Leonel menyalakan loudspeaker, membuat suara Airin terdengar begitu jelas di dalam ruangan.“Vina, Sayang …. Jangan nangis lagi, ya.”Perlahan tangis itu mulai mereda.Airin terus berbicara, seakan ia tengah berbincang dengan Belvina. Membuat Belvina merasa lebih tenang dari sebelumnya, sebab merasa jika Airin berada di dekatnya.“Bagus, pintar anak mama.” Airin memberikan pujian.“Tidak sudi aku putriku kau dekatkan dengan Airin!” Livy langsung merebut ponsel, menghantamkannya ke lantai hingga benda pipih itu rusak dan panggilan terputus.Leonel menoleh, menatap dengan tajam pada Livy yang tengah mengamuk. “Apa yang kau lakukan?”“Harusnya aku yang bertanya. Mengapa kau menghubungi Airin?”“Kau lihat, Belvina bisa sedikit lebih tenang setelah mendengar suara Airin.”“Itu hanya alasanmu. Bilang saja jika kau merindukannya, tidak perlu menggunakan Belvina sebagai alasan.” Livy menyangkal.“Apa kau tidak bisa jika sehari saja tidak memancing pertengkaran?”“Kau yang memulainya lebih dul
Airin beranjak membukakan pintu ketika bel terdengar berbunyi. Wanita itu cukup terkejut ketika mendapati Sam yang datang seorang diri. Lelaki itu melangkah masuk sebelum Airin mempersilakan. Sedikit kasar ketika ia mendorong tubuh Airin untuk masuk ke dalam dan menutup pintu dengan bantingan.“Mau apa kau?” Airin bertanya dengan bingung. Menatap Sam yang tampak seperti orang kesetanan.“Aku tahu kau sedang sendiri di sini. Aku bertemu dengan Om Robin di angkringan.”“Lalu?” Airing menyipitkan mata.“Aku ingin kau memuaskanku, mumpung tidak ada orang di sini.” Sam berucap secara gamblang. Tatapannya tampak nyalang, menyorot Airin dengan nafsu yang begitu menggebu-gebu.Airin menghela napas dengan kasar. “Aku tidak bisa.”“Aku akan memberitahu orang-orang mengenai hubungan haram kalian jika kau tidak ingin memuaskanku. Orang-orang akan mengusirmu dari sini, juga Om Robin. Kalian akan dipermalukan.” Sam mulai memberikan ancaman. Tatapannya tampak semakin nyalang.Terlihat ada luka di bi
“Tadi Arie nelfon.” Robin berucap ketika ia dan Airin tengah menonton televisi sehabis makan malam bersama.“Papi ngomong apa?” Airin mendongak, menatap Robin yang ia jadikan tempat sandaran.“Rumahnya sudah dapat, besok atau lusa bakal ngurus kepindahan.” Robin berucap dengan perasaan sedih. Sebab, ia dan Airin akan berpisah jika orang tua wanita itu benar-benar pindah ke sana.“Daerah mana?” Airin bertanya tanpa ada ekspresi keberatan sama sekali. Robin mulai berpikir jika Airin merasa senang akan perpisahan mereka. Sebab, tidak ada sedikit pun ekspresi sedih yang tampak di wajah cantiknya.“Kau senang?” Robin bertanya memastikan. Ia mainkan ujung rambut Airin dengan penuh kasih sayang.“Ya. Aku sudah merindukan mereka.” Airin tersenyum menjawab. Ia terlihat sangat manis jika tersenyum seperti itu.Robin menghela napas dengan kasar. “Kita akan sulit untuk bertemu. Arie pasti akan melarangmu mengunjungiku.” Lelaki itu berucap dengan sangat serius.Airin mendongakkan tubuhnya, membena
“Buat apa?” Robin bertanya seraya ia menatap empat macam testpack yang Airin masukkan ke keranjang belanjaan. Keningnya berkerut, menyorot dengan penuh tanda tanya.“Mau nyoba aja, barangkali hasilnya positif.” Airin menjawab dengan senyum semringah yang menghiasi bibirnya. Sorot matanya tampak berbinar. Ada banyak angan dan harapan yang terpancar. Harapan yang bisa dibaca oleh semua orang.Robin merasa nyeri di ulu hati, sebab Airin semakin ke sini sikapnya semakin menyedihkan. Obsesinya terhadap bayi semakin besar.“Kau tidak keberatan untuk membayarnya kan?” Airin bertanya memastikan. Sebab, ia tidak membawa uang ketika mereka berangkat ke minimarket.Robin menghela napas dengan dalam. “Kapan aku pernah berkata keberatan?” Ia menegaskan.Senyum Airin semakin lebar. Ia melangkah menuju rak yang memajang berbagai macam produk susu. Ia memilah setiap produk, lalu mengambil dua kotak susu ibu hamil.Mata Robin tampak memerah menatap Airin. Ia benar-benar merasa sangat kasihan. Meskipun
“Yang, pindah sini.” Airin berucap dengan manja, menepuk lembut betis kanannya agar Robin pindah memberikan pijatan di sana. Ia tidak melakukan apa pun, bahkan seisi rumah diurus oleh Robin. Namun, ia tetap saja diperlakukan dengan sangat baik, layaknya seorang tuan putri.Robin melakukan apa yang Airin minta. Kedua telapak tangannya yang kasar berpindah memberikan pijatan dari betis kiri ke betis kanan. Ia senang melakukan itu, tidak ada keterpaksaan sama sekali. Sementara Airin sibuk menonton televisi dengan rebahan di sofa dan kedua kakinya berada di atas paha Robin.Ruangan itu dipenuhi oleh suara yang berasal dari layar kaca yang tengah menayangkan film marvel. Tidak ada percakapan di antara mereka sama sekali. Mereka saling diam karena terlalu fokus menonton.Robin terlihat begitu mengantuk dan kelelahan. Ia mengurus segala hal. Bahkan pikirannya tidak pernah bisa tenang. Di waktu seperti ini ia harusnya istirahat dan dilayani, bukan melayani. Sesekali lelaki itu menguap sebagai
Robin duduk di sofa dengan laptop menyala yang ada di hadapannya. Ia tengah mempersiapkan diri untuk meeting pagi ini. Memeriksa berkas kembali untuk memastikan tidak ada yang salah dari file yang akan ia presentasikan.Sebuah pelukan lembut melingkar di leher Robin dari arah belakang. Ia menoleh, menatap Airin yang tersenyum menatapnya. Wanita itu baru saja bangun tidur dan langsung mencarinya. Mereka saling terhubung sekarang, tidak bisa jika tidak bertemu satu dengan yang lain.“Kau belum mandi? Kau harus siap-siap, Arie akan tiba sebentar lagi.”Airin tidak menjawab. Ia berikan kecupan lembut di tengkuk Robin. Mengendus tengkuk yang terasa begitu wangi khas maskulin. Ia seakan candu dengan aroma tubuh lelaki itu. Ingin terus menghirup, mengendus, juga mengecup.“Tadi papi nelpon.” Airin berucap setelah ia berhenti memberikan kecupan.“Oh, ya? Dia ngomong apa?”“Kepindahannya ditunda sampai minggu depan. Adek-adek mau ikut pindah, jadi harus ngurus perpindahan sekolahnya dulu.” Air
“Buruan!” Airin sudah tidak sabar ketika Robin berjanji akan mengajaknya ke Candi Prambanan. Ia tampak cantik dengan setelan dress vintage tanpa lengan. Rambutnya ia biarkan tergerai begitu saja. Make up tipis-tipis membuat ia terlihat semakin cantik.“Di sana panas, kau harus pakai outer.” Robin mengingatkan. “Kulitmu bisa terbakar.”Airin menggeleng. Menolak untuk memakai outer seperti yang Robin katakan.Robin hanya bisa menghela napas dengan kasar. Ia kembali ke kamar, menjemput jaket untuk berjaga-jaga. Lalu, kembali menemui Airin yang sudah siap untuk berangkat.Airin bangkit berdiri ketika Robin berhenti tepat di depannya. Ia mendongak, menatap dengan senyuman. Memeluk tubuh kekar itu untuk bermanja di sana. Ia seperti anak kecil yang tengah menggelayut pada ayahnya.Semakin lama, ia semakin terpesona. Robin benar-benar terlihat gagah dan tampan. Jauh lebih muda dibanding usia yang sesungguhnya. Ia tidak pernah sadar jika memiliki mertua yang begitu menggairahkan.Bunyi bel mem
“Kenapa kau izinkan dia tinggal di sini?” Airin protes pada Robin. Ia memasang wajah kesal, menunjukkan perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja sekarang. Mereka bahkan gagal pergi jalan-jalan hari ini, sebab kedatangan Leonel yang begitu mendadak.“Dia tidak bawa uang, kau dengar sendiri kan tadi dia bilang apa. Dia cuma bawa Belvina, sama kayak kamu yang datang ke sini waktu itu. Bedanya kamu bawa uang, bisa menginap di mana saja. Dia tidak bawa uang sama sekali, untuk ongkos ke sini saja dibayarin sama Alex.” Lelaki paruh baya itu berucap dengan lembut, berusaha memberi pengertian pada Airin.“Aku tidak suka dia ada di sini.”“Biar bagaimanapun dia itu putraku, Airin.” Robin menegaskan. Meminta dengan sangat agar kali ini Airin mengalah sedikit saja.“Tapi aku tidak suka, minta dia buat pergi secepatnya.” Airin memaksa. Ia tidak ingin mengalah sama sekali. Sebab, kehadiran Leonel di sana akan sangat merusak suasana. Raut wajahnya tampak begitu serius. Ia benar-benar tidak mener
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener