Bab 2
"Maaf, maaf Pak. Saya terlambat!" ucap Gladys menangkupkan tangannya di depan dada, seraya menatap atasan kerjanya.Karena Gladys melakukan pemeriksaan, ia jadi terlambat berangkat datang ke tempat kerjanya, sebuah hotel mewah. Ia sudah bekerja di sini selama satu tahun.Mengabaikan permintaan maaf Gladys, sang atasan masih saja tampak marah karena Gladys datang tak tepat waktu."Kamu itu bagaimana sih, Gladys!? Di saat kerjaan banyak kamu malah berleha-leha. Kamu pikir ini Hotel punya nenek moyangmu, sehingga kamu datang telat gini? Kalau kamu udah enggak mau kerja di sini, saya bisa memecat kamu sekarang juga!" bentaknya.Gladys menunduk, saat dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang karena dimarahi. "Saya minta maaf, Pak. Saya agak kurang enak badan soalnya, Pak."Pria berpakaian formal itu berdecak kesal, sementara rekan kerjanya diam-diam mentertawakan."Itu urusanmu, bukan urusan saya! Sudahlah, jangan banyak bicara, cepat kerjakan pekerjaanmu sekarang juta!" titah atasannya yang bernama Pak Daniel."B-baik, Pak. Permisi."Wanita hanya bisa mengangguk patuh. Jangan tanyakan, bagaimana perasaan Gladys saat kini. Malu? Tentu saja.Semenjak kerja di sini, ia sering mendapatkan omelan dari atasan. Namun, Gladys mewajarkan saja karena ia hanyalah seorang bawahan saja.Suka dukanya ia lewati sendiri, yang terpenting dia mendapatkan uang, untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.Jika saja ia punya kerja sampingan, ia sudah resign daripada membatin di sini.Di lantai 4, Gladys memencet bel terlebih dahulu. Setelah dipersilahkan masuk, Gladys lekas menata makanan yang ia antar pada pengunjung."Terima kasih ya, Mbak. Oh iya. Saya mau minta bantuan, tolong sekalian buang ini keluar ya," kata pengunjung tersebut. Memberikan kartu nama yang terselip di ranjang."Iya, sama-sama. Selamat menikmati hidangannya."Gladys keluar, ia mendekati tong sampah untuk membuang sebuah kartu. Entah kartu nama siapa itu.Ia penasaran, langsung melihat identitas pemilik kartu tersebut."Arnesh Aryawardhana, Direktur Rumah Sakit," gumamnya.Deg.Seketika jantung Gladys berdebar kencang. Ia baru menyadari jika ruangan yang baru saja dirinya masuki adalah ruangan yang dulu menjadi tempat kesuciannya terenggut paksa.Dia juga baru ingat, pria yang sudah menodainya pergi dan meletakkan kartu nama.Gegas ia membuang kartu nama tersebut, lantaran hatinya kembali sesak bak dihantam tombak.Setelah itu, Gladys mencoba untuk fokus bekerja tanpa mengingat sebaris nama di kartu tadi. Tapi itu tidak mudah. Semakin ingin dilupakan, semakin Gladys ingat setiap sentuhannya.Gladys tidak tahu bagaimana sampai akhirnya ditarik paksa ke kamar itu. Ciuman kasar langsung diterimanya, bersamaan dengan tangan besar yang terus menjamah tubuhnya.Gladys ingin berteriak, tapi pria itu makin membungkam bibirnya dengan ciuman brutal. Janggut halus di sekitar dagu pria itu menyapa kasar wajah Gladys, Sampai akhirnya, sentuhan panas itu malah membuatnya tak berdaya. Di leher, dada, punggung, pinggang, sampai pahanya.Gladys tidak menikmatinya, bahkan ketika desahan pria itu dan dirinya beradu, dia tidak merasa puas. Semua itu hanya meninggalkan rasa sakit, bahkan Gladys melihat sendiri darah yang tertinggal di seprai hari itu.Mengingat itu, Gladys jadi mual kembali. Bukan karena janin yang dikandungnya, tetapi karena ia merasa jijik pada dirinya.***"Loh Gladys? Tumben banget kamu jam segini pulang," kata Bibi Kemala, saat keponakannya sudah pulang lebih awal.Gladys melewati bibinya begitu saja karena terlalu lelah. Memang, biasanya Gladys pulang pukul 9 malam, sedangkan sekarang baru pukul 6 malam."Heh! Kamu tuli dan bisu? Kenapa nggak menjawab pertanyaan Bibi, Gladys?!""M-maaf Bi. Glad nggak kerja hari ini," balas Gladys, suaranya pelan nyaris tak terdengar.Kemala membeliak, langsung berkacak pinggang. Dengan teganya, wanita paruh baya itu mendorong keningnya dengan telunjuk."Anak nggak berguna kamu! Disuruh kerja malah berleha-leha. Kamu ini inginnya cuma enak-enakkan saja!""Glad nggak enak badan, Bi. Itulah sebabnya Glad nggak kerja, Glad juga udah bilang kok ke atasan," sela Gladys."Bagus! Dikasih tahu sudah berani melawan ya kamu! Mulai malam ini, kamu tidur di luar dan nggak boleh makan!"Hati Gladys hancur berkeping-keping. Di saat ia butuh penyemangat kala hatinya rapuh, Kemala malah menambah kekalutan padanya.“Mana uang hari ini?!” Kemala mengulurkan tangan.“Itu, Bi….” Gladys tidak bisa menjawab.“Anak sialan! Sudah numpang, sekarang malah tidak bawa uang!” maki Kemala lagi, lalu merebut tas Gladys. “Sini tas kamu!”Gladys tidak bisa melawan ketika Kemala membawa paksa tasnya, lalu masuk ke rumah. Tak lama kemudian, Kemala kembali, lalu melempar tikar ke arah Gladys.“Malam ini, kamu tidur di luar!” Lalu dia menutup pintu dengan kasar. Tak membiarkan Gladys masuk ke dalam.Gladys menggelar tikar di depan rumahnya, untuk dijadikan alas tidurnya. Suasana malam semakin mencekam, Gladys hanya bisa menelungkupkan wajahnya di atas dengkul sambil menangis tersedu-sedu."Haruskah aku bilang atau menyembunyikannya saja? Aku takut, Bibi akan murka kepadaku," isaknya.Rasa mual yang ia rasakan, harus ia tahan. Tidak mau membuat Kemala curiga, jika Gladys sedang mengandung.Sepanjang malam, Gladys hanya bisa menangis sambil meringkuk, hingga rasa kantuk mulai terasa dan ia memejamkan mata, lalu terlelap ke alam mimpi.Byurrr!Gladys yang sedang tertidur di lantai pun langsung terbangun saat air membasahi wajahnya. Padahal rasanya baru sebentar ia memejamkan mata.Dia tersentak, sembari berbatuk-batuk. Ia meraup wajahnya yang dibasahi oleh air.Dia berjingkat kaget, saat Kemala membanting ember hingga pecah. Wanita paruh baya itu menatap Gladys yang sorot tajam, api amarahnya siap untuk diluapkan kepadanya.Tidak tahu, apa alasan Kemala bisa marah, sampai-sampai dia mengguyurnya dengan tega."A-ada apa, Bibi?" tanya Gladys. Suara serak khas bangun tidur itu terdengar takut.Plak!Tanpa menjawab pertanyaan keponakannya. Kemala dengan tega melayangkan tamparan keras di pipi Gladys.Kepala wanita itu terhempas ke kanan. Saking kerasnya pukulan yang Kemala berikan.Air mata Gladys merembes, ia mengusap pipinya yang terasa panas dan sakit menjalar. Di kulit putihnya, ada bekas jari Kemala yang tercetak di pipi Gladys."B-bibi ... kenapa Bibi menamparku?" Gladys gemetar ketakutan, matanya sudah berkaca-kaca. Atas apa yang Kemala perbuat. Sakit, tentunya."Dasar anak kurang ajar! Kau kubesarkan bukan untuk menjadi jalang! Susah payah aku membesarkanmu, kau malah menjadi aib di keluargaku! Pergi kau wanita murahan!"Kemala menyentak, sembari melempar beberapa tespack ke hadapan Gladys.Seketika saja Gladys membelalak, dia langsung memungut tespack itu. Ia sampai lupa kalau keempat tespack itu belum dibuangnya, dan masih tersimpan di tas tadi."Bibi ... Glad bisa jelaskan, ini nggak seperti yang Bibi kira…."Gladys memeluk kaki jenjang sang Bibi, Kemala membuang pandangan murka."Apa yang akan kau jelaskan, Gladys! Bibi nggak menyangka jika kau murahan seperti ini! Mengapa kau melakukan semua ini Gladys? Mengapa?" ketus Kemala dengan kekecewaan yang dirasakannya.Kepala Gladys menunduk, dia menangis sesenggukan. Pelukan di kaki Bibinya tidak ia lepaskan."Glad nggak hamil, Bi! Itu bukan punya Glad, itu punya—""Apa hah apa?! Kamu pikir Bibi wanita bodoh?! Kecil-kecil sudah jadi jalang, mau jadi apa kau nanti!"Hinaan demi hinaan terus Kemala lontarkan. Tidak memikirkan bagaimana tertekan dan terlukanya hati Gladys sekarang.Yang Kemala pikirkan hanyalah kemarahan saja, yang harus dituntaskan. Gladys ingin sekali menjelaskan. Akan tetapi, percuma saja. Sang Bibi saat sedang marah seperti ini akan tertutup mata hatinya."Jawab bodoh! Siapa pria yang menghamilimu!" Bibi Kemala menendang tubuh Gladys hingga terjengkang ke belakang.Gladys mengaduh, saat kedua sikunya membentur lantai. "Glad nggak tahu, Bi ..."Alis Kemala menekuk tajam."Bagaimana mungkin kamu nggak tahu, Gladys! Mustahil jika kamu melakukan itu tanpa kenal pria yang menghamilimu!"Suara Kemala begitu menggelegar, terdengar ke para tetangga yang masih berkumpul di sore hari itu. Mereka semua langsung berbondong-bondong, membuat kerumunan, untuk mengetahui apa yang terjadi."Demi Tuhan, Bi. Glad nggak kenal pria itu. Glad dilecehkan saat masih kerja di Hotel," lirih Gladys."Dasar anak tidak berguna! Mati saja kau jika hanya menyusahkanku!”“Apa jangan-jangan, uang yang kamu berikan itu adalah uang haram selama kamu menjadi jalang? Keterlaluan ya kamu, Gladys! Sudah memberiku nafkah pakai uang haram! Kamu benar-benar membuatku malu!" geram Kemala, sambil menjambak rambut Gladys saking kesalnya.Gladys meringis, merasakan rambutnya tercabut di kepala saat jambakan itu semakin bertenaga.Semua orang yang mendengar tercengang, sekaligus kaget dengan obrolan dua orang itu."Si Gladys harus diusir dari sini! Dia sudah mencoreng nama baik keluarga dan kampung!" sela Ibu-Ibu."Benar, saya nggak nyangka. Si Gladys yang saya kira wanita baik-baik malah kayak jalang!""Sebaiknya usir saja! Saya nggak mau, anak gadis saya terpengaruh sama dia! Bisa-bisanya hamil di luar nikah kamu, Gladys. Dasar wanita murahan!"Semua orang malah menghina dan memakinya, tidak ada orang yang mau mendengarkan penjelasannya."Bibi! Tolong Glad, Bi! Glad nggak bersalah! Tolong jangan mengusirku, aku nggak punya keluarga lagi selain Bibi," pinta Gladys, memohon."Pergi kamu! Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di kampung sini! Kamu itu wanita pembuat aib! Nggak pantes tinggal di sini!""Bibi kamu aja malu, daripada kamu membawa dampak buruk. Lebih baik kami mengusirmu. Betul nggak Ibu-Ibu?"Bab 3Sementara itu, di sebuah rumah mewah, di pusat kota."Kenapa sih, Mas selalu saja sibuk. Sekali-kali kek luangin waktu buat aku. Aku juga pengen menghabiskan waktu dengan Mas loh, aku bosan diam terus di rumah," ujar seorang wanita yang sedang bergelayut manja di lengan kekar sang suami yang tanpa sehelai benang.Pria itu adalah Arnesh Aryawardhana, seorang pria berusia 32 tahun yang juga seorang Direktur Rumah Sakit dan Dokter umum. Dia bekerja di Rumah Sakit yang menjadi warisan keluarganya, dan diberikan kepadanya.Arnesh melepaskan tubuhnya, saat Livya selalu manja padanya. Ia juga menjauhkan jari lentik si wanita yang bermain sensual di dadanya."Jangan manja, Liv. Kamu nggak lihat kalau aku selalu sibuk kerja? Kenapa pikiran kamu selalu saja kekanakan begitu!" timpal Arnesh, muak dengan tingkah laku Livya yang selalu memaksanya meluangkan waktu.Ya, Livya Audrissa yang berusia 29 tahun adalah istrinya. Dia adalah wanita yang sudah dinikahi Arnesh sejak 4 tahun lamanya, ata
Bab 4Sore hari.Sudah waktunya bagi Arnesh untuk pulang, karena jadwalnya hanya dari siang sampai sore saja. Setelah itu, dia tidak menerima praktek lagi, terkecuali jika mendesak.Ia mengendarai mobil miliknya ke lawan arah. Tujuannya yaitu ke Hotel, tempat dimana dia sudah menodai seorang gadis. Dia lakukan untuk memastikan saja, agar rasa penasarannya terjawab.Supaya dia tahu, bagaimana kronologi kejadiannya sampai-sampai dia melakukan hal tak senonoh itu."Aku harus mencari tahu, entah kenapa aku jadi kepikiran gadis itu," monolog Arnesh.Fokusnya lurus ke depan, agar tidak terjadi kecelakaan lalu lintas karena lalai berkendara. Dia mendadak jadi kepo soal gadis yang tidak ia kenal. Ponselnya yang terus berbunyi tidak ia hiraukan.Hingga dia tiba di Grand Vacation Hotel. Gegas ia turun dari mobil. Menuju ke pos satpam untuk menemaninya memeriksa Cctv."Kapan anda datang ke Hotel ini, Pak?" tanya satpam tersebut, yang mulai mengotak-atik keyboard."Sekitar satu bulan lalu, tepatn
Bab 5Beberapa hari berlalu. Setelah pengusiran waktu lalu, Gladys tinggal di sebuah kontrakan berukuran kecil, tapi masih layak ditempati oleh dirinya dan si buah hati nanti.Dia masih bekerja di Hotel sambil menutupi kehamilannya. Ia berharap, gaji kecil yang didapatnya bisa untuk mencukupi kebutuhannya dan calon anaknya nanti.Kebetulan juga, jarak kontrakan dan Hotel tak terlalu jauh. Sehingga masih bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki. Ia harus bisa menabung, untuk masa kehamilannya nanti dan juga Gladys harus mengirim uang kepada Bibinya. "Kamu kuat, Gladys! Aku harus berjuang sendirian mulai sekarang. Demi anakku," gumamnya menyemangati.Di Hotel, Gladys masih bekerja seperti biasanya. Di kehamilan trimester awal ini dia terganggu, karena rasa mual dan pusing selalu terasa di sela-sela kegiatannya.Sambil duduk di pantry, ia memegangi perutnya yang keroncongan. Tetapi ia tahan lantaran akan merasa mual jika diberi asupan."Heh, Gladys! Kamu dicari-cari malah enak-enakan d
Kala pandangan mata mereka saling beradu, dari sinilah mereka menyadari sesuatu. Sekelebat bayangan malam kelam itu, teringat jelas saat keduanya melihat wajah satu sama lain."Jangan sentuh aku!" sentak Gladys.Tubuhnya gemetar, dengan dada bertalu cepat. Di saat dia mati-matian melupakan kejadian buruk itu, takdir malah mempertemukan mereka."Pergi! Pergi dari sini!"Arnesh terjengkang, saat Gladys mendorong kasar dada bidang pria yang sudah merenggut manisnya dan merusak kebahagiaannya. Gladys takut, kehadiran Arnesh membuat hatinya tersayat sembilu.Arnesh bangkit, mengejar Gladys yang lari begitu saja saat dirinya hendak menyentuh."Tunggu! Jangan lari, bahaya!" teriak Arnesh. Kaki lebarnya mengimbangi Gladys yang terus berlari sepanjang lorong. Yang Arnesh khawatirkan, bisa saja membahayakan kandungan.Dia berlari secepat mungkin, hingga akhirnya Arnesh menggapai pergelangan tangan Gladys, sontak langsung berhenti."Berhenti, kenapa kamu lari?"Napas keduanya memburu, menetralka
Sepulang dari tempat kerja pada malam harinya, Gladys pulang dengan berjalan kaki seperti yang biasa ia lakukan guna menghemat uang. Beruntung jalanan ibu kota masih ramai di jam-jam seperti ini, Gladys tidak merasa takut.Dia mampir ke sebuah warung yang terletak di pingging jalan, warung langganan Gladys. Dia sering membeli nasi bungkus di sini, harganya murah karena hanya nasi dan telur ceplok saja."Waduh, Neng Gladys baru pulang kerja.""Iya Mak, beli nasi bungkus kayak biasanya, ya," kata Gladys pada Ibu-Ibu penjual itu.Wanita berusia rentan itu tersenyum ke arahnya. "Makan telur mulu nggak bisulan tah Neng?" Gladys tersenyum kikuk. Mungkin orang juga keheranan, dengan porsi makannya yang hanya itu-itu saja. Andai saja Gladys punya banyak uang, dia ingin mengganti porsi dan makan-makanan enak."Nggak, Mak. Maklum lagi tanggal tua," ujar Gladys."Ya udah, karena Neng teh suka beli di warung Emak. Emak kasih bonus deh."Ibu itu menambahkan sepotong daging ayam ke plastik, lalu m
Karena pencarian tak membuahkan hasil. Arnesh mengalami kebuntuan, dia tidak tahu harus mencari Gladys kemana lagi setelah ini.Mau tidak mau, Arnesh harus memikirkan cara. Ia bisa saja datang ke tempat kerjanya. Tetapi orang-orang pasti akan curiga, dan juga Gladys tidak mau bicara dengannya.Ia meletakkan ponselnya di telinga. Meminta bantuan anak buahnya untuk mencari alamat rumah yang Gladys tinggali."Coba kau buntuti dia, awasi pergerakannya!" titah Arnesh.Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, sambil menjambak rambutnya frustasi. Dia akan merutuki dirinya sendiri, jika ia menjadi penyebab Gladys diusir.Karena kecerobohannya satu bulan lalu, Gladys harus menanggung akibatnya."Semoga saja aku bisa menemukanmu, Glad," gumamnya.Menancap pedal gas, meninggalkan kampung yang dulunya ditempati Gladys. Pasti wanita tertekan, dengan perkataan wanita yang menjadi Bibinya itu.Baru pertama bertemu saja, Bibinya sudah bersungut-sungut seperti itu. Wajah sendunya membuat Arnesh teringat,
Arnesh jadi tidak sabar, menunggu kabar anak buahnya yang ia perintah untuk mengikuti Gladys. Hanya ini, satu-satunya cara agar ia bisa bertemu Gladys. Supaya pembicaraan mereka lebih leluasa.Melihat suaminya yang sudah rapih dengan pakaian formalnya, Livya mengulas senyum, memerhatikan wajah rupawan Arnesh. Ia mendekat, memeluk suaminya dari belakang."Mas ...." panggil Livya, mendusel-duselkan wajah di punggung suaminya.Menghela napas dalam dan membuangnya perlahan, Arnesh hanya diam, membiarkan Livya memeluknya. "Kenapa?""Malam nanti dinner yuk. Ngehadirin acara peresmian restoran baru temanmu itu, katanya kita diundang ke sana," ujar Livya. Walau Arnesh tahu, ia mengingatkan saja agar suaminya mau.Sayangnya, Arnesh memiliki acara lain sepulang kerja nanti. Dia ingin menemui Gladys di rumahnya."Aku ada urusan yang nggak bisa aku batalkan. Gimana kalau kamu saja yang datang?" kata Arnesh menolak.Penolakan dari Arnesh, Livya mengerucutkan bibirnya ke depan. Entah sampai kapan k
Gladys tertawa, mentertawakan nasib buruk yang menimpanya. Setelah kesucian yang terenggut paksa, Arnesh datang ingin menikahinya. Mahkota yang ia jaga selama 21 tahun dan ia jaga untuk suaminya kelak, pupus begitu saja.Jika pun Arnesh bertanggung jawab. Apa kata orang-orang jika Gladys menikah dengan soerang pria beristri? Tentu saja Gladys tidak mau, sama saja itu hanya menambah masalahnya."Gampang sekali anda bicara seperti itu. Apa kesalahan saya kepada anda? Anda pikir menikahi saya adalah jalan terbaik? Nggak! Yang ada anda malah menambah masalah saya. Saya nggak mau dicap pelakor, karena menikah dengan suami orang!" papar Gladys, mengutarakan apa yang ia rasakan. Dia merasa direndahkan jika seperti ini.Arnesh hanya diam dan duduk, memperhatikan Gladys yang sedang menangis di hadapannya. Perasaan bersalah kian besar dan membuncah, ia menunduk, tidak kuasa melihat betapa terlukanya Gladys.Mereka diam selama beberapa saat, memendam sesuatu yang ingin disampaikan. Arnesh tahu,
Livya terduduk di lantai, dia terus dimarahi oleh para tahanan lain karena terus menangis. Dia memeluk lututnya, menangisi takdir yang tak berpihak padanya.Ia ingin pulang dan keluar dari sini. Mama Venny datang untuk besuk, dia menghampiri Livya yang sedang duduk."Livya! Livya!" pekik mama Venny. Berhasil menyentak Livya yang sedang melamun.Livya yang tadinya duduk, buru-buru mendekat ke arah ibunya sambil memegang kedua tangannya. "Ma, tolong bantu aku keluar dari sini, Ma."Mama Venny tak bisa melakukan apapun sekarang. Bukti yang diberikan Arnesh sangat kuat."Nanti Mama pikirkan. Mama punya info penting Livya.""Info apa, Ma?""Soal Daniel."Mendengar nama Daniel disebut-sebut, Livya jadi mengharap sang kekasih datang dan membebaskannya."Ada apa soal Daniel, Ma?" Dengan cepat Livya bertanya."Daniel ... dia sudah menikah dengan perempuan lain, Livya," balas mama Venny.Deg! Tubuh Livya terbujur kaku. Ia berpegangan pada jeruji agar tubuhnya tidak limbung. Saraf-sarafnya tera
Satu minggu kemudian ....Setelah dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, akhirnya Gladys diizinkan pulang selama proses pemulihan. Bayinya pun sehat setelah melakukan pemeriksaaan.Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa Gladys dan Arnesh akan pulang ke kediaman mama Linda. Arnesh juga memutuskan untuk menjual rumah yang dulu ia tempati bersama Livya."Angkat aja, Nak, bawa masuk ke kamar," kata mama Linda, memberitahu anaknya agar menggendong Gladys yang masih kesulitan jalan. Dia menggendong Jesslyn, bayi perempuan yang mirip sekali dengan putranya.Gladys digendong ala bridal, menuju salah satu kamar di lantai bawah."Nah, Gladys, ini rumah kami. Saya harap kamu nggak merasa sungkan di sini," kata mama Linda. Perlahan mulai menerima kehadiran anak dan menantunya."Iy-iya, Ma."Gladys mengangguk. Sejak kejadian Livya datang, ibu mertuanya jadi perhatian sampai sekarang. Apalagi wanita paruh baya itu selalu membantu menjaga Jesslyn."Kamu temani aja istrimu. Biar Mama yang
Arnesh terkekeh sinis, saat Daniel meminta Livya untuk dibebaskan. Padahal sudah bersalah, bukti pun sudah jelas. Dia tak mengindahkan keinginan Daniel, pengkhianat yang sudah menusuknya dari belakang.Arnesh bangkit dari kursi, mengabaikan Livya dan Daniel yang ada di hadapannya. Sementara mama Venny, wanita paruh baya itu bingung mau bagaimana."Gila saja membebaskan orang yang sudah terbukti bersalah. Lanjutkan prosesnya, Pak, biarkan Livya menjalani hukumannya," ujar Arnesh berlalu bergitu saja, meninggalkan para dua pengkhianat itu.Mulai sekarang, Arnesh tidak ingin lagi berhubungan atau bertemi dengan mereka. Ia hanya ingin fokus pada kehidupannya yang sekarang bersama Gladys."Udah. Mulai sekarang kamu lupain mereka, fokus ke kebahagiaanmu," ujar papa Wandi menepuk pundak putranya.Pria berbeda usia itu menaiki mobil masing-masing untuk kembali ke rumah sakit. Ia khawatir dengan kondisi Gladys beserta anaknya.Ia menjalankan mobilnya dengan kebut-kebutan, ingin segera sampai,
Arnesh memutuskan untuk pergi, karena ia akan bicara dengan pengacaranya di sebuah caffe. Ia akan mengurus surat perceraiannya dengan Livya. Ia berpamitan dulu pada Gladys dan juga anaknya."Aku pergi dulu sebentar, kalau ada apa-apa hubungi aku," ujar Arnesh. Melabuhkan kecupan berulang-ulang pada pipi istri dan pipi anaknya.Gladys terkekeh, ia mendorong Arnesh agar menjauh. "Nanti Jesslyn bangun, Pak Arneh.""Gemas rasanya," ucap Arnesh diiringi dengan tawa.Arnesh melirik arloji yang melingkar di tangannya. Ia lantas pamit. Arnesh sudah mengundang pengacara datang. Dengan berat hati dia pun menaiki mobilnya.Kepergian Arnesh itu menjadi sebuah kesempatan bagi Livya yang diam-diam masuk ke dalan ruangan Gladys. Wanita itu memakai topi dan juga masker agar kehadirannya diketahui.Melihat ada Livya di sini, Gladys membeliakkan matanya sambil memeluk Jessyln. Livya membuka topi, ia menatap bengis pada wanita yang sudah menjadi simpanan suaminya."Sekarang kau bahagia bukan jika Mas Ar
Sementara di luar ruangan, papa Wandi sedang membujuk istrinya yang enggan masuk ke dalam. Mama Linda masih belum bisa menerima Gladys sebagai menantunya. Ia juga belum percaya, jika anak yang dikandung Gladys adalah anaknya.Papa Wandi juga sudah bercerita, jika ia sudah dikenalkan pada Gladys. Mama Linda kesal, selama ini hanya dia yang tidak tahu fakta sebesar ini. Ia kesal, itulah sebabnya enggan keluar."Ma, kenapa nggak masuk ke dalam? Yakin nih nggak mau lihat cucu kita? Bukannya Mama pengen banget punya cucu," ajak papa Wandi menggoda istrinya yang memiliki keinginan menimang cucu.Mama Linda tidak akan luluh begitu saja, dia bersedekap dada dan membuang pandangannya. "Ngapain Papa ngajak Mama? Biasanya juga main rahasiaan, 'kan? Udahlah sana. Mama di sini aja."Melihat istrinya yang sedang marah. Papa Wandi jadi gemas sendiri, pasalnya kemarahan sang istri sudah seperti anak ABG saja, tidak ada ubahnya dari dulu."Ada alasan kenapa Papa nyembunyiin dari kamu, Ma, sekarang ngg
Livya terusir paksa dari rumah suaminya. Dia harus pindah, ke kediamannya yang di Jakarta. Wanita hamil itu menangis tersedu-sedu, harus diceraikan karena Arnesh memilik madunya itu.Mama Venny merasa malu, dengan kelakuan Livya dan juga Daniel. Karena mereka, reputasinya hancur. Arnesh juga tidak mau percaya. Lelaki itu memilih menceraikan Livya.Sesampainya di kediaman. Mama Venny menyapu semua barang-barang sekitar, dia begitu geram dipermalukan. Tentu saja yang tak lain dan tak bukan karena Livya."Lihat sekarang, Livya! Atas perbuatanmu itu Mama yang harus menanggung malu! Sekarang Arnesh sudah menceraikanmu. Mama nggak akan membantumu! Silakan saja menikah dengan Daniel, pria yang menghamilimu!" sentaknya sembari menunjuk pelipis Livya menggunakan jari telunjuknya.Amarahnya sudah tak terkendali dengan semua ini. Apalagi Livya hanya bisa diam dan menangis, seolah itu bisa menyelesaikan masalah."Dan kamu, Daniel! Nikahkan anak saya jika benar itu anakmu! Saya tidak mau cucu saya
Pipi Gladys bersemu, ia menunduk dalam saat Arnesh mengatakan hal itu padanya, tepat di depan matanya. Pria itu menegakkan duduk, menggenggam tangan Gladys begitu erat dan mencium punggungnya tangannya dengan sangat lama."Kenapa, Glad? Apa kamu nggak cinta aku dan nggak mau hidup bersamaku?" tanya Arnesh dengan serius.Apa yang harus Gladys jawab? Dia sendiri pun bingung harus menjawab apa di saat dirinya belum bisa memahami yang dirasakan dirinya saat ini."Glad ...." Arnesh memanggil, dia menunggu jawaban istri keduanya. Dagu Gladys diangkat agar bisa menatapnya. "Maukah?" tanyanya.Gladys membalas tatapan Arnesh, kepalanya mengangguk begitu saja seolah setuju dengan pertanyaan Arnesh."Aku lakukan demi putri kita, ibumu sepertinya nggak menyukaiku," ujar Gladys. Masih terngiang-ngiang perkataan yang dilotarkan mama Linda padanya.Gladys tidak mau, mengganggu keluarga suaminya. Ia hanya ingin hidup tenang bersama putri yang baru dilahirkan.Jawaban Gladys membuat Arnesh senang, mes
Sekujur tubuh Livya terbujur kaku. Bagai tersambar petir di siang bolong Livya tersentak kaget saat Arnesh berkata seperti itu. Livya langsung memeluk Arnesh, dia tidak mau hubungannya berakhir."Apa maksud kamu, Mas? Aku nggak mau cerai, aku nggak pisah," ujar Livya menangis terisak-isak. Sial sekali, nasib buruk malah terjadi padanya hari ini.Arnesh mendengus. Sudah terlanjur murka dengan apa yang dilakukan Livya padanya, yang lebih parah lagi pada ayahnya. Papa Wandi hampir meregang nyawa karena perbuatan Livya.Apa yang sudah Livya lakukan sulit ditolelir. Arnesh jadi tidak mau lagi berhubungan dengannya. Livya sudah berkhianat dan mencelakai keluarganya. Begitipun mama Linda, dia juga sangat geram pada menantu kesayangannya, dengan tiba-tiba malah membencinya."Lepaskan aku, Livya! Aku nggak akan memberikanmu kesempatan! Kamu udah mencelakai ayahku!" sentak Arnesh. Tanpa rasa iba yang ia rasa, Arnesh dengan cepat menepis tangan Livya yang melingkar di perutnya."Mama, tolong Liv
Diberikan pilihan yang rumit seperti itu, Arnesh menjadi dilematis memilih salah satu di antaranya. Dia diam, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Livya terus mendesak jawaban.Livya memukul-mukul dada bidang Arnesh, sambil mencengkram kerah kemejanya. Sia-sia sudah perjuangannya mempertahankan rumah tangga, Arnesh malah tergoda oleh Gladys yang bernotabene sebagai orang ketiga di kehidupan rumah tangganya."Kenapa diam, Mas? Nggak bisa jawab 'kan kamu? Tinggalkan perempuan itu," pinta Livya, menuntun tangan Arnesh untuk mengelus perut besarnya. "Ini juga anak kamu, Mas Arnesh. Kenapa kamu lebih memilih gadis yang nggak jelas asal-usulnya?" "BOHONG! JANGAN PERCAYA PADA LIVYA!"Suara teriakan dari seseorang membuat ketiga orang itu menoleh ke arah belakang. Tepatnya pada seorang pria yang berdiri di ambang pintu, sontak saja mereka membelalak terkejut."Papa?" pekik Arnesh. Kaget saat Papa Wandi datang dengan keadaan yang sudah bisa berjalan."Ma-mas? Ka-kamu ... kenapa bisa? Kamu