Keesokan harinya, Pevita terbangun dari tidurnya ketika mendengar gedoran pintu yang mengusik ketenangannya. "Ada apa, sih?" teriaknya dari dalam, enggan untuk beranjak dari kasur.
"Maaf mengganggu, tapi saya harus menyampaikannya. Tuan sedang ada masalah dan nyonya harus turun segera ke ruang tengah." Diba masih berdiri di balik pintu."Hmm." Hanya gumaman yang keluar dari mulut Pevita. Dia sendiri tak pernah mau tahu urusan Rafa. Selama duit mengalir dalam kantongnya, dia tak mau ambil pusing dengan segala masalah yang sedang dialami Rafa."Nyonya." Sekali lagi Diba memanggil Pevita dengan nada datar.Ketukan pintu sekali terdengar dan itu berhasil membuat Pevita marah. "Apaan sih! Berisik banget!" ujarnya ketika membuka pintu. Rambutnya berantakan dan baju tidur masih melekat di tubuh sintalnya."Nyonya harus turun ke ruang tengah sekarang!"Pevita mendengus kasar dan melewati Diba untuk turun ke ruang tengah.Setelah langkahnya kurang dari lima anak tangga, betapa terkejutnya ia melihat sang suami tengah terduduk lesu di atas lantai. Segala perabotan yang biasanya ada di sekeliling ruang tengah pun telah tiada."Rafa! Apa yang sudah terjadi?" Pevita turun mendekati Rafa dan dia melihat beberapa orang berseragam sama membawa perabotan dari dalam dapur."Berhenti! Apa yang kalian lakukan dengan benda-benda milikku!" teriak Pevita dengan mata melotot ke arah beberapa pria berseragam tersebut, namun diabaikan oleh mereka."Vita," panggil Rafa dengan lirih."Apa yang sedang terjadi, Rafa? Kenapa orang-orang mengambil semua perabotan kita?" tanya Pevita panik.Mata Rafa menatap sedih ke arah Vita. Dia harus bersandiwara sebaik mungkin. "Aku bangkrut, Vita.""Apa?" pekiknya hingga terdengar menggema di seluruh ruang lantai satu. "Kau jangan becanda, Rafa!"Mata Rafa nampak berkaca-kaca. Keningnya mengkerut. "Aku tidak becanda, Vi. Mulai hari ini, kita tidak akan tinggal disini lagi. Penthouse dan segala perabotan sudah aku jual untuk menutupi biaya hutangku pada Liam."Pevita terkejut. "Kau punya hutang pada Liam?""Ya. Liam ternyata telah lama merencanakannya. Lalu dia menjebakku dan merebut perusahaan di waktu yang tepat. Sekarang aku juga dibuat olehnya memiliki hutang ratusan milyar. Semua asetku sudah aku jual, tapi itupun masih belum cukup."Mendadak dunia Pevita serasa berputar. Lututnya melemas hingga ia terduduk di lantai di depan Rafa. Hilang sudah satu sumber keuangannya.Melihat kesedihan Pevita, Rafa ingin meraih tubuh Pevita untuk memeluknya, namun segera ditepis kasar oleh Pevita. "Jangan menyentuhku! Kau kini benar-benar nampak menjijikkan!" desis Pevita.Mulut Rafa menganga, dia terkejut bukan main mendengar kata-kata kasar ditujukan untuknya. "Me-mengapa kau tiba-tiba bicara seperti itu kepadaku?"Pevita tersenyum sinis. "Kau kira aku benar tulus mencintaimu? Aku cinta dengan hartamu, Rafa! Sekarang kau miskin, jadi untuk apa lagi aku menjadi istrimu?"Tak dapat dipercaya oleh Rafa mendengar istri yang selalu ia percaya mengungkapkan kalimat yang menusuk relung hatinya paling dalam. Istri yang ia kira selalu bertutur kata baik, nyatanya mampu mengatakan hal sekeji itu.Apakah cinta benar-benar telah membutakan akal sehatku seperti yang dikatakan oleh Liam? gumamnya dalam hati.Rafa berlarut dalam pikirannya sendiri hingga tak menyadari Pevita sudah pergi dari pandangannya. Hingga beberapa menit kemudian, dia berjalan mendekati Rafa dengan menyeret dua koper besar. Dia sudah mengganti pakaian tidurnya dengan dress sepaha yang selalu dikenakannya. Paha putih terpajang bebas membuat mata yang melihat segar dibuatnya. Hal itu jugalah yang membutakan Rafa hingga memilihnya untuk menjadikannya istri. Bukan hanya cantik, menarik tapi juga terkenal di seluruh kalangan. Membuat Rafa berbangga diri jika bertemu dengan rekan kerja ataupun keluarga besarnya."Mau kemana kau, Vita?" tanya Rafa berpura-pura tak tahu meskipun ia tahu bahwa Pevita akan pergi meninggalkannya."Aku akan segera mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Aku sudah tak sudi memiliki suami miskin sepertimu. Bisa-bisa reputasiku langsung hancur!" ujarnya pedas sekali lagi.Rafa hanya terdiam. Mengatur amarah yang sedang menggebu-gebu dalam jiwanya. Dia harus mengingat untuk meneruskan sandiwaranya. "Apa kau sama sekali tak cinta denganku, Vita?"Pevita tertawa hingga menampilkan deretan gigi putih hasil dari bleaching. "Cinta? Kau percaya aku menikah denganmu karena cinta? Kasihan," ujarnya mengejek Rafa yang masih duduk di atas lantai."Makan tuh cinta." Meskipun suaranya lirih, tapi Rafa mampu mendengar kata tersebut dengan jelas. Wajahnya menggelap. Dia kini tahu kebusukan wanita yang selalu dipujanya."Apa tuan baik-baik saja?" tanya Diba setelah melihat Pevita pergi.Rafa berdiri dan menampilkan ekspresi datar. "Ya. Aku baik-baik saja, Diba. Sekarang, antarkan aku ke tempat Liam. Aku harus menjalankan rencana ku selanjutnya," ujarnya menyeringai.***Rumah type 21 dihadapan Rafa-yang sudah dibeli oleh Liam akan menjadi Rumah untuknya selama satu bulan kedepan. Tidak ada supercar, hanya ada satu motor matic yang menurutnya butut. Tidak ada asisten pribadi ataupun pembantu biasa yang akan mengurus rumahnya, kali ini ia disuruh Liam untuk melakukannya sendiri. Itupun Liam sudah berbaik hati menarik kembali kata-katanya yang menginginkan Rafa menjadi gelandangan di jalanan."Apa kau menginginkan kematianku dipercepat, Liam?" tanya Rafa ketika masih berunding di apartemen Liam.Liam tertawa. "Tentu tidak, buddy. Aku hanya ingin kau belajar mandiri, hanya selama satu bulan, tidak lebih. Aku jamin kau akan menemukan hal menarik disana untuk menghiasi hari-harimu yang cukup membosankan."Rafa mendengus kesal jika mengingat percakapannya dengan Liam. Entah untuk tujuan apa, Rafa yakin pasti Liam hanya ingin mempermainkannya. Meskipun wajah Liam nampak polos diluar, tapi sebenarnya dia cerdas dan licik di dalam. Tak heran dia mampu mengembangkan bisnis restauran keluarga Rafa yang berada di dalam ataupun luar negeri. Rafa sendiri tak mempunyai niat untuk mengembangkan bisnis keluarganya, karena sedari muda, dia sudah merintis perusahaan market online hingga kini bisnis tersebut mulai merambah ke negara asia tenggara lainnya.Hari sudah mulai larut malam, Rafa segera memasukkan kunci dan membuka pintu berniat segera memasuki kamar untuk istirahat. Esok, dia sudah harus mempersiapkan diri untuk bekerja. Liam bilang, dia harus bertotalitas dalam bersandiwara. Jadi, dia akan menjadi cleaning servis di perusahaannya sendiri.Namun belum sempat ia masuk, suara wanita dari belakang membuatnya terperanjat. "Halo mas ganteng.""Astaga, anda siapa?" Rafa menatap ngeri pada wanita paruh baya bertubuh gempal yang mengenakan daster selutut berwarna merah cetar.Wanita itu memasang senyum menggodanya kepada Rafa. "Kenalkan, saya Karlina, panggil aja Lina. Saya sebagai bu RT disini, hanya ingin memberitahukan pada penghuni baru untuk menyerahkan fotokopi ktp dan kk ke rumah saya," tukas Lina dengan nada mendayu-dayu. Sesekali bu RT tersebut mengerlingkan mata kepada Rafa."Oh, iya. Saya pamit masuk dulu ya, Bu." Rafa segera menutup pintu, mengatur napasnya dalam-dalam. Seumur hidup, baru kali itu Rafa digoda oleh wanita bertubuh gempal seperti Lina."Yaudah, mas ganteng. Aku tunggu kedatangannya besok di rumah, ya!" teriak Lina dari luar. Membuat Rafa semakin bergidik ngeri."Sepertinya nanti aku harus mandi tujuh kembang agar terhindar dari makhluk semacam Lina," gumam Rafa.Hari berganti, Rafa sudah bersiap menaiki sepeda motor maticnya untuk berangkat ke perusahaannya. Bukan lagi sebagai CEO, melainkan sebagai cleaning servis sesuai yang diinginkan Liam.Sial! Liam benar-benar sedang mengerjaiku! umpatnya dalam hati jika mengingat pekerjaannya sekarang.Ketika dia memanasi sepeda motornya, terdengar dari kejauhan suara yang menghantui tidurnya semalam, "Mas ganteng! Aku tunggu kedatanganmu dari subuh, kenapa belum dateng-dateng?" Terlihat Lina datang setengah berlari mendekat ke arah rumah Rafa.Sontak Rafa langsung menaiki motor dan melajukan motornya seraya berteriak, "Nanti malam bu, saya kasih fotokopinya!"Rafa tertawa puas setelah melihat tingkah Lina yang menghentak-hentakkan kaki sambil memonyongkan bibir tebalnya. Sungguh dia merasa sial mendapat tetangga genderuwo seperti Lina. "Mungkin nanti aku harus telepon Liam buat cari kawasan rumah yang lebih aman."Di pukul 7 pagi tepat, Rafa har
Suara dentingan sendok beserta garpu yang beradu dengan piring terdengar di seluruh ruangan kantin. Riuh ramah orang berbincang pun nampak berpadu apik dengan suara dentingan sendok tersebut. Berbeda dengan para staf dan karyawan yang menyantap makan siang dengan para kawannya, Rafa menyantap makan siangnya dengan tenang tanpa ada lawan untuk diajak bicara. Pandangannya fokus melihat ke arah bawah gedung yang menampilkan jalanan padat ibu kota dibawah sengatan surya. Suara decitan kursi membuat Rafa menoleh, pemuda yang mengenakan seragam biru sama sepertinya tengah tersenyum canggung. "Maaf pak, boleh saya duduk disini? Semua bangku sudah penuh," ujarnya dengan sopan.Rafa menoleh kebelakang dan menyapu pandangan di sekeliling. Memang kantin tengah begitu ramai pengunjung. Hanya ada beberapa kursi kosong yang berada di antara staf dan karyawan kantor. Tentu membuat pemuda itu sungkan untuk sekedar duduk makan berdampingan dengan mereka. Rafa kembali menatap pemud
Hari ini adalah hari kedua Rafa akan menjalani tugasnya sebagai Cleaning Service. Tidak ada semangat seperti kemarin, karena seharian nanti, dia akan berada di wc lantai 2 dan 3. Ketika dia sudah bersiap berdiri di depan pintu luar dengan mengenakan seragamnya, tiba-tiba ada bola kecil berwarna merah menggelinding dan mengenai tepat sepatu kerjanya. Dia menoleh pada langkah kaki anak kecil yang akan mengambil bola miliknya. "Aduh, bolaku!"Rafa enggan berurusan dengan anak kecil, jadi dia tak peduli dan memilih beranjak untuk segera melajukan motornya. Namun belum sempat ia menyalakan motor, terdengar teriakan wanita yang pernah ada di dalam ingatannya."Rafi! Jangan lari-larian gitu, Nak," teriaknya menghampiri anak kecil.Rafa menoleh, tercengang atas apa yang dilihatnya. "Dewi?" pekiknya ketika melihat wajah yang dulu pernah menghiasi hari-harinya.Wanita itu tersentak, tubuhnya gemetar karena mengenali suara itu. Dia mendongakkan kep
Rafa menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang dulunya adalah ruang kerjanya. Menyenderkan tubuh, lengan, dan kepalanya di sofa. Pagi hari ini benar-benar menjadi sebuah kejutan hebat untuknya. Rafa menutup matanya, bibirnya menyungging sebuah senyuman ketika ia ingat akan pertemuannya dengan Dewi hari ini. Wanita itu mempunyai hutang penjelasan mengenai anak laki-laki yang diberi nama Rafi."Apa sekarang kau sudah gila hanya karena mendapat tuduhan pencurian, bro?" tanya Liam ketika melihat saudara angkatnya itu tersenyum dengan mata yang tertutup rapat.Rafa membuka matanya, menatap langit-langit ruang kerja yang sementara ini milik Liam. "Memang benar aku sudah gila, pertemuanku dengan Dewi tadi pagi benar-benar hal yang tak terduga, Liam."Hah? Dewi? "Tunggu, Dewi? Siapa itu Dewi?" tanya Liam sama sekali tak mengerti."Apa kau bahkan sudah lupa siapa itu Dewi? Bukankah kau dulu juga menyukainya? Lalu patah hati karena ia lebih memilih diriku di
Sebenarnya perkataan Dika tadi siang bisa dikatakan benar. Malam ini Rafa sudah mengecek seluruh cctv perusahaan bersama Liam di ruang kerjanya. Namun memang, dia harus berusaha lebih keras karena cctv yang berada di sekitar ruang pribadi cleaning service sengaja dimatikan oleh seseorang ketika peristiwa pencurian itu terjadi.Tapi tak masalah bagi Rafa dan Liam, mereka bisa menemukan bukti lain lewat cctv tersembunyi yang dulu Rafa perintahkan seseorang untuk memasang di titik tertentu. Meskipun beberapa saksi telah disuap oleh si pelaku, tentu hal itu pun tak menyulitkan Rafa dan Liam untuk membuka kembali mulut para saksi."Bagaimana? Udah tahu kan, siapa pelakunya?" Sejauh ini Liam sudah mengetahui siapa sang pelaku, meskipun tidak mempunyai bukti yang akurat. Seharusnya Rafa mengamuk, mengeluarkan amarah tak terkendali karena baru kali ini ia memiliki seorang pengkhianat dalam hidupnya. Tapi kali ini ia ingin bersikap lebih tenang dan lebih bisa meng
"Rafa, apa kau cinta denganku?" Nada suara yang manja sekaligus merdu itu selalu mampu menggelitik hati Rafa."Tentu, Dewi. Tunggulah sebentar lagi dan aku akan melamarmu dengan membawa sejuta bunga anyelir kesukaanmu."Dewi tersenyum mempesona. Bagi Rafa, senyum Dewi adalah kebahagiaan untuknya. Sudah sepenuhnya Rafa menyerahkan hati yang utuh hanya untuk Dewi.Namun sedetik kemudian pemandangan itu berubah menjadi wajah Dewi yang penuh dengan deraian air mata."Tinggalkan aku, Rafa! Aku mohon!" jerit Dewi. Belum pernah sebelumnya Rafa melihat wajah kekasih hatinya itu terlihat sedih dan putus asa."Ta-tapi, kenapa Dewi? Apa aku melakukan sebuah kesalahan?""Cukup, Rafa! Jangan pernah datang lagi ke kehidupanku! Aku mohon.." Suaranya perlahan melirih, seiring dengan sosoknya yang pergi menjauh."Tidak Dewi, jangan pergi!"Sekeras apapun Rafa berteriak, Dewi tetap berjalan memunggungi Rafa tanpa membalikkan badannya. Lalu terdengar suara alarm dari ponselnya yang terus berdering.Raf
Rafa meraup wajahnya dengan kasar. Ingin rasanya ia menyerang balik pukulan mentah yang dilayangkan oleh Xavier namun sekuat tenaga ia menahannya. Bukan karena ia takut kepada pria itu, tapi lebih kepada mengontrol diri agar akting yang sedang dilakoninya dapat berakhir dengan sempurna."Hanya sebulan, Rafa. Bertahanlah!" gumamnya menyemangati diri sendiri."Mas Rafa! Apa kau tadi habis bertengkar dengan pak Xavier?" Dika datang dari arah belakang, ia nampak rapi seperti biasa dengan setelan seragamnya. Rupanya berita itu menyebar dengan cepat, membuat Rafa tersenyum geli. "Iya, hanya masalah kecil." "Masalah kecil sampai membuat lebam biru dagumu?" Rafa menyentuh dagu sebelah kirinya yang terkena pukulan. Memang terasa sedikit nyeri tapi itu bukan apa-apa untuknya. "Hanya luka sedikit, pria jantan sepertiku harus mampu menahan luka remeh seperti ini." "Sebenarnya, ada masalah apa sih pak Xavier denganmu? Bukankah kau sudah jatuh miskin? Kenapa seolah-olah itu tak cukup baginya da
Mengenang masa lalu tidak akan ada habisnya bagi Rafa. Tanpa disadarinya, ternyata tadi malam dirinya tertidur di atas meja dengan lengan sebagai bantalnya. Bahkan alunan musik yang menyala dari ponsel masih terdengar.Rafa meregangkan tubuhnya dan menatap jam di layar ponsel. "Baru jam 4 ternyata," gumamnya.Dalam kesehariannya, Rafa memang selalu terbiasa bangun pagi untuk olahraga dan persiapan sebelum berangkat ke kantor. Berbeda dengan Pevita yang selalu pulang larut malam dan akhirnya bangun kesiangan.Ah, Rafa jadi teringat kembali tentang Pevita. Wanita glamor yang menceraikannya karena ia jatuh miskin. Pevita begitu cepat menggeser posisi Rafa dengan si Xavier yang angkuh. Tentu Rafa menjadi mudah untuk sekedar melupakan si wanita pengkhianat, Pevita.Melupakan Pevita ternyata begitu mudah, tak seperti saat ia berusaha untuk melupakan Dewi.Setelah Rafa sudah selesai meregangkan otot dengan sedikit gerakan kecil, Rafa segera bangkit dan menuju ke kamar mandi.Air dingin yang
Tubuh Rafa melemas saat dirinya mencoba bangun setelah ketiduran di sofa tadi siang. Rafa mengusap wajahnya lalu mengambil ponsel. Diusapnya layar ponsel yang menunjukkan pukul setengah empat sore. "Sudah lebih dari tiga jam ternyata aku ketiduran," gumamnya lirih. Banyak pesan yang masuk di ponselnya tak membuat Rafa ingin segera membuka. Dia memilih memijit pelipis kepalanya yang berdenyut-denyut dengan pelan. Memang hal yang tak biasa bagi Rafa untuk tidur siang, terlebih dia tidur selama kurang lebih tiga jam. Setelah itu ketukan pintu disertai suara salam kembali terdengar. "Assalamu'alaikum."Rafa menajamkan pendengarannya, merasa pernah mendengar suara tamu tersebut di suatu tempat. "Wa'alaikumsalam," serunya seraya mencoba bangkit berdiri.Dengan langkah sedikit terhuyung, Rafa berjalan dengan pelan karena penglihatannya juga terasa berkunang-kunang. Rafa menyipitkan mata karena efek sakit kepala yang dirasakannya."Siapa ya-" Suara Rafa terhenti saat ia membuka pintu dan m
"Apa sekarang kau juga berani mempertanyakan keputusanku sekarang, Xavier?" Liam tak kalah berani dihadapan Xavier. Liam sungguh merasa tersinggung dengan ucapan Xavier, seolah Xavier benar-benar sedang merendahkan dirinya.Sial! Xavier memaki dirinya dalam hati. Rupanya Liam bukanlah pria yang mudah untuk dihasut. Liam lebih sulit dari Rafa yang mudah dibohongi. "Tidak, Pak."Liam menghela napasnya berat, dia mendudukkan pantat di atas kursi dan menatap seksama wajah Xavier dan Rafa. Sesaat Liam melihat gelagat Rafa yang menganggukkan kepalanya. "Baiklah, Xavier. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini selama kau mau untuk diajak bekerja sama."Kening Xavier mengerut dalam, merasa aneh dengan Liam. "Kerja sama?""Ya. Kau tahu Berlian Company bukan?" Mata Xavier berbinar mendengar kata Berlian Company. Berlian Company merupakan perusahaan yang sudah menduduki peringkat pertama di dalam negeri sebagai perusahaan terbesar. Terlebih Aliee-sang istri memiliki hubungan pertemanan dengan
"Hentikan!"Seruan dari arah eskalator seketika membuat gerakan Xavier terhenti di udara. Semua orang ikut menatap ke arah seruan tersebut dengan tercengang, mengubah ekspresi wajah mereka menjadi tegang.Kedatangan sang bos pengganti membuat suasana menjadi dingin dan mencekam. Hawa amarah menyelimutinya saat ia berjalan mendekat. "Apa yang sedang kau lakukan, hah?" teriaknya murka. Tatapan Liam begitu tajam, seolah ingin mencabik-cabik wajah Xavier secara sadis."P-pak Liam." Bergetar bibir Xavier saat bersuara. Ia tak menyangka, Liam dapat menampilkan wajah murka yang begitu menyeramkan. Ingin rasanya Xavier kabur dan berlari menjauh dari hadapannya.Jika semua orang sedang bergidik ngeri melihat kemurkaan yang ditampilkan di wajah Liam, berbeda dengan Pevita yang memang sejatinya angkuh, menganggap Liam sebelah mata hanya karena Liam dulunya adalah sahabat Rafa. Tak sedikitpun kepala Pevita menunduk rendah untuk menunjukkan rasa hormatnya."Aku tanya apa yang kau lakukan pada Rafa
Rafi menatap Lina dengan tatapan heran. Sama sekali tak mengerti dengan maksud ucapan dari budhenya itu. "Memangnya kenapa budhe? Kayaknya om tadi baik deh."Lina mencebikkan mulutnya, matanya masih melirik ke arah jalan yang dilalui Rafa tadi. "Memangnya kamu anak kecil tahu apa? Kita ini gak boleh sembarangan akrab dengan orang yang belum kita kenal, Rafi!" Pandangannya beralih pada Rafi. "Apalagi kamu ini anak kecil, bisa-bisa diculik kamu sama dia! Mau kamu, diculik sama om-om tadi?"Rafi menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Gak mau budhe, Rafi takut!""Makanya, nurut aja apa kata budhe, Ya?"Rafi hanya menganggukkan kepala dan menggenggam erat jari Lina yang menariknya pergi dari tempatnya berdiri.***"Aku ingin kau mengetes rambut ini untukku."Rafa datang tiba-tiba, menatap serius ke arah Liam yang tengah sibuk menatap layar laptop. Kening Liam mengernyit saat menatap plastik berisi dua helai rambut yang disodorkan oleh Rafa tepat di sebelah laptopnya. "Ini milik siapa?""Pu
"Siapa yang kau maksud?" tanya Liam menaikkan satu alisnya.Rafa hanya diam, enggan mengucapkan sebuah nama yang telah membuatnya patah hati. "A..!" Liam menepuk tangannya satu kali saat ia sudah mendapat jawaban nama yang dimaksud oleh Rafa. "Apa yang kau maksud itu Dewi?"Melihat reaksi Rafa yang hanya diam, sudah pasti jika jawaban Liam benar. Liam menghela napasnya, lalu mendekati Rafa. "Lupakanlah dia." Hanya itu kata-kata penghibur dari Liam untuk sahabatnya. Seharusnya Rafa bisa membuatnya sederhana, jika Dewi sudah tak ingin bersama Rafa, maka seharusnya Rafa tak perlu menangisi semua itu. "Wanita akan terus lari jika pria semakin giat mengejar. Satu-satunya cara hanyalah melepaskan dan dia akan kembali padamu dengan sendirinya.""Aku sudah melakukan itu dulu, tapi nyatanya dia tak juga kembali."perasaannya pada Dewi sudah terlalu dalam hingga membuatnya susah untuk menghapus segala kenangan yang sudah dibuat bersamanya. Apalagi Dewi pergi meninggalkannya tanpa alasan yang j
Kecanggungan sangat terasa diantara Dewi dan Rafa yang kini tengah berada di halaman belakang rumah Dewi. Berpisah terlalu lama membuat keduanya bingung untuk sekedar mengutarakan isi pikiran masing-masing. Padahal, dulunya mereka adalah sepasang kekasih yang saling menyayangi dan mengasihi. Rafa sempat tertegun melihat banyaknya bunga anyelir yang menjadi penghias belakang rumah. Mengingatkannya akan masa lalu yang menyenangkan sebelum Dewi pergi meninggalkannya. "Apa-""Sebenarnya-"Keduanya bersuara diwaktu yang sama, semakin menambah kecanggungan diantara mereka. Rafa menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. "Kau saja yang duluan bicara.""Sebenarnya apa tujuanmu tiba-tiba datang di acara seperti ini?" Dewi merasa was-was akan maksud kedatangan Rafa yang secara tiba-tiba datang dan mengikuti acara warga. Dewi hapal tentang Rafa secara keseluruhan, baik sifat ataupun watak dalam diri Rafa. Bukan satu atau dua jam Dewi mengenal Rafa, melainkan bertahun-tahun lamanya ia kenal d
Baru kali ini Rafa merasa semangat untuk hadir diacara sebuah pertemuan-meskipun itu hanyalah rapat warga- karena dia akan bertemu dengan Dewi.Seharian bekerja tak membuatnya begitu lelah karena tidak ada gangguan besar yang datang. Hanya gangguan dan masalah kecil yang bisa Rafa selesaikan dengan damai.Rafa menatap dirinya di pantulan cermin panjang. kemeja putih dengan blazer biru langit serta warna celana panjang slim fit yang warnanya senada dengan blazer. Setelan yang menurutnya sudah pas seperti yang disarankan oleh Liam. Tadi siang dia sudah memberitahu Liam persoalan rapat warga dan menanyakan outfit apa yang pantas untuk menghadiri acara tersebut. Tentu hal itu mengundang gelak tawa dari Liam. "Apa kau tahu rapat warga itu seperti apa?" tanya Liam saat mereka berbincang tadi siang.Rafa hanya menggeleng karena memang ia baru sekali mendengar ada acara tersebut di kompleks. Di area perumahan mewah miliknya tak pernah dilaksanakan acara apapun yang menyangkut warga. Tetangg
Mengenang masa lalu tidak akan ada habisnya bagi Rafa. Tanpa disadarinya, ternyata tadi malam dirinya tertidur di atas meja dengan lengan sebagai bantalnya. Bahkan alunan musik yang menyala dari ponsel masih terdengar.Rafa meregangkan tubuhnya dan menatap jam di layar ponsel. "Baru jam 4 ternyata," gumamnya.Dalam kesehariannya, Rafa memang selalu terbiasa bangun pagi untuk olahraga dan persiapan sebelum berangkat ke kantor. Berbeda dengan Pevita yang selalu pulang larut malam dan akhirnya bangun kesiangan.Ah, Rafa jadi teringat kembali tentang Pevita. Wanita glamor yang menceraikannya karena ia jatuh miskin. Pevita begitu cepat menggeser posisi Rafa dengan si Xavier yang angkuh. Tentu Rafa menjadi mudah untuk sekedar melupakan si wanita pengkhianat, Pevita.Melupakan Pevita ternyata begitu mudah, tak seperti saat ia berusaha untuk melupakan Dewi.Setelah Rafa sudah selesai meregangkan otot dengan sedikit gerakan kecil, Rafa segera bangkit dan menuju ke kamar mandi.Air dingin yang
Rafa meraup wajahnya dengan kasar. Ingin rasanya ia menyerang balik pukulan mentah yang dilayangkan oleh Xavier namun sekuat tenaga ia menahannya. Bukan karena ia takut kepada pria itu, tapi lebih kepada mengontrol diri agar akting yang sedang dilakoninya dapat berakhir dengan sempurna."Hanya sebulan, Rafa. Bertahanlah!" gumamnya menyemangati diri sendiri."Mas Rafa! Apa kau tadi habis bertengkar dengan pak Xavier?" Dika datang dari arah belakang, ia nampak rapi seperti biasa dengan setelan seragamnya. Rupanya berita itu menyebar dengan cepat, membuat Rafa tersenyum geli. "Iya, hanya masalah kecil." "Masalah kecil sampai membuat lebam biru dagumu?" Rafa menyentuh dagu sebelah kirinya yang terkena pukulan. Memang terasa sedikit nyeri tapi itu bukan apa-apa untuknya. "Hanya luka sedikit, pria jantan sepertiku harus mampu menahan luka remeh seperti ini." "Sebenarnya, ada masalah apa sih pak Xavier denganmu? Bukankah kau sudah jatuh miskin? Kenapa seolah-olah itu tak cukup baginya da