Sambil memainkan kunci mobil, Adnan mulai memasuki rumahnya. Langit yang sudah gelap menandakan jika dia pulang terlambat hari ini. Bukan karena sibuk, melainkan dia harus membeli sesuatu untuk Fasya. Entah apa yang dipikirkan Adnan saat ini tetapi diamnya Fasya sedikit mengganggunya. Dia sudah terbiasa berdebat dengan gadis itu setiap harinya. Aneh memang, tetapi itu yang Adnan rasakan saat ini. Adnan bukanlah tipe pria yang romantis, tetapi sejauh yang ia tahu wanita akan senang jika diberi barang-barang yang mahal. Oleh karena itu dia membeli sebuah tas yang sepertinya cocok untuk Fasya. Bukan perhatian, tetapi Adnan bermaksud untuk membuat Fasya kembali berbicara padanya. Setidaknya memberi tahu kesalahannya yang membuatnya diam 1000 bahasa seperti ini. "Kenapa baru pulang?" tanya Kakek Faris yang baru saja keluar kamar. Ia berpapasan dengan Adnan yang akan masuk ke dalam kamarnya. "Beli titipan Fasya dulu, Kek. Kakek kenapa belum istirahat?" "Kakek nunggu kamu." A
Ekspresi wajah yang panik tidak bisa hilang dari wajah Fasya. Dia menatap pria seusianya itu dengan tatapan memohon. Niko, pria yang berdiri di depannya itu hanya menatapnya dengan wajah bodoh. Lebih tepatnya masih tidak habis pikir dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kenapa harus disembunyiin?" tanya Niko untuk yang kesekian kalinya. Fasya menggaruk lehernya bingung. Entah alasan apa lagi yang harus ia berikan untuk meyakinkan Niko. Tak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya bukan? "Ya, biar aman aja." "Aman gimana? Bukannya lebih aman dan nyaman kalau semua orang tau lo istrinya Mas Adnan?" "Lo mau gue di bully?" Mata Fasya mulai melotot. Dahi Niko kembali mengernyit, "Lah emang siapa yang mau bully istri bos? Mau cari mati?" Fasya mengacak rambutnya frustrasi. "Pokoknya lo jangan bilang siapa-siapa. Di kantor, aku sama Mas Adnan itu nggak saling kenal. Hanya sebatas atasan dan bawahan." Mata Niko menyipit mendengar itu, "Gue nyium bau-bau busuk nih." "Apaan si
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Di salah satu ruangan kantor, terlihat seorang gadis tengah menyandarkan kepalanya ke atas meja. Layar komputer yang masih menyala seolah tidak berarti apa-apa. Fasya tetap menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Tidak, dia tidak tertidur. Dia hanya sedang merenggangkan punggung dan lehernya yang kaku. Beruntung pekerjaannya kali ini selesai dengan cepat. Meskipun tetap lebih lama dari jam pulang, tetapi setidaknya tidak seperti hari-hari sebelumnya yang berakhir hingga larut. "Mau langsung balik?" tanya Dinar yang membuat Fasya membuka matanya kembali. Dia melihat Dinar tengah merapikan barang-barangnya bersiap untuk pulang. "Iya lah, mau ngapain lagi?" "Kita makan dulu. Sekalian lo harus cerita siapa cowok yang sama lo di kantin tadi." Fasya meringis dalam hati. Seketika dia mengalihkan pandangannya agar tidak menatap mata Dinar secara langsung. Jujur saja Fasya belum menemukan alasan yang tepat. Seseorang bantu dia kabur
Keluar dari gedung kantor, Fasya memilih untuk berjalan di belakang bersama Niko. Meskipun sudah tidak banyak orang, tetapi dia harus tetap menjaga jarak dengan Adnan. Apalagi ditambah dengan kejadian tak terduga sebelumnya. Sejak pelukan itu, Fasya tidak bisa menatap wajah Adnan secara langsung. "Mana kunci motor kamu?" Tiba-tiba Adnan berhenti berjalan membuat Fasya ikut berhenti untuk menjaga jarak. "Kenapa?" tanya Fasya pelan. "Mana?" Meskipun bingung, Fasya tetap memberikan kunci motornya pada Adnan. "Kamu bawa motor Fasya," ucap Adnan melempar kunci motor pada Niko. "Dan kamu, sama saya," lanjutnya menatap Fasya. "Nggak usah, aku pulang sendiri aja." Niko menatap perdebatan itu dengan aneh. Pasangan di hadapannya itu sangat konyol, apalagi setelah tertangkap basah berpelukan di depan matanya tadi. "Udah malem, lo sama Mas Adnan aja. Motor lo, gue yang bawa ke rumah sekalian mau liat kakek." "Tapi..." Fasya menatap keadaan sekitar dengan ragu. "Nggak ada sia
Semua orang memang memiliki pertahanan diri yang berbeda-beda. Untuk menghadapi orang asing, kadang manusia harus melupakan kenyamanan diri. Namun rasa nyaman itu bisa muncul dengan sendirinya karena terbiasa. Yang awalnya asing bisa berubah menjadi salting. Dengan mata yang masih terbuka sempurna, Fasya meringis melihat apa yang ada di hadapannya saat ini. Untuk kedua kalinya dia tidur seperti orang yang tak memiliki nyawa dan berakhir memalukan. Bagaimana bisa dia tidak sadar tengah memeluk Adnan saat ini? "Fasya bego!" rutuknya dengan gemas, merasa kesal dengan dirinya sendiri. Bisa saja Fasya marah pada Adnan karena berani tidur di sampingnya. Namun dia takut jika Adnan membalikkan semua perkataannya saat melihatnya tidur dengan keadaan memeluknya erat. Fasya tidak mau itu terjadi. Sangat memalukan! Dengan perlahan, Fasya mulai bergerak untuk melepaskan diri. Terima kasih pada matahari yang telah muncul sehingga bisa membangunkannya lebih dulu. Fasya tidak bisa mem
Di halaman belakang, Denis melihat Niko yang tengah bersantai sambil memainkan ponsel. Sesekali pria itu tertawa keras seolah tidak peduli jika ia dianggap gila. Dengan mantap, Denis mulai berjalan menghampiri Niko. Dia harus memastikan sesuatu sebelum mengambil langkah. "Ko," sapa Denis duduk di sampingnya. "Ada apa, Mas?" Denis menggeleng, "Gue denger lo magang di kantor Adnan." "Oh, iya. Baru mulai kemarin." "Kenapa nggak magang di kantor gue?" Niko menggaruk lehernya bingung, "Kalau bukan karena kakek sebenarnya gue mau magang di tempat lain, yang nggak ada hubungannya sama keluarga." "Kakek?" tanya Denis bingung. Sepertinya apa yang ia duga sebelumnya memang benar. "Iya, aku disuruh awasi Mas Adnan sama Fasya," bisik Niko hati-hati. Tidak ada rasa curiga dari diri Niko. Sebagai sepupu yang netral, dia memperlakukan Adnan dan Denis sama. Lagipula dia juga paling muda di antara mereka. Baginya masalah Adnan dan Denis adalah masalah konyol yang seharusnya dihentikan. B
Bagi Fasya, orang yang paling ia sayangi selain kakek dan neneknya adalah Dinar. Gadis itu sudah menjadi sahabatnya hampir 10 tahun lamanya. Susah senang mereka nikmati bersama dan baik buruknya mereka juga bukan lagi rahasia. Namun untuk kasus perjodohan, sulit bagi Fasya untuk menceritakan semuanya. Baginya, perjodohan ini adalah hal yang memalukan. Dia pikir rahasianya akan aman sampai dia berpisah dengan Adnan. Namun ternyata takdir berkata lain. Jangankan keluarga inti, bahkan Kinan dan Dinar pun sudah mengetahuinya sekarang. Fasya mulai takut, apa jadinya jika semakin banyak orang yang tahu? "Berarti lo tinggal di rumah Pak Adnan?" Fasya mengangguk sambil memakan siomay bandung kesukaannya. Saat ini mereka tengah duduk di trotoar sambil menikmati siomay langganan mereka semasa kuliah. Kendaraan yang berlalu lalang seolah membuat percakapan rahasia mereka teredam. "Sampai kapan?" Fasya menghentikan kunyahannya dan menghela napas kasar, "Sampai kesehatan kakek gue dan
Entah kenapa hari Fasya akhir-akhir ini selalu berlangsung menyedihkan dan membosankan. Tidak ada yang benar-benar bisa membuatnya lupa dengan masalahnya dan tertawa lepas. Beruntung masih ada Dinar dan Saka yang membuatnya lupa akan masalahnya meskipun hanya sebentar. Pulang bekerja, Fasya mengendarai motormya dengan pelan dan hati-hati. Hari ini dia pulang tepat waktu dan tidak lagi larut seperti biasanya. Andai saja Saka tidak ada pekerjaan mendadak dan mengharuskannya untuk lembur, mungkin saat ini mereka tengah asik berkencan. Fasya tahu jika apa yang ia lakukan cukup beresiko mengingat jika dia sudah menikah. Namun dia tidak melakukannya sendiri, Adnan juga melakukan hal yang sama. Tidak ada alasan bagi Fasya untuk menjaga ikatan pernikahan ini. Dia juga berhak bahagia dengan seseorang yang membuatnya nyaman. Motor Fasya berhenti saat lampu berubah warna merah. Dia memperbaiki letak maskernya agar polusi tidak langsung mendarat ke wajahnya. Seperti wanita pada umumnya