**Inara menatap televisi yang menyala, yang mana sedang menayangkan pemberitaan tentang Gavin dengan dirinya. Tampak pada layar kaca, dirinya yang sedang digandeng oleh sang CEO keluar dari gedung WO yang kemarin. Inara mendesis, menyadari betapa ia terlihat sangat kikuk dan menyedihkan di sana. Perempuan itu menatap nyalang kepada benda persegi tipis yang menempel di dinding dengan berbagai hal berkecamuk memenuhi benak.“Pernikahannya tinggal beberapa hari lagi …” Bergumam seorang diri dengan sorot mata kosong kepada si televisi, perempuan bersurai sepanjang bahu itu meremas-remas ujung dress yang ia kenakan dengan gelisah.Kemudian berita televisi menampilkan slide lain yang benar-benar menyita atensi Inara kali ini. Sebuah video buram yang sempat booming menghebohkan penjuru negeri beberapa waktu yang lalu, video Gavin yang mencium Inara dalam keadaan mabuk itu.“Mereka akhirnya menghubungkan dua berita itu.” Ia bergumam lagi. “Tapi nggak apa-apalah, kalau begini kan Pak Gavin ng
**Satu hari sebelum pernikahan dilaksanakan.Inara sedang menatap dengan serius iPad di tangannya. Memperhatikan setiap detail laporan tentang persiapan pernikahan yang dikirimkan para asisten Gavin kepadanya. Ah, laporan itu sebenarnya dikirim kepada Gavin, namun sebab yang bersangkutan harus mengutamakan pekerjaan kantornya, maka Gavin mempercayakan Inara yang mengambil alih hal ini. Meskipun tidak mengadakan acara besar-besaran, bukan berarti persiapannya tidak matang, kan?“Semuanya sudah sembilan puluh sembilan persen beres.” Perempuan itu mengangguk. “Undangan, gedung, semua sudah selesai. Aku harus laporkan ini sama Pak Gavin. Tapi nanti saja, tunggu jam istirahat kantor dulu biar nggak ganggu kerjanya dia.” Perempuan itu tersenyum. Memandangi foto dekorasi interior gedung pernikahan yang disertakan dalam surat elektronik yang ia baca.“Aku selalu ingin menjadi desainer interior seperti ini, tapi semesta nggak pernah mengizinkan,” gumamnya sembari masih memandangi foto itu den
**Disaksikan oleh kerabat dan beberapa rekan dekat Gavin, akhirnya janji suci itu terucap sudah. Tidak ada Riani Sanjaya di sana, yang sudah memastikan tidak akan pernah hadir apalagi memberikan restu. Pun Jessica Freya, yang sepertinya saat itu tengah patah hati berat. Hanya ada Joseph Sanjaya sebagai perwakilan dari pihak keluarga, sementara Yanti dan Maulina hadir untuk Inara.Mengingat sang mempelai pria adalah putra dari keluarga terpandang di negeri ini, pernikahan yang tidak lazim itu sudah pasti akan menjadi topik hangat di seluruh penjuru negeri sesudah ini. Semua orang berekspektasi Gavin Sanjaya akan menghelat pesta meriah untuk pelepasan masa lajangnya, namun ternyata tidak.“Kamu capek?” Pria itu bertanya dengan lembut ketika waktu sudah merangkak menuju tengah malam.Acara utama sudah selesai, dan sekarang Gavin tinggal menemui beberapa tamu-tamu pentingnya.“Kamu bisa istirahat duluan, Inara. Minta staff untuk menemani ke kamar. Aku nggak akan lama, setelah ini aku sus
**Inara masih terisak dan gemetaran ketika Gavin berusaha menghubungi Yanti dan Maulina. Hingga berkali-kali menelepon, dua orang itu tidak merespon. Baru pada percobaan ketujuh atau kedelapan, Ibu Yanti mengangkat teleponnya.“Halo?”“Ibu Yanti? Ibu, mana Aylin? Aylin ada di sana, kan? Aylin nggak kenapa-kenapa, kan?” Gavin bertanya mendesak, bahkan lupa mengucap salam pembukaan atau semacam itu.“Aylin?” Ibu Yanti menjawab dengan gugup. “T-Tuan Gavin, Aylin–”“Putriku baik-baik saja, kan? Tolong katakan putriku baik-baik saja!”“Aylin sudah tidur dari tadi, Tuan. Dia tidur bersama Maulina. Bukankah tadi Tuan sendiri yang mengantarkan Aylin masuk ke mobil saat ikut kami pulang?” Suara Ibu Yanti terdengar heran sekali.“Lihat sekali lagi dan pastikan putriku baik-baik saja. Sekarang!”Hening kemudian, namun Gavin bisa mendengar suara pelan tapak-tapak kaki di seberang sana. Ia menunggu dengan tidak sabar, sampai Bu Yanti kembali bersuara.“Sudah saya lihat, Tuan. Aylin tidur lelap di
**(Mengandung konten 21+)Inara tidak tahu ungkapan cinta dari orang yang benar-benar tulus itu seperti apa. Seumur hidup, ia terlalu menutup diri sehingga tak pernah terlibat urusan asmara dengan lelaki manapun. Namun ungkapan cinta yang ia dengar dari bibir Gavin barusan terasa seperti pelukan Ibu Yanti saat dirinya sedih. Hangat dan nyaman.Perempuan itu mendongak, menatap sepasang manik kelabu jernih milik pria yang saat ini tengah mendekapnya.“Apakah kamu juga mencintaiku, Inara?”Inara tercekat, sejujurnya tidak tahu jawaban dari pertanyaan sederhana itu. Apakah ia mencintai Gavin? seperti apa rasanya mencintai orang dalam konteks hubungan seperti ini?“S-saya nggak tahu ….”“Kamu nggak tahu bagaimana perasaanmu sendiri?”Inara kembali menatap manik yang berkilauan itu. Dari awal ia tidak bersama Gavin karena keinginannya sendiri. Bisa dibilang sebab paksaan. Namun lambat laun saat menyadari bahwa pria ini tidaklah seburuk yang terlihat, hari Inara mulai mencair.“Tapi saya se
**“Terimakasih banyak, Pak Aldo.” Inara membungkukkan kepala sedikit, mewakili Gavin yang sedang tidak bisa bicara sebab terlalu dikuasai emosi selepas menerima informasi dari sang sahabat, pemilik hotel.“Kalian bisa bikin laporan ke kantor polisi dengan tuntutan tindakan tidak menyenangkan. Barang buktinya sudah sangat jelas.”“Nggak perlu lakukan apapun, Pak. Saya sudah cukup lega dengan tahu keadaan Aylin baik-baik saja.”Gavin yang seakan baru tersadar, buru-buru menoleh kepada wanitanya setelah mendengar kata-kata itu. “Mana bisa begitu, Inara? Aku nggak terima!”“Nggak apa-apa, nanti kita omongin ini lagi, ya. Bisa kita jemput Aylin sekarang, nggak?”gavin berdecih mendapati respon Inara yang terlalu biasa-biasa saja terhadap laporan Aldo terkait pelaku teror boneka berdarah itu. Jessica Freya. Ingin rasanya Gavin terbang mendatangi Jessica saat ini juga untuk menghancurkan perempuan itu seperti ia menghancurkan boneka putrinya, namun tutur lembut sang istri seperti memadamkan
**“Inara, tetap di dalam mobil bersama Rendra. Jangan turun.” Gavin memperingatkan tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan dari sang ibu. “Aku masuk dulu. Kalau keadaan aman, baru kamu boleh menyusul ke dalam. Ah, bukan. Aku yang akan menjemputmu ke sini.”“Tolong ….” Inara menahan tangan Gavin yang sudah akan melangkah keluar dari mobil. “Jangan bertengkar sama Nyonya Sanjaya.”“Aku nggak bisa menjanjikan hal itu, tapi akan aku usahakan.” Gavin mendekat dan mengecup sebelah pipi Inara sekilas sebelum benar-benar melangkah keluar dari mobil. Dalam langkah-langkah tegas ia menghampiri sang ibu yang masih duduk bersilang kaki di sofa lobby front office. “Mami?” Gavin menyapa. “Apa yang membuat Mami berada di sini sepagi ini?”Wanita berparas ayu itu mengalihkan atensi dari layar ponselnya. Kerutan halus menghiasi keningnya saat ia memandang sang putra.“Sedang apa Mami di sini?” ulangnya retorik. “Ini kantor milik Mami, Gavin. Jadi terserah Mami mau ada di sini jam berapa.”Gavin terdi
**(Mengandung konten 21+)Di tengah konflik yang semakin memanas antara Gavin dengan ibunya dan Jessica, pria itu malah nekat membawa Inara berangkat ke Jepang untuk bulan madu singkat. Tentu saja Inara tidak bisa menolak, sebab sejak kapan Gavin bisa ditolak? Lagi pula Inara juga ingin tahu Jepang itu seperti apa.Maka malam ini, sepasang suami istri itu telah berada di dalam burung besi yang melayang di atas ketinggian tiga puluh lima ribu kaki dari permukaan bumi, untuk bertolak ke negeri matahari terbit.“Kamu baik-baik saja, Sayang? Nggak pusing, kan ?” Gavin bertanya dengan cemas kepada Inara. “Kita harus terbang selama kurang lebih delapan jam, soalnya.”“Selama itu?” Inara terbelalak.“Jepang kan bukan hanya kota sebelah, Inara. Makanya, ayo tidur saja. Nanti kita bangun kalau sudah hampir landing. Mau makan sesuatu dulu, nggak?”Inara menggeleng. Ia memandang berkeliling private jet yang sedang dirinya dan Gavin kendarai saat ini. Jujur saja, ini adalah pertama kali dalam hi