Tidak pernah terbayangkan oleh Elsa jika dirinya akan dipertemukan dengan orang paling menyebalkan macam Erick Bramasta. Memaksanya untuk menikah dengan dirinya dalam waktu yang sangat singkat.
Dan bukan hanya itu saja, Erick bahkan sudah memberitahukan hal itu pada kakaknya, Lina tanpa memberitahukan hal itu pada dirinya. Tanpa berunding lebih dulu, Erick juga sudah memberitahukan pada Lina jika mereka akan datang ke rumahnya.
“Apa-apaan ini?” batin Elsa.
Elsa duduk di dalam mobil milik Erick. Duduk di kursi belakang di samping Erick dengan bibir mengerucut. Kini mereka sedang dalam perjalanan ke rumah kakaknya Elsa, Lina Meheswari.
“Jangan tunjukkan raut wajah seperti itu di hadapanku,” perintah Erick.
“Kenapa kamu selalu memutuskan semua sendiri?” tanya Elsa dengan nada kesal.
“Karena aku tidak mau berdebat denganmu lagi,” jawab Erick dengan santainya.
“Setidaknya beritahukan aku lebih awal agar aku bisa bersiap,” protesElsa.
“Aku juga sudah memberitahukan itu padamu lebih dulu,” ucap Erick tidak mau kalah dengan Elsa.
“Iya, tapi kamu memberitahukannya 5 menit sebelum kita pergi,” ucap Elsa.
“Sama saja, 'kan.”
Elsa menggeram seraya mengepalkan kedua telapak tangannya. Ingin sekali ia meninju wajah Erick yang menyebalkan itu. Tampan, tetapi sangat menyebalkan.
“Sudah selesai marahnya?” Erick melirik sekilas ke arah Elsa.
“Apa pedulimu? Lagi pula aku akan selalu merasa kesal jika selalu ada di dekatmu,” ucap Elsa.
Erick menyunggingkan senyum tipisnya. “Aku tidak perduli dengan perasaanmu. Aku hanya peduli dengan pandangan terhadapku.”
“Apa maksudmu?”
“Jika kakakmu melihat kamu dalam keadaan seperti itu, lalu apa tanggapan kakakmu kepadaku nantinya.” Erick berbicara dengan nada dingin.
“Lalu apa aku pikir aku peduli dengan itu,” balas Elsa tidak mau kalah.
Kini giliran Erick yang mendengkus. Erick menatap wajah Elsa dan memberikannya tatapan tajam.
“Jangan tunjukkan raut wajah menyeramkanmu itu di depan keluargaku nanti.” Elsa memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan mematikan dari Erick.
Dan setelah itu, tidak ada lagi pembicaraan atau perdebatan di antara Elsa maupun Erick.
Tidak lama Elsa dan Erick tiba di kediaman Lina. Keduanya turun dari mobil secara bersamaan.
“Reza, jangan lupa turunkan barang-barang yang sudah aku beli tadi,” perintah Erick.
“Baik, Tuan.” Reza membungkukkan sedikit badannya.
Elsa melongo melihat barang-barang yang baru saja Reza keluarkan dari bagasi mobil. Salah satunya adalah sebuah mainan berbentuk helicopters berukuran sedang lengkap dengan remote control.
“Apa ini?” tanya Elsa.
“Apa kamu tidak bisa melihatnya?” tanya Erick dengan nada dingin.
“Maksudku untuk siapa mainan ini?” Elsa mencoba bersabar untuk menghadapi sikap dingin Erick.
“Anak kecil yang pernah aku tunjukan fotonya padamu,” ujar Erick.
“Gevan?" Erick langsung mengangguk.
“Gevan itu anak berumur 5 tahun. Bagaimana dia bisa memainkan ini?”“Kenapa? Ada papanya yang bisa bermain dengan dia, 'kan?” Erick melihat reaksi Elsa dan ada tawa kecil di sudut bibirnya.
“Atau kalau kamu mau ... aku akan mengajaknya untuk bermain mainan ini denganku.” Erick bicara di dekat telinga Elsa membuat tubuh Elsa merinding.
“Tidak usah, terimakasih untuk tawarnya. Aku tidak ingin Gevan menjadi anak yang menyebalkan seperti dirimu,” tolak Elsa mentah-mentah.
“Terimakasih untuk pujiannya.”
Elsa menghentak-hentakan kakinya ke tanah. Elsa merasa frustrasi jika harus berhadapan dengan sikap Erick yang tidak mau kalah.
Pandangan Erick menuju pada Elsa yang masih merasa kesal. Tanpa permisi Erick menarik pinggang Elsa untuk mengikis jarak di antara mereka.
“Apa kamu ingin menunjukkan kepada keluargamu kalau kamu sedang merasa tersiksa? Ayo tunjukan senyummu,” suruh Erick.
Elsa berdecak sebelum menjauhkan tubuhnya dari Erick. Setelah itu Elsa melingkarkan tangannya ke lengan Erick. Sebelum melangkahkan, Elsa lebih dulu menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk tersenyum.
Erick yang melihat itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis.
“Ternyata kamu pandai berakting juga ya.” Pujian Erick terdengar seperti sindiran di telinga Elsa.
“Ayo kita masuk sekarang!” ajak Elsa.
Sampai di depan pintu, Elsa dan Erick disambut oleh Lina dan juga Abian. Elsa pun langsung memeluk Lina.
“Kakak apa kabar?” tanya Elsa.
“Kakak baik, El. Kamu sendiri bagaimana kabarnya?” tanya balik Lina.
Elsa menarik diri dari pelukan itu.
“El juga baik, Kak,” jawab Elsa.
Pandangan Lina dan Abian beralih kepada Erick. Bagi mereka suatu kehormatan orang seperti Erick mau mengunjungi rumah mereka.
“Selamat datang di rumah kami, Tuan Erick Bramasta,” sambut Lina dan Abian.
“Jangan sungkan. Kalian bisa memanggilku dengan nama saja. Lagi pula aku calon adik ipar kalian, 'kan,” ucap Erick.
“Baiklah, kalau begitu ... Erick silahkan masuk,” ajak Lina dengan senyum canggungnya.
Langkah keempat orang itu menuju ruang tengah. Mereka melanjutkan obrolan mereka di tempat itu.
“Kamu jahat sama kakak, El. Kamu sudah kembali ke negara ini, tapi tidak pernah main ke sini. Dan sekarang kamu membuat kami terkejut mendengar kabar rencana pernikahan kalian,” ucap Elsa.
Elsa sebenarnya bingung akan menjawab apa. Elsa diam seraya berpikir kata-kata yang akan dia ucapkan pada kakaknya.
“Kami sengaja ingin membuat kejutan pada kalian,” ucap Erick.
Elsa langsung menoleh ke arah Erick, mempertemukan pandangnya dengan calon suaminya.
“Baiklah, kalian sudah membuat kami terkejut. Ayo kita makan malam bersama, kami sudah menyiapkan makan malam untuk kalian,” ucap Lina segera dianggukki oleh Elsa dan juga Erick.
“Mami Elsa.”
Langkah mereka terhenti saat ada suara anak kecil memanggil Elsa. Anak kecil itu adalah Gevan. Elsa langsung menolehkan pandangannya ke arah Gevan.
“Halo, Mami Elsa,” sapa Gevan.
Elsa membungkukkan badannya. Tangannya mengusap sisi wajah Gevan. Wajah Gevan mirip sekali dengan Abian. Selama ini Elsa hanya melihat Gevan melalui foto dan juga panggilan video. Kini Elsa merasa senang bisa melihat Gevan secara langsung.
“Halo, Gevan. Apa kabarmu?” tanya Elsa.
“Baik, Mami,” sahut Gevan. “Mami Elsa bagaimana kabarnya?”
“Baik, Sayang.” Elsa menarik hidung Gevan karena gemas pada anak kecil itu.
“Halo, Gevan,” sapa Gevan.
Gevan dan Elsa menoleh ke arah Erick.
“Aku bawakan mainan untukmu.” Erick memberikan mainan yang ia beli sebelumnya.
Gevan menerima mainan itu dengan rasa bingung. Pandangannya pun tidak lepas dari Erick.
“Gevan, ucapkan terimakasih pada papi Erick,” suruh Abian.
“Terimakasih, Papi Erick.”
“Sama-sama.” Erick mengusap kepala Gevan dengan senyum tipis pada bibirnya.
“Ternyata dia bisa tersenyum manis juga,” batin Elsa.
Gevan melompat-lompat setelah mendapatkan mainan yang terbilang mahal itu.
“Gevan selalu memanggil Elsa dengan sebutan 'mami', jadi ... saya harap kamu tidak keberatan jika Gevan memanggilmu dengan sebutan 'papi,” ucap Abian.
“Tentu saja tidak. Setelah aku menikah dengan Elsa, dia juga akan menjadi anakku.” Erick senang melihat reaksi Elsa, Lina, dan Abian.
Lina dan Abian sedikit terkejut mendengar perkataan Erick. Namun, mereka mencoba menutupinya dengan senyum mereka.
“Sudahlah, kita lanjutkan obrolan ini nanti saja. Kita makan malam dulu sebelum makanannya dingin,” ucap Lina.
Elsa dan Erick mengangguki ucapan Lina. Keduanya pun mengikuti langkah pasangan suami-istri itu.
Malam semakin larut, acara makan malam pun sudah selesai. Sebelum Erick dan Elsa pulang, Erick memberitahukan pada Lina dan Abian tentang rencana pernikahannya dengan Elsa
“Sebelum kami pulang, saya ingin memberitahukan pada kalian tentang rencana pernikahan kami ....” Erick menjeda ucapannya.
Pandanganya ia mengarah pada Elsa yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih telapak tangan Elsa dan menggenggamnya.
“Kami akan menikah 2 minggu lagi,” ucap Erick.
Meksi merasa terkejut, Lina nampak sangat bahagia. Akhirnya adiknya akan menikah.
Happy reading ...Satu minggu sudah Elsa menjalin hubungan tanpa status dengan Erick Bramasta. Elsa mulai terlihat terbiasa dengan sikap Erick yang suka seenaknya sendiri.Seperti saat ini Elsa beberapa kali harus menarik napas panjang saat Erick memberi kabar secara mendadak jika ada pesta di hotelnya. Pesta untuk orang dari kalangan atas.Elsa tengah bersiap di kamar tempat ia pertama kali bertemu dengan Erick. Beberapa model gaun sedang Elsa coba, gaun yang dipesan khusus oleh Erick. Bukan hanya pakaian, ada beberapa sepatu yang harus ia coba.Elsa memberikan nilai plus pada Erick karena tahu ukuran baju dan sepatunya. Elsa memilih gaun tanpa lengan warna merah menyala. Gaun ketat dengan lebar di bagian bawahnya dan menampakkan punggung mulusnya.“Gaun yang cantik.”Elsa mematut dirinya di depan cermin, memutar tubuhnya untuk melihat keseluruhan penampilannya.“Anda terlihat sangat cantik, Nona Elsa,” puji seorang wanita yang membantunya
Erick sedang menunggu kedatangan Elsa di ruang pesta. Namun, perempuan itu belum juga menampakkan batang hidungnya."Kenapa wanita itu lama sekali? Apa dia butuh waktu selama ini untuk menghampiriku?" Erick menggerutu.Erick mengedarkan pandangannya mencari sosok perempuan berstatus calon istrinya. Kening Erick mengernyit saat melihat Elsa ditarik oleh seseorang.Erick tentu sangat mengenali wanita yang sedang menarik tangan calon istrinya itu. Erick tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan dua perempuan yang sedang berseteru itu.Erick terus memperhatikan kedua perempuan yang sedang berseteru itu. Erick bisa melihat ketegangan di antara Amanda dan Elsa. Namun, Erick tidak berminat untuk memisahkan mereka. Sampai saat Amanda mencoba untuk mempermalukan Elsa dan Erick sangat tidak menyukai itu.Erick mulai melangkahkan kakinya untuk menghampiri Elsa. Dan pada saat Amanda mendorong Elsa, Erick mempercepat langkahnya. Beruntung Erick sampai tepat waktu, j
"Erick!"Panggilan itu membuat Elsa lebih dulu menarik dirinya. Ia palingkan wajahnya untuk menghindari pandangan Erick."Dia memanggilmu lagi," ucap Elsa lirih, tetapi Erick masih bisa mendengarnya."Erick."Panggilan ke tiga kali itu membuat Elsa dan Erick menoleh ke asal suara. Seorang wanita cantik berdiri tidak jauh dari mereka."Erick ...." Perempuan itu menarik lengan Erick. "Jelaskan siapa perempuan ini?"Elsa melihat perempuan itu menarik kerah jas Erick."Apa tadi suaraku kurang jelas? Dia Elsa, calon istriku," jawab Erick dengan nada dinginnya."Calon istrimu? Bagaimana bisa? Hari pertunangan kita sudah ditentukan," kata wanita itu."Hah! pertunangan kalian?" Elsa langsung menatap Erick. Mimik wajah Elsa seolah meminta perjelasan.Erick mengubah posisinya. Kini Erick berdiri di depan Elsa dan menyembunyikan Elsa di balik tubuhnya."Aku tidak pernah menyetujui perjodohan itu. Jadi ... lupakan tentang pertuna
'Kamu hanya milikku'Tiga kata itu berhasil membuat hati Elsa bergetar. Itu adalah pertama kalinya Elsa mendengarnya dari seorang laki-laki. Selama bersama Bobi, laki-laki itu bahkan tidak pernah mengatakan kalimat itu.Kata itu juga seperti obat bius bagi Elsa, membuat malam itu Elsa tidak bisa menolak keinginan Erick. Tubuhnya benar-benar tak kuasa untuk menolaknya. Apalagi sebuah sentuhan lembut yang diberikan oleh Erick begitu terasa sangat memabukkan.Jantung Elsa berdebar saat Erick mulai menyatukan tubuh mereka. Elsa tidak tahu jika Erick pun merasakan hal yang sama seperti dirinya. Aneh, padahal mereka bisa dibilang sudah berpengalaman dalam hal itu. Namun, itu adalah pertama kalinya keduanya merasakan hal lain dalam diri mereka.Malam itu di dalam kamar mewah tersebut dipenuhi oleh suara-suara kecil Elsa dan Erick. Suara yang bisa membangkitkan gairah seseorang. Kenikmatan itu juga membuat keduanya tidak bisa mengendalikan diri mereka sendiri.
Elsa sedang duduk di depan meja rias dengan pandangan tidak terbaca, entah itu bahagia atau sedih. Setelah satu jam yang lalu Erick sudah mengikrarkan janji suci yang membuat Elsa resmi menjadi istrinya yang sah.Di samping Elsa ada beberapa orang sedang mendandaninya. Gaun putih panjang menjuntai hingga lantai sudah melekat di tubuh ramping Elsa. Sangat pas dan menampakan lekuk tubuhnya. Rambutnya sudah disanggul dan ada sebuah mahkota bertahtakan permata menghiasi kepalannya.Harusnya Elsa merasa bahagia dengan kemewahan itu. Namun, Elsa mendapatkannya dari sebuah ancaman membuatnya tidak merasa bahagia.“Sudah selesai, Nona,” ucap salah satu make-up artist itu.Sepertinya Elsa sedang dalam dunianya sendiri, sehingga tidak mendengar apa yang baru saja make-up artist itu katakan.“Nona ...,” panggilnya lagi.Tetap tidak ada respon dari Elsa.Tiga orang make-up artist di samping Elsa melihat pantulan Erick pada cermin yang ada di hadapan mer
Pesta belum usai padahal waktu sudah memasuki jam tengah malam. Elsa sudah merasa lelah, tetapi suaminya belum juga mengizinkannya untuk beristirahat. Suaminya masih duduk bersama teman-temannya, bermain kartu bersama dan dirinya harus menemaninya.“Menjengkelkan,” batin Elsa.Elsa merasa sangat bosan di tempat itu maka ia pun memikirkan sebuah alasan agar bisa pergi dari tempat itu. Elsa mengedarkan pandangannya, bibirnya tersenyum saat menemukan sebuah alasan agar ia bisa menjauh dari Erick.“Tenggorokanku terasa kering. Aku ingin mengambil minum.” Elsa berbisik di telinga Erick.“Jangan terlalu lama.” Erick balas berbisik.Elsa mengangguk, lalu beranjak dari samping Erick. Langkah kakinya menuju meja tempat beberapa minuman berjejer dengan rapi.Elsa mengambil satu buah jus jeruk lalu membawanya ke balkon tempat itu. Tiba di balkon Elsa menarik napas lega. Setidaknya ia bisa menghirup udara kebebasan sejenak. Di tempat itu Elsa merasakan angin
Area Dewasa sebaiknya bijak dalam memilih bacaan.Happy readingElsa selalu dibuat dibuat tidak berdaya saat Erick menyentuhnya. Seperti pada malam pertama mereka setelah pernikahan. Rasa kesal yang Elsa rasakan pada Erick seketika sirna saat Erick menciuminya.Sentuhan lembut itu benar-benar memabukkan diri Elsa. Bahkan Elsa tidak sadar jika gaun yang melekat di tubuhnya sudah lolos dari tubuhnya. Elsa baru sadar saat tubuhnya melayang di udara, karena Erick yang mengangkatnya.“Mandilah.”“Turunkan aku!” pinta Elsa.“Bagaimana jika aku tidak mau,” tanya Erick.Elsa menggeram tertahan. Sebenarnya Elsa merasa malu karena kini ia hanya memakai pakaian dalamnya.“Hei, ayolah turunkan aku. Aku masih bisa jalan sendiri,” pinta Elsa, tetapi lagi-lagi Erick menggelengkan kepalanya.“Kalau kamu tidak mau menurunkan aku maka akan menggigitmu,” ancam Elsa.“Lakukan saja jika kamu bisa,” tantang Erick.“Baiklah, tapi jangan sal
Ingin menolak, tetapi tubuhnya serasa berkhianat. Itulah yang sedang Elsa rasakan. Mulutnya mengatakan benci, tetapi tidak bisa menolak sentuhan seorang Erick Bramasta. Apalagi laki-laki itu sudah menyandang gelar sebagai suaminya.Setelah resepsi pernikahan mereka selesai, Elsa dan Erick pergi beristirahat di dalam kamar yang sudah disiapkan khusus untuk mereka. Meksipun awalnya adaketegangan kecil di antara mereka, tetapi karena sebuah hasrat membuat mereka kembali menyatu.Elsa benar-benar dibuat seperti hilang akal oleh Erick. Laki-laki itu selalu tahu di bagian mana harus menyentuhnya. Elsa bahkan sampai membungkam mulutnya karena takut suara desahannya terdengar hingga ke luar kamar itu.Akan tetapi Elsa tidak tahu, jika kamar itu ternyata kedap suara. Sekencang apapun Elsa berteriak tidak akan ada yang mendengarnya.Erick sendiri sudah benar-benar tidak bisa menahan hasratnya. Apalagi saat melihat tubuh polos nan seksi Elsa dipenuhi oleh kelopak bu
Langit gelap bertaburan bintang, rembulan bersinar terang untuk menyinari malam. Nampak sunyi, tetapi tidak dengan ruangan besar nan megah, tempat yang biasa Erick dan Elsa gunakan untuk tidur.Saat ini Elsa tidak berhenti meracau saat Erick menggerakkan tubuhnya maju mundur di atasnya. Laki-laki memberikan kenikmatan yang luar biasa hingga membuat Elsa hampir kehilangan akal.“Erick, apa kamu ingin membuat aku gila?” racau Elsa.Erick hanya tersenyum mendengar racauan Elsa. Erick sengaja tidak membiarkan istrinya itu diam, karena suara desahan Elsa makin membuatnya bersemangat.Erick pun sama dengan Elsa yang hampir kehilangan akal, ia juga merasakan hampir kehilangan akal setelah satu minggu memendam hasratnya pada istrinya.Tubuh Elsa seolah sudah menjadi candu bagi Erick. Ditambah tubuh mulus dan dua bongkahan di dada Elsa yang selalu terlihat menantang dirinya un
Elsa sedang berbelanja di supermarket bersama Melani dan salah satu asisten rumah tangga di rumahnya. Rencananya Elsa ingin memasak, lebih tepatnya menyuruh para pelayan di rumahnya untuk memasak makanan kesukaan kakak, kakak iparnya, dan juga Gevan.Sebenernya Elsa tidak harus bersusah payah untuk belanja di supermarket, dirinya tinggal menelepon salah seorang staf di supermarket itu dan apapun yang Elsa inginkan akan dikirim langsung ke rumahnya. Namun, Elsa tidak mau melakukan itu. Elsa sengaja memilih untuk pergi berbelanja sendiri agar bisa mencari alasan untuk berjalan-jalan.Dua troli sudah terisi penuh oleh belanjaan Elsa. Istri dari Erick Bramasta itu mengajak kedua asistennya untuk membayar belanjaan mereka ke kasir.“Ayo kita bayar ini semua. Setelah itu kita pulang,” ajak Elsa.“Mari, Nyonya,” ucap Melani.Elsa melangkah diikuti dua asistennya
Pagi hari yang cerah, Elsa bersenandung kecil setelah mandi. Elsa melangkah menuju lemari pakaiannya untuk mengambil pakaian yang akan ia kenakan. Dress ketat berwarna merah dengan panjang di atas lutut menjadi pilihan bagi Elsa.“Kamu terlihat bahagia sekali.”Elsa menoleh ke arah kamar tidur. Ternyata suaminya sudah bangun. Mata Elsa melihat Erik sudah duduk bersandar di kepala ranjang.“Eh ... kamu sudah bangun, Suamiku,” ucap Elsa.“Apa yang sedang kamu pikirkan? Hingga membuatmu merasa bahagia dan tidak mengetahui aku sudah bangun dari tadi,” tanya Erick. “Apa karena kamu berfoto dengan artis idolanya itu.”“Kamu masih merasa cemburu juga!” Elsa terkikik geli.“Jangan menghayal terlalu tinggi nanti jatuhnya akan terasa lebih sakit.” Erick mendengkus kesal.“Ya, ya, ya terserah kamu saja. Aku hanya menyambut pagi hari dengan kebahagian. Agar kita bisa me
Kedua tangan Erick menggenggam kuat besi pembatas yang ada di hadapannya. Rahangnya mengeras dan tatapannya tajam saat melihat Elsa bermesraan dengan laki-laki lain. Istrinya benar-benar seperti sedang menguji kesabarannya.“Ayo, kita pulang!” ajak Erick.Reza dan kedua laki-laki yang merupakan body guard Erick berjalan mengikuti Erick yang sedang terlihat kesal.Elsa sendiri tidak menyadari kehadiran dan kepergian suaminya. Elsa masih asik berfoto serta berbincang dengan artis idolanya.Tidak terasa hari sudah semakin sore. Elsa harus segera kembali ke rumah sebelum Erick pulang.“Kak ayolah ikut denganku. Aku membawakan Kakak banyak oleh-oleh, aku juga ingin menunjukan rumahku pada Kakak,” rengek Elsa.“El, lain kali saja. Mas Abi sebentar lagi akan pulang dari kantornya,” tolak Lina.“Ck, ya sudah. Tapi besok-besok Kakak tidak boleh menolak saat aku meminta kakak untuk datang ke rumahku,&rd
Setelah mengantar suaminya untuk pergi ke kantor, Elsa kembali ke dalam rumah. Elsa memilih untuk duduk di ruang tengah rumahnya.“Apa yang harus aku lakukan? Dia melarangku untuk keluar rumah,” guman Elsa.Elsa duduk seraya memikirkan apa yang akan ia lakukan seharian nanti.Berenang?Tidak mungkin! Dirinya sedang datang bulan.Masak?Dirinya hanya bisa memasak nasi goreng dan sandwich.Elsa memilih untuk menyalakan televisi untuk menghilangkan rasa bosannya. Saat melihat anak kecil di layar televisi, mendadak Elsa merindukan Gevan.“Semenjak aku menikah, aku belum menelpon kakak Lina,” ucap Elsa.Elsa meraih gagang telepon lalu menekan nomor rumah kakaknya. Beberapa kali Elsa mencoba menghubungi nomor rumah kakaknya, tetapi tidak ada yang menerima panggilan itu.“Ke mana semua orang yang ada di sana?” Elsa bertanya pada dirinya sendiri.Elsa pun mencoba sekali lagi dan
Pesawat Pribadi yang membawa Elsa, Erick, dan Raisa mendarat di bandara di Indonesia. Setelah pesawat berhenti bergerak, mereka bertiga segera keluar dari dalam pesawat.Elsa masih tetap bergelayut manja di lengan Erick membuat Raisa makin panas karena terbakar api cemburu.“Selamat datang kembali, Tuan, Nyonya,” ucap Reza.“Reza, antar kami pulang. Aku sudah sangat lelah,” perintah Elsa.“Baik, nyonya,” sahut Reza.Elsa dan Erick melangkah pergi. Namun, Elsa kembali menghentikan langkahnya saat melihat Raisa melangkah mengikutinya.“Tunggu dulu!” Elsa menoleh ke belakang, tepatnya ke arah Raisa. “Raisa ... apa kamu akan selalu mengikuti kami ke manapun kami akan pergi?” sindir Elsa.“Kenapa memangnya?” Raisa bertanya tanpa rasa malu.“Dasar tidak tahu malu!” maki Elsa.“Reza, suruh orang untuk mengantar nona Raisa kembali ke
Pesawat pribadi yang membawa Elsa, Erick, serta Raisa masih mengudara di langit gelap. Elsa yang merasa lelah sudah tertidur di kursinya. Tangan Elsa tidak lepas dari lengan Erick meskipun ia sudah tertidur pulas.Erick sendiri masih tetap terjaga. Pandangannya menatap ke arah atas, lalu sekilas melihat Elsa yang sedang tertidur di sebelahnya.Ada senyum tipis yang tercipta di bibir Erick saat melihat istrinya tertidur dengan begitu tenangnya. Namun, senyum itu mendadak sirna saat bola matanya melihat Raisa.Segera Erick memalingkan wajahnya dari Raisa, mantan kekasihnya yang telah mengkhianatinya.Perlahan Erick menyingkirkan tangan Elsa yang melingkar di lengannya. Dengan perlahan juga Erick beranjak dari sisi Elsa. Langkahnya menuju ke bagian belakang pesawat itu.Erick mengambil satu botol wine yang ada di lemari penyimpanan. Lalu menuangkan isinya ke gelas kristal berkaki. Sebelum meminumnya, Erick lebih dulu mencium harum dari wine itu.
“Erick.”Suara wanita yang tidak asing lagi terdengar di telinga Erick maupun Elsa. Segera kedua pasangan suami-istri itu menolehkan pandangan mereka ke asal suara.Elsa terbelalak saat matanya menangkap sosok Raisa berdiri tidak jauh darinya.“Kenapa wanita itu selalu saja menganggu saat sedang bersama Erick,” batin Elsa.Elsa melihat sekilas ke arah Erick, Elsa bisa menangkap keterkejutan suaminya. Namun, Erick mencoba untuk menyembunyikkannya.“Nona Raisa, Anda di sini?” tanya Elsa.“Aku ada urusan dengan Erick,” jawab Raisa.“Urusan yang sangat pentingkah? Sehingga kamu sampai menyusul kami saat sedang berbulan madu?” sindir Elsa.“Bukan urusanmu,” balas Raisa.“Dengar —” Perkataan Elsa dipotong oleh Erick.“Nona Raisa ... apapun urusannya kita bisa membicarakannya besok di kantor,” ucap Erick.“T
Elsa menggeliat dalam tidurnya. Suara mobil melintas mendadak masuk ke dalam indra pendengarannya dan mengusik tidurnya. Saat akan bangun, Elsa merasakan berat di perutnya.Elsa menundukkan kepalanya, matanya melihat kepala Erick ada di atas perutnya.“Seenaknya saja dia menjadikan perutku sebagai bantal,” gerutu Elsa.“Hei, bangun!” Elsa menggoyangkan tubuhnya, tetapi Erick tidak kunjung bangun.Elsa ingin menyingkirkan kepala Erick dari atas perutnya. Namun, melihat Erick nampak sangat pulas, membuat Elsa menjadi tidak tega.Elsa memilih untuk diam sejenak lalu dengan perlahan memindahkan kepala Erick ke atas bantal. Perlahan Elsa menurunkan kakinya ke lantai dan pergi ke kamar mandi.Beberapa saat kemudian Elsa keluar dari kamar mandi, matanya tidak sengaja melihat sesuatu di dalam kamarnya. Elsa memeriksa sebuah kantong belanjaan yang isinya sesuatu yang ia butuhkan semalam.“Jadi dia pergi dan membel