagiaan seutuhnya. Setelah rentetan kejadian tragis yang telah ia alami di sepanjang hidupnya kini telah tergantikan dengan kehidupan yang tentram serta bergelimang kebahagiaan. Memiliki 2 buah rumah yang saling berhadapan yang hanya terpisah oleh sebuah jalan raya membuat Sinta lebih banyak tinggal di rumah yang dibeli oleh Fero. Sejak malam pertama ia sudah lebih banyak tinggal di rumah tersebut dan untungnya pula putranya sama sekali tidak mempermasalahkan itu karena selama ada Fero maka Azka akan meng-iyakan.
Sekali lagi Sinta merasakan dilema yang teramat sangat dengan kejutan yang dibuat Fero bersama sang putra kali ini. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa karena untuk saat ini ia masih belum memikirkan untuk menikah kembali karena jujur saja perasaannya kepada Devano masih sangat kuat karena bagaimanapun juga dialah laki-laki pertama yang banyak memberikannya cinta dengan penuh ketulusan dan kesungguhan tanpa adanya rekayasa, dusta serta pengkhianatan. Namun mengapa saat ini perasaan takut karena trauma yang pernah dialaminya kian membuatnya bimbang. “Mama…Om Ganteng telah menolong Aka dali bahaya, Om Ganteng hampil meninjal kalena tolonyin Aka apa itu maci belum cukup buat Mama?” protes Azka yang tiba-tiba mengagetkan Sinta, lagi-lagi ucapan sang putra makin membuatnya heran karena bagaimana bisa ia melontarkan kata-kata yang begitu menohok. “Azka tidak boleh berkata demikian sama Mama ya sayang! biarkan Mama mengamb
“Aka cayang banget cama Om ganteng, Aka pingin punya Papa cepelti teman-teman teyus Aka pingin Om Ganteng jadi Papanya Aka!” jelas Azka dengan berterus terang. “Seperti yang Om bilang sebelumnya, Om akan selalu ada buat Azka dan juga Mama, Om tinggal menunggu kesiapan Mamanya Azka, begitu Mama bilang setuju dan siap untuk menikah dengan Om maka secepatnya Om akan menikahi Mama Azka!” terang Fero dengan begitu jelas. “Om Ganteng gak bohonyin Aka kan?” “Apa yang Om ucapkan pada Azka baru saja itu semua benar, dalam berbicara Om tidak boleh berbohong nanti kalau berbohong Allah bisa marah!” Azka mendengarkan penjelasan Feri sambil menganggukkan kepalanya. “Ya sudah kalau begitu sekarang Om pingin lihat mana senyum manisnya buat Om pagi ini?” seru Fero yang kemudian dibalas dengan sebuah senyuman manis yang tersungging dari bocah lucu tersebut. Dengan segera dipeluknya Azka oleh Fero dengan begitu hangat.
Pintu kamar Sinta tidak ditutup rapat, hanya beberapa centimeter saja pintu tersebut sedikit terbuka, maka dengan langkah pelan Fero memasuki kamar Sinta. Cukup luas sekali ukuran kamarnya berkisar 6 x 6 meter. Tatapan netra pemuda tersebut menelisik ke setiap penjuru ruangan, karena baru pertama kalinya ia masuk dengan tatapan menelisik seperti ini meski sebelumnya karena kondisi mendesak ia pernah masuk untuk melihat kondisi Sinta yang sedang pingsan begitu mendengar berita kepergian suaminya. Saat itu ia mencari foto pernikahan mereka di kamar tersebut namun ternyata ia tak menemukannya, bukankah kebanyakan pasangan pada umumnya selain memajang foto mereka di ruang keluarga, maka mereka juga akan memajangnya di dalam kamar, namun sepertinya hal tersebut tidak berlaku bagi Sinta dan juga Devano. Terlihat Sinta yang sedang tertidur lelap menggunakan selimut wol dengan warna cerah. Fero masih saja berdiri menatap wajah cantik itu,
Setelah dirawat di rumah sakit selama 2 minggu akhirnya Fero oleh Dokter diperbolehkan untuk pulang dengan catatan ia harus tetap rajin kontrol sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat oleh Dokter di buku Kontrol. Tentu saja hal tersebut disambut dengan sangat antusias oleh Fero karena menurutnya berada di rumah sakit dengan durasi waktu selama itu berasa setahun lamanya dan untungnya ada Sinta yang selalu berada di sampingnya yang selalu setia menunggunya sedari awal dia terbaring tak sadarkan diri karena koma hingga sekarang kondisinya yang sudah berangsur pulih. Tak dipungkiri lagi bahwa Sinta adalah motivasinya selama ini untuk bisa berjuang melawan koma selama seminggu lamanya, dan itu juga merupakan keajaiban serta anugerah tak terhingga yang telah diberikan Sang Pencipta kepadanya. Ditambah dengan kehadiran Azka putra semata wayang dari wanita yang sangat dicintainya kian menambah nuansa suka cita yang ia rasakan selama ini. Kehadiran Azka
Terlihat seorang Dokter sedang melakukan resusitasi ( CPR ), usaha tersebut dilakukan untuk mengembalikan irama jantung yang telah terhenti. Sinta yang mengetahui hal tersebut langsung meraih telapak tangan Fero kemudian digenggamnya dengan erat sambil berkata, “Ayo Fero kamu harus kuat, kamu harus bisa, jangan tinggalkan aku dengan perasaan bersalah seperti ini! bagaimana aku harus menjawab pertanyaan putraku jika dia bertanya tentangmu? Fero ayo bangun! Aku mohon jangan tinggalkan aku! bukankah kamu sering mengatakan kalau aku tidak boleh meninggalkan kamu, tapi mengapa justru kamu sendiri yang akan meninggalkan aku? aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi Fero, yang aku mau hanya satu yaitu kamu tepati kata-katamu dan kamu buktikan kepadaku bahwa kamu….bahwa kamu tidak akan pergi meninggalkanku, maka aku juga akan buktikan kata-kataku dan aku berjanji untuk memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu kepadaku maka aku juga tidak akan pernah me
“Sin..ta..Sin..ta…ma..af..kan a..ku!” Ucapan Fero yang di ulang-ulang pada saat itu membuat Sinta terbangun dari tidurnya, suaranya meski tidak keras namun masih terdengar jelas di pendengaran Sinta. Perlahan tapi pasti mata Sinta yang sedang tertutup rapat karena rasa kantuk yang hinggap kini terbuka. Di tatapnya Fero yang masih memejamkan mata dihadapannya. “Sin..ta…Si..nta...ma..af..kan a..ku! ja..ngan ting..gal..kan a..ku!” rintih Fero. Hal itu membuat Sinta kaget, ternyata ucapan Wika tadi sebelum pulang benar adanya bahwa ketika dalam kondisi yang tak sadarkan diri Fero masih mengingat dirinya. Seketika itu pula Sinta menutup bibir dengan kedua telapak tangannya tanpa disadarinya pula tetesan air mata bening mengalir dari sudut kedua netranya yang kian memerah. Semula ucapan Wika itu baginya hanyalah sekedar guyonan semata yang disematkan kepadanya, namun kali ini yang dikatakan Wika itu adalah fakta. “Sin..t
Suara tangisan Azka yang begitu kencang terdengar hingga di dapur tempat Sinta berada, dengan segera Sinta berlari ke halaman rumah namun ia tidak menemukan keberadaan putranya di tempat yang baru saja ia lihat. Curiga dengan pintu gerbang yang kini sedang terbuka membuatnya semakin mempercepat lagi laju larinya ke luar rumah, saat ia tiba di sana terlihat dari jarak beberapa meter darinya nampak kerumunan orang yang berada di tengah jalan raya persis sekali dengan asal suara tangisan putra semata wayangnya. Jantungnya semakin berdetak kencang tak mampu membayangkan jika suatu hal terjadi kepada putranya tersebut. Kakinya kian terasa lemas nafasnya tak beraturan, rasa takut kian menghantuinya pada saat ini. Sinta semakin mempercepat pace larinya, ia juga harus berani menerima kenyataan apapun yang akan terjadi di hadapannya kini. Bibirnya hanya mampu terkatup namun batinnya sama sekali tak berhenti untuk terus berdo’a serta berharap agar t
Sinta begitu asyik menonton acara talk show di sebuah stasiun televisi yang ditayangkan secara live sambil ngemil keripik tempe kesukaannya. Sudah 15 menit sudah ia menonton acara tersebut tanpa beranjak sama sekali dari atas sofa yang ia duduki di ruang tengah, beberapa saat kemudian Azka ikut bergabung duduk di sofa untuk duduk di sampingnya. “Mama!” panggil Azka “Iya sayang!” sahut Sinta. “Tadi di cekolah Aka ketemu Om Ganteng!” pamer Azka kepada Mamanya. “Om ganteng? siapa itu sayang?” tanya Sinta. “Om yang pelnah ke cini caat Mama gak mau banyun, Mama di kamal teyus nangis gak mau belhenti!” ungkap Azka. “Oh ya? apa benar itu?” tanya Sinta. “Iya benel!” jawab Azka yakin. Tiba-tiba terdengar sebuah truk berhenti di seberang jalan, Sinta mengecilkan volume televisinya. Melihat apa yang terjadi dari balik tirai jendela ternyata sebuah truk kontainer sedang menurunkan barang-barang yang se