Setelah bekerja tanpa henti, akhirnya hari ini Airin bisa rehat sejenak. Arie tidak ada menghubungi agar dirinya menghabiskan waktu bersama keluarganya di istana besar mereka. Lelaki paruh baya itu memberikan kebebasan pada Airin untuk menghabiskan masa liburnya. Sebab, besok mereka akan Kembali bekerja.[Libur? Atau lembur?] Sebuah pesan masuk dari Robin.[Libur. Jalan-jalan, yuk.] Airin langsung memberikan balasan.“Sayang, keluar yuk! Sudah lama kan kita tidak jalan-jalan.” Leonel menghampiri, ia mengempaskan tubuh di sisi kanan sang istri.Dulu, Leonel selalu mencari alasan agar rencana jalan-jalan mereka jadi berantakan. Namun, kini lelaki itu sangat baik hati dengan memberikan penawaran.“Aku ada urusan ke luar sebentar.”“Masalah pekerjaan?” Leonel tampak sedikit kecewa karena kini Airin tidak punya waktu untuknya. Wanita itu sangat sibuk bekerja. Hampir seluruh waktunya kini hanya untuk pekerjaan.Airin memberikan anggukan kecil sebagai jawaban atas pertanyaan yang leonel beri
Robin menarik tangannya dari dada Airin. Telapak tangannya bergetar dengan sangat hebat. Wajahnya tampak begitu pucat. Dadanya meletup-letup seakan ada bom yang baru saja meledak.Macet terus saja membuat mobil tidak bisa bergerak. Lelaki paruh baya itu memijat kepala karena merasa sangat pusing. Tindakan Airin barusan membuat nafsunya semakin meluap-luap. Kepala bawah dan atas jadi begitu nyut-nyutan ingin segera dipuaskan. Namun, ia sudah berjanji pada diri sendiri bahwa ia tidak akan melakukan apa pun terhadap Airin. Di samping ia ingin menjaga wanita itu, ia juga tidak ingin membuat Arie semakin menaruh benci terhadapnya. Sehingga ia menjadi semakin kesulitan untuk memenangkan hati sang pujaan.“Kenapa?” Airin bertanya dengan bingung. Akhir-akhir, Robin selalu mendesak ingin menikmati tubuhnya. Namun, mengapa kini lelaki itu tiba-tiba berubah pikiran? Airin telah memberikan lampu hijau, harusnya ia tancap gas saja. Namun, ia malah memilih untuk menolak.“A-aku tidak bisa. Jika han
Setelah mendatangi dokter untuk konsultasi yang kesekian kali, akhirnya ada sedikit harapan ketika ASI-nya keluar meski sangat sedikit. Airin begitu senang. Tidak ada kalimat yang dapat menggambarkan seberapa besar rasa senang yang sedang ia rasakan. Wajahnya begitu berseri, manik matanya memancarkan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Dadanya berdebar dengan tidak karuan.Ada banyak harapan dan angan di masa depan, ketika Belvina memanggilnya dengan sebutan mama.Airin pulang cepat-cepat, tidak sabar bertemu dengan Belvina. Ketika di tengah jalan menuju pulang, Arie menghubungi, meminta putrinya untuk kembali ke kantor siang ini. Sebab, ada seorang lelaki yang ingin bertemu dengannya dan sudah menunggu cukup lama di sana.“Siapa, Pi?” Airin dibuat sangat penasaran. Ia tidak memiliki kenalan yang membuat janji hari ini.“Papi tidak tahu, katanya penting dan akan dijelaskan setelah kau ada di sini.” Arie menjawab apa adanya.Airin dibuat
Airin mengecek ponsel di pagi hari setelah ia terbangun dari tidurnya. Hal yang menjadi rutinitasnya saat ini. Berharap ada pesan ataupun panggilan masuk yang berasal dari Robin. Nyatanya tidak sama sekali. Lelaki itu benar-benar menepati janji untuk tidak lagi hadir dalam kehidupan Airin. Bahkan sekadar dalam bentuk pesan.Terdengar helaan napas yang begitu kasar. Airin bangkit dari ranjang. Beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, sebab ia harus berangkat ke kantor pagi ini. ASI-nya mulai keluar dengan deras ketika ia melepas semua pakaian. Semakin sering Belvina menyusu padanya, semakin lancar pula ASI yang keluar dari dadanya.Setidaknya itu bisa mengisi sesuatu yang kosong dalam hati Airin. Ada Belvina yang kini menjadi semangat hidupnya. Ia sangat menikmati saat-saat ketika Belvina meng-ASI padanya. Meski anak itu mulai menggigit putting karena gusi yang gatal akibat gigi yang perlahan tumbul.Airin merasa tidak nyaman ketika ia sarapan bersama Leonel dan Livy. Dada
“Livy!” Leonel memberikan teguran karena tidak ingin suasana hati Airin bertambah buruk setelah mendengar kalimat itu. “Airin tetap ibunya meski bukan dia yang melahirkan Belvina.” Lelaki itu membela Airin.Airin tidak ingin ambil pusing. Setuju atau tidaknya Livy dengan panggilan itu, ia tetap saja merasa bahwa ia ibu Belvina.Belvina sama sekali tidak ingin berpindah ke dalam gendongan Livy sekuat apa pun Livy berusaha. Anak itu bersikeras ingin bersama Airin.“Biarkan aku membawanya ke kantor hari ini.” Airin meminta izin.“Tidak, kau tidak bisa membawanya!” Livy tidak setuju.“Mengapa kau tidak mengizinkannya? Airin akan menjaganya. Apa kau tidak lihat, Belvina sangat nyaman dengannya.”“Aku ibunya. Aku berhak menentukan dia boleh pergi atau tidak.”“Aku ayahnya. Aku juga punya hak untuk itu.”“Aku lebih berhak! Apa kau lupa jika dulu kau sempat memintaku untuk menggugurkannya? Itu artinya kau tidak sungguh-sungguh menyayangi Belvina!”Airin menghela napas dengan kasar. Ia merogoh
Airin cukup kecewa dengan penolakan yang diberikan oleh ayahnya. Ia merasa bahwa lelaki itu sudah tidak lagi menyayanginya, sebab ia anak yang tidak bisa dibanggakan. Terlebih ia sudah mengecewakan orangtuanya berulang kali. Ia merasa bahwa cinta kedua orangtuanya untuk adik-adik angkatnya kini lebih besar dibanding untuk dirinya.Meski tidak mendapat dukungan sama sekali, Airin tetap nekat untuk pergi. Ia tidak kembali ke rumah untuk menjemput barang-barangnya. Ia pergi hanya dengan membawa Belvina dalam gendongan, juga handbag berisi kartu-kartu penting. Ia pergi setelah pamit pada ayahnya. Tidak mengatakan apa-apa, hanya pamit untuk membeli susu Belvina. Nyatanya, ia ke ATM untuk menarik uang dalam jumlah banyak. Memesan tiket pesawat menuju luar kota.Ponsel Airin berdering dengan nama sang ayah yang tertera dalam layar. Ia sudah pergi cukup lama dan tidak kunjung kembali ke kantor. Arie cukup khawatir, tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan pada putrinya.Airin menghela na
“Makasih, ya, Mas.” Lagi-lagi Airin merasa memiliki hutang budi pada lelaki itu.Lelaki itu hanya tersenyum tipis sebagai respons.Airin mulai menyusui Belvina. Ia tutupi bagian dadanya dengan jaket yang ia dapat dari lelaki itu. Belvina menyedot dengan lahap. Tangannya sesekali berusaha menyingkirkan jaket yang menutupi wajahnya.“Mau pulang ke rumah orangtuamu?” Lelaki itu bertanya hanya untuk sekadar basa basi. Terlebih ia sempat mendengar jika Airin memiliki masalah serius dengan suaminya.“Tidak. Aku sendiri tidak tahu harus ke mana. Yang terpenting aku bisa meninggalkan tempat tinggalku.” Airin memberikan jawaban dengan nada dan eskpresi seperti orang yang tengah depresi.Lelaki itu menghela napas dengan kasar.“Aku tinggal di Jogja. Tujuanmu ke sana bukan? Keculi jika kau hanya transit di sana. Jika kau butuh apa-apa, kau bisa menghubungiku.” Lelaki itu berucap dengan ramah.Airin mengangguk dengan lembut. Memberikan senyuman tipis atas tawaran yang ia terima.“Aku Zayyan. Aku
Robin sangat terkejut ketika ia menoleh dan mendapati Airin yang tengah berlari ke arahnya. Ia telah menghindar ratusan kilometer jauhnya, tapi tetap saja mereka dipertemukan di kota yang ia pikir ia tidak akan bertemu dengan Airin di sana. Sebab, mustahil mereka bisa bertemu di kota orang tanpa ada komunikasi dan janji sama sekali.“Papa.” Airin menghambur memeluk lelaki itu. Menumpahkan rasa rindu yang telah terpendam selama beberapa bulan ini. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang sudah terbendung di pelupuk, tetap saja air mata itu tumpah karena terlampau bahagia. Ia tidak mengira sama sekali jika ia akan bertemu dengan Robin di sana. Setidaknya ia punya teman, tidak hanya Belvina.Robin tampak begitu bingung harus memasang ekspresi yang seperti apa. Ia tidak membalas pelukan itu sama sekali. Sebab, kepalanya dipenuhi oleh banyak tanda tanya.Robin menatap Belvina yang sedikit terhimpit karena pelukan yang diberikan oleh Airin. Baru beberapa bulan mereka tidak bertemu, kini anak
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener