“Seperti biasa, enak.” Robin memberikan pujian ketika mereka tengah menikmati hidangan makan malam.“Kau pernah mencicipi masakan Zayyan sebelum ini?” Airin menatap Robin yang duduk di seberang meja.“Itu kurang sopan, Airin. Om Robin itu mertuamu, mengapa kau hanya memanggilnya dengan sebutan ‘kau’? Itu seperti kau sedang berbicara dengan temanmu.” Zayyan memberikan komentar.“Tidak masalah, tidak perlu diperdebatkan. Aku merasa muda dengan sebutan itu.” Robin membela Airin, tidak ingin Airin dicap sebagai wanita yang tidak punya tata krama.“Aku biasanya masak banyak. Karena aku tinggal sendiri, aku suka membagi-bagi makanan ke tetangga dekat rumah.” Zayyan memberikan jawaban atas pertanyaan Airin tadi.“Mengapa kau melakukan itu? Jika kau tahu kau tidak akan bisa menghabiskannya, lebih baik kau masak sedikit saja. Sesui porsi untuk dirimu sendiri. Bukankah dengan begitu kau akan lebih hemat?”Zayyan tersenyum manis mendengar ucapan Airin. “Sangat memalukan ketika aku harus mengatak
Robin tertawa mendengar ucapan Airin yang terasa begitu menggelitik hati. Ia mengusap wajah dengan kasar, lalu beranjak pergi begitu saja dengan perasaan yang tidak bisa didefenisikan. Ia tidak percaya dengan ucapan Airin, tapi ia sangat berharap agar kalimat itu menjadi kenyataan, bukan hanya bualan semata.Lelaki berkulit kuning langsat itu merebahkan dirinya di sofa. Kepalanya berbantalkan lengan sofa, ia menatap langit-langit ruangan. Mulai membayangkan akan seperti apa kehidupannya andai Airin benar-benar membalas perasaan cinta yang mendekam dalam dada. Sungguh, rasa ingin memiliki begitu membuncah di hatinya. Namun, ia sadar jika itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Sebab, tidak pantas seorang lelaki menikahi wanita yang pernah menikah dengan putranya.Terdengar langkah kaki yang menuju ruang tengah. Disusul dengan wajah cantik Airin yang muncul di balik pintu pemisah. Wanita itu menatap dengan sorot begitu dalam. Senyumnya begitu mekar. Langkahnya begitu pasti menuju Robin
Airin tidak menanggapi. Wanita itu beranjak keluar rumah, melangkah menuju jalan besar untuk menunggu taksi. Ia ingin membawa Belvina ke rumah sakit.Sebuah mobil melaju dengan pelan, lalu memberi klakson pada Airin. Airin menoleh, mendapati Zayyan dengan pakaian rapi di kursi kemudi.“Kau mau ke mana?”“Ke rumah sakit. Belvina tadi jatuh dari ranjang, ini kepalanya bengkak.” Airin menunjukkan jidat Belvina pada Zayyan.Zayyan menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ia harus ke kampur sekarang. Namun, ia tidak ingin melihat Airin kesulitan seperti itu. Ia belum pernah terlambat ataupun bolos. Mungkin ia bisa minta izin terlambat ngampus hari ini.“Om Robin ke mana? Mengapa dia tidak mengantarmu?” Zayyan bertanya ingin tahu.“Dia marah padaku.” Airin menjawab dengan mimik wajah tidak suka.“Karena Belvina jatuh?” Zayyan memastikan.Airin mengangguk dengan pelan.Terdengar helaan napas kasar yang berasal dari Zayyan. Harusnya Robin tidak memarahi Airin, sebab tidak ada seorang
Arie dan Lenzy tiba di Jogja menjelang siang. Setelah perdebatan cukup panjang dan penjelasan yang begitu meyakinkan, Lenzy memilih ikut untuk memastikan bahwa ucapan suaminya memang benar. Ini hari ketiga semenjak Airin hilang kabar.Tidak ada tujuan sama sekali ke mana mereka akan pergi. Namun, yang pasti mereka akan mengelilingi kota Jogja seraya membawa foto Airin untuk ditanyai ke siapa saja. Mereka memulainya dari pusat kota, bertanya pada setiap orang yang mereka jumpai di sana. Menyeret koper seraya menunjukkan foto-foto Airin.Tidak ada satu pun jawaban yang memuaskan. Setiap orang yang ditanya, selalu menjawab bahwa mereka tidak tahu di mana Airin berada. Tidak ada seorang pun yang pernah berjumpa dengannya. Sebab, semenjak tiba di Jogja, Airin memang belum pernah ke mana-mana. Ia hanya ke rumah sakit kemarin, itu pun dengan pengawasan Robin.“Lapor polisi Jogja saja, Pi. Biar pencariannya lebih mudah.” Lenzy menyarankan.Arie tampaknya enggan untuk menyetujui saran sang ist
Dari dalam kamar, terdengar suara Airin yang tengah mengigau. Wanita itu baru saja terlelap setelah makan dan minum obat. Setelah masuk ke alam mimpi, mulutnya mulai meracau tidak jelas. Ia mengigau karena badannya yang terlampau panas.Sementara Belvina mulai menangis, anak itu ingin digendong dan tertidur dalam dekapan ibunya. Badannya juga panas. Meski tidak sepanas Airin, untuk ukuran seorang bayi itu terlalu panas.Robin jadi bingung sendiri. Ia tidak tahu harus merawat yang mana dulu, sebab keduanya butuh perawatan ekstra.“Papi ….” Airin memanggil ayahnya dalam mimpi. Biasanya, ia tidur dalam dekapan Arie jika ia tengah sakit begini. Pelukan lelaki itu mempu menenangkan hatinya, membuatnya merasa sangat nyaman dan aman.“Papi ….” Airin terus memanggil dengan lemah. Kedua matanya masih tertutup dengan sangat rapat. Tampaknya demamnya semakin parah setelah minum obat. Tangis Belvina bahkan tidak mampu membangunkannya.Robin menghela napas dengan dalam. Ia raih Belvina untuk ia ge
Robin kembali ke rumah menjelang pukul 01:00 dini hari. Setelah ia memastikan dan melihat dengan mata kepala sendiri jika Leonel dan Livy masuk kereta dan berangkat menuju Jakarta.Zayyan masih ada di sana ketika Robin pulang. Lelaki itu tertidur dengan posisi terduduk di tepian ranjang. Sementara di tangannya ada buku tentang hukum. Sepertinya Zayyan tipe lelaki yang cerdas dan cukup rajin membaca buku.“Zayyan.” Robin membangunkan. Ia tepuk pundak lelaki itu dengan sangat lembut.Zayyan terbangun, buku di tangannya bahkan terlepas karena ia terkejut dengan tepukan dan panggilan itu.“Kau bisa pulang. Terima kasih karena sudah menjaga Airin.” Robin berucap dengan tulus. Merasa berhutang budi pada tetangganya itu.“Apa Airin akan baik-baik saja setelah bayinya dijemput suaminya?” Zayyan bertanya memastikan. Tidak ingin wanita pujaannya semakin menderita. Ia masih belum tahu apa yang terjadi sebenarnya, sebab ia masih percaya dengan cerita Airin di pesawat tempo hari.“Tidak akan ada m
Airin terbangun di pagi hari ketika ia mencium aroma makanan. Wanita itu menggeliat sejenak untuk meregangkan otot-otot yang menegang semalaman, lalu bangkit untuk duduk. Suhu panas tubuhnya telah kembali normal. Ia merasa bahwa dirinya sudah jauh lebih baik sekarang.Tidak lagi ia dapati Robin berada di sisinya, sebab lelaki itu telah bangun sejak pagi sekali. Sesungguhnya Robin tidak benar-benar tidur semalaman. Keberadaan Airin dalam pelukan membuat dirinya tidak bisa terpejam. Sebab, jantung yang terus berdetak dengan sangat kencang.Airin turun dari ranjang. Ia menuju kamar mandi untuk membasuh muka dan menggosok gigi, setelahnya ia keluar kamar untuk mencari Belvina.Wanita bergaun malam itu beranjak keluar rumah, hendak menjemput Belvina ke rumah Zayyan. Namun, langkahnya terhenti ketika ia menyadari bahwa ia tidak tahu rumah yang mana milik Zayyan. Sebab, semuanya hampir serupa karena kompleks perumnas.Airin kembali masuk untuk menanyakan masalah itu pada mertuanya.“Kau masak
Mata Airin memanas mendapati sorot yang begitu serius dari manik mata milik Robin. Wajahnya memucat ketika menyadari bahwa uasahanya sia-sia. Ia menghela napas dengan kasar, mengusap pelupuk mata yang tiba-tiba basah begitu saja. Ia merasa sangat kecewa. Benar-benar kecewa. Baru sesaat ia merasakan kenyamanan dalam pelukan lelaki itu, kini ia kembali dibuat memendam benci yang begitu besarnya.“Kau menyebalkan!” Airin berlari menuju rumah seraya terus mengusap kedua pipi. Dadanya terasa begitu sesak dan sakit, sebab dikhianati oleh orang yang begitu ia percaya. Jantungnya berdetak dengan tidak karuan. Membayangkan seperti apa kondisi Belvina sekarang. Ia tidak bisa tenang meski hanya sekejap.Airin meraih tasnya setibanya ia di kamar. Tas yang berisi cukup uang untuk ia pulang. Tangisan masih belum bisa dihentikan. Matanya memerah dengan air yang terus tumpah.“Kau tidak bisa ke mana-mana.” Robin langsung menghalangi ketika Airin hendak kembali keluar kamar.“Awas! Kau ular yang sanga
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener