Ainun menghela napas panjang. Aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya saat ini, tetapi jika menganggap aku perebut pacar orang, itu salah. Aku tidak pernah membenarkan pacaran meskipun katanya syar'i dan lamaran adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam agama.
Apa aku mulai egois? Entahlah. Mungkin karena aku mulai mencintai Nizar sejak kemarin. Akan tetapi, aku juga tidak ingin jika persahabatan kami rusak hanya karena lelaki. Lantas siapa yang patut disalahkan? Aku yang menerima pinangan itu atau Ainun yang berharap pada manusia?
"Nizar yang salah. Dia sudah membuatku melambungkan harapan yang tinggi padanya. Aku sudah pernah bilang untuk tidak membahas masa depan bersama, jangan sampai berujung tidak jodoh. Namun, dia meyakinkanku kalau kami akan menikah. Nizar mengaku sedang menabung untuk masa depan kami, memintaku pada Tuhan agar disandingkan dengannya." Ainun menjeda dengan helaan napas panjang. Aku tahu dadanya menyimpan sesak yang luar biasa. "Alia ... tolong, kembalikan Nizar padaku!"
Aku tersentak tidak percaya. Bagaimana mungkin aku mengembalikan Nizar pada Ainun, sementara dia bukan benda mati? Apa Ainun tidak memikirkan semua itu? Lagi pula, aku ini seorang wanita dan yang berhak memutuskan lamaran adalah pihak lelaki. Ini akan merusak nama baikku sekeluarga.
"Tolong, tinggalkan dia demi aku. Kamu pasti tahu perasaan aku gimana, Lia. Kita sudah lama bersahabat, aku yakin kamu bisa memahami aku." Kembali Ainun menatapku dengan mata berbinar seakan mengharap keinginannya terkabul.
Terpaksa aku mengangguk walau perih merajai hati. Semua terlalu tiba-tiba padahal baru kemarin kami menjamu keluarga Nizar pada acara lamaran yang berlangsung lancar. Tanggal pernikahan sudah ditentukan, sebagian keluarga sudah diberitahu ayah.
Jika lamarannya dibatalkan karena aku meminta Nizar kembali pada Ainun, bukankah mencoreng nama baik keluarga? Aku menelan saliva ketika mataku beradu pandang dengan Ainun yang bermata indah sesuai namanya Nur Ainun Jamilah.
"Kalau saja Nizar melamar gadis lain yang tidak aku kenal, mungkin sakitnya tidak akan sama. Bagaimana jika kalian menikah kelak, Nizar akan melewati rumahku menuju ke sini, lalu aku hadir sebagai tamu undangan dan ikut menyaksikan ijab qabul kalian? Tidak, Alia. Itu terlalu menyakitkan."
"Aku akan mencobanya, Ai. Kamu yang sabar, ya. Aku paham bagaimana perasaan kamu. Nizar pasti masih mengajar di sekolah, jadi aku akan mengabarinya sore nanti. Semoga saja semua berjalan mulus dan Nizar bisa kembali sama kamu," jawabku pelan.
Hati semakin berdenyut nyeri. Aku menarik napas panjang berusaha menelan kesedihan yang mendera. Pengakuan Ainun bagai sebuah pedang yang menghunus tubuhku berulang kali. Ini antara cinta dan persahabatan dan aku tidak bisa memilih keduanya.
"Kamu yakin?"
Aku mengangguk. "Kalau Nizar nikah sama aku, ada dua orang yang tersakiti. Sementara kalau dia nikah sama kamu, hanya satu yang tersakiti. Aku tidak peduli tentang luka karena sudah pernah melaluinya. Selama kamu bahagia, aku pasti bahagia, Ainun."
Sekarang gadis berkerudung merah itu mengambangkan senyumannya, lalu memelukku erat. Dia terisak, bahunya terguncang. Aku ikut merasakan kepedihan itu, juga karena takut menghadapi amarah mama dan ayah jika keputusan ini sudah kusampaikan pada Nizar.
Aku juga penasaran kenapa Nizar tiba-tiba saja melamarku padahal hubungannya dengan Ainun belum diselesaikan. Apakah dia ingin merusak persahabatan kami? Mungkinkah Nizar setega itu? Entahlah, semua masih menjadi tanda tanya dan aku tidak mau berprasangka sendiri karena sebagian prasangka adalah dosa.
Ainun mengurai pelukan, lalu menyeka air mata. Wajahnya terlihat lega, tidak seperti tadi. Aku bisa melihat cinta di mata gadis itu, memang teramat besar tertuju pada Nizar Abdullah. Seorang lelaki bertubuh tinggi dan tampan, tidak pernah memiliki cacat apapun ketika orang-orang bercerita tentangnya.
Dia yang kusangka seperti malaikat, ternyata punya kesalahan. Ya, dia menabur harapan di dalam hati Ainun. Sepotong hati yang kini rapuh oleh kenyataan yang melukai hatinya. Sekali lagi, aku bisa memahami keadaan Ainun dan mencoba untuk membalut lukanya. Aku sungguh-sungguh ingin mengembalikan Nizar..
***
Sore hari di dalam kamar, aku membuka aplikasi hijau dan mencari kontak Nizar Abdullah. Kami tidak pernah bertukar pesan jika bukan perkara penting, makanya aku sedikit gemetaran. Setelah pernah terluka oleh cinta dalam diam yang aku jaga dalam doa, sekarang aku takut jika luka itu kembali datang menyapa dengan orang berbeda.
Pesan terkirim, aku tidak berbasa-basi, melainkan langsung meminta Nizar untuk membatalkan lamaran tanpa menyertakan alasannya. Beberapa menit menunggu, pesanku belum juga centang biru. Mungkin dia masih dalam perjalanan pulang atau sedang mandi.
Tangan dan kaki sudah mulai dingin karena hati berselimut rasa penasaran. Berulang kali aku mengecek pesan itu, tetapi tidak kunjung ada balasan. Entahlah, mungkin Nizar sudah tahu kalau Ainun datang ke sini dan memintaku untuk mengembalikan dia padanya.
Sebuah notifikasi Whats-App membuyarkan lamunan. Dengan gerak cepat, aku langsung menyambar benda pipih yang tergeletak di meja belajar itu, lalu membuka balasan pesan dari Nizar. Aku menarik napas panjang sebelum benar-benar membaca kata demi kata yang tersusun menjadi beberapa kalimat itu.
Nizar : Kenapa, Lia? Kemarin kamu mengatakan 'iya', bahkan aku tidak sengaja melihatmu menunduk untuk menyembunyikan senyuman. Kenapa sekarang kamu menolak sementara tanggal pernikahan kita sudah ditentukan? Ibu sama bapak sudah mengabari keluarga besar. Pikirkan sekali lagi. Kalau aku punya salah, katakan, biar aku perbaiki.
Aku kembali menghela napas panjang sambil membaca balasan Nizar berulang-ulang. Sebenarnya, aku tidak tahu harus menjawab apa lagi demi menutupi fakta kalau Ainun lah yang meminta. Akan tetapi, kalau terdesak, aku pasti jujur daripada disangka egois atau ada masalah lain.
Nizar : Ustazah Halimah sudah tahu? Atau mungkin orangtuamu juga belum tahu?
Pesan kedua yang dikirim Nizar membuatku semakin bingung. Ustazah Halimah adalah sosok guru yang sangat aku segani. Beliau memang menganggap aku ini seperti anak sendiri karena takdir dari Allah belum memberinya keturunan setelah sepuluh tahun pernikahan, tetapi aku tetap segan padanya.
Kemarin beliau turut hadir di acara lamaranku dan terlihat jelas kalau Ustazah Halimah sangat bahagia. Pantaskah aku merusak kebahagiaan dari guru dan tentu saja kedua orangtuaku? Ah, rasanya sungguh berat menjalani kehidupan yang seperti ini. Ketika orang lain dilema memilih dua lelaki salih, aku sendiri bingung harus melepaskan Nizar demi Ainun atau sebaliknya.
Aku : Kita tidak pantas menikah. Kamu hanya cocok menikah dengan Ainun. Kembali padanya, aku tidak suka kebahagiaan yang menyakiti hati wanita lain.
Pesan itu aku kirim beriring air mata, tetapi tidak menunjukkannya pada Nizar. Lelaki itu harus yakin kalau aku baik-baik saja. Ya, demi sahabat tercinta.
Jantungku berdegup tidak normal bagai pacuan kuda ketika Nizar menelepon. Mengingat ini karena urusan penting dan aku yakin Nizar sedang khawatir dan penasaran akan sesuatu, maka panggilan itu kubiarkan terhubung.Aku menyalakan loud speaker, lalu meletakkan ponsel di meja belajar karena takut jatuh ke lantai jika ada kabar yang tidak mengenakkan hati. Nizar mengulang pertanyaan yang sama tentang kenapa aku memintanya untuk membatalkan lamaran."Aku sendiri yang mau karena merasa kamu lebih cocok sama Ainun, bukan sama aku. Lupakan tentang lamaran kemarin, tolong dibatalkan saja. Aku tidak mau menari di atas kesedihan sahabatku, Nizar." Aku menjawab tegas karena tidak mau ketahuan kalau hati pun sama perihnya."Ainun cerita apa sama kamu? Tolong katakan, aku tidak mau terjadi kesalahpahaman," balas Nizar di balik telepon."Kamu menabur harapan dalam hatinya, Nizar. Kalian membahas masa depan dan gadis mana pun pasti akan kecewa begitu tahu kemarin kamu melamar sahabatnya. Tinggalkan a
Wajah mama berubah semakin murung, cahaya di wajahnya seakan tertutup awan tebal. Mama mengerjapkan mata, mungkin tidak percaya pada apa yang baru saja dia dengar. Tentu, aku pun sama karena masih beranggapan bahwa semuanya adalah mimpi.Tentang Nizar yang memintaku menyampaikan niatnya pada ayah, kemudian datang ke sini membawa orang tua bersama sanak keluarga lainnya. Semua berbahagia, termasuk kami sebagai calon pengantin. Lantas hari ini kacau. Aku menolak percaya pada kenyataan yang digambarkan Ainun."Maksud kamu ngomong gitu apa, Alia?""Nizar, Ma. Urusannya masih belum selesai. Dia pernah mengikat sebuah janji dan aku nggak mau melangsungkan pernikahan kalau menyebabkan hati wanita lain tersakiti. Aku sudah tahu gimana rasanya ditinggal nikah meski keadaanku sama Ainun berbeda.""Ainun?"Kedua mataku melebar, sementara sebelah tangan refleks menutup mulut yang memang suka keceplosan seolah pernah meminum serum kejujuran seperti dalam kisah Harry Potter. Semua sudah terlanjur,
"Lambat laun, dia akan mengerti. Ibarat sebuah doa yang belum dikabulkan sesuai keinginan kita, suatu hari pasti ada jawaban mengapa doa tersebut baru dikabulkan hari ini, bukan lima bulan lalu sesuai keinginan kita, misalnya? Takdir Tuhan itu selalu indah jika kita melapangkan dada untuk menerima setiap ketetapannya. Ainun pasti selalu meminta jodoh terbaik kepada Tuhan dan mungkin bukan aku jawabannya."Aku tertegun mendengar jawaban dari Nizar. Apa yang dia katakan, semuanya adalah kebenaran. Apalagi tentang takdir yang tidak bisa kita lawan dan hanya bisa berharap merubahnya dengan kekuatan doa.Membahas tentang masalah kami yang diibaratkan pada sebuah doa. Tentu kita merasa Tuhan tidak mengabulkannya karena sudah lewat waktu dalam perhitungan kita, padahal Tuhan selalu mengabulkan doa di waktu yang tepat karena selalu ada hikmah di balik semua itu.Benar pula dugaan Nizar karena Ainun selalu mengatakan kalau dirinya meminta jodoh terbaik kepada Tuhan tanpa menyebut nama seseoran
"Ayah tolong jangan menyalahkan Ainun. Aku mengerti keadaannya. Ainun sebenarnya akan menjadi orang paling bahagia kalau aku dilamar seseorang jika saja orang itu bukan Nizar." Aku menjawab dengan pelan karena takut jika sampai ayah marah. Ayah adalah sosok laki-laki yang selalu tersenyum, mudah beradaptasi serta sering melempar guyonan untuk keluarga demi mencairkan suasana. Namun, untuk masalah serius yang melibatkan kehormatan ini membuat ayah terlihat berbeda. "Jujur, ayah tidak akan menyalahkan Ainun jika dia sudah tidak mendesakmu lagi. Masih gadis begitu malah bucin kebangetan seolah sudah tidak ada lagi lelaki lain di luar sana. Kata kasarnya, terkesan tidak laku. Ayah mencoba memahami karena kalian bersahabat, sayangnya gagal." Aku menunduk dalam, sedikit tersinggung mendengar ucapan ayah tadi. Ainun memang bersalah dalam hal mencintai terlalu dalam serta melambungkan harapan setinggi langit. Namun, jangan lupakan bahwa Nizar berperan penting dalam mempermainkan perasaanny
Bab 7. Katakan Alasanmu!"Aku tidak mungkin menjelaskannya. Ini menyangkut aib Ainun dan kita tidak boleh menyebar aib saudara sendiri.""Aib?" Kedua alisku saling bertaut mendengar kata yang tersusun atas tiga huruf itu. "Apa kalian pernah ...."Sengaja aku menggantung kalimat karena khawatir didengar oleh orang lain. Namun, aku yakin kalau Nizar pasti paham arah pembicaraanku. Untung saja cuaca sedikit mendung sehingga matahari tidak membakar kulit."Astagfirullah, naudzubillah min dzalik. Jangan berpikir ke sana, aku tidak mungkin melakukannya. Selama dekat dengan Ainun, aku tidak pernah menyentuh tangannya apalagi untuk berbuat hal ...." Nizar ikut melirik sekitar. Aku bisa memahami.Akan tetapi, rasa penasaran tentang aib yang dimaksud masih mengusik pikiran. Bukan maksud ingin mencari tahu kekurangan orang lain, hanya saja penasaran alasan mereka berpisah. Aku mana mau menikah dengan lelaki perusak wanita.Melihat lelaki itu masih bisa menahan marah, membuatku semakin yakin tent
Bab 8. Bukan Romeo dan Juliet"Itu berarti kamu menganggap dirimu adalah Juliet dan aku ini Rosaline?"Aku lekas menggeleng, lalu tersenyum. Sebenarnya aku sedang memberanikan diri untuk menatap mata Ainun yang merah memancarkan luka menyekat. Menyedihkan, kalimat itu terlintas begitu saja dalam hati."Mungkin sebagian orang akan menganggap demikian, tetapi aku tidak pernah tahu kalau kalian memiliki hubungan. Sementara Juliet, dia tahu kalau Romeo adalah kekasih Rosaline. Lagi pula, cinta Romeo dan Juliet tidak mendapat restu disebabkan perbedaan kasta, sedangkan aku ...." Aku tidak lagi sanggup menjelaskan pada Ainun bahwa antara aku dan Nizar itu tidak ada ikatan sebelum lamaran.Semua terjadi begitu saja. Dia datang melamar, lalu aku menerima karena mengenal dia sebagai lelaki yang baik. Tentang kekurangan yang dia miliki merupakan hal lumrah di mana manusia pasti memilikinya.Namun, cinta akan menjadikan kekurangan itu sebuah kelebihan. Saat menerima lamaran Nizar, aku telah siap
Bab 9. Pesan-Pesan di WhasAppPandai ilmu agama tidak menjadi tolak ukur seseorang itu suci dari dosa. Faktanya, sebagian dari mereka melakukan aktivitas pacaran yang keharamannya sudah jelas dalam agama.Namun, aku tidak memukul rata semua orang. Pemahaman yang mereka miliki adalah anugerah, sementara kesalahannya pun tidak harus selalu kita sangkut pautkan dengan agama apalagi menyalahkan ilmu dan penampilannya. Akhlak memang sulit diperbaiki dan ujian paling besar seorang penuntut ilmu adalah cinta.Cinta yang arahnya belum jelas. Cinta yang terkadang menyakiti, menguras energi serta dompet sampai harus membohongi orang tua jika ingin bertemu diam-diam.Aku juga merasa tidak pantas menggunjing mereka karena sama-sama memiliki dosa. Jika dia teman, aku pasti memberi sedikit nasihat dengan cara paling halus. Jika menolak, maka pilihan terbaik adalah mendoakan."Bagaimana, Lia? Apa Ainun masih belum mau save nomor Whats-App kamu lagi?" tanya Rania ketika aku memandangi akunnya yang ta
Bab 10. FitnahPagi ini aku tidak menyempatkan diri untuk sarapan pagi karena harus menuju rumah Ustazah Halimah sesuai kebiasaan setiap hari senin dan kamis. Sebagai pemula, tentu saja masih agak kesulitan, berbeda dengan mereka yang telah menguasai ilmu Nahwu.Pengajian kitab kuning yang berlangsung pukul delapan sampai sepuluh pagi itu dihadiri oleh sepuluh pelajar wanita. Sementara untuk lelaki, berada di lantai dua diajar oleh Ustaz Hamka.Nizar? Dia telah menamatkan beberapa kitab dan gurunya pun bukan hanya Ustaz Hamka saja. Ah, kenapa aku teringat pada lelaki itu lagi? Seharusnya aku melupakan dia sejenak demi ketenangan hati dan pikiran."Cie, calon pengantin udah datang!" celetuk Ayu dengan nada mengejek.Gadis itu memang sering meledek teman-temannya yang lain. Aku tidak mengerti kenapa dia masih saja bermulut pedas padahal Ustazah Halimah sering mengingatkan kami untuk menjaga lisan.Dia dan teman se-geng-nya tidak pernah alpa mengerjai santri wati baru terutama yang tingg
Bab 88. Takdir Itu Selalu Indah.Setiap hari selalu sama, diisi dengan warna kehidupan yang indah. Seperti dulu, seolah tidak ada kisah kelam di masa lalu yang menyebabkan hati hancur tanpa kepingan lagi.Ainun bahagia berada di dekat teman-temannya, tetapi tentu saja ada masa dia menangis dalam kesendirian mengingat orang yang telah mendahului.Semua orang bahagia meski tidak ada kabar dari Rania. Semenjak pindah ke Manado, dia menghilang bagai ditelan bumi. Namun, mereka semua berusaha untuk terlihat santai walau khawatir pindah agama.Tak terasa sudah dua tiga berlalu. Usaha bakso meriang pun tidak lagi berada di depan rumah Bu Zahra melainkan di sampingnya. Jadi tetangga sebelah rumah Alia pindah ke luar kota, jadi mereka membeli lokasi itu karena lumayan luas.Rumah diratakan, lalu membangun warung makan yang lebih terkesan mewah dan bersih. Sementara pada tingkat dua adalah rumah Nizar dan Alia."Cie yang mau nikah. Jadinya sama
Bab 87. Pengaruh NgidamAlia pulang ke rumahnya setelah siang karena Nizar yang meminta. Sementara Ainun berkumpul dengan keluarga Diqi, mereka begitu baik karena mau membantu Ainun.Sebenarnya perempuan itu merasa sedih, seolah dilupakan oleh Rania. Dia hanya menanggapi status Face-book tentang kematian sang umi dengan emotikon sedih, tanpa mengirim pesan apalagi memunculkan batang hidungnya.Dia terbuai oleh godaan Cris. Mereka terlalu bucin sampai lupa pada teman dan yang lainnya. Mereka seperti perangko, menempel siang dan malam. Rania melangkah semakin jauh dari Tuhannya."Kamu pake parfum kopi ya?"Sebelah alis Nizar terangkat tipis. "Iya, emang selalu pake, kan?"Alia mengulum senyum, kemudian memeluk erat Nizar padahal posisinya sedang berada di depan rumah. Untung saja lagi sepi pelanggan siang itu karena cuaca benar-benar panas.Menghirup lekat-lekat aroma parfum Nizar, membuatnya mengulum senyum. "Suka banget!""Lepa
Bab 86. Aroma MenyengatPukul delapan pagi, Ainun baru saja keluar dari kamar mandi tepat setelah Nawaf dan Nizar pulang karena harus bekerja, begitu pula dengan kedua mertuanya.Saat tiba di dalam kamar, aroma sabun lemon menguar begitu saja sampai menusuk indra penciuman Alia yang sedang sibuk berkirim pesan dengan suaminya."Ainun!" pekik Alia merasa mual. Dia berlari keluar dari kamar sambil menutup hidung rapat. Kepalanya mendadak pusing, keringat membasahi pelipis.Perempuan yang baru saja ingin mengambil daster panjang dalam lemari pakaian itu mengerutkan kening, bingung. Kenapa Alia menutup hidung seakan mencium bau busuk atau menyengat?Padahal selama ini selera sabun mereka sama. Lantas, kenapa? batin Ainun penasaran.Sementara dalam kamar mandi, Alia muntah sedikit. Setelah itu mengambil minum dan langsung meneguknya setengah gelas. Dia terduduk lesu di meja makan sambil sesekali menghela napas panjang."Kamu kenapa, sih?"
Bab 85. Jangan Tinggalkan Aku"Jangan larut dalam kesedihan, Ainun. Perbanyak doa untuk umi, semoga Allah menerima semua amal kebaikannya," kata Ustazah Halimah begitu melihat perempuan itu duduk di dalam kamarnya, menatap kosong dalam pelukan Alia."Umi sudah nggak ada. Sekarang aku yatim piatu, Ustazah," balas Ainun lirih. Tidak ada lagi air mata yang mengalir di sepanjang pipinya.Puncak dari segala kesedihan adalah ketika mata tak lagi mampu menangis. Kehilangan kedua orang tua sangat menyakitkan, membuat Ainun merasa sendiri di dunia.Sakit yang disebabkan kehilangan itu tidak memiliki obat. Mereka bilang, hati akan pulih seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, menurut Ainun berbeda. Sampai kapan pun, rasa sakit itu akan selalu ada.Apalagi karena kehilangan orang tua, di mana setiap insan tidak bisa terlahir kembali. Orang tua adalah sosok yang tidak ada gantinya. Mereka ada dalam hati, di tempat paling istimewa.Perempuan itu menunduk
Bab 84. Berujung Air MataEmosi Diva meluap sampai ke ubun-ubun. Baru saja si Kemayu itu ingin menyerang Ainun ketika Diqi lantas mendorongnya.Diqi sudah berjanji akan melindungi Ainun dalam keadaan apa pun bahkan jika harus kehilangan nyawa sendiri. Dia memberi tatapan tajam, dingin tak tersentuh pada Diva. "Jangan berani menyentuh istriku atau kamu harus berakhir di rumah sakit!" ancamnya serius."Serius amat, Yang? Padahal kalau kamu bagi nomer Whats-App, kan, gak bakal seribet ini. Ayolah!" Diva mengedipkan sebelah mata, sengaja ingin menggoda Diqi.Namun, siapa yang akan tergoda padanya? Setiap lelaki normal itu mencintai wanita dan bukan waria. Diqi sangat tahu bagaimana Islam melarang perbuatan yang meniru umat terdahulu, sebut saja Kaum Sodom."Minggir!" Ainun dengan penuh keberanian mendorong bahu lelaki kemayu itu sampai harus tersungkur ke belakang. Beberapa pasang memperhatikan mereka. Ada yang merasa kasihan ada pula yang menganggap m
Bab 83. Senyum tanpa Makna"Kamu beneran hamil, Sayang?" tanya Nizar sangat antusias. Kedua matanya berbinar, lalu bulir bening menggenang di sana."Iya, alhamdulillah. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah." Alia mengulum senyum, tidak lama setelah itu Nizar langsung menariknya masuk kamar agar bisa leluasa memeluk sang istri.Sebenarnya bisa saja melakukan itu di luar, tetapi khawatir tertangkap basah sama Bu Aminah dan Pak Abdullah, mereka bisa malu. Di dalam kamar, Nizar memeluk erat istrinya sambil menghujaninya dengan kecupan lembut di seluruh wajah."Makanya tadi aku suruh mandi dulu sebelum ngasih tahu, takut bau jigong!" kata Alia setelah Nizar melonggarkan pelukannya.Namun, lelaki itu tidak menanggapi. Dia menuntun Alia untuk duduk di tepi ranjang, setelah itu dia akan mensejajarkan wajahnya dengan perut Alia yang masih sangat rata.Tangan kanannya mengusap perut perempuan itu. "Anak abi. Apa kabar, Sayang? Oh iya, kamu jangan
Bab 82. Takdir yang DirindukanPukul sebelas malam, kedua mempelai sudah memasuki kamar karena kelelahan karena terus melayani tamu dan memaksakan senyuman. Padahal, Ainun merasa nyeri di bagian perut dan pinggangnya.Saat sedang duduk di depan kaca rias untuk menghapus make up dengan remover, tiba-tiba Diqi berlutut dan memeluknya dari belakang membuat bulu kuduk perempuan itu meremang."Ada apa?" tanya Ainun sedikit gugup. Dia takut melakukan itu. Apalagi sekarang ada di rumah Diqi, mudah bagi lelaki itu untuk memaksanya.Bibirnya yang sedikit gemetar terlihat jelas dari pantulan cermin. Diqi menarik sudut bibir tipis, kemudian berdiri, melangkah menuju lemari pakaian.Setelah kembali, dia meletakkan hadiah dari Alia tadi di meja, tepat depan Ainun. "Buka sekarang!""Nanti saja, Diq–""Eh, bukan Diqi. Habibi, singkatnya 'bi'. Mengerti, Sayangku?"Jauh di lubuk hati, Ainun merasa senang karena melihat binar cinta terpanc
Bab 81. Gemuruh dalam DadaLepas salat asar, kedua mempelai kembali ke pelaminan. Semua masih saja, tamu undangan silih berganti menyalami mereka. Tentu saja, baik Ainun maupun Nizar hanya mengulurkan tangan kepada mahram saja dan mengatup kedua tangan di depan dada untuk yang lainnya.Rasa lelah duduk seharian hadir memeluk raga mereka. Ainun ingin sekali masuk kamar untuk meregangkan otot walau sebentar. Namun, senyum dari setiap tamu seolah membakar semangatnya lagi dan lagi."Kamu udah buka kado dari Alia?" Kembali Diqi bertanya sesuatu yang tidak ingin Ainun bahas saat ini."Belum. Gak mau buka sekarang, nanti saja.""Kenapa?""Pokoknya nanti saja. Gak usah terlalu penasaran, nanti malah gak sesuai harapan. Alia pasti ngasih jilbab kalau gak gamis.""Menurut aku bukan gamis, melainkan ...." Diqi tersenyum, sengaja menggantung ucapannya lantas mengerling manja pada sang istri.Ainun sendiri menghela napas panjang, lalu memb
Bab 80. Qobiltu"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq," ucap Diqi begitu lantang melafazkan sighot qabul di depan penghulu dan semua orang.Air mata Ainun kembali menggenang ketika mengingat momen beberapa jam lalu saat dia telah resmi menjadi seorang istri. Seluruh keluarga serta tamu undangan nampak bahagia, Ainun mengulum senyum.Achmad Asshidiqi adalah sosok lelaki yang sudah lama menjadi sahabat gadis bermata indah itu. Mereka sering berbagi pengalaman dan saling melempar pendapat sehingga Diqi tidak menyadari bahwa benih cinta perlahan tumbuh di dalam hatinya.Dia anak bungsu, tetapi hidup mandiri. Tanpa sahabatnya ketahui bahwa sejak sekolah, Diqi memang pernah diajari berbisnis oleh orang tua. Padahal dia terlahir dari keluarga berada.Cinta yang terus tumbuh detik demi detik. Diqi berjanji akan selalu menjaga Ainun, dalam suka duka bahkan di siang dan malamnya."Alhamdulillah, s