“Makasih, ya, Mas.” Lagi-lagi Airin merasa memiliki hutang budi pada lelaki itu.Lelaki itu hanya tersenyum tipis sebagai respons.Airin mulai menyusui Belvina. Ia tutupi bagian dadanya dengan jaket yang ia dapat dari lelaki itu. Belvina menyedot dengan lahap. Tangannya sesekali berusaha menyingkirkan jaket yang menutupi wajahnya.“Mau pulang ke rumah orangtuamu?” Lelaki itu bertanya hanya untuk sekadar basa basi. Terlebih ia sempat mendengar jika Airin memiliki masalah serius dengan suaminya.“Tidak. Aku sendiri tidak tahu harus ke mana. Yang terpenting aku bisa meninggalkan tempat tinggalku.” Airin memberikan jawaban dengan nada dan eskpresi seperti orang yang tengah depresi.Lelaki itu menghela napas dengan kasar.“Aku tinggal di Jogja. Tujuanmu ke sana bukan? Keculi jika kau hanya transit di sana. Jika kau butuh apa-apa, kau bisa menghubungiku.” Lelaki itu berucap dengan ramah.Airin mengangguk dengan lembut. Memberikan senyuman tipis atas tawaran yang ia terima.“Aku Zayyan. Aku
Robin sangat terkejut ketika ia menoleh dan mendapati Airin yang tengah berlari ke arahnya. Ia telah menghindar ratusan kilometer jauhnya, tapi tetap saja mereka dipertemukan di kota yang ia pikir ia tidak akan bertemu dengan Airin di sana. Sebab, mustahil mereka bisa bertemu di kota orang tanpa ada komunikasi dan janji sama sekali.“Papa.” Airin menghambur memeluk lelaki itu. Menumpahkan rasa rindu yang telah terpendam selama beberapa bulan ini. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang sudah terbendung di pelupuk, tetap saja air mata itu tumpah karena terlampau bahagia. Ia tidak mengira sama sekali jika ia akan bertemu dengan Robin di sana. Setidaknya ia punya teman, tidak hanya Belvina.Robin tampak begitu bingung harus memasang ekspresi yang seperti apa. Ia tidak membalas pelukan itu sama sekali. Sebab, kepalanya dipenuhi oleh banyak tanda tanya.Robin menatap Belvina yang sedikit terhimpit karena pelukan yang diberikan oleh Airin. Baru beberapa bulan mereka tidak bertemu, kini anak
Cukup lama Livy menunggu di sofa, tapi yang ditunggu tidak datang juga. Ia berusaha bersabar, barangkali Airin ada lembur di kantor.Hingga deru mobil terdengar mendekat ketika penunjuk waktu menunjuk angka enam. Itu mobil leonel.“Airin sudah pulang?” Hal pertama yang selalu Leonel ucapkan ketika ia baru kembali dari kantor dan tidak menemukan Airin di sana.“Aku sedang menunggunya. Dia membawa Belvina, harusnya sudah pulang sekarang. Dia bahkan tidak membawa susu sama sekali. Belvina pasti akan sangat kelaparan. Dadaku rasanya penuh karena hari ini belum mengeluarkan ASI.”“Aneh sekali.” Leonel mengerutkan kening. Ini sudah hampir jam enam, ia pulang terlambat karena ada lembur. Biasanya Airin selalu pulang lebih dulu dibanding dirinya.“Antarkan aku ke kantornya, aku ingin menjemput Belvina.” Livy bangkit untuk duduk.“Aku capek.” Leonel menolak.“Anakmu sedang kelaparan dan kau masih beralasan jika kau lelah?”“Kau bisa bawa mobil sendiri, ini kuncinya.” Leonel menyerahkan kunci m
“Airin!” Leonel mengetuk pintu kamar dengan cukup kuat. Namun, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam sana.“Sayang!” Leonel kembali memanggil dan mengetuk. Kini panggilan telah berubah menjadi gedoran.“Ai—” Pintu terbuka ketika Leonel memutar gagang. Tidak ada siapa-siapa di dalam kamar. “Sayang!” Leonel Kembali memanggil seraya mengecek kamar mandi. Namun, kamar itu benar-benar kosong. Tidak ada Airin ataupun Belvina sama sekali.Leonel mengerutkan kening. Ini sudah jam sepuluh malam, tidak mungkin Airin masih belum pulang bersama Belvina. Ia mulai khawatir, takut telah terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.“Ada?” Livy menghampiri setelah ia mengecek keberadaan Belvina di kamarnya. Barangkali Airin sudah mengantarnya pulang.Leonel menggeleng dengan lemah. Wajahnya tampak pucat ketika memikirkan hal-hal buruk yang kemungkinan telah menimpa Airin. Teringat akan kejadian di masa lalu, ketika ia meninggalkan wanita itu sendirian di jalanan yang gelap nan sepi. Ia takut kejadia
Cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden membuat Airin terbangun dari tidurnya. Ia menggeliat sejenak, lalu bangkit untuk duduk. Belvina tampak tengah bermain sendirian di tengah ranjang, duduk dengan tenang di sana seraya memasukkan selimut ke mulutnya. Menggigit-gigit selimut itu karena gusinya yang gatal.Airin tersenyum menatap Belvina. Merasa hidupnya damai ketika ia mendapati anak itu di saat terbangun dari tidurnya.“Kamu sudah bangun, ya, Sayang? Pasti lapar, ya?” Airin meraih Belvina, lalu memangkunya.Penunjuk waktu sudah berada di angka delapan. Ia sangat telat bangun pagi ini, sebab susah tidur tadi malam. Ada banyak hal yang membuatnya berpikir keras. Ada banyak suara yang terdengar di otaknya. Kebisingan itu membuatnya tidak bisa tidur sama sekali.Airin mengecup Belvina berulang kali. Popok anak itu telah penuh. Ia ingin memandikannya, tapi tidak ada pakaian ganti milik mereka. Sebab, Airin memang pergi tanpa membawa apa-apa.“Maafin mama ya, kamu jadi susah kaya
Airin terdiam sejenak. Ia tatap Belvina yang kini tengah memainkan dadanya, seakan anak itu meminta untuk disusui karena merasa lapar pagi ini.“Awalnya aku hanya ingin membuat jarak antara Belvina dan Livy. Aku ingin memisahkan mereka agar Livy tahu seperti apa sakitnya ketika orang yang kita sayangi direbut dengan paksa. Tapi … semakin aku menghabiskan banyak waktu bersama Belvina, semakin aku merasa begitu menyayanginya.” Airin menjawab dengan lemah.Kini Robin mengerti mengapa Belvina tidak rewel setelah mereka berada di sini. Belvina tidak merindukan ibunya sama sekali karena posisi Livy telah digantikan oleh Airin.“Apa pun alasanmu, itu tetap salah, Airin. Jangan karena orang lain bersikap jahat padamu, kau ikut bersikap jahat seperti orang lain. Meskipun kau menyayangi Belvina, itu tidak bisa membenarkan perbuatanmu. Belvina tetap butuh ibunya.” Robin berusaha memberi pengertian.Airin tidak suka jika Robin tetap saja membela Livy. Semuanya tahu seperti apa sikap wanita itu. M
Arie tidak bisa tenang sama sekali. Meski mulutnya berkata bahwa ia tidak ingin lagi peduli pada putrinya, nyatanya ia tetap saja gelisah dan khawatir. Tidak ada yang tahu ke mana Airin pergi membawa Belvina. Tidak ada yang bisa memastikan bahwa Airin baik-baik saja saat ini.Lelaki itu tidak bisa konsentrasi dalam bekerja. Berulang kali terdengar decakan dan helaan napas kasar yang berasal darinya.Arie bangkit berdiri, beranjak pergi menuju bank untuk mengecek riwayat transaksi sang putri. Barangkali Airin menggunakan ATM-nya di tempatnya berada kini.Namun, petugas itu mengatakan jika transaksi terakhir dilakukan kemarin pagi di lokasi yang tidak jauh dari kantor Arie. Lelaki itu semakin dibuat frutsrasi dan depresi. Ia tidak tahu apa ia harus memberi tahu Lenzy mengenai kepergian Airin yang merupakan keinginannya sendiri. Airin hilang bukan karena diculik, melainkan karena ia menculik Belvina.Arie khawatir ini akan menjadi masalah ke depannya. Ia tidak ingin Airin dipenjara jika
“Loh?” Airin menatap dengan bingung ketika membuka pintu dan mendapati Zayyan yang datang membawa dua kantong belanjaan. Ia tidak bisa menutupi rasa bingungnya sama sekali. Merasa familiar dengan lelaki yang tengah tersenyum menatapnya.“Hai.” Zayyan menyapa dengan sangat lembut. Senyumnya semakin mekar menatap betapa cantiknya wanita yang ada di hadapannya meski tanpa polesan make up sama sekali. Tentu saja, biaya perawatan Airin tidak main-main.“Kok kamu ada di sini? Kenapa kamu bisa tahu aku tinggal di sini?” Airin langsung menyuguhkan tanya. Bingung, sebab ia tidak pernah memberitahu Zayyan ke mana ia akan pergi.“Rumahku ada di sebelah. Tadi pagi aku ke sini buat pinjam tangga, kau tidak melihatku?” Zayyan bertanya memastikan.Airin menggeleng dengan pelan.“Mungkin karena kau sedang menangis ketika aku datang ke sini.”“Kau melihatku menangis?”Zayyan mengangguk dengan senyuman. “Pasti berat ya permasalahan hidup yang kau jalani. Kurasa aku lebih tua darimu, tapi kau sudah memi
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener