Mata Airin memanas mendapati sorot yang begitu serius dari manik mata milik Robin. Wajahnya memucat ketika menyadari bahwa uasahanya sia-sia. Ia menghela napas dengan kasar, mengusap pelupuk mata yang tiba-tiba basah begitu saja. Ia merasa sangat kecewa. Benar-benar kecewa. Baru sesaat ia merasakan kenyamanan dalam pelukan lelaki itu, kini ia kembali dibuat memendam benci yang begitu besarnya.“Kau menyebalkan!” Airin berlari menuju rumah seraya terus mengusap kedua pipi. Dadanya terasa begitu sesak dan sakit, sebab dikhianati oleh orang yang begitu ia percaya. Jantungnya berdetak dengan tidak karuan. Membayangkan seperti apa kondisi Belvina sekarang. Ia tidak bisa tenang meski hanya sekejap.Airin meraih tasnya setibanya ia di kamar. Tas yang berisi cukup uang untuk ia pulang. Tangisan masih belum bisa dihentikan. Matanya memerah dengan air yang terus tumpah.“Kau tidak bisa ke mana-mana.” Robin langsung menghalangi ketika Airin hendak kembali keluar kamar.“Awas! Kau ular yang sanga
Sore ini Zayyan tidak bisa langsung pulang karena ada tugas kelompok yang akan dikerjakan bersama. Mereka kumpul di pinggir titik nol KM Jogja. Membahas di mana mereka akan mengerjakan tugas. Sekaligus membeli camilan untuk dinikmati seraya bergumul dengan tumpukan tugas.“Di rumahmu saja.” Salah satu lelaki menunjuk Zayyan. Sebab, rumahnya yang paling lapang dan bebas untuk melakukan keributan. Sementara yang lainnya hanya ngekost yang ruangannya sempit dan akan langsung ditegur jika menciptakan kebisingan.“Ayo saja. Tapi tadi kata Sam mau di Teras Malioboro, makanya kita ngumpul di sini.” Zayyan memberikan jawaban.“Teras Malioboro makanannya mahal. Kan kemarin kita sudah di sana.” Seno ikut menanggapi.“Permisi, maaf mengganggu waktunya sebentar.” Arie menghampiri kelompok mahasiswa itu.Mereka sedikit mengabaikan karena berpikir Arie adalah orang yang ingin menawarkan produk, seperti yang sudah-sudah. Sebab, memang sudah biasa jika di kawasan itu banyak pejalan kaki yang melakuka
“Kita pulang, ya?” Lenzy berusaha membujuk setelah ia dan Airin saling melepas rindu. Diusapnya wajah sang putri dengan penuh kasih sayang. Sorot matanya menunjukkan rasa lelah yang begitu besar.Airin hanya diam, ia tidak memberikan jawaban sama sekali. Wajahnya tampak begitu kusut, sebab pikirannya sangat kacau.“Kamu marah sama mami? Salah mami apa?” Dari nada bicaranya, Lenzy terdengar begitu menuntut jawaban.Airin menggeleng dengan pelan. Ia menatap dengan sorot yang sulit untuk diartikan. Matanya berkaca-kaca dengan air mata yang menghalangi pandangan.“Mami tidak salah. Airin yang salah, Airin sudah mengecewakan papi sama Mami sampai sejauh ini. Airin tidak lagi ingin merepotkan. Airin akan tinggal di sini sama Papa Robin.”“Tidak, Sayang.”“Mi, tolong ngertiin Airin. Airin tidak mau kembali. Anggap saja Airin sudah mati. Airin tidak punya tujuan hidup sama sekali, hidup Airin sudah sangat kacau.” Airin berusaha keras menahan tangisan. Pikirannya benar-bhenar kacau sekarang.“
Ruang makan itu sangat hening. Tidak terdengar suara selain denting sendok yang beradu dengan piring.“Apa lagi rencanamu?” Robin bertanya dengan lembut, memecah keheningan yang ada di antara mereka.Airin menoleh, mendongak menatap Robin yang duduk di seberang meja. “Mengapa kau curiga padaku? Aku tidak merencanakan apa pun.” Airin menjawab dengan nada begitu meyakinkan.“Mengapa kau tidak jadi pulang? Sementara siang tadi kau merengek padaku meminta pulang.” Robin mengungkapkan isi hatinya. Tentu saja ia curiga, sebab gerak-gerik Airin selama ini tidak ada yang beres. Bahkan semua rencananya selalu hancur dan berhenti di tengah jalan. Setiap ia membuat rencana, itu hanya akan menciptakan masalah baru. Dan pada akhirnya Robin yang selalu kena batunya.“Aku tidak ingin pisah darimu.”Tawa Robin terdengar pecah memenuhi ruang makan. Ia merasa sangat tergelitik. Ia masih bisa merasakan panas di pipi karena tamparan Airin siang tadi. Namun, malam ini wanita itu seolah telah melupakan sem
Robin terbangun di pagi hari dengan tubuh polos Airin yang masih berada dalam dekapan. Lelaki itu tertawa sumbang. Tidak percaya jika ia dan Airin benar-benar menghabiskan malam dengan bercinta habis-habisan. Tubuh mereka terasa lengket karena langsung terlelap dengan badan yang penuh keringat dan juga cairan cinta.Robin hendak bangkit, tapi Airin langsung menahan. Wanita itu mendekap semakin erat. Menenggelamkan wajahnya di dada bidang milik Robin. Ingin bermanja dan meneruskan tidur yang sempat terjeda.Robin pasrah saja. Ia benar-benar tidak bisa menjaga sikap dan perasaannya untuk saat ini. Sebab, ia akan berpisah dengan Airin sebentar lagi. Setelah Arie dan Lenzy benar-benar pindah ke kota itu, mereka tidak akan pernah memiliki waktu untuk bertemu.Napas Airin terdengar begitu teratur, tidurnya sangat nyenyak dalam dekapan yang memberikan ia rasa aman dan nyaman. Robin memberikan kecupan lembut di puncak kepala wanita itu, mengeratkan pelukan, lalu memejamkan mata untuk kembali
“Aku sudah menikah.”“Bukankah kau akan bercerai?”“Zayyan juga yang memberitahumu?”“Ya.”“Dia tidak seharusnya menyebar masalah orang lain. Kupikir dia pria yang baik.” Airin cukup kecewa akan itu.“Dia memang baik. Dia hanya memberitahuku tentangmu. Kami sangat dekat, jadi kurasa dia menjadikanku tempat curhat mengenai masalahmu. Kurasa dia menunggu perceraianmu agar dia bisa lebih dekat denganmu.”“Aku tidak tertarik padanya. Dia memang baik dan menyenangkan, tapi lebih cocok jika hanya menjadi teman.”“Aku tidak peduli tentang itu. Bukan itu masalahnya.”“Lalu?” Airin semakin dibuat bingung.“Aku ingin kau tidur denganku.” Sam berucap dengan serius. “Aku tidak akan memberitahu Zayyan tentang ciuman tadi petang, asal kau bisa memberikanku kepuasan.”Airin tertawa tipis mendengar ucapan Sam. “Aku bisa saja tidur denganmu. Tapi malang sekali Zayyan memiliki teman sepertimu. Kau sampah yang tidak bisa menghargai pertemanan. Aku memang belum mengenalmu, aku juga baru berteman dengan Z
Leonel mengempaskan tubuhnya dengan kasar ke sofa. Tampak ada banyak beban berat yang terukir di wajahnya. Ia menghembuskan napas kasar, berharap dengan itu bebannya akan sedikit berkurang.“Berapa kali aku harus memberitahu, jangan taruh sepatumu sembarangan!” Livy berucap dengan berang. Wajahnya tampak memerah menahan amarah. Sementara dalam gendongannya Belvina tengah menangis dengan hebat.“Ck!” Leonel berdecak. “Hanya masalah sepele seperti ini kau perdebatkan. Airin tidak pernah protes apa pun yang aku lakukan, bahkan ketika aku naik ke atas ranjang dengan sepatu yang mengotori sprei.”“Airin terus! Selalu Airin yang kau pikirkan!” Livy mendudukkan Belvina di pangkuan Leonel. “Kau urus anakmu, aku ingin istirahat dengan tenang!” Wanita itu beranjak pergi dengan emosi yang menguasai.Leonel ingin marah, tapi ia tidak bisa. Sebab, ada sang putri yang berada dalam pangkuan. Digendongnya bayi mungil itu, lalu bangkit berdiri untuk memberikan timangan. Berusaha menenangkan.Belvina t
Leonel menyalakan loudspeaker, membuat suara Airin terdengar begitu jelas di dalam ruangan.“Vina, Sayang …. Jangan nangis lagi, ya.”Perlahan tangis itu mulai mereda.Airin terus berbicara, seakan ia tengah berbincang dengan Belvina. Membuat Belvina merasa lebih tenang dari sebelumnya, sebab merasa jika Airin berada di dekatnya.“Bagus, pintar anak mama.” Airin memberikan pujian.“Tidak sudi aku putriku kau dekatkan dengan Airin!” Livy langsung merebut ponsel, menghantamkannya ke lantai hingga benda pipih itu rusak dan panggilan terputus.Leonel menoleh, menatap dengan tajam pada Livy yang tengah mengamuk. “Apa yang kau lakukan?”“Harusnya aku yang bertanya. Mengapa kau menghubungi Airin?”“Kau lihat, Belvina bisa sedikit lebih tenang setelah mendengar suara Airin.”“Itu hanya alasanmu. Bilang saja jika kau merindukannya, tidak perlu menggunakan Belvina sebagai alasan.” Livy menyangkal.“Apa kau tidak bisa jika sehari saja tidak memancing pertengkaran?”“Kau yang memulainya lebih dul
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener