Jantungku berdegup tidak normal bagai pacuan kuda ketika Nizar menelepon. Mengingat ini karena urusan penting dan aku yakin Nizar sedang khawatir dan penasaran akan sesuatu, maka panggilan itu kubiarkan terhubung.
Aku menyalakan loud speaker, lalu meletakkan ponsel di meja belajar karena takut jatuh ke lantai jika ada kabar yang tidak mengenakkan hati. Nizar mengulang pertanyaan yang sama tentang kenapa aku memintanya untuk membatalkan lamaran.
"Aku sendiri yang mau karena merasa kamu lebih cocok sama Ainun, bukan sama aku. Lupakan tentang lamaran kemarin, tolong dibatalkan saja. Aku tidak mau menari di atas kesedihan sahabatku, Nizar." Aku menjawab tegas karena tidak mau ketahuan kalau hati pun sama perihnya.
"Ainun cerita apa sama kamu? Tolong katakan, aku tidak mau terjadi kesalahpahaman," balas Nizar di balik telepon.
"Kamu menabur harapan dalam hatinya, Nizar. Kalian membahas masa depan dan gadis mana pun pasti akan kecewa begitu tahu kemarin kamu melamar sahabatnya. Tinggalkan aku dan kembali pada Ainun, aku ikhlas. Mama sama ayah pasti tidak keberatan karena mereka mengenal Ainun. Kasihan dia, Ainun hanya tinggal berdua dengan uminya semenjak jadi yatim dan kamu malah menambah kesedihannya."
Beberapa detik hening, aku bisa mendengar Nizar membuang napas kasar. Aku yakin dia merasa resah, tetapi kenapa tidak mau mengaku sejak awal kalau dia dekat dengan Ainun padahal tahu kalau kami sahabatan? Nizar bersalah, aku tidak boleh melupakan itu. Sebelum cinta di antara kami semakin tumbuh, semua harus diakhiri demi menjaga kewarasan Ainun.
Aku tahu mentalnya sedang diserang habis-habisan. Setelah ditinggal oleh Nizar, bisa jadi Ainun memilih menghabiskan sisa hidupnya sendirian. Cinta memang terkadang menghilangkan akal sehat sehingga banyak dari mereka memilih mengakhiri hidup daripada terus mengingat semua kenangan berujung luka 'tak berkesudahan.
"Alia, kamu pasti tahu kalau aku sama Ainun itu tidak berjodoh. Aku tidak ditakdirkan untuk hidup bersamanya. Oke, aku memang salah karena pernah memberinya sebuah harapan, meminta Ainun untuk menunggu, tetapi pada akhirnya meninggalkan. Namun, itu yang dikatakan takdir."
"Takdir? Kamu menyebut semua ini sebagai takdir?"
"Iya," jawab Nizar cepat. "Karena aku mencintaimu."
Aku memejamkan mata, bulir bening semakin deras membasahi pipi. Aku mematikan sambungan telepon karena ragu kalau Nizar mau kembali pada Ainun. Ada apa dengannya? Aku jadi curiga ada sesuatu yang belum selesai antara mereka berdua, bukan hanya tentang perasaan.
Ar-Rahman ... Ar-Rahim ....
Tangan mulai gemetaran, aku menyeka air mata yang hangat saat menyadari ada pesan dari Ainun. Gadis itu pasti butuh jawaban mengingat sekarang sudah sore. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Prahara itu akan tiba, cepat atau lambat. Begitu hatiku berbisik.
Ainun : Bagaimana, Lia? Kamu sudah bilang pada Nizar? Aku chat dia sejak tadi, tetapi tidak ada balasan.
Pesan yang dikirim Ainun beriring tiga emoticon yang menggambarkan kalau dirinya sedang menangis, juga satu gambar hati patah, lalu dibalut dengan perban. Sahabatku itu benar-benar terluka dan diri ini harus mengalah agar dia tidak kehilangan cahayanya.
Kali ini Ainun mengirim sebuah foto dirinya sedang menangis memeluk boneka beruang yang memegang sebuah hati berwarna merah. Di sana tertulis nama Nizar Abdulah. Aku tidak tahu apakah boneka itu dibeli sendiri atau dihadiahkan oleh lelaki yang kini menjadi calon suamiku.
Menerima lamaran kekasih sahabatku, apakah hal itu sebuah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan? Entahlah, aku juga takut menyampaikan perkaran ini pada mama apalagi ustazah karena mereka pasti memintaku untuk menasihati Ainun.
Ketika seseorang dilanda bunga-bunga cinta, dia akan sulit menerima nasihat. Aku juga takut hubungan persahabatan yang sudah lama terjalin menjadi renggang. Sungguh, aku bisa saja mengalah karena tahu cinta Ainun pada Nizar jauh lebih dalam daripada yang tersimpan di dalam hatiku.
"Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Aku tidak menyalahkan Ainun, tetapi ketika menaruh harapan yang tinggi kepada manusia, pasti berujung kecewa. Alia, jangan gegabah, kuharap kamu mau membicarakan masalah ini ke Ainun secara baik-baik atau aku akan meminta orang tua kita untuk kembali bertemu demi meluruskan masalah ini. Sungguh, aku dan Ainun sudah selesai dua minggu yang lalu." Kali ini Nizar mengirim pesan suara.
Aku sengaja mendengarkannya dua kali agar tidak salah menjawab. Apa yang Nizar katakan adalah sebuah kebenaran, tetapi dia tidak boleh melupakan bahwa Nizar sendiri lah yang membuat Ainun melabuhkan pengharapan kepadanya. Hati wanita memang tidak mudah dipahami oleh para lelaki yang mengedepankan egonya.
Rumit. Aku mengusap wajah gusar, lalu menangis sekeras mungkin karena dada semakin terasa sesak. Kenapa beban seperti ini harus ditimpakan kepadaku padahal aku selalu memohon kemudahan kepada Tuhan dalam segala urusan?
Beberapa menit menangis, aku menggigit bibir memaksa diri untuk berhenti ketika seseorang menepuk pundakku. Saat mengangkat kepala dan menoleh padanya, ternyata dia adalah mama yang sudah pulang dari kondangan. Mama duduk di tepi ranjang, mengajakku serta.
"Kenapa, Lia? Kenapa kamu menangis?" tanya mama dengan air muka khawatir.
Aku tidak pernah diajari untuk berbohong, tetapi lebih baik untuk menjaga nama baik Ainun agar mereka tidak salah paham. Setelah mengatur napas dan menghapus air mata yang terus tumpah, aku memberanikan diri membalas tatapan mama lekat.
"Tadi aku minta Nizar untuk memutuskan lamaran, Ma."
"Loh, kenapa, Sayang?"
"Aku tahu mama sama ayah pasti terkejut, tetapi ini keputusan aku. Tolong sampaikan sama Nizar kalau aku merasa tidak cocok sama dia. Lebih baik hubungan ini diakhiri sekarang daripada nanti lebih rumit untuk bercerai, Ma. Sebelum semua orang tahu, daripada ada masalah di hari pernikahan kami."
Mama menggelengkan kepalanya, memegang bahuku yang tertutupi mukenah. Ya, aku sampai lupa melepas mukenah setelah salat dan mengaji tadi karena terburu-buru mengirim pesan pada Nizar yang sekarang malah menjadi rumit. Aku menarik sudut bibir tipis agar mama mengira hati ini baik-baik saja.
"Nizar itu baik dan paham agama, Lia. Dia bisa menuntunmu ke surga. Sudah tahu, kan, kalau dia sering jadi imam dan ceramah atau khutbah di berbagai masjid? Lelaki seperti itu yang mama sama ayahmu cari untuk dijadikan menantu. Tadi pagi mama lihat kamu masih bahagia seolah tidak ada masalah, kenapa sekarang meminta Nizar memutus lamaran?"
Aku merebahkan diri di tempat tidur seraya menatap langit-langit kamar. Mama bisa saja memaklumi jika aku terus mengiba, tetapi ayah? Ayah selalu memintaku untuk menjaga nama baik keluarga. Biasanya aku akan patuh, sepertinya sekarang tidak bisa.
"Lia, jawab mama!" desak mama menggoyangkan bahuku.
"Aku tidak bisa menikah dengan kekasih sahabatku, Ma."
Wajah mama berubah semakin murung, cahaya di wajahnya seakan tertutup awan tebal. Mama mengerjapkan mata, mungkin tidak percaya pada apa yang baru saja dia dengar. Tentu, aku pun sama karena masih beranggapan bahwa semuanya adalah mimpi.Tentang Nizar yang memintaku menyampaikan niatnya pada ayah, kemudian datang ke sini membawa orang tua bersama sanak keluarga lainnya. Semua berbahagia, termasuk kami sebagai calon pengantin. Lantas hari ini kacau. Aku menolak percaya pada kenyataan yang digambarkan Ainun."Maksud kamu ngomong gitu apa, Alia?""Nizar, Ma. Urusannya masih belum selesai. Dia pernah mengikat sebuah janji dan aku nggak mau melangsungkan pernikahan kalau menyebabkan hati wanita lain tersakiti. Aku sudah tahu gimana rasanya ditinggal nikah meski keadaanku sama Ainun berbeda.""Ainun?"Kedua mataku melebar, sementara sebelah tangan refleks menutup mulut yang memang suka keceplosan seolah pernah meminum serum kejujuran seperti dalam kisah Harry Potter. Semua sudah terlanjur,
"Lambat laun, dia akan mengerti. Ibarat sebuah doa yang belum dikabulkan sesuai keinginan kita, suatu hari pasti ada jawaban mengapa doa tersebut baru dikabulkan hari ini, bukan lima bulan lalu sesuai keinginan kita, misalnya? Takdir Tuhan itu selalu indah jika kita melapangkan dada untuk menerima setiap ketetapannya. Ainun pasti selalu meminta jodoh terbaik kepada Tuhan dan mungkin bukan aku jawabannya."Aku tertegun mendengar jawaban dari Nizar. Apa yang dia katakan, semuanya adalah kebenaran. Apalagi tentang takdir yang tidak bisa kita lawan dan hanya bisa berharap merubahnya dengan kekuatan doa.Membahas tentang masalah kami yang diibaratkan pada sebuah doa. Tentu kita merasa Tuhan tidak mengabulkannya karena sudah lewat waktu dalam perhitungan kita, padahal Tuhan selalu mengabulkan doa di waktu yang tepat karena selalu ada hikmah di balik semua itu.Benar pula dugaan Nizar karena Ainun selalu mengatakan kalau dirinya meminta jodoh terbaik kepada Tuhan tanpa menyebut nama seseoran
"Ayah tolong jangan menyalahkan Ainun. Aku mengerti keadaannya. Ainun sebenarnya akan menjadi orang paling bahagia kalau aku dilamar seseorang jika saja orang itu bukan Nizar." Aku menjawab dengan pelan karena takut jika sampai ayah marah. Ayah adalah sosok laki-laki yang selalu tersenyum, mudah beradaptasi serta sering melempar guyonan untuk keluarga demi mencairkan suasana. Namun, untuk masalah serius yang melibatkan kehormatan ini membuat ayah terlihat berbeda. "Jujur, ayah tidak akan menyalahkan Ainun jika dia sudah tidak mendesakmu lagi. Masih gadis begitu malah bucin kebangetan seolah sudah tidak ada lagi lelaki lain di luar sana. Kata kasarnya, terkesan tidak laku. Ayah mencoba memahami karena kalian bersahabat, sayangnya gagal." Aku menunduk dalam, sedikit tersinggung mendengar ucapan ayah tadi. Ainun memang bersalah dalam hal mencintai terlalu dalam serta melambungkan harapan setinggi langit. Namun, jangan lupakan bahwa Nizar berperan penting dalam mempermainkan perasaanny
Bab 7. Katakan Alasanmu!"Aku tidak mungkin menjelaskannya. Ini menyangkut aib Ainun dan kita tidak boleh menyebar aib saudara sendiri.""Aib?" Kedua alisku saling bertaut mendengar kata yang tersusun atas tiga huruf itu. "Apa kalian pernah ...."Sengaja aku menggantung kalimat karena khawatir didengar oleh orang lain. Namun, aku yakin kalau Nizar pasti paham arah pembicaraanku. Untung saja cuaca sedikit mendung sehingga matahari tidak membakar kulit."Astagfirullah, naudzubillah min dzalik. Jangan berpikir ke sana, aku tidak mungkin melakukannya. Selama dekat dengan Ainun, aku tidak pernah menyentuh tangannya apalagi untuk berbuat hal ...." Nizar ikut melirik sekitar. Aku bisa memahami.Akan tetapi, rasa penasaran tentang aib yang dimaksud masih mengusik pikiran. Bukan maksud ingin mencari tahu kekurangan orang lain, hanya saja penasaran alasan mereka berpisah. Aku mana mau menikah dengan lelaki perusak wanita.Melihat lelaki itu masih bisa menahan marah, membuatku semakin yakin tent
Bab 8. Bukan Romeo dan Juliet"Itu berarti kamu menganggap dirimu adalah Juliet dan aku ini Rosaline?"Aku lekas menggeleng, lalu tersenyum. Sebenarnya aku sedang memberanikan diri untuk menatap mata Ainun yang merah memancarkan luka menyekat. Menyedihkan, kalimat itu terlintas begitu saja dalam hati."Mungkin sebagian orang akan menganggap demikian, tetapi aku tidak pernah tahu kalau kalian memiliki hubungan. Sementara Juliet, dia tahu kalau Romeo adalah kekasih Rosaline. Lagi pula, cinta Romeo dan Juliet tidak mendapat restu disebabkan perbedaan kasta, sedangkan aku ...." Aku tidak lagi sanggup menjelaskan pada Ainun bahwa antara aku dan Nizar itu tidak ada ikatan sebelum lamaran.Semua terjadi begitu saja. Dia datang melamar, lalu aku menerima karena mengenal dia sebagai lelaki yang baik. Tentang kekurangan yang dia miliki merupakan hal lumrah di mana manusia pasti memilikinya.Namun, cinta akan menjadikan kekurangan itu sebuah kelebihan. Saat menerima lamaran Nizar, aku telah siap
Bab 9. Pesan-Pesan di WhasAppPandai ilmu agama tidak menjadi tolak ukur seseorang itu suci dari dosa. Faktanya, sebagian dari mereka melakukan aktivitas pacaran yang keharamannya sudah jelas dalam agama.Namun, aku tidak memukul rata semua orang. Pemahaman yang mereka miliki adalah anugerah, sementara kesalahannya pun tidak harus selalu kita sangkut pautkan dengan agama apalagi menyalahkan ilmu dan penampilannya. Akhlak memang sulit diperbaiki dan ujian paling besar seorang penuntut ilmu adalah cinta.Cinta yang arahnya belum jelas. Cinta yang terkadang menyakiti, menguras energi serta dompet sampai harus membohongi orang tua jika ingin bertemu diam-diam.Aku juga merasa tidak pantas menggunjing mereka karena sama-sama memiliki dosa. Jika dia teman, aku pasti memberi sedikit nasihat dengan cara paling halus. Jika menolak, maka pilihan terbaik adalah mendoakan."Bagaimana, Lia? Apa Ainun masih belum mau save nomor Whats-App kamu lagi?" tanya Rania ketika aku memandangi akunnya yang ta
Bab 10. FitnahPagi ini aku tidak menyempatkan diri untuk sarapan pagi karena harus menuju rumah Ustazah Halimah sesuai kebiasaan setiap hari senin dan kamis. Sebagai pemula, tentu saja masih agak kesulitan, berbeda dengan mereka yang telah menguasai ilmu Nahwu.Pengajian kitab kuning yang berlangsung pukul delapan sampai sepuluh pagi itu dihadiri oleh sepuluh pelajar wanita. Sementara untuk lelaki, berada di lantai dua diajar oleh Ustaz Hamka.Nizar? Dia telah menamatkan beberapa kitab dan gurunya pun bukan hanya Ustaz Hamka saja. Ah, kenapa aku teringat pada lelaki itu lagi? Seharusnya aku melupakan dia sejenak demi ketenangan hati dan pikiran."Cie, calon pengantin udah datang!" celetuk Ayu dengan nada mengejek.Gadis itu memang sering meledek teman-temannya yang lain. Aku tidak mengerti kenapa dia masih saja bermulut pedas padahal Ustazah Halimah sering mengingatkan kami untuk menjaga lisan.Dia dan teman se-geng-nya tidak pernah alpa mengerjai santri wati baru terutama yang tingg
Bab 11. PembelaanPertanyaan Ustazah Halimah membuat kami semua menunduk. Aku merasa seperti mendapat malaikat penolong. Dengan hadirnya beliau sudah cukup untuk membuat mereka bungkam.Jika tahu aku dianggap perebut, ustazah pasti kembali menasihati kami semua untuk selalu menjaga lisan karena menyakiti hati sesama manusia adalah perbuatan yang tidak dibenarkan."Kenapa tidak ada yang menjawab? Siapa yang merebut siapa?" Kembali Ustazah Halimah menegaskan, ketika sudah duduk di tempatnya menghadap kami semua yang berbaris rapi di depan bangku kecil memanjang ke samping."Ayu, tadi aku dengar suara kamu ketawa. Sekarang jelaskan, siapa yang merebut siapa? Dan kenapa dagu Alia merah begitu?"Bisa kulihat raut wajah Ayu menunjukkan kekesalannya ketika menatapku. Dia juga mengepalkan sebelah tangan seolah menjadi sebuah isyarat kalau aku akan dipukul sepulang pengajian nanti.Gadis itu tersentak, lalu menunduk ketika Ustazah Halimah kembali menyebut namanya."Aku sudah sering mengingatka
Bab 88. Takdir Itu Selalu Indah.Setiap hari selalu sama, diisi dengan warna kehidupan yang indah. Seperti dulu, seolah tidak ada kisah kelam di masa lalu yang menyebabkan hati hancur tanpa kepingan lagi.Ainun bahagia berada di dekat teman-temannya, tetapi tentu saja ada masa dia menangis dalam kesendirian mengingat orang yang telah mendahului.Semua orang bahagia meski tidak ada kabar dari Rania. Semenjak pindah ke Manado, dia menghilang bagai ditelan bumi. Namun, mereka semua berusaha untuk terlihat santai walau khawatir pindah agama.Tak terasa sudah dua tiga berlalu. Usaha bakso meriang pun tidak lagi berada di depan rumah Bu Zahra melainkan di sampingnya. Jadi tetangga sebelah rumah Alia pindah ke luar kota, jadi mereka membeli lokasi itu karena lumayan luas.Rumah diratakan, lalu membangun warung makan yang lebih terkesan mewah dan bersih. Sementara pada tingkat dua adalah rumah Nizar dan Alia."Cie yang mau nikah. Jadinya sama
Bab 87. Pengaruh NgidamAlia pulang ke rumahnya setelah siang karena Nizar yang meminta. Sementara Ainun berkumpul dengan keluarga Diqi, mereka begitu baik karena mau membantu Ainun.Sebenarnya perempuan itu merasa sedih, seolah dilupakan oleh Rania. Dia hanya menanggapi status Face-book tentang kematian sang umi dengan emotikon sedih, tanpa mengirim pesan apalagi memunculkan batang hidungnya.Dia terbuai oleh godaan Cris. Mereka terlalu bucin sampai lupa pada teman dan yang lainnya. Mereka seperti perangko, menempel siang dan malam. Rania melangkah semakin jauh dari Tuhannya."Kamu pake parfum kopi ya?"Sebelah alis Nizar terangkat tipis. "Iya, emang selalu pake, kan?"Alia mengulum senyum, kemudian memeluk erat Nizar padahal posisinya sedang berada di depan rumah. Untung saja lagi sepi pelanggan siang itu karena cuaca benar-benar panas.Menghirup lekat-lekat aroma parfum Nizar, membuatnya mengulum senyum. "Suka banget!""Lepa
Bab 86. Aroma MenyengatPukul delapan pagi, Ainun baru saja keluar dari kamar mandi tepat setelah Nawaf dan Nizar pulang karena harus bekerja, begitu pula dengan kedua mertuanya.Saat tiba di dalam kamar, aroma sabun lemon menguar begitu saja sampai menusuk indra penciuman Alia yang sedang sibuk berkirim pesan dengan suaminya."Ainun!" pekik Alia merasa mual. Dia berlari keluar dari kamar sambil menutup hidung rapat. Kepalanya mendadak pusing, keringat membasahi pelipis.Perempuan yang baru saja ingin mengambil daster panjang dalam lemari pakaian itu mengerutkan kening, bingung. Kenapa Alia menutup hidung seakan mencium bau busuk atau menyengat?Padahal selama ini selera sabun mereka sama. Lantas, kenapa? batin Ainun penasaran.Sementara dalam kamar mandi, Alia muntah sedikit. Setelah itu mengambil minum dan langsung meneguknya setengah gelas. Dia terduduk lesu di meja makan sambil sesekali menghela napas panjang."Kamu kenapa, sih?"
Bab 85. Jangan Tinggalkan Aku"Jangan larut dalam kesedihan, Ainun. Perbanyak doa untuk umi, semoga Allah menerima semua amal kebaikannya," kata Ustazah Halimah begitu melihat perempuan itu duduk di dalam kamarnya, menatap kosong dalam pelukan Alia."Umi sudah nggak ada. Sekarang aku yatim piatu, Ustazah," balas Ainun lirih. Tidak ada lagi air mata yang mengalir di sepanjang pipinya.Puncak dari segala kesedihan adalah ketika mata tak lagi mampu menangis. Kehilangan kedua orang tua sangat menyakitkan, membuat Ainun merasa sendiri di dunia.Sakit yang disebabkan kehilangan itu tidak memiliki obat. Mereka bilang, hati akan pulih seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, menurut Ainun berbeda. Sampai kapan pun, rasa sakit itu akan selalu ada.Apalagi karena kehilangan orang tua, di mana setiap insan tidak bisa terlahir kembali. Orang tua adalah sosok yang tidak ada gantinya. Mereka ada dalam hati, di tempat paling istimewa.Perempuan itu menunduk
Bab 84. Berujung Air MataEmosi Diva meluap sampai ke ubun-ubun. Baru saja si Kemayu itu ingin menyerang Ainun ketika Diqi lantas mendorongnya.Diqi sudah berjanji akan melindungi Ainun dalam keadaan apa pun bahkan jika harus kehilangan nyawa sendiri. Dia memberi tatapan tajam, dingin tak tersentuh pada Diva. "Jangan berani menyentuh istriku atau kamu harus berakhir di rumah sakit!" ancamnya serius."Serius amat, Yang? Padahal kalau kamu bagi nomer Whats-App, kan, gak bakal seribet ini. Ayolah!" Diva mengedipkan sebelah mata, sengaja ingin menggoda Diqi.Namun, siapa yang akan tergoda padanya? Setiap lelaki normal itu mencintai wanita dan bukan waria. Diqi sangat tahu bagaimana Islam melarang perbuatan yang meniru umat terdahulu, sebut saja Kaum Sodom."Minggir!" Ainun dengan penuh keberanian mendorong bahu lelaki kemayu itu sampai harus tersungkur ke belakang. Beberapa pasang memperhatikan mereka. Ada yang merasa kasihan ada pula yang menganggap m
Bab 83. Senyum tanpa Makna"Kamu beneran hamil, Sayang?" tanya Nizar sangat antusias. Kedua matanya berbinar, lalu bulir bening menggenang di sana."Iya, alhamdulillah. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah." Alia mengulum senyum, tidak lama setelah itu Nizar langsung menariknya masuk kamar agar bisa leluasa memeluk sang istri.Sebenarnya bisa saja melakukan itu di luar, tetapi khawatir tertangkap basah sama Bu Aminah dan Pak Abdullah, mereka bisa malu. Di dalam kamar, Nizar memeluk erat istrinya sambil menghujaninya dengan kecupan lembut di seluruh wajah."Makanya tadi aku suruh mandi dulu sebelum ngasih tahu, takut bau jigong!" kata Alia setelah Nizar melonggarkan pelukannya.Namun, lelaki itu tidak menanggapi. Dia menuntun Alia untuk duduk di tepi ranjang, setelah itu dia akan mensejajarkan wajahnya dengan perut Alia yang masih sangat rata.Tangan kanannya mengusap perut perempuan itu. "Anak abi. Apa kabar, Sayang? Oh iya, kamu jangan
Bab 82. Takdir yang DirindukanPukul sebelas malam, kedua mempelai sudah memasuki kamar karena kelelahan karena terus melayani tamu dan memaksakan senyuman. Padahal, Ainun merasa nyeri di bagian perut dan pinggangnya.Saat sedang duduk di depan kaca rias untuk menghapus make up dengan remover, tiba-tiba Diqi berlutut dan memeluknya dari belakang membuat bulu kuduk perempuan itu meremang."Ada apa?" tanya Ainun sedikit gugup. Dia takut melakukan itu. Apalagi sekarang ada di rumah Diqi, mudah bagi lelaki itu untuk memaksanya.Bibirnya yang sedikit gemetar terlihat jelas dari pantulan cermin. Diqi menarik sudut bibir tipis, kemudian berdiri, melangkah menuju lemari pakaian.Setelah kembali, dia meletakkan hadiah dari Alia tadi di meja, tepat depan Ainun. "Buka sekarang!""Nanti saja, Diq–""Eh, bukan Diqi. Habibi, singkatnya 'bi'. Mengerti, Sayangku?"Jauh di lubuk hati, Ainun merasa senang karena melihat binar cinta terpanc
Bab 81. Gemuruh dalam DadaLepas salat asar, kedua mempelai kembali ke pelaminan. Semua masih saja, tamu undangan silih berganti menyalami mereka. Tentu saja, baik Ainun maupun Nizar hanya mengulurkan tangan kepada mahram saja dan mengatup kedua tangan di depan dada untuk yang lainnya.Rasa lelah duduk seharian hadir memeluk raga mereka. Ainun ingin sekali masuk kamar untuk meregangkan otot walau sebentar. Namun, senyum dari setiap tamu seolah membakar semangatnya lagi dan lagi."Kamu udah buka kado dari Alia?" Kembali Diqi bertanya sesuatu yang tidak ingin Ainun bahas saat ini."Belum. Gak mau buka sekarang, nanti saja.""Kenapa?""Pokoknya nanti saja. Gak usah terlalu penasaran, nanti malah gak sesuai harapan. Alia pasti ngasih jilbab kalau gak gamis.""Menurut aku bukan gamis, melainkan ...." Diqi tersenyum, sengaja menggantung ucapannya lantas mengerling manja pada sang istri.Ainun sendiri menghela napas panjang, lalu memb
Bab 80. Qobiltu"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq," ucap Diqi begitu lantang melafazkan sighot qabul di depan penghulu dan semua orang.Air mata Ainun kembali menggenang ketika mengingat momen beberapa jam lalu saat dia telah resmi menjadi seorang istri. Seluruh keluarga serta tamu undangan nampak bahagia, Ainun mengulum senyum.Achmad Asshidiqi adalah sosok lelaki yang sudah lama menjadi sahabat gadis bermata indah itu. Mereka sering berbagi pengalaman dan saling melempar pendapat sehingga Diqi tidak menyadari bahwa benih cinta perlahan tumbuh di dalam hatinya.Dia anak bungsu, tetapi hidup mandiri. Tanpa sahabatnya ketahui bahwa sejak sekolah, Diqi memang pernah diajari berbisnis oleh orang tua. Padahal dia terlahir dari keluarga berada.Cinta yang terus tumbuh detik demi detik. Diqi berjanji akan selalu menjaga Ainun, dalam suka duka bahkan di siang dan malamnya."Alhamdulillah, s