Sesampainya Mahanta di mansion, dia langsung mendekati meja makan. Suasana yang tadinya hangat, mendadak berubah dingin setelah kedatangan Mahanta. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, pria itu mendekati Ziana lalu duduk di sampingnya.“Sayang, maaf aku pergi nggak bilang-bilang. Tadi Lintang menelponku,” ucap Mahanta lembut.“Beneran Lintang?” tanya balik Ziana dengan nada curiga.“Iya, sayang. Kamu nggak percaya sama aku?”“Kamu ‘kan suka bohong.”“Ngambek ya?” goda Mahanta sambil mencolek dagu Ziana. “Mau night ride? Kayak dulu?”“Kemana?”Tomo dan Juwita terkekeh geli melihat reaksi polos Ziana yang senang diajak jalan-jalan. Sangat mudah mengembalikan mood Ziana. Tidak perlu barang-barang branded, cukup perhatian dan melakukan hal-hal kecil saja.“Aku pernah ke belakang mansion ini. Ada tempat untuk melihat pemandangan kota. Masih ada, om?” tanya Mahanta.“Oh, tempatnya sudah direnovasi jadi jalan. Sekarang kamu harus naik sedikit untuk bisa melihat pemandangan.”“Pakai mobil saj
Ziana mengangguk, lalu menarik tangan Mahanta kembali ke mobil. “Ayo bicara di dalam. Udaranya semakin dingin.”Mahanta membuka pintu dan juga sunroof agar mereka bisa melihat bintang dan langit malam. Sesekali Ziana mengusap lengannya yang terasa dingin sambil menunggu Mahanta menyiapkan semuanya.“Ayo, masuk. Berbaring saja ya.”Ziana masuk ke dalam mobil lalu berbaring dengan nyaman diatas kasur empuk beralaskan selimut tebal. Mahanta menarik selimut yang lebih tipis menutupi tubuh Ziana sampai ke perutnya, sebelum ikut berbaring di samping perempuan itu.“Ayo ceritakan,” pinta Mahanta.“Papa dan mamaku adalah tipe orang tua yang meskipun sibuk bekerja, kalau mendengar anaknya sakit, mereka akan langsung pulang untuk menjaganya.”“Mereka kerja dimana?”“Papaku pengawas produksi perusahaan kue dan mamaku salah satu staf yang bertugas dengan alat-alat pembuatan kue. Mereka bertemu disana dan saling jatuh cinta.”“Oh, karena itu Hannah bisa membuat kue seperti sekarang ini? Sudah ada
“Tapi, sayang. Apa kamu tahu bagaimana kronologis kejadian kecelakaan orang tuamu?” tanya Mahanta membuat Ziana berbalik ke arahnya.“Aku dengar saat kak Hannah bicara dengan polisi. Mobil yang papa kendarai mengalami rem blong dan tidak bisa berhenti saat melewati perempatan. Akibatnya mobil papa ditabrak truk dari samping dan terguling beberapa kali. Papa dan mama meninggal dengan kondisi cidera kepala parah dan kehilangan banyak darah.”Mahanta mengangguk mengerti lalu mengusap rambut Ziana. “Tidurlah, sayang. Akan kubangunkan besok pagi.”Ziana mengangguk pelan lalu kembali menatap langit malam diatas mereka. Semilir angin dingin yang menerpa wajahnya, membuat kedua netra Ziana perlahan terpejam. Ditambah tepukan lembut di kepalanya yang dilakukan Mahanta.“Sayang?” panggil Mahanta setelah kepala Ziana terkulai lemas di samping ketiaknya. Tidak ada sahutan dari Ziana membuat Mahanta tersenyum.“Selamat malam, sayang.”Setelah memastikan Ziana tertidur lelap, Mahanta beranjak kelua
“Kenapa tidak? Mereka harus tahu kalau Ziana akan menjadi putri kita.” Juwita sangat bersemangat tentang Ziana.Tomo hanya diam memikirkan pesta penyambutan yang diinginkan Juwita. Pria itu sangat bisa menyelenggarakannya, tapi insiden yang terakhir dengan Sherena membuat Tomo harus ekstra waspada. Kalau keluarga Hirawan diundang, Tomo khawatir Sherena juga akan datang dan kembali membuat keributan.“Mas, kok kamu ngelamun sih? Bisa nggak? Surat-suratnya sudah selesai ‘kan?”“Hanya tinggal meminta tanda tangan Ziana saja. Pengacara kita akan datang kesini untuk menjelaskan semuanya, sekaligus mengurus ahli waris kita nantinya.”“Aku tidak sabar. Semakin cepat semakin baik. Ziana harus kita lindungi dengan baik.”“Segitu sayangnya kamu sama Ziana sampai aku dicuekin. Sekarang yang kamu bahas pasti Ziana terus.” Tomo merajuk dengan bibir maju ke depan.“Cemburu ya? Cemburu kok sama putri sendiri. Seharusnya kamu senang, mas. Akhirnya kita punya anak.”“Ada atau tidak, aku selalu bahagi
“Tentu saya, sayang. Lucu juga ayah dan bunda. Coba panggil,” pinta Juwita.“Ayah Tomo dan Bunda Juwita.”Hanya beberapa kata dari Ziana mampu membuat Juwita tersenyum tapi kedua netranya berkaca-kaca. Sudah lama sekali sejak wanita paruh baya itu membayangkan dirinya dipanggil seperti itu. Dan Ziana bersedia mewujudkan keinginannya yang terpendam.“Jangan menangis, bunda,” sambung Ziana sambil mengusap pipi Juwita yang basah.Juwita refleks memegang pipinya yang basah dan buru-buru mengusapnya. Hampir saja dirinya merusak suasana dengan menangis haru.“Makasih, Ziana. Karena sudah memberi kesempatan pada bunda untuk menjadi orang tua.”Ziana dan Mahanta saling pandang lalu sama-sama tersenyum. “Sama-sama, bunda.”“Ok. Kita harus mengerjakan banyak hal. Pesta seperti apa yang kau inginkan, sayang?” tanya Tomo membuat atensi semua orang tertuju padanya.“Pesta apa?” tanya balik Ziana bingung.~~~Beberapa hari kemudian, Intan menatap dingin pada undangan pesta penyambutan Ziana yang su
Tomo tidak lagi mendengar suara Intan karena tiba-tiba saja Hasan mengambil alih telepon istrinya itu.[“Halo, Tomo. Aku cuma mau bilang siapkan kue dari toko kue langganan Intan, toko kue Hannah. Kamu tahu, toko kue milik kakaknya Ziana. Mamaku akan datang, dan mungkin mood-nya bisa bagus kalau ada kue kesukaannya, lemper.”]“Oh, ok kakak ipar. Mana kak Intan?”[“Dia ada urusan ke toilet. Sudah dulu ya.”]Tomo menatap layar ponselnya yang kembali semula, lalu berjalan kembali ke meja kerjanya. Pekerjaannya masih banyak, tapi ia ingin segera pulang untuk bertemu dengan Juwita. Pria itu tiba-tiba merindukan pelukan sang istri.~~~Beberapa hari kemudian, pesta penyambutan untuk Ziana pun tiba. Hampir semua tamu undangan sudah datang ke mansion Tomo dan tampak asyik menyapa satu sama lain. Tidak terkecuali Hasan, Intan, dan nenek Darisa yang juga sudah tiba. Mereka langsung menempati meja yang tertulis nama mereka.“Dimana Maha? Kenapa dia belum datang?” tanya nenek Darisa sembari menge
“Ke pesta, tante. Memangnya kenapa?” tanya balik Mahanta.“Apa kamu lupa kalau hubungan kalian ini rahasia. Bagaimana kalau nenekmu curiga, Maha?” tegur Juwita.Mahanta menepuk pelan keningnya, lalu celingak-celinguk mencari jalan lain. “Aku beneran lupa, tante.”“Lewat jendela,” titah Juwita membuat Mahanta dan Lintang saling pandang. Jendela yang mana?Juwita kembali fokus pada Ziana dan menuntunnya menuju tempat pesta. Rasa gugup dan sedikit cemas membuat Ziana meremas pelan tangan Juwita. Syukurlah wanita paruh baya itu mengerti lalu balas mengelus punggungnya.“Jangan gugup, sayang. Tetaplah tersenyum pada semua orang. Darimana pun asalmu, sekarang kamu putri kami. Putri dari ayah Tomo dan Ibu Juwita. Kamu mengerti?”Ziana mengangguk dengan senyum mengembang yang menambah kecantikannya. Keduanya kembali berjalan memasuki areal pesta yang sudah penuh dengan tamu undangan. Tampak beberapa bodyguard Tomo mengawasi keadaan disekitar Ziana dan Juwita. Tomo tidak ingin kecolongan lagi.
“Aku kangen banget, sayang. Dari tadi kutahan-tahan nggak meluk kamu. Akhirnya bisa meluk juga,” sahut Mahanta sambil memeluk erat pinggang Ziana.“Kan hubungan kita dirahasiakan. Tapi aku penasaran, bagaimana kalau nenekmu tahu tentang pernikahan kita?”“Jelas kaget ‘lah. Nggak usah ditanyain ke orang pinter, jelas itu jawabannya.”“Aku serius, mas. Bagaimana kalau terjadi sesuatu? Bukannya kamu bilang kalau nenekmu punya penyakit darah tinggi?”Ziana menatap Mahanta yang menggeser posisi duduknya hingga mereka berdua duduk bersampingan. Tubuhnya sedikit bergetar ketika tangan Mahanta mengelus pelan punggungnya.“Kita sudah punya bayi kita untuk menghadapinya, sayang. Aku yakin saat nenek tahu kamu sedang hamil, nenek akan sangat senang.”“Benarkah?” Ziana mengelus perutnya yang masih rata.“Iya, sayang. Jangan dipikirin ya. Kita bisa melaluinya sama-sama. Dan sekarang... aku mau kelon.”“Mas, jangan aneh-aneh deh. Gimana kalau bunda tiba-tiba memanggilku?”“Sudah larut juga. Tante p
Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra
“Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket
“Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening
“Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.
Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar
“Daripada mereka live show disini? Gimana kalau Rania melihatnya?”Mahanta buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelpon Arjuna. Dering telepon terdengar jelas dari kantong jas Arjuna, tapi justru diabaikan pria itu yang masih asyik mencumbu Rianti. Belum menyerah, Mahanta mengulangi terus panggilan itu, hingga Rianti menghentikan ciuman Arjuna.“Ada telepon, Ar,” ucap Rianti sambil mendorong pelan bahu Arjuna.“Biarkan saja.”“Tapi sepertinya penting. Kita bisa lanjutkan nanti.”Arjuna menatap wajah Rianti yang sudah memerah sampai ke telinganya. Bibir wanita itu terlihat pucat dan ada sedikit bekas gigitan karena ulahnya. Mau tidak mau Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah jasnya yang tergeletak di lantai begitu saja.“Siapa sih, mengganggu saja.” Kening Arjuna mengerut melihat nama Mahanta muncul di layar ponselnya. Pria itu segera mengedarkan pandangannya dan melihat sahabatnya berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kamu ngapain sih? Ganggu saja.”“Heh! Kalau nggak gitu, kamu mau
Hari yang ditunggu-tunggu, hari pernikahan Hannah dan Lintang akhirnya tiba juga. Semua orang sudah berkumpul di halaman mansion Tomo untuk menyaksikan upacara sakral itu. Meskipun tidak banyak tamu undangan, tapi sudah cukup membahagiakan bagi Hannah dan Lintang. Acara akad akan segera berlangsung ketika Arjuna tiba di mansion itu. Tidak seperti biasanya, wajah pria itu terlihat muram dan lelah. Entah kemana perginya Arjuna yang selalu ceria dan bersemangat. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Arjuna segera duduk di kursi khusus untuknya. Ia tersenyum tipis saat bertatapan dengan Mahanta yang duduk bersama Ziana.“Lihat itu Arjuna sudah datang,” bisik Mahanta pada Ziana. “Iya, aku sudah melihatnya. Lihat penampilannya kacau sekali.”“Aku dengar sejak kejadian malam itu, Arjuna hanya mengurung diri di apartemennya. Ia hanya makan kalau Lintang membawakannya makanan. Selebihnya hanya diam melamun. Apa Rianti tidak mengatakan apa-apa?”“Mereka sama-sama keras kepala. Sampai sekarang aku be
Tengah malam, Rianti tersentak kaget lalu mengerjakan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat keberadaannya saat ini yang masih berada di kamar Zaidan. Saat Rianti memeriksa boks bayi itu, matanya melotot karena Zaidan tidak ada di dalam boks itu. “Zaidan dimana?” Lekas Rianti berlari keluar kamar dan melihat sekitarnya sudah gelap. Sedikit ragu, Rianti menoleh ke arah kamar Ziana dan Mahanta. Besar kemungkinan Zaidan ada disana. Tapi alasan kenapa Ziana tidak membangunkan Rianti membuatnya bingung. “Apa kucoba ketuk saja ya?” Rianti berjalan mendekati pintu kamar dan bersiap mengetuknya. Tapi tangannya melayang di udara karena keraguan yang masih menggantung. Akhirnya Rianti memutuskan untuk mengirimkan chat pada Ziana. {“Malam, nona. Maaf saya ketiduran tadi. Apa sekarang bayi Zaidan bersama nona?”}Rianti mengirimkan chat itu dan menunggu. Ia berharap Ziana masih terbangun dan membalas chatnya. Tapi selang lima menit kemudian, belum juga ada balasan dari Ziana. Pesannya juga ti