“Mau ngambil air, Nak?”“Iya, Mbok Nah. Air di kamar habis.”“Ya udah, sini biar Mbok Nah bantu isiin.”“Nggak usah, Mbok Nah. Biar aku aja isi sendiri, aku bisa kok.” Susan berkata dengan sangat lembut dan senyuman yang tulus.Mana bisa dia marah dan bersikap buruk kepada wanita tua yang diyakininya sangat baik itu. Susan mengerti apapun yang dilakukan oleh mbok Minah hanyalah karena dasar rasa sayangnya kepada Renata dan Evan. Selain itu, mbok Minah pasti juga terpaksa menuruti semua yang dikatakan Renata.Mbok Minah memang tampak sangat kaku dan juga serba salah di depan Susan saat ini. Mungkin karena semua yang terjadi tidak terlepas dari tanggung jawab dan juga ulahnya. Namun, bagi Susan sendiri semua itu sudah berlalu dan dia tidak lagi menyalahkan mbok Minah.“Mbok Nah udah makan belum?” tanya Susan yang melihat wajah wanita tua itu sedikit pucat.“Belum, Nak. Mbok Nah nggak selera makan dan lagi pula makanan semuanya catering, nggak baik untuk orang tua seperti Mbok Nah mengko
“Susan lama banget baliknya? Apa dia jadi sungkan dan nggak jadi masuk ke kamar ini, ya?” tanya Evan yang sudah setengah jam menunggu Susan datang kembali.Awalnya, Evan hanya ingin mandi dan mengerjakan pekerjaannya saja di kamar Susan ini. Hatinya sudah terlanjur kecewa dengan sikap Renata kepadanya. Jadi, dia merasa perlu menenangkan diri dan mereka tidak bisa bertemu untuk sementara waktu. Hal itu hanya akan memicu kembali pertengkaran yang tadi sudah usai.Evan menutup laptopnya dan tidak lagi bisa konsen bekerja karena memikirkan Susan yang tak kunjung datang kembali. Dia bahkan sudah berbaring di atas ranjang karena memang tubuhnya merasa benar-benar lelah saat ini.“Apa mungkin Susan kabur, ya? Dia pasti merasa nggak enak sama aku dan juga Renata, karena sekarang keadaan sudah tidak seperti yang dia pikirkan sejak awal.” Evan kembali bergumam ketika teringat dengan niat awal Susan kabur dari kotanya mengikuti Evan ke kota ini.Evan beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan me
Tubuh Renata menegang saat mendengar ucapan yang baru saja dilayangkan suaminya itu. Kenyataan yang sebenarnya memang ingin dia tutupi dari Evan. Dia menyadari bahwa hal yang sudah dilakukannya bersama Rizal di kamar hotel itu adalah kesalahan.“Kenapa kamu diam? Kaget kenapa aku bisa tau semuanya?” tanya Evan yang mendapati Renata hanya diam mematung di tempatnya.Renata masih termangu tak percaya dengan yang baru saja dia dengar. Dia tidak percaya jika Evan ternyata mengetahui hal itu juga. Renata ingin membalikkan keadaan agar tidak terlalu tampak bersalah di mata suami yang jujur saja masih sangat dicintainya itu.“Aku sempat heran kenapa bisa ketemu dan semua itu terjadi, Mas. Ternyata ... aku tau sekarang penyebabnya. Kamu yang sengaja mengatur semua itu kan, Mas?” tanya Renata dengan berani.“Aku mengatur apa maksudmu? Jangan mengalihkan pembicaraan dan melempar kesalahanmu padaku,” jawab Evan dan kini mulai menatap Renata dengan bengis.“Kalau nggak kamu, siapa lagi yang punya
Susan duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang berkecemuk. Mana mungkin dia bisa tenang jika ucapan Evan padanya tadi masih terbayang dengan sangat jelas. Pria itu memanggilnya dengan sebutan sayang, tadi ketika mereka bertiga makan bersama mbok Minah juga.“Apa mas Evan tadi salah manggil orang, ya? Mungkin dia pikir aku ini adalah mba Renata.” Susan berbicara dengan dirinya sendiri.Susan tidak tahu harus melakukan apa lagi saat ini dan tubuhnya sudah merasakan lelah yang teramat sangat. Ditambah lagi perut yang sudah terisi dengan penuh, kekenyangan membuat matanya mulai terasa berat.“Ya ampun, berat banget mataku. Tidur ajalah kalau gitu, besok aja mikirin yang lainnya. Mas Evan juga kayaknya udah sama mba Rena lagi. Bisa tenang tidur di sini sampai pagi,” gumam Susan lagi dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang sudah dihias dengan sangat indah.Tentu saja kamar itu dijadikan kamar pengantin oleh MUA yang tadi merias Susan. Mereka tahu bahwa Susan menikah dengan pr
Evan tidak menyangka jika Renata menjadi seagresif ini sekarang, setelah sebelumnya wanita itu sempat bersikap dingin pada hubungan mereka. Terlebih lagi saat Evan terus saja menolak untuk mencari wanita yang akan dinikahinya dan mau mengandung benih yang akan dibayarnya nanti.Cumbuan sepasang suami istri itu bertambah dalam dan saat ini keduanya sudah berada di atas ranjang. Ciuman itu tidak terlepas sama sekali sejak tadi dan Renata terlihat sangat bersemangat melakukan hal itu bersama Evan.Bagi seorang pria dan juga suami yang mencintai istrinya, tentu saja Evan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Kedua tangannya bekerja dengan cepat dan dalam waktu singkat seluruh pakaian Renata sudah terlecuti dari tubuhnya.“Mas ... aku kangen. Aku pengen,” bisik Renata dengan suara yang sangat manja dengan tatapan sayu.“Aku juga, Sayang.” Evan berkata dengan suara serak.Posisinya saat ini berada di atas tubuh Renata dan keduanya sudah tidak lagi memakai sehelai benang pun. Renata terl
“Mbok Nah ngomong apaan sih, ada-ada aja deh!” cicit Susan dengan mulut monyong dan juga sedikit merasa kesal. Dia teringat akan kejadian semalam di kamar Renata dan Evan.“Kenapa memangnya? Biasa aja, Nak. Namanya juga pengantin baru,” ucap mbok Minah lagi dengan senyum yang lebar, dia masih belum tahu yang sebenarnya terjadi.“Nggak lah, Mbok. Aku tuh nikah nggak karena cinta dan nggak karena memang ingin merebut mas Evan dari mba Renata. Jadi, nggak mungkin ada malam pertama antara aku dan mas Evan,” ungkap Susan yang dengan jelas mengatakan semua itu tanpa ada beban sedikit pun.“Kenapa nggak mungkin? Kamu kan menikah secara sah dengan mas Evan,” kata Renata yang baru saja muncul di antara mbok Minah dan Susan.Susan menjadi canggung mendengar hal itu dan langsung menepikan diri. Renata sama seperti dirinya pagi ini, sudah mandi dan keramas juga. Tentu saja, Renata lebih cocok untuk hal yang disebutkan oleh mbok Minah tadi.Renata tampil dengan daster rumahan yang tidak murahan te
Tak terasa sudah hampir sebulan pernikahan Susan dan Evan terjadi dan masih saja keduanya terlihat canggung tiap kali bertemu. Meski Renata sudah terus berusaha juga mendekatkan mereka berdua dan berharap semua terjadi seperti keinginannya.Selain itu, hubungan Susan dengan Renata juga sudah semakin membaik seiring berjalannya waktu. Tidak ada lagi yang membuat mereka saling berdebat akhir-akhir ini. Keduanya tampak seperti adik dan kakak yang saling menyayangi saja.“Kamu nggak ikut, San?” tanya Renata dengan kening berkerut.“Nggak deh, Mba. Aku di rumah aja, soalnya lagi nggak enak badan,” jawab Susan dengan senyum kecut. Dia baru saja keluar kamar dengan piyama berwarna merah muda saat bertemu dengan Renata dan Evan yang sudah terlihat sangat rapi.“Loh, kok jadi nggak ikut sih? Kan ini acaranya buat ngerayain satu bulan pernikahan kamu sama mas Evan,” ucap Renata lagi seperti tidak bisa percaya.“Nggak apa-apa, Sayang. Kita berdua aja yang pergi makan malamnya, Susan nggak enak b
“Mas, udah satu bulan tapi nggak ada perkembangan dari Susan. Apa mungkin, yang kamu lakukan sekali waktu itu nggak membuahkan hasil?” tanya Renata di sela suapannya.“Nggak usah bahas masalah itu sekarang. Nikmati aja waktu kita berdua,” ucap Evan yang jelas enggan menanggapi permasalahan itu.“Kenapa, Mas? Mumpung kita lagi dinner berdua dan kesempatan kita bahas masalah ini juga.”“Aku lagi nggak mau bahas masalah itu, Sayang. Bisa kan?”“Aku pengen bahas, Mas!” tegas Renata dengan ketus dan keras kepalanya.Evan menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Dia sungguh tidak akan pernah bisa melawan kekeras kepalaan Renata yang seperti ini sampai kapan pun. Renata memang selalu ingin didengarkan dan tidak pernah mau mengalah. Hal ini yang akhir-akhir ini membuat Evan mulai merasa jenuh.“Kita bahas sekali ini supaya dua bulan ke depan nggak terbuang percuma, Mas!” lanjut Renata lagi kepada Evan dengan nada tinggi, tapi tidak mengusik ketenangan pengunjung yang lain pula.Mendengar
Sarah baru sadar bahwa Renata ada di sana dan membuatnya menjadi sedikit canggung. Renata hanya tersenyum kaku saat ditatap tak enak hati oleh Sarah. Begitu pula dengan Evan yang merasa bahwa ibunya itu sudah menyakiti hati dan perasaan Renata secara tidak sengaja.“Maafkan Mami, ya Sayang. Mami nggak bermaksud menyinggung kamu dan mengabaikan kamu. Mami hanya kasian sama Susan, dia kan senndirian sekarang dan kondisinya juga sedang hamil seperti kamu. Jadi, kita keluarganya sekarang supaya dia tetap semangat,” jelas Sarah kepada Renata dan memang terlihat sedikit gurat perasaan bersalah di wajah wanita paruh baya itu.“Nggak apa-apa kok, Mi. Aku juga udah bilang seperti itu sebelumnya sama Susan. Dia boleh anggap kami semua ini sebagai keluarganya.” Renata berkata dengan bijak dan tidak marah sama sekali.“Iya, Nak. Bagus kalau kamu mempunyai pemikiran seperti itu dan memang biasanya kalau wanita hamil akan peka terhadap perasaan wanita hamil lainnya. Jadi, Mami salut banget sama pem
“Baru trimester pertama, Bu.” Susan menjawab dengan singkat dan senyuman yang canggung.“Oh gitu, ya. Berarti sama dengan usia kehamilan Renata,” ucap Sarah lagi dan berusaha menepis perasaan aneh atau curiganya saat tadi menyentuh perut Susan.“Iya, Bu. Memang usia kehamilan kami sepertinya sama,” kata Susan dengan senyum canggung.“Nggak usah takut dan malu-malu sama saya. Saya ini maminya Evan dan kamu boleh panggil mami juga sama saya. Nggak usah panggil ibu lagi, ya.” Sarah berkata dengan sangat ramahnya kepada Susan dan hal itu tentu saja membuat Renata sedikit cemburu.Walaupun pada dasarnya dia memang ingin mencurikan simpati Sarah untuk Susan, agar Sarah tidak terlalu fokus pada kehamilan palsunya itu. Namun, tetap saja saat semua terjadi di depan mata kepalanya sendiri Renat merasa cemburu akan hal itu.Evan sudah bisa melihat gelagat cemburu dari istrinya itu dan mulai bergerak ke kursi tempat di mana Renata duduk bersama dengan Sarah saat ini. Akan tetapi, saat Sarah melih
“Oh dia ... dia istri temannya mas Evan, Ma. Dan sekarang dia udah jadi janda ...,” ucap Renata menjawab pertanyaan Sarah dengan membawa ekspresi sedih yang dibuat-buat.“Hah? Teman Evan yang mana? Kamu punya teman yang udah meninggal, Van? Kok Mami nggak tau?” tanya Sarah pula beralih kepada Evan yang berada di sisi Renata.“Eh, i-iya, Ma. Teman aku waktu masih SMA dulu dan dia memilih untuk jadi abdi negara. Tapi, sayangnya dia gugur di medan pertempuran dan sekarang istrinya menjanda dan juga lagi hamil, sama seperti Rena.” Evan untuk pertama kalinya bicara panjang lebar untuk menjelaskan semua hal yang tentu saja adalah kebohongan itu kepada SarahSelama ini Evan terkenal dengan sebutan pria yang bersikap dingin dan tidak banyak bicara. Memang seperti itulah Evan, dan dia tidak terlalu suka banyak bicara dalam hal apapun. Sarah sangat hafal dengan sikap dan kebiasaan putranya itu.Jadi, saat dia mendengar Evan berbicara seperti tadi tentu saja membuat Sarah tahu bahwa putranya jug
“Mami! Kenapa nanya gitu sama Renata? Mami melukai hati istriku!” tegur Evan lagi dan kini berpindah ke sisi Renata.Dia merangkul tubuh istrinya yang tampak sedih dan mata Renata bahkan sudah berkaca-kaca. Walaupun dia berpura-pura hamil saat ini di depan Sarah, tetap saja sebenarnya dia tidak akan pernah bisa mengandung lagi. Jadi, pertanyaan yang dilemparkan Sarah kepadanya itu terasa begitu menyakitkan dan juga mengoyak ngoyak perasaannya saat ini.“Sayang ... nggak usah diambil hati, ya ucapan mami. Mami hanya kaget dan merasa syok, soalnya kan selama ini kita udah berjuang keras untuk bisa mendapatkan keturunan.” Evan berusaha untuk menghibur hati dan perasaan Renata yang sudah jelas merasa kacau berat sekarang ini.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok kalau Mami masih nggak percaya sama kehamilan aku ini. Mudah-mudahan nanti anak ini lahir mirip banget sama kamu, ya Mas. Jadi, Mami nggak meragukan lagi bayi dalam kandunganku ini,” ungkap Renata dengan nada sedih di depan Sarah.
Setelah memberikan arahan kepada Susan, Renata pun turun ke bawah dan mempersiapkan jamuan untuk ibu mertuanya yang akan datang dan menginap. Tentu saja mbok Minah sudah membantunya membersihkan rumah yang memang selalu sudah dalam keadaan rapi dan bersih.“Mbok Nah udah masak apa di dapur?” tanya Renata yang duduk di ruang keluarga, di atas sebuah sofa empuk berwarna merah hati.“Mbok Nah lagi bikin sambalado tanak gitu, Mba. Soalnya bu Sarah kan suka itu banget dari dulu.”“Oh iya. Apa kebetulan semua bahan ada di kulkas, ya Mbo?” tanya Renata lagi.“Iya, Mba. Kebetulan semua bahan ada karena kemarin kan mas Evan abis belanja online juga sama yang biasa nganter ke rumah. Tapi, tadi Mbok Nah tambahin telor puyuh aja biar enak dan ada lauknya selain campuran teri dan kawan-kawannya di sana.” Mbok Minah menjelaskan hal itu kepada Renata dengan sangat detail.Renata tidak mendapatkan info dari Evan bahwa ibunya akan datang dan menginap. Sebenarnya, Renata merasa kesal kepada Evan karena
“Bu Sarah itu maminya mas Evan, berarti itu mertuanya Nak Susan juga sekarang. Tapi ... tetap nggak boleh dikasih tau, ya.” Mbok Minah berkata dengan wajah yang sendu setelah sempat bersemangat.“Maminya mas Evan? Jadi, dia mau datang ke sini, Mbok Nah?” tanya Susan yang jujur saja merasa kaget dengan kabar kedatangan ibu mertua Renata itu.“Iya, Nak. Beliau udah ada di Bandara sekarang. Biasanya kalau datang, beliau akan menginap seminggu paling lama di sini,” jelas mbok Minah kepada Susan pula.“Menginap seminggu di sini? Terus, aku gimana, dong Mbok Nah? Apa aku harus sembunyi selama seminggu sampai maminya mas Evan pulang?”“Itu yang Mbok Nah belum tau, Nak. Gimana kalau kita tunggu aja keputusan dari mba Renata atau mas Evan? Biar lebih jelas dan nggak salah ambil langkah.”“Mbok Nah benar. Aku siap kalau harus pergi dulu dari rumah ini selama maminya mas Evan menginap. Kalau sembunyi di dalam rumah doang selama seminggu, aku nggak mau, Mbok!”Susan terus terang saja kepada mbok
“Oke kalau gitu, Mba. Aku pegang janji Mba dan aku pasti akan tagih saat waktunya tiba nanti,” kata Susan dengan suara yang terdengar penuh tekad.Renata tidak menanggapinya terlalu serius karena dia tahu tidak ada yang lebih diinginkan seorang wanita dengan kehidupan miris seperti Susan itu kecuali uang. Bukan maksud hati Renata untuk merendahkan derajat Susan, tapi kebanyakan wanita yang dia temui memang mengidolak uang dan uang di atas segala-galanya untuk dijadikan sebagai permintaan atau persyaratan utama.Jadi, untuk saat ini pun dia sudah bisa menebak apa yang akan diminta Susan ketika anak dalam kandungannya itu sudah lahir. Susan pasti butuh biaya dan juga banyak sekali uang untuk pergi dari hidupnya dan Evan. Gadis dengan latar belakang keluarga tidak mampu itu tentu butuh modal banyak untuk bisa terus melanjutkan hidupnya setelah pergi dan keluar dari keluarga Evan.“Sekarang, kamu ikuti aturan mainnya dan lakukan semua dengan baik. Bisa?” tanya Renata dengan suara pelan ta
Renata tertegun mendengar pertanyaan dari Evan dan tidak menduga kalau pria itu akan bertanya seperti itu. Bagi Renata, dia sudah melakukan semua yang terbaik sejak awal dan sekarang mereka sudah mendapatkan hasil yang diinginkan.“Aku juga akan bantu merawat dia, Mas. Dia kan tinggal di sini, jadi nggak mungkin aku cuek aja sama dia.” Renata menjawab dengan senyum ramah.“Merawat dia bagaimana?” tanya Evan sekali lagi.“Aku akan membantu meringankan tugas kamu sebagai seorang suami lah, Mas. Kamu kan juga harus kerja dan nggak bisa selalu ada untuk Susan. Makanya aku yang akan gantiin kamu selama kamu bekerja.”“Terus, kalau aku udah pulang kerja gimana?”“Saatnya kamu yang mengurus dia dan memenuhi semua yang dia mau, Sayang. Kita harus kerja sama karena anak itu nantinya juga akan menjadi anak kita.”“Kamu yakin itu akan jadi anak kita nantinya? Gimana kalau tiba-tiba aja nanti Susan nggak mau menyerahkan anak itu untuk kita?” tanya Evan yang terdengar tidak terlalu serius bertanya
“Kamu ngomong apa sih, Sayang? Aku nggak ada maksud untuk membawa serius pernikahan dengan Susan saat ini!” tegas Evan kepada Renata.“Kita nggak ada bisa menebak apa yang akan dan bisa terjadi di kemudian hari, Mas.”“Maksudnya, kamu berharap kalau perasaanku ke Susan berubah jadi sungguhan, begitu?” tanya Evan dengan nada penuh penekanan di akhir kalimatnya itu.Renata tidak bisa menjawab lagi karena sebenarnya dia tidak pernah mengharapkan hal itu sama sekali. Hanya saja, dari cara dan sikap Evan yang tampak aneh itu jelas bisa dibaca oleh Renata. Namun, tetap dia tidak ingin mempertegasnya terlalu cepat karena bagaimanapun juga saat ini Renata masih teramat sangat mencintai suaminya itu.Hal yang nekad dan begitu menguji keimanan, kesabaran, keikhlasan, dan juga ketabahan ini harus dia jalani karena rasa cintanya yang begitu besar terhadap Evan pada awalnya. Renata tidak ingin bercerai dan berpisah dari pria yang sudah sepuluh tahun menjadi suaminya itu.Semua hal yang dia takutka