**
"Usianya baru empat minggu. Memang belum terlambat untuk memutuskan sekarang, tapi sekali lagi, saya nggak mendukung hal tersebut. Bagaimanapun, dia nggak bisa disalahkan dan kemudian harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kamu."
Kata-kata dokter itu terus terngiang-ngiang dalam benak Inara. Berputar dalam kepala dan menggores rasa kemanusiaannya dengan tajam.
Kemarin, Ibu Yanti memang menemaninya ke dokter kandungan seperti yang dirinya minta. Namun, Inara belum jadi menggugurkan janinnya saat itu juga, karena bujukan wanita itu. "Semua terserah kamu, Nak. Kamu yang menjalani semua ini. Walau jika memang harus berpendapat, Ibu jelas memilih jangan. Benar kata dokter, bayi ini nggak berdosa. Dia tetap anugerah dari Tuhan, walaupun kamu mendapatkannya dengan cara yang tidak benar."Ah, tapi untuk apa pula dipikirkan lebih lanjut? Untuk siapa ia berkeberatan? Anak itu hanya akan menjadi aib jika suatu saat harus lahir. Bahkan sampai matahari terbit dari barat pun, Inara yakin Gavin tidak akan pernah mau mengakuinya.
Benar sekali, ia tidak perlu memikirkan apa-apa lagi. Sebelum janinnya semakin tumbuh membesar.
“ … Inara!”
“Ra!”
Gadis manis itu sontak terkesiap, sementara cepat-cepat menoleh ke arah suara. Salah seorang temannya sedang memanggil dengan wajah kesal sebab Inara sama sekali tidak mendengar.
"Maaf aku nggak dengar," ucap gadis itu dengan tidak enak hati.
"Pulang ajalah sana kalo kamu dateng kerja cuma buat ngelamun! Masa aku manggil sampai beberapa kali, bengong mulu!"
"Maaf." Inara menelan saliva, kepalanya seketika pusing jika mendengar suara keras atau bentakan seperti barusan. "Ada apa?"
"Pak Gavin manggil kamu ke ruangannya sekarang. Cepet ke sana sebelum kamu kena marah!"
“Pak Gavin?” Inara terkesiap untuk kedua kalinya. Seketika hatinya mencelos mendengar nama itu.
“Cepet, Inara. Jangan kayak orang bodoh begitu. Kamu tahu sendiri Pak Gavin orangnya nggak sabaran.”
Inara hanya bisa mengangguk. Dengan langkah lunglai, perempuan itu pun bangkit dari kursi pantry untuk menuju ruangan sang CEO pemimpin perusahaan di lantai lima. Ia berusaha menahan tangis, sebab perasaannya yang semakin tidak menentu.
Gavin. Nama itu membangkitkan rasa nyeri di hati Inara setiap kali mengingatnya. Mengapa ia harus menemuinya di saat seperti ini? Jika saja bisa, ia pasti sudah memilih mangkir dari panggilan itu."Selamat siang." Inara mengetuk pintu perlahan sembari menarik napas panjang sebelum membukanya. Seketika ia menunduk dan mengalihkan pandangan saat terlihat sosok itu, yang sedang berdiri di depan dinding kaca. “Bapak memanggil saya? Apa ada yang harus saya kerjakan?"
"Sepuluh menit lagi ada tamu," kata Gavin singkat.
Inara terpaksa mengangkat wajah dan melayangkan pandangan sekilas. Pria itu hanya sedang berdiri di sana, di seberang ruangannya dengan ponsel di tangan–tanpa sedikitpun memandang ke arah Inara. Ia berujar dengan wajah datar tanpa warna, seakan tak peduli dengan dunia dan isinya."Siapkan sesuatu buat tamunya. Ada dua orang perempuan. Sepuluh menit dari sekarang, jangan kelamaan," perintahnya lagi.Inara hanya mampu mengangguk, mengiyakan dengan suara pelan. Kemudian membungkuk penuh hormat sebelum berlalu meninggalkan ruangan besar yang megah itu.
Tadi, ia sempat membayangkan dirinya berbicara dengan Gavin di sana–memberitahu lelaki itu bahwa dirinya sedang mengandung hasil perbuatannya dan memintanya bertanggung jawab. Namun, semua itu ditepisnya. Entah bagaimana rasanya justru konyol sekali. Inara dapat membayangkan Gavin Devano Sanjaya bisa saja menghempaskannya bagai debu, atau justru menuduhnya mabuk dan semacam itu. Membayangkannya saja, rasanya sudah terlampau mengerikan.Sepuluh menit kemudian, Inara kembali lagi dengan nampan berisi minuman di tangannya. Begitu ia membuka pintu, para tamu itu ternyata sudah berada di sana. Dua orang perempuan yang terlihat seperti ibu dan anak. Sama-sama cantik dan modis, khas orang kalangan atas.
Nah, entah karena pusingnya sudah sulit dikondisikan atau memang sedang terlalu gugup, tangan gemetar Inara nyaris saja menjatuhkan cangkir berisi minuman panas itu. Beruntung, masih nyaris dan belum terjadi.
"Apa kamu nggak bisa kerja? Gimana kalau airnya tumpah dan kena aku?" Perempuan yang lebih muda menghardik dengan keras, hingga Inara tersentak kaget. Ia sama sekali tidak berani mengangkat wajah. Menunduk dalam-dalam saat melanjutkan menghidangkan minumannya di atas meja.
"Ma-maaf. Saya nggak sengaja, Nona–"
"Bisa-bisanya orang ceroboh begini diterima kerja di perusahaan besar seperti ini?" Kini, wanita yang lebih tua menimpali. "Gavin, kamu kayaknya harus lebih selektif memilih pekerja. Lihat, gimana kalau sampai Jessica terluka? Sama tamu loh, padahal. Dia bisa kurang ajar begini."
"Ah, maaf." Gavin berucap malas dengan suaranya dan tegas dan dalam. Ekor matanya sempat mengerling Inara yang ketakutan. "Akan saya tegur dia nanti. Mungkin anak baru."
Inara sontak menunduk dalam-dalam seraya melangkah mundur. Ia meremas tangannya yang kembali gemetar. Ditambah rasa pusing yang sedari tadi tak hilang-hilang juga, ia berdoa sepenuh hati agar tidak pingsan di tempat itu.
"Harus! Calon nyonya Gavin nggak boleh sampai terluka, dong! Apa kata orang-orang kalau sampai lihat tangan Jessica nggak cantik lagi, nanti? Ke depannya kan dia yang akan temani kamu kalau ada pertemuan dengan klien besar atau perjalanan bisnis ke luar kota."
Sekali lagi, Inara terkesiap. Wanita itu menyebut calon nyonya Gavin? Berarti perempuan cantik yang nyaris terkena air panas tadi adalah—
"Ngapain Kamu masih berdiri di situ? Kamu mau nguping? Nggak sopan banget ikut nyimak pembicaraan orang. Sana, pergi!" hardik perempuan yang lebih tua kembali tanpa perasaan. Ia mengayunkan tangan dengan pandangan penuh cela, seakan Inara adalah pemandangan buruk yang hanya merusak suasana.
Gadis itu hanya mampu mengangguk sekali lagi sebelum melangkah keluar ruangan sembari membawa beban pikiran baru dalam kepalanya.
Gavin sudah memiliki calon istri? Kalau begitu benar keputusan awalnya untuk menggagalkan kehamilan ini. Apa lagi yang bisa diharapkan?"Benar-benar mustahil kalau sampai aku mengaku hamil kepada manusia semacam Gavin. Aku akan datang lagi ke rumah sakit, semua ini harus segera diselesaikan."
**
"Ibu, aku udah bulat sama keputusanku," ujar Inara dengan wajah mendung begitu tiba di panti asuhan sore itu. "Ibu bisa bantu cari dokter atau bidan yang bersedia, nggak? Secepat mungkin."
Perempuan setengah baya yang tengah memasak itu sontak beralih dari depan kompor. Ia memandang iba kepada Inara. "Kamu yakin, Nak? Emang bener-bener nggak mau bicara dulu sama si ... bos itu? Bapaknya si jabang bayi?"
Inara menggeleng lesu. "Sudah aku bilang, Bu, dia sama sekali nggak mengingatku. Dia bahkan kelihatannya mau menikah."
"Gimana, Ra?"
"Tadi calon istrinya ke kantor." Inara menunduk dalam. Hatinya seperti tercabik-cabik saat mengingat kembali perempuan cantik yang membentaknya tadi siang. Ia menggeleng lirih. "Aku nggak tau kenapa harus aku sendirian yang menanggung ini, Bu. Kenapa dia sama sekali nggak terlihat merasa bersalah? Dia sama sekali nggak ingat sama aku yang sudah dia hancurkan seperti ini."
Air mata gadis itu kembali berjatuhan. Ia membiarkan tubuh kecilnya jatuh terduduk di kursi dapur, tak bisa membendung rasa kalut dan putus asa.
"Sudah, sudah jangan nangis, Nak. Nanti kita cari lagi solusinya sama-sama, ya." Ibu Yanti menepuk-nepuk pundak gadis itu dengan lembut. "Kamu sekarang mandi dulu, terus kita makan sama adik-adikmu. Ini hari Selasa, jadi mungkin nanti kepala panti akan datang berkunjung. Jangan kelihatan berantakan ya, Nak? Nanti malam kita bicara lagi. Ibu pasti akan bantu sebesar yang ibu bisa lakukan."
Inara membersit air matanya. Ia mengangguk dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, kemudian bergegas menuju kamar mandi. Dunia memang tidak pernah adil kepada orang-orang sepertinya, tapi bukan berarti segalanya harus berhenti di sini, kan?
Inara mengangguk kepada dirinya sendiri. Menggugurkan janin dalam kandungannya mungkin memang jawaban yang tepat.
Dipandangnya perutnya yang masih datar itu dengan berbagai macam emosi. “Maaf, ya ….”
***
** "Ada apa denganmu? Kamu sakit?" Ibu kepala pengelola panti asuhan bertanya dengan wajah heran, pada malam harinya ketika mereka semua sedang makan malam bersama. Inara sontak menggeleng gugup. Nyaris saja ia tersedak. "Ng-nggak, Bu. Saya nggak sakit, kok. Saya sehat." "Tapi, kamu kelihatan pucat sekali.” Perempuan yang berusia sebaya dengan Ibu Yanti itu menatap Inara dengan seksama–membuat yang bersangkutan gugup luar biasa. Sungguh, Inara merasa seperti ditelanjangi hanya dengan tatapan penuh telisik seperti itu. “Sudah periksa ke dokter? Serius, kamu kelihatan lagi nggak sehat.” "Saya baik-baik aja, Bu,” balas Inara cepat, “Mungkin, ini hanya kecapekan, karena saya bekerja sekarang." "Ah, begitu?" Wanita itu masih pula menatap penuh telisik, sementara Inara mengangguk kecil. "Kamu harus jaga kesehatan, Inara. Karena kamu adalah kakak yang paling tua di panti asuhan ini dan bertanggung jawab membantu adik-adikmu. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Mereka semua masih kecil." Ibu
[Lima tahun kemudian]“Siapkan saja mobilnya. Nanti saja di jalan, baru aku pikirkan aku mau ke mana.” Gavin Devano Sanjaya berdiri dari atas kursinya setelah mematikan ponsel. Ia menyimpan benda pipih itu di dalam saku, mengancingkan blazer seraya melangkah menuju pintu. Belum sampai ia menyentuh handle, seseorang dari balik ruangan sudah mendorong pintunya hingga terbuka. “Gavin!” Tanpa sadar lelaki itu mendesis tidak sabar. Ia memandang acuh kepada perempuan cantik yang baru saja muncul dan mencegat langkahnya. “Gavin, kamu mau ke mana? Aku bawakan makan siang.” “Aku ditunggu driver di bawah, maaf Jes.” “Tap– Gavin!” Lelaki rupawan itu mengayun langkah cepat menuju pintu lift di ujung ruangan. Dalam hati membatin dengan jengkel, harus ke kolong langit sebelah mana lagi ia pergi agar perempuan bernama Jessica itu tidak terus mengekorinya. Sebelum Jessica sempat menyusul hingga ke basement, Gavin segera memasuki mobil yang sudah siap menunggu. “Kita jalan ke mana, Pak?” tany
** Inara masih berdiri di tempatnya. tak bergerak sedikitpun, seakan kedua kakinya tertancap ke dalam lantai tempat ia berpijak saat ini. Kedua bola matanya yang bergetar memandang lurus kepada entitas tampan yang juga sedang memandang dirinya itu, hanya saja bedanya, manusia rupawan itu memandang dengan wajah seperti berusaha mengingat sesuatu. Tidak salah lagi. Itu Gavin Devano Sanjaya, mantan atasannya, CEO SR Corp yang namanya tersohor ke seantero negeri. Inara merasa pembuluh darahnya mendadak menyempit. Apa yang dilakukan lelaki itu di sini? “Mama? Mama!” Tarikan kecil pada ujung blusnya membuat Inara kembali tersadar. “Mama, kok malah diam?” “Aylin, kamu dari mana saja? Kenapa sudah keluar rumah pagi-pagi begini?” Inara mengalihkan perhatian kepada putri kecilnya untuk menetralkan degup jantung yang menggila. “Aylin main. Cuma main, kok.” Gadis cilik yang ternyata bernama Aylin itu membalas pandangan dengan takut-takut. “Ja-jadi, apa boleh Omnya duduk? Kasihan, Mama. Be
Gavin tercenung di depan meja kerjanya. Awangnya berkelana, teringat pada seraut wajah yang nyatanya timbul tenggelam dalam ingatannya. Ia tidak sepenuhnya melupakan raut itu.'Gadis itu? Office girl yang waktu itu?' Lelaki itu lantas meraih ponsel dan mendial satu nomor. Setelah menunggu beberapa saat, suara yang familiar terdengar dari seberang. “Halo?” “Aldo, ke kantor gue sekarang. Gue butuh informasi.” “Kenapa nggak langsung tanya aja ada apa?” “Sekarang.” Gavin matikan ponselnya, kemudian menyandarkan punggung pada kursi kerja. Kembali berpikir-pikir kemungkinan yang paling tidak mungkin. Sepuluh menit kemudian, Aldo membuka pintu ruangannya tanpa mengetuk dulu. “Ada apaan?” tanya pria itu, masih menyisakan raut kesal pada wajahnya. “Al, lo inget nggak sama perempuan panggilan yang lo cariin buat gue, kira-kira empat atau lima tahun yang lalu?” Aldo sontak ternganga. Gavin menyuruhnya datang segera saat jam-jam sibuk, hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak masuk
**Hari masih sangat pagi dan matahari belum lagi terbit saat Inara membangunkan Aylin. Dengan wajah yang cemas, perempuan itu mengemasi barang-barang penting yang ia perlukan.“Mau ke mana?” tanya sang putri kecil dengan kerutan halus di dahi.“Pergi sebentar, Nak.” Inara tersenyum, mengusap rambut gadis cilik itu. Berusaha tetap tenang meski dalam hati rasanya ingin segera pergi meninggalkan tempat yang ia rasa tak lagi aman. “Aylin mandi sendiri, ya. Mama akan siapkan baju-baju kamu.”“Kita mau pergi ke mana, Mama?”Entahlah, batin Inara gusar. Semuanya begitu mendadak sehingga ia tak punya banyak waktu untuk memutuskan akan pergi ke mana. Asal segera menyingkir dari tempat ini dulu saja, nanti sisanya akan ia pikirkan belakangan.“Nanti Mama kasih tahu kalau sudah di jalan, ya. Cepat ke kamar mandi, nanti kita ketinggalan kereta.”Aylin anak yang penurut. Meski ia punya banyak pertanyaan, ia memilih melaksanakan dulu apa yang dikatakan ibunya ; pergi ke kamar mandi dan membersihka
**“Apa maksudmu akan membawakan seorang pewaris?” Jessica Freya bertanya dengan nada penuh tuntutan setelah Riani Sanjaya meninggalkannya berdua saja dengan Gavin di dalam ruangan pribadinya.Lelaki itu melirik sekilas dari balik layar laptop. Hanya sekilas, sebelum Gavin mengembalikan atensi kepada layar datar di depan wajahnya.“Apa kata-kataku kurang jelas? Aku akan membawa pulang pewarisku, jadi kita tidak perlu menikah.”“Kamu nggak punya, Vin. Jangan mengada-ada. Aku adalah satu-satunya yang dipilih keluargamu untuk melahirkan pewaris itu.”“Tapi aku sendiri tidak pernah memilihmu, Jessica. Sorry.”Kerutan halus menghiasi kening Jessica. Perempuan high class itu berdecak dengan kedua hasta terlipat di dada. Setengahnya tak habis pikir, kurang apalagi dirinya sehingga Gavin sama sekali tidak tertarik? Sudah lima tahun ia berjuang untuk merebut hati lelaki tampan itu, namun sedikitpun Gavin tak pernah memberikan kesempatan untuknya mendekat. Sebatu itu hati Gavin.“Nggak mungki
**Kedua bola mata Inara sontak melebar setelah mendengar itu. Ia yang awalnya sangat ketakutan dengan keberadaan Gavin di sana, mendadak kehilangan rasa dan justru berganti menjadi emosi."Siapa yang bilang dia putri anda, Tuan Direktur yang terhormat?" ujarnya dengan suara dingin yang sarat kebencian. "Saya sama sekali belum lupa dengan apa yang anda lakukan kepada saya, lima tahun yang lalu.""Jadi benar, kan? Perempuan yang menuntut pertanggung jawaban dariku lima tahun yang lalu adalah dirimu?"Rahang Inara mengeras. Emosi kian menggelegak di dalam dadanya kala menangkap senyum penuh kemenangan dalam wajah rupawan lelaki di hadapannya."Dia putriku.""Sama sekali bukan! Anda bahkan tidak ingat pernah menanamkan benih ke dalam rahim saya!""Kita buktikan dengan tes DNA. Jika gadis kecil itu memang bukan putriku, maka aku tidak akan pernah mengusikmu lagi. Akan aku berikan kompensasi atas segala kerugian yang kau derita."Kedua jemari Inara mengepal dengan kuat. Rasa tidak terima i
**“Mama, sakit ….”Inara sungguh tidak mampu menahan isak tangis. Ia menggenggam erat tangan sang putri yang berlumuran darah. Air matanya berjatuhan menetesi tubuh gadis kecilnya yang terkulai lemah.“Sabar sebentar, Sayang. Sebentar lagi kita sampai.”Mobil itu berbelok ke pelataran rumah sakit pertama yang berhasil ditemukan. Berhenti di depan gate UGD, yang mana Inara segera membopong tubuh putrinya ke dalam ruangan. Beberapa perawat yang sudah terlatih, menyambut dengan cekatan dan segera memberikan pertolongan pada gadis cilik itu.“Tolong putri saya. Dia kecelakaan, jatuh terbentur ….”“Ibu tenang dulu, tenang. Kami akan menangani segera. Permisi dulu sebentar.” Seorang perawat perempuan melepaskan tautan jemari Inara dengan Aylin.“Mama ….”Isak tangis perempuan itu tak lagi terbendung saat pegangan tangannya dengan sang putri terlepas. Ia mundur, menyaksikan tubuh mungil tak berdaya itu berusaha bertahan hidup.“Ya Tuhan, putriku ….”“Maaf, kami hanya bisa mengantar sampai d
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be