Setelah perdebatan yang cukup panjang, pada akhirnya Robin tetap saja keluar dari urmah Leonel. Airin ingin ikut pergi demi membuat Leonel lebih marah lagi. Namun, itu akan menghalangi jalannya untuk melakukan pendekatan dengan Belvina. Ia ingin anak itu menjadi miliknya. Merebut semua orang terdekat yang ada di hidup Leonel. Ia bisa merasakan cinta yang besar dan sangat tulus Leonel berikan untuk bayi itu, jadi akan sangat menyakitkan jika mereka dipisahkan.Hari ini Airin mendatangi rumah sakit untuk melakukan induksi laktasi. Mendengr penjelasan dokter yang mengatakan ia akan sangat kesulitan untuk hamil, membuat tekadnya semakin kuat untuk merebut Belvina. Induksi laktasi dilakukan agar ia bisa memiliki ASI tanpa melewati proses kehamilan sama sekali. Menjadi seorang ibu adalah impian yang sangat ingin ia dapatkan, tapi tampaknya kini mustahil untuk terjadi. Apalagi ia tidak lagi percaya akan sakralnya ikatan sebuah pernikahan.Mempertahankan pernikahan dengan Leonel ia lakukan ha
“Dari mana kamu?” Leonel langsung menyambut ketika Airin pulang menjelang malam. Di tangan Wanita itu ada beberapa kantung belanjaan berisi suplemen, dan makanan sehat.Airin menghela napas dengan kasar, merasa muak melihat wajah suaminya. Namun, rasa muak itu ia tutupi dengan senyum manis yang ia miliki. Garis wajahnya yang innocent membuat Leonel tidak bisa marah lebih besar. Hatinya langsung melembut, semua api amarah langsung lenyap ketika Airin memeluk tubuhnya.“Aku habis keluar sebentar, apa kau marah padaku?” Airin mendongak tanpa melepas pelukan. Ia tatap Leonel dengan sorot begitu polos.Leonel menghela napas dengan kasar. Ia masih kesal akan kejadian di dalam kamar waktu itu, tapi ia tidak bisa marah sama sekali. Ia usap puncak kepala Airin dengan penuh kelembutan, lalu memberikan kecupan di keningnya.“Mulai besok kau harus pamit padaku ke mana pun kau pergi. Aku ingin tahu kau ke mana dan dengan siapa.” Leonel berucap menahan kesal.“Tentu saja.” Airin tersenyum berucap.
“Hari ini aku akan mulai bekerja di kantor yang baru. Ini uang untukmu.” Leonel menyerahkan beberapa lembar uang kertas pecahan seratus ribu pada Airin. “Tolong jangan ke mana-mana tanpa izin dariku.” Lelaki itu berucap dengan tegas, sebab ia teringat dengan pesan yang diberikan oleh Robin tadi malam.“Untukku?” Airin bertanya memastikan.“Aku tahu ini tidak berarti apa-apa bagimu. Tapi tolong hargai, aku memberikan ini dengan tulus untukmu.”Airin tersenyum. “Terima kasih, ini banyak.” Wanita itu menerima uluran yang ia dapatkan. Memasang ekspresi yang menunjukkan bahwa ia merasa bersyukur dan puas.“Untukku mana?” Livy menimpali. Ia yang paling butuh uang di sini. Pertama, ia tidak bekerja. Kedua, ia tidak punya warisan dari orang tua dan tidak bisa meminta pada mereka. Ketiga, ia punya Belvina yang membuatnya membutuhkan biaya yang lebih besar. Sementara Airin hanya sendiri dan selalu dilimpahi dengan kekayaan.“Aku sudah memberimu jatah minggu lalu. Kau harus pintar mengelola uan
“Kamu mau?” Robin menawarkan makanannya ketika ia mengajak Airin untuk makan siang di sebuah restoran ternama sehabis mereka jalan-jalan di taman.Airin menggeleng. Menolak meski Robin telah menyodorkan sendok hendak memberikan suapan. Sorot matanya menunjukkan rasa jorok jika sendok bekas makan Robin ia masukkan ke mulutnya. Bagi Robin mungkin itu romantis, tapi bagi Airin itu tidak higienis.Akan sangat berbeda jika ia mencintai lelaki itu. Jangankan sendok bekas mulutnya. Air liurnya pun akan ia sesap ketika mereka berciuman.Robin menghela napas dengan kasar. Memberikan senyuman meski lagi-lagi harus menelan kekecewaan dari sebuah penolakan. Hari ini entah sudah berapa kali Airin menolak tawaran yang ia berikan. Ia bisa merasakan bahwa Airin sangat menjaga jarak dari dirinya. Namun, ia akan terus bersabar. Menunggu waktunya tiba, ketika Airin jatuh cinta kepadanya.Airin lebih banyak diam. Fokusnya lebih tertuju pada hidangan dibanding pada Robin yang ada di kursi berseberangan.“
Airin pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Ia lagi-lagi terlambat, kali ini karena Robin selalu menahan ketika ia meminta untuk pulang.“Besok kau ingin ke kantor Arie? Aku akan menjemputmu.” Robin berpesan sebelum Airin turun dari mobil.“Aku selalu dijemput dan diantar oleh supir.” Airin menolak.“Airin, tolong. Beri aku kesempatan untuk merebut hatimu.” Robin memohon dengan sangat.Airin tersenyum. Senyumnya begitu manis terlihat. Robin tidak pernah menemukan senyum yang lebih manis setelah ia melihat senyum Airin.“Ada kamu di sini. Di tempat paling istimewa yang belum pernah berpenghuni sebelumnya.” Airin berusaha meyakinkan. Ia bawa tangan Robin ke dada kirinya.Robin berusaha percaya meski ia tahu Airin tengah menipunya. Ia tahu ia tidak pernah ada di dalam hati wanita itu. Tidak ada cinta di sana.“Beri aku ciuman.” Robin berucap dengan suara parau menahan nafsu. Gairahnya selalu saja bangkit ketika ia dan Airin bersentuhan kulit.“Aku belum gosok gigi, aku
Airin tampak fokus membolak-balik berkas yang ada di meja. Ekspresi wajahnya tampak begitu serius. Ia tidak bisa diganggu ketika ia sedang fokus. Sementara di sisi kanannya Arie tengah mengawasi. Di ruangan itu ada tambahan meja dan kursi untuk Airin. Ia bekerja jadi asisten ayahnya sekarang. Membantu untuk menyelesaikan pekerjaan.Alarm ponsel terdengar berbunyi. Airin mengalihkan pandangan. Kini waktunya ia harus melakukan pemijatan di area dadanya.“Ke mana?” Arie mendongak menatap ketika Airin bangkit berdiri dari kursi.“Mau ke toilet sebentar.” Airin menjawab dengan lembut.Arie tidak lagi menanggapi. Ia biarkan Airin pergi begitu saja dengan ponsel wanita itu yang tertinggal di atas meja.Baru saja Airin keluar dari ruangan, ponsel itu berdenting. Ada pesan masuk yang berasal dari Robin. Karena ponselnya tidak memakai pengaman, Arie bisa dengan mudah membuka dan membaca pesan.[Sayang, nanti makan siang aku ke kantor ya. Aku merindukanmu.] Di ujung pesan ada beberapa emot cium.
Airin cukup terkejut ketika ia mendapati Robin tengah duduk di kantin kantor dengan dua gelas kopi di atas meja. Satu gelas telah kosong dan gelas yang lain hanya tinggal sedikit. Tampaknya lelaki itu sudah menunggu lama di sana. Senyumnya begitu mekar ketika ia bersitatap dengan Airin.Airin tampak begitu risih, apalagi Robin melambaikan tangan, meminta agar Airin duduk di meja yang sama dengannya.Aire tengah memesan menu makan siang mereka. Lelaki itu meminta agar Airin mencari kursi yang akan mereka duduki bersama. Akan sangat kacau jika dua mantan sahabat itu dipertemukan di meja yang sama.Airin ingin pura-pura jika ia tidak melihat mertuanya. Namun, itu mustahil. Sebab, pandangan mereka telah beradu sebelumnya. Terpaksa ia tersenyum dan beranjak menghampiri.“Mengapa kau ke sini?” Airin tampak sangat terganggu dengan kehadiran Robin di sana.“Aku merindukanmu.” Robin menjawab apa adanya.Airin menghela napas, ia menggigit bibir bawah untuk mempermudahkan ia dalam berpikir menca
Airin mengempaskan tubuhnya dengan kasar ke ranjang. Ia menghela napas dengan dalam, merasa sangat lelah setelah menghabiskan banyak waktu di kantor untuk bekerja.“Jangan sampai kelelahan.” Kalimat itu kembali terngiang-ngiang di telinganya. Dokter sudah berpesan agar ia bekerja secukupnya saja, menjaga pola makan dan tidur, terutama jangan sampai kelelahan. Sebab, ASI akan sangat sulit untuk diinduksi jika ia kelelahan dan stress. Bahkan ibu menyusui yang ASI-nya lancar saja, kualitas dan banyaknya ASI bisa berkurang jika ia stress.Airin menatap paper bag yang ada di ranjang. Ia tadi sempat mampir untuk membelikan Belvina mainan. Mengingat betapa lucunya anak itu, ia langsung bangkit dari ranjang. Rasa lelahnya berkurang, tergantikan oleh rasa semangat yang begitu besar. Tidak sabar ingin bertemu Belvina secepatnya. Sudah satu bulan sejak ia menyusui bayi itu tanpa ASI. Membuat rasa sayangnya semakin besar seperti anak sendiri.Setelah konsultasi dengan dokter siang tadi, belum ada
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener