Bab 7. Katakan Alasanmu!
"Aku tidak mungkin menjelaskannya. Ini menyangkut aib Ainun dan kita tidak boleh menyebar aib saudara sendiri."
"Aib?" Kedua alisku saling bertaut mendengar kata yang tersusun atas tiga huruf itu. "Apa kalian pernah ...."
Sengaja aku menggantung kalimat karena khawatir didengar oleh orang lain. Namun, aku yakin kalau Nizar pasti paham arah pembicaraanku. Untung saja cuaca sedikit mendung sehingga matahari tidak membakar kulit.
"Astagfirullah, naudzubillah min dzalik. Jangan berpikir ke sana, aku tidak mungkin melakukannya. Selama dekat dengan Ainun, aku tidak pernah menyentuh tangannya apalagi untuk berbuat hal ...." Nizar ikut melirik sekitar. Aku bisa memahami.
Akan tetapi, rasa penasaran tentang aib yang dimaksud masih mengusik pikiran. Bukan maksud ingin mencari tahu kekurangan orang lain, hanya saja penasaran alasan mereka berpisah. Aku mana mau menikah dengan lelaki perusak wanita.
Melihat lelaki itu masih bisa menahan marah, membuatku semakin yakin tentang penilaian orang-orang bahwa Nizar adalah lelaki baik. Sayang sekali, untuk masalah cinta sedikit ada kurangnya.
Meninggalkan gadis yang pernah dia beri harapan adalah sebuah kesalahan. Apalagi menurut Ainun hubungan mereka sedikit renggang saja disebabkan masalah kecil yang tidak mungkin memisahkan mereka.
Aku semakin tidak mengerti. Sebenarnya apa saja yang terjadi antara Nizar dan Ainun. Pasti ada alasan kenapa Ainun terus mendesak agar aku mengembalikan Nizar padanya. Pikiran buruk menghampiri, tetapi berusaha aku tepis secepat mungkin sebelum semakin menjadi.
"Kalau tidak ada lagi yang mau kamu bicarakan, sebaiknya pulang saja sebelum mama kamu nyariin. Aku mau langsung masuk ke masjid."
"Pembicaraan kita hampir selesai. Ada satu permintaan yang harus kamu terima."
"Katakan, asal tidak menyangkut tentang Ainun."
"Tapi ini tentang Ainun." Nizar bungkam, aku langsung mengambil kesempatan untuk melanjutkan kalimat. "Aku tidak mau menikah sama kamu, Nizar. Jadi, sampaikan pada orang tuamu untuk melamar Ainun saja. Kurasa kalian berlaku tidak adil."
"Alia."
"Tidak, Nizar. Jangan berusaha membujukku. Mulai detik ini, aku akan meninggalkan sekaligus melupakanmu. Masjid ini menjadi saksi perpisahan kita."
"Selangkah saja kamu pergi dengan niat meninggalkan aku, maka kamu harus bersiap mendengar kabar buru. Aku tidak mau mencoreng nama baik keluarga dengan memutus lamaran, karena tetangga dan yang lainnya pasti menuntut jawaban."
"Nizar, kamu mau melakukan apa?"
"Bunuh diri mungkin?"
Aku tersenyum kecut. Ternyata semua lelaki sama saja. Mental mereka lemah, seperti pecundang. Ini pasti sekadar ancaman belaka agar aku tidak sampai meninggalkannya.
Menggadaikan agama demi seorang wanita? Oh tidak, mungkin Nizar hanya mencoba mempertahankan harga diri keluarganya. Aku tidak tahu apa saja yang terjadi di antara mereka. Namun, percaya kalau Nizar sekadar mengancam.
Tidak mungkin dia bunuh diri. Nizar itu fokus pada pengajian kitab kuning, tentu tahu kalau hal itu merupakan dosa besar. Kecuali dia bucin berlebihan, mungkin saja melupakan semua ilmunya.
"Kamu yakin?"
Tidak ada jawaban. Pertanyaan pancinganku berhasil. Kasihan juga jika langsung meninggalkannya sebelum menemukan kejelasan tentang siapa yang sebenarnya menjadi korban dari kedekatan mereka dulu.
"Baiklah. Sekarang aku mau ke rumah Ainun dulu. Sampai jumpa!"
"Jangan percaya pada apa pun yang dia katakan!"
"Hanya aku yang berhak menentukan apa aku percaya atau tidak," balasku lebih tegas, lalu mengucapkan salam perpisahan.
Aku kembali melangkah menuju motor matic yang aku parkir tadi. Memakai helm, lalu meninggalkan tempat itu. Jujur, hati semakin gundah memikirkan bagaimana reaksi Ainun ketika melihatku.
Teringat pesan yang dia kirim mengatakan kalau dia sudah menghapus nomor Whats-App aku karena tidak mau tahu informasi tentang Nizar. Salahku juga telah memasang story bertuliskan namanya. Andai saja story itu aku khususkan untuk si tetangga yang naksir sana aku itu, Ainun pasti tidak curiga.
Ah ya, aku lupa bahwa dalang utamanya adalah Rania. Dia telah memberitahu Ainun tentang lamaran itu atas informasi dari tetangga. Padahal sudah kuminta untuk melamar habis isya saja, Nizar menolak.
"Fokus woy, fokus!" teriak seorang pengendara ketika aku mengarahkan motor ke tengah jalan.
Segera mata melirik spion, menyalakan sen kiri untuk kemudian menepi. Sekelumit pikiran yang bersarang di dalam kepala membuatku hampir kehilangan nyawa.
***
Jam dua belas kurang lima belas menit, aku tiba di depan rumah Ainun. Rumah desain minimalis dengan warna hijau mendominasi. Aku melepas helm, kemudian melangkah menuju pintu rumah bercat putih itu.
"Assalamu'alaikum, Ainun!" panggilku setelah mengetuk pintu.
"Wa'alaikumussalam." Sebuah senyum hangat menyambut. Wanita paruh baya itu adalah umi Ainun.
"Ainun ada, Umi?"
"Ada, di belakang, lagi baca buku kayaknya. Masuk dulu biar umi panggilkan."
Aku mengangguk sopan, kembali melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Dinding ruang tamu rumah Ainun dipenuhi foto ulama dari Hadramaut, Mekah serta Indonesia tentunya.
Adem. Itu yang selalu aku rasakan ketika berada di rumah ini. Makanya, aku selalu lupa pulang karena rasa nyaman itu. Baik karena suasana maupun sikap hangat yang diberikan pemilik rumah.
Mereka tinggal berdua di rumah. Aku menghirup udara dalam, aroma parfum kopi kesukaan Ainun begitu menusuk indra penciuman.
"Alia?" Terlihat jelas keterkejutan di wajah Ainun. Dia pasti tidak menduga kalau aku akan bertamu ke rumahnya. "Ternyata kamu tamunya?" tanyanya lagi masih berdiri di dekat tirai yang memisahkan ruang tamu dengan ruang keluarga.
"Duduk dulu Ainun. Ada yang mau aku tanyakan."
"Tentang masa lalu aku dan Nizar?" tebaknya memaksa aku menganggukkan kepala.
Gadis itu mendekat, duduk di sampingku dengan tatapan yang sulit di artikan. Pada intinya, sekarang suasananya berbeda dengan saat terakhir kali aku datang ke sini bersama Rania.
Berulang kali aku menarik napas dalam untuk mengumpulkan kekuatan. Apalagi umi ke luar membawa nampan berisi dua gelas es teh dan setoples cemilan. "Terima kasih, Umi," kataku tulus.
"Sama-sama. Umi ke belakang dulu, ya, Nak. Ada urusan."
Aku kembali mengangguk, sambil menatap wanita paruh baya yang selalu dalam balutan khimar-nya. Saat ruangan kembali sepi, pandanganku beralih pada Ainun yang membeku.
"Ainun, tolong kamu jawab dengan jujur. Aku ingin memintamu kembali pada Nizar, tapi kalau alasan kalian berpisah belum jelas begini, aku kesulitan."
"Usaha apa yang sudah kamu lakukan?" Mata Ainun seketika berkaca-kaca.
"Aku meminta Nizar untuk memutuskan lamaran bahkan aku bilang akan melupakannya. Namun, dia mengancam akan bunuh diri saja."
Ainun tersenyum kecut. "Nizar juga pernah bilang gitu sama aku, Lia. Waktu aku minta berpisah sama dia karena lelah menjalani hubungan yang tidak tahu kapan indahnya."
Mendengar pengakuan Ainun, aku memilih diam. Tidak mengapa jika Nizar memiliki kekurangan karena aku pun sama. Bahkan di masa lalu, aku juga pernah meninggalkan salat. Untung saja Tuhan masih memberi kesempatan untuk mengganti semua salat yang aku tinggalkan dulu.
"Kami dekat, bahkan terlalu dekat sampai aku merasa tidak ada alasan untuk kami berpisah. Nizar selalu mengatakan kalau dia akan meminangku, menjadikanku ratu dalam rumah tangga kami. Aku pernah bertanya, bagaimana jika aku meninggal lebih dulu sebelum atau setelah kita menikah, kira-kira siapa yang akan menjadi penggantiku? Dia menjawab, 'aku tidak tahu siapa yang bisa menggantikanmu. Mungkin tidak ada dan tidak akan pernah ada."
"Ainun ...."
"Nyatanya, bahkan sebelum aku meninggal, dia sudah memiliki pengganti. Dan ternyata penggantiku adalah dirimu, sungguh di luar dugaan," lanjutnya lagi seolah tidak memberiku izin untuk berbicara.
Ainun menatap kosong, detik selanjutnya air mata sudah mulai menetes di sepanjang pipinya. Menggigit bibir, Ainun pasti berusaha menelan kesedihan yang menggerogoti jiwanya.
Aku menghela napas. "Ainun, segala sesuatu yang terjadi di muka bumi adalah takdir. Sebagai manusia, kita harus belajar dari kisah cinta Laila Majnun atau mungkin Romeo dan Juliet. Sekalipun saling mencintai sampai tergila-gila, kalau tidak jodoh, pasti ada jalan untuk berpisah. Entah berpisah dengan kematian atau pun hadirnya orang ketiga. Mencintai terlalu dalam, hadirkan rasa kecewa yang dalam pula, hampir dikatakan pasti. Lalu, apa kamu tahu siapa Rosaline?"
"Cinta pertama Romeo." Ainun menjawab malas.
"Awalnya, Romeo sangat mencintai Rosaline. Namun, setelah bertemu Juliet di sebuah pesta, Romeo jatuh cinta padanya. Itu berarti, hati seseorang mudah berubah. Ainun, maafkan aku untuk mengatakan ini ... terimalah setiap takdir yang digariskan Tuhan untukmu!"
Bab 8. Bukan Romeo dan Juliet"Itu berarti kamu menganggap dirimu adalah Juliet dan aku ini Rosaline?"Aku lekas menggeleng, lalu tersenyum. Sebenarnya aku sedang memberanikan diri untuk menatap mata Ainun yang merah memancarkan luka menyekat. Menyedihkan, kalimat itu terlintas begitu saja dalam hati."Mungkin sebagian orang akan menganggap demikian, tetapi aku tidak pernah tahu kalau kalian memiliki hubungan. Sementara Juliet, dia tahu kalau Romeo adalah kekasih Rosaline. Lagi pula, cinta Romeo dan Juliet tidak mendapat restu disebabkan perbedaan kasta, sedangkan aku ...." Aku tidak lagi sanggup menjelaskan pada Ainun bahwa antara aku dan Nizar itu tidak ada ikatan sebelum lamaran.Semua terjadi begitu saja. Dia datang melamar, lalu aku menerima karena mengenal dia sebagai lelaki yang baik. Tentang kekurangan yang dia miliki merupakan hal lumrah di mana manusia pasti memilikinya.Namun, cinta akan menjadikan kekurangan itu sebuah kelebihan. Saat menerima lamaran Nizar, aku telah siap
Bab 9. Pesan-Pesan di WhasAppPandai ilmu agama tidak menjadi tolak ukur seseorang itu suci dari dosa. Faktanya, sebagian dari mereka melakukan aktivitas pacaran yang keharamannya sudah jelas dalam agama.Namun, aku tidak memukul rata semua orang. Pemahaman yang mereka miliki adalah anugerah, sementara kesalahannya pun tidak harus selalu kita sangkut pautkan dengan agama apalagi menyalahkan ilmu dan penampilannya. Akhlak memang sulit diperbaiki dan ujian paling besar seorang penuntut ilmu adalah cinta.Cinta yang arahnya belum jelas. Cinta yang terkadang menyakiti, menguras energi serta dompet sampai harus membohongi orang tua jika ingin bertemu diam-diam.Aku juga merasa tidak pantas menggunjing mereka karena sama-sama memiliki dosa. Jika dia teman, aku pasti memberi sedikit nasihat dengan cara paling halus. Jika menolak, maka pilihan terbaik adalah mendoakan."Bagaimana, Lia? Apa Ainun masih belum mau save nomor Whats-App kamu lagi?" tanya Rania ketika aku memandangi akunnya yang ta
Bab 10. FitnahPagi ini aku tidak menyempatkan diri untuk sarapan pagi karena harus menuju rumah Ustazah Halimah sesuai kebiasaan setiap hari senin dan kamis. Sebagai pemula, tentu saja masih agak kesulitan, berbeda dengan mereka yang telah menguasai ilmu Nahwu.Pengajian kitab kuning yang berlangsung pukul delapan sampai sepuluh pagi itu dihadiri oleh sepuluh pelajar wanita. Sementara untuk lelaki, berada di lantai dua diajar oleh Ustaz Hamka.Nizar? Dia telah menamatkan beberapa kitab dan gurunya pun bukan hanya Ustaz Hamka saja. Ah, kenapa aku teringat pada lelaki itu lagi? Seharusnya aku melupakan dia sejenak demi ketenangan hati dan pikiran."Cie, calon pengantin udah datang!" celetuk Ayu dengan nada mengejek.Gadis itu memang sering meledek teman-temannya yang lain. Aku tidak mengerti kenapa dia masih saja bermulut pedas padahal Ustazah Halimah sering mengingatkan kami untuk menjaga lisan.Dia dan teman se-geng-nya tidak pernah alpa mengerjai santri wati baru terutama yang tingg
Bab 11. PembelaanPertanyaan Ustazah Halimah membuat kami semua menunduk. Aku merasa seperti mendapat malaikat penolong. Dengan hadirnya beliau sudah cukup untuk membuat mereka bungkam.Jika tahu aku dianggap perebut, ustazah pasti kembali menasihati kami semua untuk selalu menjaga lisan karena menyakiti hati sesama manusia adalah perbuatan yang tidak dibenarkan."Kenapa tidak ada yang menjawab? Siapa yang merebut siapa?" Kembali Ustazah Halimah menegaskan, ketika sudah duduk di tempatnya menghadap kami semua yang berbaris rapi di depan bangku kecil memanjang ke samping."Ayu, tadi aku dengar suara kamu ketawa. Sekarang jelaskan, siapa yang merebut siapa? Dan kenapa dagu Alia merah begitu?"Bisa kulihat raut wajah Ayu menunjukkan kekesalannya ketika menatapku. Dia juga mengepalkan sebelah tangan seolah menjadi sebuah isyarat kalau aku akan dipukul sepulang pengajian nanti.Gadis itu tersentak, lalu menunduk ketika Ustazah Halimah kembali menyebut namanya."Aku sudah sering mengingatka
Bab 12. Jangan Membahasnya Lagi"Ainun, jangan pergi dulu!"Ainun menghentikan langkahnya, segera Diqi menghampiri gadis itu sesaat setelah memintaku menunggu sebentar. Sementara Ayu dan teman-temannya dipaksa pulang.Jarak kami terlampau tiga meter. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan. Sekalipun sering usil, tetapi Diqi selalu bisa menengahi pertengkaran.Ini kali pertamanya aku bermasalah dengan Ainun. Sejak dulu aku selalu mengalah demi menjaga hubungan baik kami agar tidak renggang. Namun, dalam keadaan sekarang, apakah masih pantas untuk mengalah?"Kita ke rumah Ainun dulu. Tidak baik menyelesaikan masalah seperti ini di jalanan. Takut orang-orang pada mengira kalian memperebutkan aku."Aku menanggapi dengan anggukan kecil serta senyum samar, sedangkan Ainun malah mendelik kesal pada Diqi. Dan untuk pertama kalinya, gadis berkerudung hijau muda itu lebih memilih pulang bersama Diqi daripada aku.Sesampainya di
Bab 13. Sahabat yang Baik?"Ainun, jangan begitu. Apa kamu lupa kalau Alia itu sahabat terbaik kamu? Disaat susah dan senangmu dia selalu ada. Coba pikir, jika ada masalah di antara kalian, siapa yang selalu mengaku salah, selalu mengalah meskipun dirinya benar? Hanya Lia. Sementara Ayu, dia kerap menggunjingmu, mengataimu tidak punya abi. Siapa yang membelamu? Hanya Alia."Mata Ainun seketika mengeluarkan bulir bening. Dia berdiri dengan gerak cepat, lalu mengikis jarak denganku. Detik selanjutnya, Ainun menghamburkan diri dalam pelukanku.Air mataku mengalir deras. Luka Ainun semakin terasa sakitnya di dalam dada. Bahunya terguncang, aku mengusap punggungnya pelan."Nah, kalau akur gitu kan enak. Jadi nggak ada kesalahpahaman lagi. Pokoknya kita hidup itu santai aja. Kalau baik syukuri, kalau bikin sedih tetap syukuri. Alhamdulillah ala kulli haalin, yakni di setiap keadaan. Jangan mencari kebahagiaan, tetapi ciptakan kebahagiaan itu.""Ini adala
Bab 14. Tertangkap Basah"Te-teman yang mana, Ma?"Suara Diqi terdengar gugup. Ah, kami salah karena tidak memikirkan hal ini tadi. Bu Ruqayyah tentu saja bertanya karena kami tiba-tiba hilang sementara dirinya bilang ingin menyiapkan minuman. Semua karena tanpa rencana yang matang dan semoga saja Diqi mampu memberi alasan logis.Pasalnya, Nizar bukan lelaki bodoh. Dia bisa saja membaca raut wajah Diqi jika mencoba berbohong. Bingung, aku dan Ainun hanya bisa terpaku menunggu jawaban Diqi."Oh, Rania? Dia sudah pulang, Ma, sejak tadi.""Rania? Emang tadi itu Rania? Mama kira–""Mama ini kan nggak sering ketemu teman aku, pasti lupa-lupa ingat lah sama wajah mereka. Udah, Mama jangan mikirin si Rania itu. Sini minumannya biar buat aku sama Nizar saja."Setelahnya, tidak terdengar suara Bu Ruqayyah lagi membuatku bernapas lega. Mungkin mereka sedang minum, padahal kami juga kehausan di sini."Kok, ada tiga gelas? Emang Rani
Bab 15. Kurasa Dia bukan AinunPukul depan pagi, aku kembali tiba di rumah Ustazah Halimah untuk melanjutkan pengajian yang diawali dengan salawatan bersama khusus untuk hari selasa. Aku menghela napas panjang, baru juga tiba sudah langsung bertemu pandang dengan Ayu dan teman-teman lainnya.Mereka baru keluar dari majlis. Terpaksa aku menghampiri karena dilanda rasa penasaran. "Kok, udah pulang aja?""Libur," jawab Ayu ketus."Kenapa?""Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya? Biar aku kasih tahu ya, kita libur karena ustazah yang bilang!" Aku sedikit ilfeel mendengarnya meniru gaya bicara laki-laki viral yang rambut model cepak mekar itu.Tanpa mau menanggapi, aku memilih kembali ke motor. Terkadang dalam sepekan memang diliburkan karena Ustazah Halimah juga punya urusan. Aku tidak berani menanyakan lebih detail pada beliau, hanya menurut sebagai murid.Namun, di tempat yang sama dengan kemarin, Ayu kembali menghadang. Kali ini mereka berti
Bab 88. Takdir Itu Selalu Indah.Setiap hari selalu sama, diisi dengan warna kehidupan yang indah. Seperti dulu, seolah tidak ada kisah kelam di masa lalu yang menyebabkan hati hancur tanpa kepingan lagi.Ainun bahagia berada di dekat teman-temannya, tetapi tentu saja ada masa dia menangis dalam kesendirian mengingat orang yang telah mendahului.Semua orang bahagia meski tidak ada kabar dari Rania. Semenjak pindah ke Manado, dia menghilang bagai ditelan bumi. Namun, mereka semua berusaha untuk terlihat santai walau khawatir pindah agama.Tak terasa sudah dua tiga berlalu. Usaha bakso meriang pun tidak lagi berada di depan rumah Bu Zahra melainkan di sampingnya. Jadi tetangga sebelah rumah Alia pindah ke luar kota, jadi mereka membeli lokasi itu karena lumayan luas.Rumah diratakan, lalu membangun warung makan yang lebih terkesan mewah dan bersih. Sementara pada tingkat dua adalah rumah Nizar dan Alia."Cie yang mau nikah. Jadinya sama
Bab 87. Pengaruh NgidamAlia pulang ke rumahnya setelah siang karena Nizar yang meminta. Sementara Ainun berkumpul dengan keluarga Diqi, mereka begitu baik karena mau membantu Ainun.Sebenarnya perempuan itu merasa sedih, seolah dilupakan oleh Rania. Dia hanya menanggapi status Face-book tentang kematian sang umi dengan emotikon sedih, tanpa mengirim pesan apalagi memunculkan batang hidungnya.Dia terbuai oleh godaan Cris. Mereka terlalu bucin sampai lupa pada teman dan yang lainnya. Mereka seperti perangko, menempel siang dan malam. Rania melangkah semakin jauh dari Tuhannya."Kamu pake parfum kopi ya?"Sebelah alis Nizar terangkat tipis. "Iya, emang selalu pake, kan?"Alia mengulum senyum, kemudian memeluk erat Nizar padahal posisinya sedang berada di depan rumah. Untung saja lagi sepi pelanggan siang itu karena cuaca benar-benar panas.Menghirup lekat-lekat aroma parfum Nizar, membuatnya mengulum senyum. "Suka banget!""Lepa
Bab 86. Aroma MenyengatPukul delapan pagi, Ainun baru saja keluar dari kamar mandi tepat setelah Nawaf dan Nizar pulang karena harus bekerja, begitu pula dengan kedua mertuanya.Saat tiba di dalam kamar, aroma sabun lemon menguar begitu saja sampai menusuk indra penciuman Alia yang sedang sibuk berkirim pesan dengan suaminya."Ainun!" pekik Alia merasa mual. Dia berlari keluar dari kamar sambil menutup hidung rapat. Kepalanya mendadak pusing, keringat membasahi pelipis.Perempuan yang baru saja ingin mengambil daster panjang dalam lemari pakaian itu mengerutkan kening, bingung. Kenapa Alia menutup hidung seakan mencium bau busuk atau menyengat?Padahal selama ini selera sabun mereka sama. Lantas, kenapa? batin Ainun penasaran.Sementara dalam kamar mandi, Alia muntah sedikit. Setelah itu mengambil minum dan langsung meneguknya setengah gelas. Dia terduduk lesu di meja makan sambil sesekali menghela napas panjang."Kamu kenapa, sih?"
Bab 85. Jangan Tinggalkan Aku"Jangan larut dalam kesedihan, Ainun. Perbanyak doa untuk umi, semoga Allah menerima semua amal kebaikannya," kata Ustazah Halimah begitu melihat perempuan itu duduk di dalam kamarnya, menatap kosong dalam pelukan Alia."Umi sudah nggak ada. Sekarang aku yatim piatu, Ustazah," balas Ainun lirih. Tidak ada lagi air mata yang mengalir di sepanjang pipinya.Puncak dari segala kesedihan adalah ketika mata tak lagi mampu menangis. Kehilangan kedua orang tua sangat menyakitkan, membuat Ainun merasa sendiri di dunia.Sakit yang disebabkan kehilangan itu tidak memiliki obat. Mereka bilang, hati akan pulih seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, menurut Ainun berbeda. Sampai kapan pun, rasa sakit itu akan selalu ada.Apalagi karena kehilangan orang tua, di mana setiap insan tidak bisa terlahir kembali. Orang tua adalah sosok yang tidak ada gantinya. Mereka ada dalam hati, di tempat paling istimewa.Perempuan itu menunduk
Bab 84. Berujung Air MataEmosi Diva meluap sampai ke ubun-ubun. Baru saja si Kemayu itu ingin menyerang Ainun ketika Diqi lantas mendorongnya.Diqi sudah berjanji akan melindungi Ainun dalam keadaan apa pun bahkan jika harus kehilangan nyawa sendiri. Dia memberi tatapan tajam, dingin tak tersentuh pada Diva. "Jangan berani menyentuh istriku atau kamu harus berakhir di rumah sakit!" ancamnya serius."Serius amat, Yang? Padahal kalau kamu bagi nomer Whats-App, kan, gak bakal seribet ini. Ayolah!" Diva mengedipkan sebelah mata, sengaja ingin menggoda Diqi.Namun, siapa yang akan tergoda padanya? Setiap lelaki normal itu mencintai wanita dan bukan waria. Diqi sangat tahu bagaimana Islam melarang perbuatan yang meniru umat terdahulu, sebut saja Kaum Sodom."Minggir!" Ainun dengan penuh keberanian mendorong bahu lelaki kemayu itu sampai harus tersungkur ke belakang. Beberapa pasang memperhatikan mereka. Ada yang merasa kasihan ada pula yang menganggap m
Bab 83. Senyum tanpa Makna"Kamu beneran hamil, Sayang?" tanya Nizar sangat antusias. Kedua matanya berbinar, lalu bulir bening menggenang di sana."Iya, alhamdulillah. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah." Alia mengulum senyum, tidak lama setelah itu Nizar langsung menariknya masuk kamar agar bisa leluasa memeluk sang istri.Sebenarnya bisa saja melakukan itu di luar, tetapi khawatir tertangkap basah sama Bu Aminah dan Pak Abdullah, mereka bisa malu. Di dalam kamar, Nizar memeluk erat istrinya sambil menghujaninya dengan kecupan lembut di seluruh wajah."Makanya tadi aku suruh mandi dulu sebelum ngasih tahu, takut bau jigong!" kata Alia setelah Nizar melonggarkan pelukannya.Namun, lelaki itu tidak menanggapi. Dia menuntun Alia untuk duduk di tepi ranjang, setelah itu dia akan mensejajarkan wajahnya dengan perut Alia yang masih sangat rata.Tangan kanannya mengusap perut perempuan itu. "Anak abi. Apa kabar, Sayang? Oh iya, kamu jangan
Bab 82. Takdir yang DirindukanPukul sebelas malam, kedua mempelai sudah memasuki kamar karena kelelahan karena terus melayani tamu dan memaksakan senyuman. Padahal, Ainun merasa nyeri di bagian perut dan pinggangnya.Saat sedang duduk di depan kaca rias untuk menghapus make up dengan remover, tiba-tiba Diqi berlutut dan memeluknya dari belakang membuat bulu kuduk perempuan itu meremang."Ada apa?" tanya Ainun sedikit gugup. Dia takut melakukan itu. Apalagi sekarang ada di rumah Diqi, mudah bagi lelaki itu untuk memaksanya.Bibirnya yang sedikit gemetar terlihat jelas dari pantulan cermin. Diqi menarik sudut bibir tipis, kemudian berdiri, melangkah menuju lemari pakaian.Setelah kembali, dia meletakkan hadiah dari Alia tadi di meja, tepat depan Ainun. "Buka sekarang!""Nanti saja, Diq–""Eh, bukan Diqi. Habibi, singkatnya 'bi'. Mengerti, Sayangku?"Jauh di lubuk hati, Ainun merasa senang karena melihat binar cinta terpanc
Bab 81. Gemuruh dalam DadaLepas salat asar, kedua mempelai kembali ke pelaminan. Semua masih saja, tamu undangan silih berganti menyalami mereka. Tentu saja, baik Ainun maupun Nizar hanya mengulurkan tangan kepada mahram saja dan mengatup kedua tangan di depan dada untuk yang lainnya.Rasa lelah duduk seharian hadir memeluk raga mereka. Ainun ingin sekali masuk kamar untuk meregangkan otot walau sebentar. Namun, senyum dari setiap tamu seolah membakar semangatnya lagi dan lagi."Kamu udah buka kado dari Alia?" Kembali Diqi bertanya sesuatu yang tidak ingin Ainun bahas saat ini."Belum. Gak mau buka sekarang, nanti saja.""Kenapa?""Pokoknya nanti saja. Gak usah terlalu penasaran, nanti malah gak sesuai harapan. Alia pasti ngasih jilbab kalau gak gamis.""Menurut aku bukan gamis, melainkan ...." Diqi tersenyum, sengaja menggantung ucapannya lantas mengerling manja pada sang istri.Ainun sendiri menghela napas panjang, lalu memb
Bab 80. Qobiltu"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq," ucap Diqi begitu lantang melafazkan sighot qabul di depan penghulu dan semua orang.Air mata Ainun kembali menggenang ketika mengingat momen beberapa jam lalu saat dia telah resmi menjadi seorang istri. Seluruh keluarga serta tamu undangan nampak bahagia, Ainun mengulum senyum.Achmad Asshidiqi adalah sosok lelaki yang sudah lama menjadi sahabat gadis bermata indah itu. Mereka sering berbagi pengalaman dan saling melempar pendapat sehingga Diqi tidak menyadari bahwa benih cinta perlahan tumbuh di dalam hatinya.Dia anak bungsu, tetapi hidup mandiri. Tanpa sahabatnya ketahui bahwa sejak sekolah, Diqi memang pernah diajari berbisnis oleh orang tua. Padahal dia terlahir dari keluarga berada.Cinta yang terus tumbuh detik demi detik. Diqi berjanji akan selalu menjaga Ainun, dalam suka duka bahkan di siang dan malamnya."Alhamdulillah, s