“Mas, udah satu bulan tapi nggak ada perkembangan dari Susan. Apa mungkin, yang kamu lakukan sekali waktu itu nggak membuahkan hasil?” tanya Renata di sela suapannya.“Nggak usah bahas masalah itu sekarang. Nikmati aja waktu kita berdua,” ucap Evan yang jelas enggan menanggapi permasalahan itu.“Kenapa, Mas? Mumpung kita lagi dinner berdua dan kesempatan kita bahas masalah ini juga.”“Aku lagi nggak mau bahas masalah itu, Sayang. Bisa kan?”“Aku pengen bahas, Mas!” tegas Renata dengan ketus dan keras kepalanya.Evan menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Dia sungguh tidak akan pernah bisa melawan kekeras kepalaan Renata yang seperti ini sampai kapan pun. Renata memang selalu ingin didengarkan dan tidak pernah mau mengalah. Hal ini yang akhir-akhir ini membuat Evan mulai merasa jenuh.“Kita bahas sekali ini supaya dua bulan ke depan nggak terbuang percuma, Mas!” lanjut Renata lagi kepada Evan dengan nada tinggi, tapi tidak mengusik ketenangan pengunjung yang lain pula.Mendengar
“Maksud kamu apa, Mas?”“Kamu pasti tau apa yang aku maksud, Sayang.”“Kamu berharap jatuh cinta sama Susan?”“Aku nggak pernah berharap akan jatuh cinta pada wanita selain kamu, Sayang. Tapi, kalau begini terus aku sebagai seorang pria juga pasti takut,” ungkap Evan dengan sorot mata yang tajam.“Kamu takut apa, Mas? Selama kamu menjaga hatimu untukku, semuanya nggak akan pernah berubah. Hanya masalah hubungan seperti itu, tetap bisa meski tanpa cinta,” balas Renata yang tidak mengerti dengan hal yang saat ini sudah mulai dirasakan oleh Evan.Sebagai seorang pria, tentu saja dia juga sudah mulai merasakan bahwa Susan adalah istri yang berhak juga mendapatkan kasih sayang dan perhatian darinya. Tidak menuntut untuk diperlakukan sebagai seorang suami dan diberikan haknya, tapi Evan merasa kasihan pada Susan yang dianggapnya sebagai gadis kecil tak berdosa.Di usianya yang masih sangat muda, Susan sudah menanggung terlalu banyak beban hidup. Dimulai dari diperjual belikan oleh ayah kand
Evan mengendarai kendaraan roda empatnya dengan kecepatan penuh. Dia tidak bisa sabar lagi sampai di rumah untuk melihat langsung keadaan Susan. Jelas terlihat raut kecemasan dan kekhawatiran di sana dan semua itu tentu saja tak luput dari pantauan Renata.“Mas, nggak usah ngebut banget bisa nggak? Aku ngeri jadinya duduk di samping kamu. Udah kayak pembalap di sircuit aja,” protes Renata dengan sengaja menguji Evan untuk mendengar jawabannya.“Nggak bisa, Sayang. Kita harus segera sampai di rumah, karena nyawa Susan mungkin aja dalam bahaya.” Evan menolak untuk menuruti permintaan Renata.“Kenapa kamu khawatir banget sama keadaan dia?” tanya Renata bernada curiga.Mendengar itu saja ekspresi Evan sudah langsung berubah drastis. Dia sendiri tidak tahu mengapa sudah terlalu panik saat ini. “Bukan gitu, Sayang. Susan kan sekarang ada di rumah kita, dan kalau terjadi apa-apa sama dia di sana, tetap kita juga yang akan kena imbasnya,” ungkap Evan menjawab pertanyaan Renata tanpa berani me
“Bagaimana keadaannya, Man?” tanya Evan kepada Lukman dengan nada cemas.Seorang dokter muda dan tampan baru saja selesai memeriksa keadaan Susan yang masih tak sadarkan diri. Dia juga sudah memberikan dua buah suntikan sekaligus kepada Susan di dalam keadaan tidak sadar itu.Dokter muda bernama Lukman dan adalah teman lama Evan itu pun beranjak dari sisi Susan. “Ada hal penting yang ingin aku sampaikan, Van.”“Apa? Sampaikan aja di sini, Man. Kami semua memang sedang menunggu hasil pemeriksaan kamu,” sela Renata yang tak sabar dengan hal itu.“Begini ... kalau menurut pemeriksaan aku, gadis ini sedang dalam keadaan hamil muda. Tapi, aku takut salah dan sebaiknya kalian lakukan pemeriksaan di rumah sakit aja. Gimana?” tanya Lukman yang memang tampak ragu menyampaikan kabar itu.Kabar yang tidak hanya membuat dia terkejut, tapi juga tiga orang lainnya yang berdiri di sana. Lukman sudah bertanya tentang siapa Susan dan menurut Renata dia adalah adik temannya yang datang dari luar kota l
“Mbok Nah, apa aku nggak salah dengar tadi?” tanya Evan kepada mbok Minah saat hanya tersisa mereka berdua saja di sana.“Nggak, Nak. Tadi udah jelas kalau dokter Lukman bilang Susan sedang mengandung lima atau enam minggu saat ini.” Mbok Minah mengatakan hal itu dengan sangat jelas kepada Evan.Evan terduduk lesu di kursi yang ada di samping kasur Susan. Kursi yang tadinya diduduki oleh Renata saat mengenggam tangan Susan dan takut terjadi hal buruk pada calon ibu anak suaminya itu. Tentu saja, Evan dapat melihat raut penuh pengharapan dari wajah Renata saat Susan masih diperiksa oleh Lukman tadi. Berharap kalau gadis itu mengandung anak suaminya tentu saja.Hal yang seharusnya tidak pernah diharapkan oleh istri mana pun di dunia ini. Namun, jelas sekali kalau Renata memang berharap banyak pada Susan. Baginya, wanita itu adalah pengharapan terakhirnya saat ini. Waktunya memang tidak banyak lagi saat ini, mengingat ancaman dari keluarga Evan dua bulan lalu, yang tidak pernah dia berit
“Mas. Benar yang dikatakan oleh mbok Nah tadi?”“Menurut kamu bagaimana, Susan?”“Aku lagi nanya sama kamu, Mas!”“Tadi kamu diperiksa sama dokter kenalan aku, kebetulan dia salah satu teman terbaikku dan menurut dia memang begitu.”“Jadi, bagaimana sekarang?” tanya Susan dengan nada bingung.Dia dan Evan tinggal berdua saja di dalam kamarnya itu, sementara mbok Minah sudah pergi keluar untuk membuatkan makanan yang sekiranya bisa dimakan oleh Susan saat ini. Evan tinggal di kamar itu untuk menemaninya dan Susan punya kesempatan untuk bertanya serius kepadanya saat ini.Evan sendiri tampak bingung juga saat ini, walaupun tadi dia mendengar sendiri dengan kedua telinganya saat Lukman menjelaskan kondisia atau keadaan Susan. Hal yang memang masih rasanya sulit bisa diterimanya untuk saat ini.“Apanya yang bagaimana, Susan? Kamu hamil dan jelas itu adalah anakku, karena kesalahan yang nggak sengaja aku lakukan malam itu sama kamu,” ungkap Evan secara jujur dan jelas pula.“Apa mba Renata
Evan kembali ke kamarnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Dia sama sekali tidak bisa mengerti dengan pikiran Susan saat ini. Namun, dia juga tidak bisa menuruti semua yang gadis itu mau seperti yang tadi dia ungkapkan.“Mas. Kok melamun?” tanya Renata yang memperhatikan Evan sejak mulai masuk kamar tadi hanya menatap kosong jalan di depannya.“Eh, ada kamu di kamar? Seingatku tadi kamu pergi nebus resep untuk Susan deh, Sayang.” Evan menyahut untuk menjawab pertanyaan Renata.Jelas ada raut kaget di wajah Evan saat melihat Renata duduk di kursi meja riasnya. Sepertinya, Renata baru saja selesai merias wajah mulusnya itu. Wajah yang mungkin kini sudah tidak lagi muda dan cantik seperti dulu.Renata tersenyum dan berdiri menghampiri suaminya dengan pelukan yang hangat. Evan sempat terkejut dan tidak mengerti mengapa Renata mendadak bersikap manja dan juga agresif seperti itu. Namun, di sisi lain tentu saja Evan merasa senang dan langsung membalas pelukan sang istri.Sudah sejak lama
“Kamu ngomong apa sih, Sayang? Aku nggak ada maksud untuk membawa serius pernikahan dengan Susan saat ini!” tegas Evan kepada Renata.“Kita nggak ada bisa menebak apa yang akan dan bisa terjadi di kemudian hari, Mas.”“Maksudnya, kamu berharap kalau perasaanku ke Susan berubah jadi sungguhan, begitu?” tanya Evan dengan nada penuh penekanan di akhir kalimatnya itu.Renata tidak bisa menjawab lagi karena sebenarnya dia tidak pernah mengharapkan hal itu sama sekali. Hanya saja, dari cara dan sikap Evan yang tampak aneh itu jelas bisa dibaca oleh Renata. Namun, tetap dia tidak ingin mempertegasnya terlalu cepat karena bagaimanapun juga saat ini Renata masih teramat sangat mencintai suaminya itu.Hal yang nekad dan begitu menguji keimanan, kesabaran, keikhlasan, dan juga ketabahan ini harus dia jalani karena rasa cintanya yang begitu besar terhadap Evan pada awalnya. Renata tidak ingin bercerai dan berpisah dari pria yang sudah sepuluh tahun menjadi suaminya itu.Semua hal yang dia takutka