Keesokan harinya, seperti biasa Olivia yang menyiapkan segala sesuatu untuk suaminya berangkat bekerja, dan setelah selesai membuat sarapan, langkah kakinya yang hendak menaiki tangga langsung terhenti ketika mendengar suara salah satu pelayan,
"Nyonya Oliv, diluar ada tamu yang ingin bertemu dengan Tuan besar dan tuan muda." ujarnya, "Sepagi ini? siapa ya?" gumamnya dengan suara pelan, Masih memikirkan siapa yang bertamu sepagi ini, suara tegas seorang Farida memecah pikiran Olivia. "Kenapa kalian berdiam diri disana?" tanyanya saat melihat Oliv dan seorang pelayan berdiri di bawah tangga. "Mm-mama.." Ucap Olivia kaget, "Apa kau sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kami semua?" Tanya Farida sambil menuruni tangga. "Sudah ma, di luar kata bibi ada yang mau bertemu papa dan Renald mah." Olivia berkata pada farida dengan senyum manisnya. "Siapa bi? Pagi-pagi sudah bertamu ke rumah orang. Apa dia tidak tau adab?" Ucapan kesal Farida tidak sejalan dengan kakinya yang kini justru melangkah menuju pintu besar rumahnya. Matanya terbelalak kaget ketika melihat sosok perempuan yang sudah terduduk manis di kursi teras rumahnya. Tamu itu ternyata Jennifer, kekasih Renald. Farida pun menyambut antusias kedatangan Jennifer. "Ya Tuhan, Apa kabar cantik? mama kangen sekali sama kamu." Ujarnya penuh antusias seraya memeluk tubuh Jennifer. "Baik maah," ucapnya sambil membalas pelukan Farida. Tanpa Farida sadari, sejak ia melangkahkan kaki ingin melihat sosok tamunya, Olivia juga mengikutinya keluar. Hingga kini Olivia melihat pemandangan yang membuat ia mengernyitkan dahinya. Kehangatan sang ibu mertua nampak sangat jelas berbeda, sikap halus lembut yang sering ia jumpai sebelum menikah dengan Renald, suaminya. Kini ibu mertuanya itu justru pebih sering menampakkan sikap dingin padanya, bahkan komunikasi pun jarang. Hangatnya sifat Farida Pada Jennifer, membuat ia memiliki niat akan menanyakan hal itu pada suaminya nanti. Keterdiaman Olivia terputus saat kedua sosok yang sedang berpelukan hangat itu membalik badan mereka saat hendak memasuki rumah Farida dan melihat ia sedang berdiri menatap mereka. "Kenapa kau malah diam disana? cepat bangunkan Renald, bilang ada Jennifer, tamu penting!" Ucapan tegas Farida pada Olivia berupa perintah. "Baik mah," Ucapnya seraya masuk ke rumah dan langsung menuju ke kamarnya. Jennifer yang melihat sikap ibu Renald pada Olivia membuatnya mengeluarkan senyum smirk, ia senang akan hal itu. Hanya ia yang pantas menjadi istri Renald, kekasihnya. Dan ia yang layak menjadi nyonya di rumah besar ini. Sesampainya di dalam kamar, Olivia sudah melihat suaminya sedang memakai pakaian yang sudah ia siapkan sebelumnya, "Kamu sudah bangun yaang?", Tanya Oliv, "Hmm, Kamu dari mana saja?kenapa bikin sarapan aja lama banget?" Ucap Renald agak ketus. "Di bawah ada tamu penting, kata mama namanya Jennifer. Dia mau ketemu sma kamu dan papa." Jawab Olivia sambil tangannya hendak membantu Renald memakai kemeja. Tangan Olivia ditepis dengan cepat oleh Renald sesaat setelah mendengar kalimat yang terlontar dari mulut istrinya itu. "Jennifer?" Tanya Renald memastikan kembali telinganya tidak salah dengar. "Iya, Jennifer. Kenapa? kamu kenal, dia syapa?" Tegas Olivia disertai cecaran pertanyaan lain, sambil mengernyitkan dahinya akibat tangannya ditepis oleh suaminya. Renald yang sadar akan responnya barusan segera tersadar dan kembali berusaha bersikap biasa saja. "Aah, dia klient papa. model untuk Brand Ambassador produk baru yang akan perusahaan luncurkan" Jawaban Renald membuat Olivia menyipitkan matanya, tanda belum percaya sepenuhnya pada jawaban Renald. Renald yang melihat reaksi istrinya itupun menjawab sambil mencubit gemas pipi Olivia. "Kenapa kamu melihatku kaya gitu sayang?" Ucapnya, "Benar cuma seorang klient papa?" Tanya Olivia penuh curiga, "Iya sayang, nanti kita tanya aja sama papa. aku cuma kaget, ada apa dia sampe dateng ke rumah sepagi ini." Kata Renald seraya meyakinkan istrinya itu. Olivia pun akhirnya menganggukan kepalanya berulang kali tanda mempercayai ucapan suaminya. Ya, Renald harus kembali bersandiwara. Karena siang ini rencananya ia dan Alex akan bertemu dengan pengacara Tuan Adijaya perihal wasiat dan pembagian harta peninggalan kakeknya itu. Renald pun harus menunggu dan memastikan dahulu, apakah pergulatannya dengan Olivia kemarin membuat Olivia hamil. Mereka pun kini keluar dari kamar, dan hendak turun untuk sarapan. Di ruang makan, terlihat semuanya sudah berkumpul. Melihat Renald masuk ke ruang makan, Jennifer pun menampilkan senyum terbaiknya. Renald terpesona akan hal itu, ia pun membalas senyum Jennifer tak kalah hangat. Tanpa Olivia sadari hal itu, dia pun duduk tepat disebelah Renald yang berhadapan dengan Jennifer di sebrangnya. Olivia mengambilkan beberapa makanan kedalam piring Renald, karena memang kebiasaannya seperti itu saat dimeja makan. Jennifer yang melihat itu terpaku, senyum yang ia tunjukkan sedari tadi hilang begitu saja. Farida yang sadar akan perubahan raut wajah Jennifer pun tahu apa yang membuat wanita itu terlihat masam. Ia pun berusaha mencairkan hati Jennifer dan mnghiburnya kala mengambil beberapa makanan kedalam piring Jennifer seraya berkata, "Makan yang banyak sayang, jangan sungkan-sungkan anggap dirumah sendiri, okey." Perlakuan Farida pada Jennifer sempat membuat Olivia yang melihatnya merasa sakit pada hatinya, tidak pernah ibu mertuanya itu memperlakukan ia sehangat itu pada dirinya, ia pun tiba-tiba merasa sedih, namun hanya mampu menahan kesakitannya dalam hati. Jennifer pun tersenyum kembali melihat pesakitan yang dirasakan Olivia. Aktivitas sarapan mereka pun sudah selesai, Olivia seperti biasa mengantarkan suaminya menuju mobilnya. Renald berpamitan akan ke kampus dan ke perusahaan seperti biasa. Sedangkan Alex, Jennifer dan Farida membicarakan hal yang tidak diketahui pasti oleh Olivia di ruang kerja Alex. Sudah 1 bulan selepas kedatangan Jennifer ke rumah, Perubahan drastis terjadi pada diri suaminya beserta kedua mertuanya. Seperti saat ini, Oliv dan Renald tidak pernah berhubungan intim lagi selayaknya suami dan istri pada umunya. Tentu saja hal itu membuat Olivia pusing dibuatnya. Ia selalu menangis sebelum tidur, karena Renald selalu pulang larut malam dan pulang tanpa menyentuh dirinya sama skali. Pagi ini, iapun bangun dari tidurnya ketika merasakan gejolak kuat pada perutnya yang membuatnya ingin memuntahkan seluruh isi yang ada didalamnya. Olivia pun bergegas turun dari ranjang menuju kamar mandi, sesampainya di depan wastafel, ia pun memuntahkan seluruh isinya keluar. rasa pahit dan perih pada tenggorokannya membuatnya mengernyit, karena apa yang ia muntahkan hanya berupa cairan. "Apa aku masuk angin? aku selalu tidur larut malam" tanya Olivia dalam hatinya, sembari membasuh mulutnya. Olivia pun tersadar, dan membelalakkan matanya mengingat sesuatu. Sudah lewat dari 2minggu, dirinya belum mendapatkan tamu bulanan, Apakah ia hamil? Apa yang harus ia lakukan, jika benar ia hamil, apakah ini akan menjadi kabar baik ataukah kabar buruk untuk suaminya?Seminggu sudah Olivia berusaha menutupi kehamilannya dari sang suami dan mertuanya. Akan tetapi sepertinya usaha ia seminggu ini akan sia-sia ketika usai sarapan bersama, mual yang ia rasakan kini tidak dapat ditahannya lagi. "Hoek...Hoek...," rasa mual itu membuatnya langsung berdiri dan berlari kecil ke kamar mandi dekat dengan ruang makan. Melihat apa yang terjadi pada Olivia, membuat ketiga orang yang ada di ruang makan tersebut seketika mematung. Sepertinya mereka sadar akan situasi saat ini, melihat gerak gerik Olivia barusan, membuat Farida memicingkan mata ke arah putra nya. "Jangan sampai apa yang mama pikirkan saat ini benar-benar terjadi Renald!" Ujar Farida. "Kau benar-benar sudah gegabah nak." Sambung Alex yang melihat putranya hanya diam dengan kepala tertunduk. Merasa terpojok dan disudutkan dengan melemparkan semua kesalahan padanya, Renald seketika merasa geram, dengan kuat ia mendorong kursi makan yang masih ia duduki hingga terbalik ke belakang dengan s
Tubuh ringkih Olivia menggeliat, tangannya terasa sangat pegal. Sedari pagi menangis hingga tanpa sadar ia tertidur. Melirik ke arah jam dinding yang tergantung di kamarnya, Pukul.11.00, tubuhnya terperanjat karena terkejut, ia ternyata sudah tidur sangat lama. Masih merasakan sakit pada sekujur tubuhnya, ia berusaha bangun dan hendak pergi ke toilet untuk membersihkan dirinya sebelum pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Seusai dirinya membersihkan diri, saat akan memasuki walk in closet, bunyi ketukan pintu kamarnya membuat langkahnya terhenti. "Siapa?" teriaknya dari dalam kamar. "Saya Nora, Anda di panggil Nyonya besar ke ruang kerja Tuan besar." Ucap Nora dari balik pintu. "Baiklah, 10 menit lagi aku akan kesana. Terima kasih Nora." lanjutnya sedikit berteriak masih dari dalam kamar. Tidak ada sahutan kembali dari balik pintu kamarnya, dan ia yang sudah mulai memahami situasi di rumah tempat ini kini berada, merasa tidak aneh ketika para pelayan di dalam ru
Pagi ini, gejolak dalam perut yang di alami Olivia sungguh terasa lebih parah dari hari-hari sebelumnya. Bangun dari tidurnya dengan tergesa, ia melangkahkan kakinya menuju toilet dalam kamarnya. "Hoek, Hoek." Memuntahkan isi perutnya yang terasa sangat mual, namun tidak ada apapun yang ia keluarkan, hanya cairan bening yang meninggalkan rasa amat pahit pada tenggorokannya. "Hoek.." lanjutnya berusaha mengeluarkan semua yang membuatnya mual. Sedangkan Reynald, di atas ranjang besarnya itu merasa tidur lelapnya sangat terganggu dengan suara yang terdengar menjijikan. "Aaaarrrggh, Menjijikan." Gumamnya dengan geram kala mendengar suara Olivia yang sedang muntah di dalam kamar mandi. 15 menit Olivia berada di dalam kamar mandi, tubuhnya kini terasa sangat lemah, lemas. membuka pintu di depannya, mata Olivia di kejutkan dengan sosok suaminya yang sudah berdiri didepannya dengan menampakkan wajah kesal menahan amarah. "mm-maaf, apa aku mengganggu tidurmu, sayang?" Ujar Olivia
Membuka pintu kamarnya di paviliun itu, Olivia terkejut melihat Farida yang sudah berdiri di hadapannya kini. "I-ibu?" pekik Olivia. "Kenapa lama sekali? jangan tidur di saat yang lain sedang bekerja. Jangan jadikan kehamilanmu itu sebagai alasan agar bisa bermalas-malasan." Bentak Farida. "Apa yang harus aku kerjakan bu?" tanya Olivia, tubuhnya itu masih saja bergetar. "Berhenti memanggilku seperti itu, aku tidak pernah sudi menerima mu sebagai istri dari putra kesayangan ku." Ucap Tegas Farida. "Bersihkan dirimu, gunakan seragam pelayan seperti yang lainnya. Jangan pernah menganggap dirimu berbeda dengan para pekerja disini." Perintah Farida. "Bb-baiklah, Nyonya." Jawab Olivia dengan air mata terlihat mulai menggenang di pelupuk matanya. "Setelah itu, segera siapkan makan siang. akan ada kedatangan tamu spesial, jangan mengecewakan, atau kau akan mendapatkan hukuman." Ancam Farida seraya melangkahkan kakinya keluar dari paviliun itu. Menutup pintu kamarnya, Olivi
Malamnya, Olivia sudah berada dalam pembaringannya. ranjang yang terasa sakit bagi tubuh ringkihnya itu tidak ia rasakan, masih kalah sakit kala ia mengingat seluruh kejadian menyakitkan siang ini di rumah yang bagaikan mimpi buruk baginya itu. Saat ia masih di dapur tadi, ia tak mengira jika lelaki yang masih sebut sebagai suaminya itu masuk ke dalam area dapur dimana dirinya berada. "Dengar, mulai detik ini, jangan menginjakkan kaki mu ke dalam rumah utama ini jika tidak ada yang menyuruh mu. Paham!" Ucapnya penuh tekanan pada Oliv. "dan, ingat baik-baik. Jangan-anggap-aku-masih-suami mu." Ucap Reynald dengan menunjuk nunjukkan jarinya pada dada Olivia. Kerasnya tusukan jari lelaki itu tidak hanya menyakiti tubuhnya, kata-kata yang di keluarkankan oleh mulut Reynald bagaikan tusukan sembilu pada hatinya tiap mengucapkan kata-katanya. Air matanya mengalir deras kala matanya berusaha terpejam. tubuhnya terasa sangat lelah, namun, mengingat buah hati nya sedang tumbuh dala
Beberapa bulan sungguh dirasa sangat berat bagi seorang Olivia, di masa kehamilannya yang terbilang sudah besar, kini ia tinggal menunggu saatnya melahirkan.Dirinya tak pernah diizinkan keluar dari paviliun itu hanya untuk sekedar memeriksakan kehamilannya. seburuk apapun situasi yang dialami kehamilannya, pasti mereka yang mendatangkan dokter itu ke paviliun, tidak boleh menginjakkan kakinya keluar barang sedetikpun."Oliv...Olivia? kau baik-baik saja?" Suara Ryan terdengar dari balik pintu kamarnya. Selama ini, hanya sosok Ryan yang selalu memberanikan diri untuk menolongnya. tangannya tak berhenti mengetuk pintu itu sebelum ia mendengar jawaban dari dalam. Ia tidak ingin apa yang menimpa wanita hamil itu pada beberapa waktu ke belakang, saat Olivia mengalami kontraksi yang teramat sangat.Olivia kala itu mendapat perintah dari Farida dan Jennifer untuk mencuci mobil milik keduanya. tubuh ringkih namun perut yang telah terlihat besar itu di temukan dalam keadaan tidak sadar, den
Hari ini merupakan hari yang ditunggu oleh Olivia, dirinya tak menyangka bahwa ia akan segera bertemu sang penguat hidupnya. Meski sakit terus mendera tubuhnya yang kini telah terbaring di ranjangnya, merupakan saksi bisu yang selalu menemani tangis malamnya. Masih menunggu Ryan yang sedang memanggilkan seorang dokter kandungan, dirinya terus menguatkan dirinya sendiri. berkata pada sang buah hati sambil mengusap pelan permukaan perutnya. gerakan tangannya sempat melemah kala kontraksi di perutnya semakin menjadi, " Ya Allah,, lama sekali, apa Ryan belum bertemu dokter kandungannya." gumamnya, Dahinya sudah basah akibat bulir-bulir keringat yang awalnya sedikit, kini telah mengucur deras. Berusaha mengatur pernafasannya, menarik ulur oksigen yang keluar masuk dengan hidung dan mulutnya dengan teratur. Pintu kamarnya terbuka, berharap itu Dokter kandungan yang dibawa oleh Ryan. Namun, harapan hanyalah harapan, lain dengan kenyataan. Terkejut kala ia justru melihat Reynald dan Fa
Terbangun dari rasa tidurnya, Olivia mengerjapkan matanya secara perlahan. rasa pusing dikepalanya selalu muncul kala ia berusaha menggerakkan tubuhnya. Ryan, pria itu ada menemani Olivia yang masih pingsan akibat proses melahirkannya. Ia cukup shock ketika tadi melihat kedua majikannya itu bersitegang dengan Olivia. keduanya memaksa dan langsung membawa bayi yang baru saja dilahirkan itu. semua kejadian itu dilihat oleh Ryan dan dokter itu tanpa bisa melakukan pembelaan terhadap sosok Olivia. Merasa ada pergerakan dari ranjang disebelahnya, ia pun dengan cepat menghampiri wanita yang masih terlihat pucat dan lemah itu. "Kau sudah siuman, apa kau haus?" Tanya Ryan kala melihat tangan Olivia meraba-raba sekeliling ranjangnya. "Anakku, dimana bayiku Ryan? aku mohon kembalikan bayiku!" Pekik Olivia, dia tidak melupakan apa yang telah terjadi padanya kala masih tersadar tadi. Suaminya dan bahkan ibu Reynald tadi sungguh memaksa sang dokter agar segera melakukan persalinan, pad
Olivia memasuki apartemen miliknya sepulangnua dari supermarket, langsung memasuki area dapurnya, ia membereskan seluruh barang belanjaannya kedalam kitchen set dan lemari es. "Huuft,,akhirnya selesai juga." Ujarnya, kemudian membuat secangkir teh hangat karena dirasa dirinya perlu merilekskan tubuh dan pikirannya. Membawa cangkir tehnya, Olivia duduk di ruang tamu. Membuka ponselnya dan mencari beberapa info lowongan pekerjaan, Hingga akhirnya ia menemukan sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, sesuai bekal pendidikannya dulu saat kuliah. Namun, hanya ada lowongan sebagai Office girl disana. ia pun tak banyak berpikir, ia akan memgambil jalan itu. tak mengapa ia menjadi Office girl, toh itu pekerjaan baik juga, tidak ada yang salah. Yang ada dalam pikirannya hanyalah, ia harus mendapat uang sebanyak-banyaknya agar bisa bertemu kembali dengan sang putra, Keenan. menyeruput teh hangatnya hingga cangkir itu kosong, ia pun berniat membersihkan diri
Tak menyangka, kini Olivia sedang terduduk dalam kursi penumpang di sebuah pesawat. mata nanarnya menatap keluar jendela di sebelahnya. "Semoga langkah yang ku pilih ini sudah tepat, dan selalu dalam lindungan Mu ya Allah." Gumam Olivia dalam hatinya. Memilih Los Angeles sebagai kota tujuannya untuk memperbaiki kehidupannya agar lebih baik lagi. dikenal dengan julukan City of Angels, kota tersibuk di Amerika serikat karena dikenal sebagai kota yang tak pernah tidur. Ia sungguh berharap, bekerja di salah satu kota terbesar di Amerika serikat itu mampu membuat dirinya bisa kembali mengambil hak asuh sang putra. Tidak ada dendam dihatinya, karena yang ada dalam pikirannya saat ini adalah sang buah hati yang baru berumur 5 bulan itu. "Semoga jika kau sudah tumbuh besar nanti, kau masih menganggap bahwa ibu masih ada nak". kembali pada realita kehidupannya, begitu tiba di Bandar Udara Internasional Los Angeles, wanita itu sempat kebingungan harus pergi kemana terlebih dahulu.
Hari ini merupakan sidang perceraian pertamanya, masih ada beberapa kali lagi pertemuan. Namun, sulit bagi Olivia dapat memenangkan hak asuh anaknya. Karena, sudah dapat dipastikan keluarga besar mantan suaminya itu sudah mempersiapkan segalanya dengan sangat matang. Terbukti dari tidak adanya keadilan kala hak asuh anaknya sepenuhnya jatuh ke tangan sang mantan suami, padahal tidak ada bukti kesalahan apapun yang dilakukan dirinya sehingga ia harus berpisah dengan anaknya yang baru berusia 5bulan itu. Hingga, tak terasa hari penentuan dirinya resmi menjadi seorang janda terjadi hari ini. Seharusnya ia mendapatkan bantuan Tuan Daniel, pengacara Almarhum Tuan besar Adijaya. namun entah, sosok pria paruh baya itu tidak hadir hingga persidangan terakhirnya ini. "Reyn, kumohon, beri aku keringanan agar selalu dapat bertemu dengan putraku." Pinta Olivia kala mereka telah selesai menjalani sidang perceraian mereka. "Jangan Harap Oliv, kau bilang sangat enggan menerima harta waris
5 Bulan berlalu begitu cepat bagi seorang Olivia, tentu saja hal itu dirasa terlalu singkat untuk kebersamaannya bersama sang buah hati. Selama dalam pengasuhan Oliv, Keenan kecil sangat baik, tidak rewel sama sekali. Mungkin, karena instingnya bersama sang ibunda membuatnya merasa tenang, nyaman dan aman. Begitu pula dengan Olivia, kebersamaannya bersama Keenan membuatnya serasa sangat bahagia, tak ingin semuanya berlalu, tapi apa mau dikata, malang tak dapat ditolak. subuh ini, ia sudah bersiap membereskan semua pakaian dan perlengkapan miliknya. Ia harus menghadiri sidang perceraiannya siang ini di pengadilan agama. Apa yang diucapkan Reynald kala itu benar-benar terjadi, tepat 5 bulan sejak kejadian itu, suaminya benar-benar memberikannya surat perceraian. "kau harus menjadi anak yang kuat nak, ibu akan tetap menyayangi mu tak peduli dimanapun ibu berada." Bisik Olivia pada sang putra yang terlihat sedang tertidur lelap. "ibu harap kau tidak melupakan ibu nak jika suatu
Beberapa menit berlalu, tak terasa putra yang berada dalam dekapan hangatnya itu pun telah tertidur lelap. tersenyum hangat, tangan Olivia membelai lembut pipi halus putra tampannya itu. Tubuh oliv menegang kala mendengar suara teguran dari arah belakang, "Cepat masuk, taruh anak ku di kamarnya." Ucap dingin pria itu, "Reyn, apa, anak kita ini sudah di beri nama?" tanya Olivia pada Reynald, "Jangan, berani, sebut bayi ini anak kita di depan siapapun mulai saat ini. Paham!" Ancam Reynald, "tapi dia juga anak ku Reyn, sampai kapanpun itu, ini adalah darah dagingku, aku yang mengandungnya selama ini dan melahirkannya langsung Reyn!" Geram Olivia, dia merasa ini sudah sangat keterlaluan, putra dalam pelukannya inilah yang ia kandung selama 9 bulan kemarin. "setidaknya biarkan aku yang memberikannya nama pada putra ku Reyn, aku tidak akan meminta lebih." Bujuk Olivia, "Baiklah, ku beri kau waktu 5bulan untuk bisa bersamanya, namun, setelah waktu itu habis, jangan pernah mem
Hari-harinya Olivia kini terasa lebih hampa dari biasanya, perut besarnya kini sudah tidak ada, kegiatannya dalam bekerja memang terasa lebih ringan, tapi langkahnya selalu terasa lebih berat dari biasanya. Sedari subuh ia sudah beraktifitas di paviliun itu, membersihkan segala sesuatunya disana. Saat sedang serius membersihkan area dapur, tiba-tiba suara Lily yang menegurnya membuat kegiatannya terhenti. "Kau disuruh Nyonya untuk membuat sarapan di rumah besar saat ini juga." Ujarnya dengan ketus. "sekarang masih jam 6?" Tanya Olivia, "ya mana aku tau, nyonya besar sendiri yang tadi memintaku memberitahumu." Ucap Lily sambil melangkah keluar meninggalkan Olivia yang masih merasa bingung. Tapi, tanpa berpikir lama, ia pun beranjak dari paviliun itu menuju rumah utama. Baru beberapa langkah kakinya memasuki rumah besar itu dari area dapur, sudah terdengar jelas ditelinganya suara tangisan kencang bayi, langkah kakinya sontak terhenti, ia yakin bahwa itu adalah suara anaknya
Terbangun dari rasa tidurnya, Olivia mengerjapkan matanya secara perlahan. rasa pusing dikepalanya selalu muncul kala ia berusaha menggerakkan tubuhnya. Ryan, pria itu ada menemani Olivia yang masih pingsan akibat proses melahirkannya. Ia cukup shock ketika tadi melihat kedua majikannya itu bersitegang dengan Olivia. keduanya memaksa dan langsung membawa bayi yang baru saja dilahirkan itu. semua kejadian itu dilihat oleh Ryan dan dokter itu tanpa bisa melakukan pembelaan terhadap sosok Olivia. Merasa ada pergerakan dari ranjang disebelahnya, ia pun dengan cepat menghampiri wanita yang masih terlihat pucat dan lemah itu. "Kau sudah siuman, apa kau haus?" Tanya Ryan kala melihat tangan Olivia meraba-raba sekeliling ranjangnya. "Anakku, dimana bayiku Ryan? aku mohon kembalikan bayiku!" Pekik Olivia, dia tidak melupakan apa yang telah terjadi padanya kala masih tersadar tadi. Suaminya dan bahkan ibu Reynald tadi sungguh memaksa sang dokter agar segera melakukan persalinan, pad
Hari ini merupakan hari yang ditunggu oleh Olivia, dirinya tak menyangka bahwa ia akan segera bertemu sang penguat hidupnya. Meski sakit terus mendera tubuhnya yang kini telah terbaring di ranjangnya, merupakan saksi bisu yang selalu menemani tangis malamnya. Masih menunggu Ryan yang sedang memanggilkan seorang dokter kandungan, dirinya terus menguatkan dirinya sendiri. berkata pada sang buah hati sambil mengusap pelan permukaan perutnya. gerakan tangannya sempat melemah kala kontraksi di perutnya semakin menjadi, " Ya Allah,, lama sekali, apa Ryan belum bertemu dokter kandungannya." gumamnya, Dahinya sudah basah akibat bulir-bulir keringat yang awalnya sedikit, kini telah mengucur deras. Berusaha mengatur pernafasannya, menarik ulur oksigen yang keluar masuk dengan hidung dan mulutnya dengan teratur. Pintu kamarnya terbuka, berharap itu Dokter kandungan yang dibawa oleh Ryan. Namun, harapan hanyalah harapan, lain dengan kenyataan. Terkejut kala ia justru melihat Reynald dan Fa
Beberapa bulan sungguh dirasa sangat berat bagi seorang Olivia, di masa kehamilannya yang terbilang sudah besar, kini ia tinggal menunggu saatnya melahirkan.Dirinya tak pernah diizinkan keluar dari paviliun itu hanya untuk sekedar memeriksakan kehamilannya. seburuk apapun situasi yang dialami kehamilannya, pasti mereka yang mendatangkan dokter itu ke paviliun, tidak boleh menginjakkan kakinya keluar barang sedetikpun."Oliv...Olivia? kau baik-baik saja?" Suara Ryan terdengar dari balik pintu kamarnya. Selama ini, hanya sosok Ryan yang selalu memberanikan diri untuk menolongnya. tangannya tak berhenti mengetuk pintu itu sebelum ia mendengar jawaban dari dalam. Ia tidak ingin apa yang menimpa wanita hamil itu pada beberapa waktu ke belakang, saat Olivia mengalami kontraksi yang teramat sangat.Olivia kala itu mendapat perintah dari Farida dan Jennifer untuk mencuci mobil milik keduanya. tubuh ringkih namun perut yang telah terlihat besar itu di temukan dalam keadaan tidak sadar, den