**
"Ada apa denganmu? Kamu sakit?" Ibu kepala pengelola panti asuhan bertanya dengan wajah heran, pada malam harinya ketika mereka semua sedang makan malam bersama.
Inara sontak menggeleng gugup. Nyaris saja ia tersedak. "Ng-nggak, Bu. Saya nggak sakit, kok. Saya sehat."
"Tapi, kamu kelihatan pucat sekali.” Perempuan yang berusia sebaya dengan Ibu Yanti itu menatap Inara dengan seksama–membuat yang bersangkutan gugup luar biasa. Sungguh, Inara merasa seperti ditelanjangi hanya dengan tatapan penuh telisik seperti itu. “Sudah periksa ke dokter? Serius, kamu kelihatan lagi nggak sehat.”
"Saya baik-baik aja, Bu,” balas Inara cepat, “Mungkin, ini hanya kecapekan, karena saya bekerja sekarang."
"Ah, begitu?" Wanita itu masih pula menatap penuh telisik, sementara Inara mengangguk kecil. "Kamu harus jaga kesehatan, Inara. Karena kamu adalah kakak yang paling tua di panti asuhan ini dan bertanggung jawab membantu adik-adikmu. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Mereka semua masih kecil."
Ibu pengelola mengedarkan pandangan kepada sejumlah anak-anak yang duduk tenang mengelilingi meja makan. Wanita itu berdehem singkat, lalu menyunggingkan senyum di bibirnya yang bergincu tebal. Ia terlihat seperti tokoh antagonis dalam drama, meski sesungguhnya orangnya cukup baik. Hanya kadang agak terlalu tegas dan banyak permintaan saja.
"Sebagai kakak tertua, kamu juga harus bisa kasih contoh baik buat mereka. Panti asuhan ini terkenal dengan anak-anaknya yang berperilaku baik,” tambah wanita itu.
Hati Inara mencelos mendengar kata-kata yang entah mengapa kini terdengar seperti sebuah sindiran halus. Ia meraih gelas berisi air putih dan meneguk isinya sedikit. Dadanya terasa agak sesak karenanya.
"Jangan sampai satu kelakuan buruk merusak nama baik panti asuhan. Bukannya saya jahat, tapi saya bener-bener nggak akan toleransi dengan siapapun yang secara sengaja melanggar peraturan.” Wanita itu berujar lagi seraya mengedarkan pandang kembali kepada anak-anak yang masih makan dengan tenang. Tentu saja sebagian dari mereka tidak paham apa artinya, sebab masih terlalu kecil.
Inara menelan saliva dengan pahit. Ia mengerling kepada Ibu Yanti, yang ternyata juga sedang meliriknya. Sedang bertukar pesan secara nonverbal. Wanita baik hati itu kemudian melayangkan seulas senyum tipis untuk menentramkan hati Inara.
‘Segera. Aku harus segera cari cara buat menggagalkan kehamilan ini. Demi Tuhan, aku nggak mau mengandung, apalagi dari laki-laki seperti Gavin!’ batin gadis itu, menguatkan diri.
Hari masih begitu pagi saat Inara menyeret tubuh lemasnya menuju kamar mandi. Ia membungkuk di atas wastafel, sementara rasa mual yang hebat mendorong semua isi perutnya ke atas dan berakhir membuatnya muntah-muntah.
“Inara!” Seruan pelan Ibu Yanti tidak membuat gadis itu menoleh. Ia masih berdiri di depan wastafel, menuntaskan rasa mual yang belakangan kerap mengganggunya setiap bangun tidur. “Inara, kamu nggak apa-apa?”
“Bu, perutku nggak enak. Rasanya mual banget.”
Wanita separuh baya itu memandang dengan trenyuh. Ia memijat pelan tengkuk si gadis dan membiarkannya kembali membungkuk di depan wastafel.
“Habis ini Ibu bikinkan teh panas. Kalau masih mual, jangan masuk kerja dulu, ya.”
Inara menegakkan tubuh setelah selesai, mengusap air mata yang jatuh menuruni pipinya.
“Nggak apa-apa, Nak. Ini normal, kok,” hibur Bu Yanti, sementara membawanya keluar dari kamar mandi. “Orang hamil muda semuanya begini. Ibu dulu juga begini. Nanti kalau udah empat bulan ke atas, nggak akan mual lagi.”
“Inara!”
Gadis itu baru akan mengatakan jika ia tidak akan mempertahankan kehamilannya –apalagi sampai empat bulan, sebelum suara seruan keras membuatnya dan Ibu Yanti terlonjak kaget.
“Apa-apaan ini? Kamu hamil?” Ibu Pengelola panti berdiri tak jauh darinya dengan kedua mata terbelalak. “Baru semalam saya bilang, kamu harus kasih contoh yang baik karena kamu kakak tertua, dan pagi ini kamu menunjukkan contohnya?”
Tubuh Inara seperti membatu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Ibu Pengelola masih berada di sini.
“B-Bu, saya nggak–”
“Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, kamu muntah-muntah. Saya juga dengar semua percakapan kalian. Masih mau mengelak?”
Gadis itu hanya bisa menunduk akhirnya. Ia berusaha menahan isak tangis, sementara Bu Yanti mencoba membantu menjelaskan semuanya.
Tapi apa yang Inara dapatkan?
“Saya sudah bilang semalam, nggak akan kasih toleransi sama siapapun yang melanggar peraturan. Bisa kamu bayangkan bagaimana pandangan orang, dan bagaimana pengaruh yang kamu sebabkan sama anak-anak lain kalau kamu tetap di sini?’
“Bu ….”
“Maaf Inara, kamu nggak bisa tinggal di sini lagi dengan keadaan kamu yang seperti itu.”
*
Dan berada di sanalah Inara sekarang. Ia mengetuk pelan pintu ruangan Gavin yang terletak di lantai lima. Seluruh tubuhnya gemetar hebat sampai ia merasa akan pingsan. Hingga kemudian saat terdengar suara yang menyuruhnya masuk, ia mendorong terbuka pintu tersebut.
Ia di sana, pria itu. Berdiri di depan dinding kaca seperti patung dewa.
“Ada apa?” tanya pria itu sembari mengernyit heran, sebab tidak merasa memanggil office girl.
“Saya mau bicara sesuatu, Pak.” Inara menelan saliva, membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Ia meremas bagian bawah bajunya, berusaha menguatkan diri sendiri.
“Cepat sampaikan, aku sibuk. Sebaiknya kau tidak buang-buang waktuku.”
Inara nyaris menangis. Betapa arogan pria ini. Jika bukan karena begitu membutuhkan, Inara tidak akan pernah berdiri di sini. Gadis itu menarik napas sebelum berujar, “Saya mau minta pertanggung jawaban dari Pak Gavin.”
“Pertanggung jawaban? Apa maksudnya?”
“S-saya hamil … karena anda.”
Jeda hening selama beberapa saat. Sampai kemudian pria di seberang ruangan itu mendengus tertawa. Ia memandang Inara dengan mata menyipit
“Aku bilang jangan buang-buang waktuku.”
“Apakah anda tidak ingat dengan saya sama sekali? Masa depan saya sudah anda hancurkan, Pak Gavin!”
Gadis itu tergugu, tidak lagi bisa menahan isak tangisnya. Ia menekan dadanya yang seperti akan meledak, dan Gavin sendiri masih tertegun di seberang ruangan.
“Aku sama sekali tidak mengenalmu! Bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu.”
“A-anda merebut kehormatan saya malam itu!” Inara menggeleng putus asa. Air matanya deras berjatuhan. “Sekarang saya hamil karena anda, Pak!”
“Astaga ….” Gavin mendesis jengkel, “Sebutkan berapa yang kau inginkan. Setelah itu menyingkir dari hadapanku.”
Inara kembali terperangah, merasa seperti ditampar. Serendah itu pria ini memandang dirinya. Ia menggeleng keras. “Anda harus bertanggung jawab menikahi saya, Pak!”
“Jangan bercanda. Kau pikir kau siapa?”
“Pak–”
“Kalaupun pada suatu hari yang lalu aku memang pernah menyewamu, kau pikir aku bisa dibodohi? Tidak mungkin hanya aku saja yang menyewa gadis sepertimu, kan? Astaga, benar. Aku akan memperingatkan bagian personalia agar lebih selektif menerima pegawai sesudah ini.”
Hancur lebur rasanya hati Inara saat mendapat tuduhan seperti itu. Ia tidak masalah jika dihina hanya karena miskin dan yatim piatu, tapi penghinaan yang seperti ini sungguh membuat hatinya remuk redam.
Apalagi yang ditunggunya di sana? Gadis itu perlahan mundur, keluar dari ruangan Gavin dengan air mata berderai-derai.
Rasanya, tidak ada gunanya lagi pergi ke rumah sakit dan mengaborsi janinnya secara legal.
Toh, Ibu Kepala panti sudah mengetahui semuanya.
Pun Gavin, yang nyatanya menolak mentah-mentah dan kini memandang Inara sebagai perempuan penjaja tubuh. Tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Segalanya sudah berakhir.
Inara berdiri di depan pembatas jalan. Nun di bawah sana, sungai mengalir deras dengan airnya yang berjeram-jeram. Ia diam dengan pandangan kosong. Untuk siapa lagi ia bertahan? Hidupnya tidak berharga bagi siapapun.
Gadis itu melangkah maju, memanjat tembok pembatas dan berdiri linglung di atasnya. Ia siap melompat dalam satu tarikan napas.
“Inara! Ya Tuhan!”
Satu kaki itu sudah mengayun, ketika kemudian tubuh kecilnya ditarik paksa hingga jatuh terjerembab.
“Inara, sadar!” Ibu Yanti mencengkeram kedua bahu gadis itu dan mengguncangnya pelan.. “Apa yang kamu lakukan? Sadar, Nak!”
“Ibu … kenapa nggak biarkan aku mati saja?” Kedua manik hitam yang tadi terlihat kosong, kini terlihat mengerjap. Air mata luruh perlahan dari dalamnya.
“Ini bukan salah kamu dan bayi dalam perutmu! Nggak seharusnya kamu menebusnya dengan mengakhiri hidup, Inara!”
“Ibu ….”
“Inara, Ibu mohon, Nak. Biarkan dia hidup! Pergilah yang jauh, tapi tetaplah hidup. Tetaplah hidup, kalian berdua!”
Lama Ibu Yanti membujuk Inara, hingga akhirnya keduanya pulang.
Wanita itu pun membawa Inara masuk ke kamarnya di panti, kemudian menutup pintunya rapat-rapat.
Ibu Yanti langsung meraih Inara ke dalam pelukannya. Ditepuk-tepuknya bahu gadis itu dengan lembut. “Ibu tahu perasaanmu, Nak. Tapi, bayi dalam perutmu sama sekali tidak tahu apa-apa."
“Tapi dia hanya akan menjadi aib, Bu. Lagi pula, Ibu Kepala sudah mengusirku. Aku harus membesarkan dia di mana?” balas Inara cepat.
Ibu Yanti memandang wajah gadis manis itu lekat dan mengusap air mata Inara. “Ibu punya adik perempuan yang tinggal sendirian di kota tempat asal Ibu. Dia akan sangat senang menerima kamu di sana. Besarkan anakmu di sana, mulailah hidup yang baru dan lupakan semua yang terjadi di sini.”
“Ibu, tapi aku ….”
“Percayalah, suatu saat nanti di masa depan, kamu akan sangat bersyukur karena memilikinya. Berjanjilah kepada Ibu, besarkan anakmu dengan baik. Ibu akan jaga baik-baik rahasia ini.”
Tangis Inara tak lagi bisa ditahan. Gadis itu kembali melemparkan tubuhnya ke dalam pelukan Ibu Yanti. Tergugu di sana, menangisi nasib yang semena-mena memperlakukan dirinya.
“Janji, Inara?”
“A-aku janji ….” Kata-kata itu terucap akhirnya.
Sesuai ucapan Ibu Yanti, Inara pun pindah dan mulai menjalani kehamilannya.
Delapan bulan kemudian, Inara bertaruh nyawa melahirkan bayinya.
Satu jam lebih berjibaku dengan keadaan, di ujung tarikan napasnya yang terakhir, bidan yang menolong berseru dengan suara takjub.
“Bayinya perempuan, Ibu. Sehat, sempurna, dan sangat-sangat cantik!”
Ketika Inara memandang pada wajah mungil kemerahan yang setengah tersenyum itu, ia tahu keputusannya mempertahankan bayi dalam kandungannya adalah pilihan yang tepat.
"Terima kasih...."
[Lima tahun kemudian]“Siapkan saja mobilnya. Nanti saja di jalan, baru aku pikirkan aku mau ke mana.” Gavin Devano Sanjaya berdiri dari atas kursinya setelah mematikan ponsel. Ia menyimpan benda pipih itu di dalam saku, mengancingkan blazer seraya melangkah menuju pintu. Belum sampai ia menyentuh handle, seseorang dari balik ruangan sudah mendorong pintunya hingga terbuka. “Gavin!” Tanpa sadar lelaki itu mendesis tidak sabar. Ia memandang acuh kepada perempuan cantik yang baru saja muncul dan mencegat langkahnya. “Gavin, kamu mau ke mana? Aku bawakan makan siang.” “Aku ditunggu driver di bawah, maaf Jes.” “Tap– Gavin!” Lelaki rupawan itu mengayun langkah cepat menuju pintu lift di ujung ruangan. Dalam hati membatin dengan jengkel, harus ke kolong langit sebelah mana lagi ia pergi agar perempuan bernama Jessica itu tidak terus mengekorinya. Sebelum Jessica sempat menyusul hingga ke basement, Gavin segera memasuki mobil yang sudah siap menunggu. “Kita jalan ke mana, Pak?” tany
** Inara masih berdiri di tempatnya. tak bergerak sedikitpun, seakan kedua kakinya tertancap ke dalam lantai tempat ia berpijak saat ini. Kedua bola matanya yang bergetar memandang lurus kepada entitas tampan yang juga sedang memandang dirinya itu, hanya saja bedanya, manusia rupawan itu memandang dengan wajah seperti berusaha mengingat sesuatu. Tidak salah lagi. Itu Gavin Devano Sanjaya, mantan atasannya, CEO SR Corp yang namanya tersohor ke seantero negeri. Inara merasa pembuluh darahnya mendadak menyempit. Apa yang dilakukan lelaki itu di sini? “Mama? Mama!” Tarikan kecil pada ujung blusnya membuat Inara kembali tersadar. “Mama, kok malah diam?” “Aylin, kamu dari mana saja? Kenapa sudah keluar rumah pagi-pagi begini?” Inara mengalihkan perhatian kepada putri kecilnya untuk menetralkan degup jantung yang menggila. “Aylin main. Cuma main, kok.” Gadis cilik yang ternyata bernama Aylin itu membalas pandangan dengan takut-takut. “Ja-jadi, apa boleh Omnya duduk? Kasihan, Mama. Be
Gavin tercenung di depan meja kerjanya. Awangnya berkelana, teringat pada seraut wajah yang nyatanya timbul tenggelam dalam ingatannya. Ia tidak sepenuhnya melupakan raut itu.'Gadis itu? Office girl yang waktu itu?' Lelaki itu lantas meraih ponsel dan mendial satu nomor. Setelah menunggu beberapa saat, suara yang familiar terdengar dari seberang. “Halo?” “Aldo, ke kantor gue sekarang. Gue butuh informasi.” “Kenapa nggak langsung tanya aja ada apa?” “Sekarang.” Gavin matikan ponselnya, kemudian menyandarkan punggung pada kursi kerja. Kembali berpikir-pikir kemungkinan yang paling tidak mungkin. Sepuluh menit kemudian, Aldo membuka pintu ruangannya tanpa mengetuk dulu. “Ada apaan?” tanya pria itu, masih menyisakan raut kesal pada wajahnya. “Al, lo inget nggak sama perempuan panggilan yang lo cariin buat gue, kira-kira empat atau lima tahun yang lalu?” Aldo sontak ternganga. Gavin menyuruhnya datang segera saat jam-jam sibuk, hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak masuk
**Hari masih sangat pagi dan matahari belum lagi terbit saat Inara membangunkan Aylin. Dengan wajah yang cemas, perempuan itu mengemasi barang-barang penting yang ia perlukan.“Mau ke mana?” tanya sang putri kecil dengan kerutan halus di dahi.“Pergi sebentar, Nak.” Inara tersenyum, mengusap rambut gadis cilik itu. Berusaha tetap tenang meski dalam hati rasanya ingin segera pergi meninggalkan tempat yang ia rasa tak lagi aman. “Aylin mandi sendiri, ya. Mama akan siapkan baju-baju kamu.”“Kita mau pergi ke mana, Mama?”Entahlah, batin Inara gusar. Semuanya begitu mendadak sehingga ia tak punya banyak waktu untuk memutuskan akan pergi ke mana. Asal segera menyingkir dari tempat ini dulu saja, nanti sisanya akan ia pikirkan belakangan.“Nanti Mama kasih tahu kalau sudah di jalan, ya. Cepat ke kamar mandi, nanti kita ketinggalan kereta.”Aylin anak yang penurut. Meski ia punya banyak pertanyaan, ia memilih melaksanakan dulu apa yang dikatakan ibunya ; pergi ke kamar mandi dan membersihka
**“Apa maksudmu akan membawakan seorang pewaris?” Jessica Freya bertanya dengan nada penuh tuntutan setelah Riani Sanjaya meninggalkannya berdua saja dengan Gavin di dalam ruangan pribadinya.Lelaki itu melirik sekilas dari balik layar laptop. Hanya sekilas, sebelum Gavin mengembalikan atensi kepada layar datar di depan wajahnya.“Apa kata-kataku kurang jelas? Aku akan membawa pulang pewarisku, jadi kita tidak perlu menikah.”“Kamu nggak punya, Vin. Jangan mengada-ada. Aku adalah satu-satunya yang dipilih keluargamu untuk melahirkan pewaris itu.”“Tapi aku sendiri tidak pernah memilihmu, Jessica. Sorry.”Kerutan halus menghiasi kening Jessica. Perempuan high class itu berdecak dengan kedua hasta terlipat di dada. Setengahnya tak habis pikir, kurang apalagi dirinya sehingga Gavin sama sekali tidak tertarik? Sudah lima tahun ia berjuang untuk merebut hati lelaki tampan itu, namun sedikitpun Gavin tak pernah memberikan kesempatan untuknya mendekat. Sebatu itu hati Gavin.“Nggak mungki
**Kedua bola mata Inara sontak melebar setelah mendengar itu. Ia yang awalnya sangat ketakutan dengan keberadaan Gavin di sana, mendadak kehilangan rasa dan justru berganti menjadi emosi."Siapa yang bilang dia putri anda, Tuan Direktur yang terhormat?" ujarnya dengan suara dingin yang sarat kebencian. "Saya sama sekali belum lupa dengan apa yang anda lakukan kepada saya, lima tahun yang lalu.""Jadi benar, kan? Perempuan yang menuntut pertanggung jawaban dariku lima tahun yang lalu adalah dirimu?"Rahang Inara mengeras. Emosi kian menggelegak di dalam dadanya kala menangkap senyum penuh kemenangan dalam wajah rupawan lelaki di hadapannya."Dia putriku.""Sama sekali bukan! Anda bahkan tidak ingat pernah menanamkan benih ke dalam rahim saya!""Kita buktikan dengan tes DNA. Jika gadis kecil itu memang bukan putriku, maka aku tidak akan pernah mengusikmu lagi. Akan aku berikan kompensasi atas segala kerugian yang kau derita."Kedua jemari Inara mengepal dengan kuat. Rasa tidak terima i
**“Mama, sakit ….”Inara sungguh tidak mampu menahan isak tangis. Ia menggenggam erat tangan sang putri yang berlumuran darah. Air matanya berjatuhan menetesi tubuh gadis kecilnya yang terkulai lemah.“Sabar sebentar, Sayang. Sebentar lagi kita sampai.”Mobil itu berbelok ke pelataran rumah sakit pertama yang berhasil ditemukan. Berhenti di depan gate UGD, yang mana Inara segera membopong tubuh putrinya ke dalam ruangan. Beberapa perawat yang sudah terlatih, menyambut dengan cekatan dan segera memberikan pertolongan pada gadis cilik itu.“Tolong putri saya. Dia kecelakaan, jatuh terbentur ….”“Ibu tenang dulu, tenang. Kami akan menangani segera. Permisi dulu sebentar.” Seorang perawat perempuan melepaskan tautan jemari Inara dengan Aylin.“Mama ….”Isak tangis perempuan itu tak lagi terbendung saat pegangan tangannya dengan sang putri terlepas. Ia mundur, menyaksikan tubuh mungil tak berdaya itu berusaha bertahan hidup.“Ya Tuhan, putriku ….”“Maaf, kami hanya bisa mengantar sampai d
**Inara berdiri berhadapan dengan sang CEO, menggigit bibir dengan seluruh tubuh gemetar, dari ujung kepala sampai kaki. Air mata masih berjatuhan dari kedua netranya yang sudah sangat bengkak.Berantakan, pucat pasi, dan tersedu sedan dengan kedua mata nyaris tidak bisa terbuka. Sesungguhnya Gavin merasa kasihan, tapi ia masih ingin melihat sejauh apa perempuan ini bertahan dengan ego dan keras kepalanya?“Kenapa anda seperti ini?” tuntut Inara kemudian. Ia mengangkat wajah, memandang Gavin dengan penuh kebencian. “Apa yang anda inginkan dari kami? Kami tidak punya apa-apa lagi. Anda sudah memiliki segalanya, Tuan Direktur. Jika anda menginginkan seorang putri, maka anda bisa menikah dan mendapatkannya dari perempuan lain. Jangan saya, dan jangan putri saya!”“Sudah kukatakan, aku hanya perlu membuktikannya. Jika ternyata dia bukan putriku, aku sudah berjanji untuk tidak mengusikmu lagi.”Tepat pada saat itu, seorang perawat perempuan masuk. Mengalihkan perhatian dua yang lain di da
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be