Seorang resepsionis di sebuah hotel bintang lima tampak gugup saat Samuel menanyai keberadaan Bianca, kekasihnya, di salah satu kamar. Wajah gadis berbalut cardigan biru itu pucat pasi. Beberapa orang pengunjung yang mengantri check in hanya bisa menyaksikan interaksi keduanya dengan tegang.
"Saya cuma mau tahu apa ada nama Bianca Downey di hotel ini, ngerti?" tekan Samuel. Dadanya sudah bergemuruh menahan amarah sejak beberapa saat lalu saat dia mendapat kabar dari orang kepercayaannya, bahwa Bianca check in di hotel yang sedang didatanginya ini, dengan seorang pria yang cukup populer dalam industri perfileman tanah air.
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa memberitahu ke pihak luar privasi tamu kami. Saya hanya menjalankan prosedur hotel, Pak," timpal si resepsionis dengan suara bergetar.
"Denger, ya ... Irene," ucap Samuel sembari membaca name tag di dada si resepsionis. "Kamu tahu ...." Belum sempat Samuel melanjutkan kata-kata, pandangan matanya menangkap dua sosok pria dan wanita yang baru saja keluar dari lift.
Si pria berusia sekitar lima puluhan dan berbadan tambun. Sementara si wanita adalah Bianca, kekasihnya. Darah Samuel seketika mendidih melihat keduanya. Lalu tanpa babibu, Samuel dengan kedua telapak tangan mengepal menghampiri Bianca dan si pria.
"Sam," ucap Bianca, wanita cantik berkulit putih dengan penampilan fisik setegah bule itu tampak sangat terkejut melihat sosok Samuel dengan mata menyala merah berdiri menghadang langkahnya.
"Jalang!" maki Samuel dengan rahang mengeras.
"A-aku bisa jelaskan," ucap Bianca terbata.
"Brengsek!" Kali ini pandangan Samuel tertuju pada si pria tambun. Tanpa menunggu lama, dilayangkannya sebuah bogem mentah ke arah wajah pria itu.
Bianca menjerit, pria itu mengaduh, dan suasana lobi hotel yang tadinya lengang kini berubah riuh. Beberapa pengunjung juga ikut menjerit melihat aksi brutal Samuel menganiaya pria itu. Beberapa yang lain malah mengambil kesempatan untuk mengabadikan kejadian itu di ponsel mereka. Tentunya mereka tidak mau melewatkan periwtiwa langka seorang rockstar ternama menghajar teman kencan pacarnya, yang ternyata juga adalah orang penting di dalam industri hiburan tanah air. Mereka bisa menjual berita ini ke media dengan harga mahal.
Dua orang security berusaha menahan Samuel yang mengamuk dan membuat pria tambun itu babak belur. Sementara Bianca menangis sambil menolong teman kencannya berdiri.
"Brengsek kamu, Bi! Murahan! Jalang!" maki Samuel di sela-sela apitan dua security.
"Maafin aku, Sam ... sebenarnya aku mau bilang hal ini ke kamu sejak beberapa minggu lalu, tapi aku belum ketemu waktu yang tepat."
"Urusan kita belum selesai, Bi!" tunjuk Samuel sebelum kedua security membawanya ke luar lobby. Terdengar si pria babak belur berteriak mengancam Samuel untuk melaporkannya ke polisi.
"Anjing!" maki Samuel seraya menendang roda mobilnya yang terparkir di luar hotel.
"Maaf, Pak ... sebaiknya bapak segera meninggalkan tempat ini," ujar salah seorang security. Samuel mendesis, lalu masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya kencang.
Hanya satu yang hendak dilakukan Samuel malam ini, kembali ke apartemennya dan minum-minum untuk melupakan sakit hatinya. Bianca adalah wanita yang dipacarinya setahun terakhir. Dia adalah wanita yang telah membuat hidup Samuel berubah menjadi lebih teratur, dan juga membuatnya mampu berkomitmen untuk menjalani hubungan yang serius.
Sebelum bertemu Bianca; seorang modela yang bercita-cita menjadi aktris, Samuel hinggap di pelukan wanita satu dan lainnya tanpa ada ikatan apa pun. Dengan Bianca, Samuel merasa bahwa she is the one. Namun, apa yanb terjadi malam ini menghancurkan semua harapannya untuk hidup dengan normal dan setia pada satu wanita.
Namun, kesialan malam itu belum berakhir. Saat Samuel tengah berkutat dengan alkohol dan meratapi nasib di apartemennya, dia dijemput paksa oleh beberapa petugas polisi dan di bawa ke kantor. Tentu saja itu atas laporan si pria tambun teman kencan Bianca yang tidak terima dirinya dianiaya.
Malam itu pun Samuel mendekam di sel tahanan, sampai Agustian-manager band Stonedhell-datang untuk mengeluarkannya dari penjara, tentu saja dengan jaminan yang besar.
"Kamu ini gimana, Sam. Bisa-bisanya kamun bikin keributan di hotel. Kamu tahu kan siapa orang yang kamu aniaya itu? Ronald Sinaga, Sam. Kamu tahu kan siapa dia?" omel Agustian, pria berusia empat puluhan yang telah menjadi manager Stonedhell sejak awal karir band cadas itu di industri musik tanah air saat mengantar Samuel kembali ke apartemennya.
Samuel tak menyahut ucapan Agustian. Dia hanya mendesis sebal dan memalingkan wajahnya ke luar jendela mobil. Hal itu membuat sang manager bertambah kesal. "Kamu tahu nggak, video kamu menganiaya Ronald sudah tersebar di media. Parah banget, Sam, parah banget. Kenapa kamu nggak bisa hati-hati sih? Ini buruk untuk reputasi Stonedhell!"
"Kamu kalau jadi aku juga akan melakukan hal yang sama, Gus," sahut Samuel asal.
"Aku ngerti kamu sakit hati. Tapi setidaknya kamu pikir-pikir dulu sebelum bertindak bodoh. Kamu harus ingat kamu ini siapa. Semua tindakan kamu disorot oleh media."
"Aku nggak peduli, Gus. Kalau perlu aku bunuh juga pria brengsek itu!"
"Heh!" bentak Agustian. "Jangan macam-macam kamu, Sam." Dia memperingatkan.
Agustian mengantar Samuel hingga masuk ke apartemennya. Samuel berniat melanjutkan acara minum-minumnya yang tertunda karena ulah polisi, tapi segera dicegah oleh sang manager.
"Mending kamu tidur untuk menjernihkan pikiran," ujar Agustian.
"Kamu pikir aku bisa tidur saat tahu pacarku selingkuh dengan pria lain?" hardik Samuel kesal bukan main.
Agustian menggeleng. "Ingat besok ada audisi pemain additional dan kamu harus datang."
"Persetan lah!" Samuel menyambar botol minumannya yang masih tergeletak di meja bar. Namun Agustian segera saja merebutnya.
"Jangan bertindak seenaknya, Sam. Stonedhell bukan hanya kamu. Bersikaplah profesional."
"Astaga! Kamu cerewet banget ya, kaya emak-emak!"
"Terserah kamu mau ngomong apa, Sam. Yang jelas, aku nggak mau kamu besok nggak nongol di studio untuk seleksi pemain additional. Besok, jam sepuluh pagi." Setelah mengucapkan hal itu, Agutian meninggalkan apartemen Samuel.
Samuel menghempaskan badan ke atas sofa. Botol minuman sudah ada di tangannya. Dia tidak peduli peringatan dari sang manager untuk tidak melanjutkan acara minum-minumnya. Hatinya benar-benar kacau dan dia butuh penghiburan.
Malam semakin larut dan Samuel tenggelam dalam kehangatan alkohol yang justru membuatnya semakin mengingat apa yang telah diperbuat oleh Bianca. Disambarnya ponsel di atas meja dan mencari nomer telepon kekasihnya itu, atau lebih tepatnya, calon mantan kekasih.
Lama teleponnya tidak mendapat respon dari seberang, membuat Samuel menunggu dengan kesal. Dalam benaknya, Bianca pasti sedang bersama si Ronald tambun itu. Dadanya bergemuruh menahan geram jika memikirkan hal itu. Namun dia harus bicara dengan Bianca dan wanita itu harus menjelaskan semua padanya.
"Bi, kita harus bicara. Sekarang!"
***
"Rara Setyaningrum!"Rara terkesiap mendengar namanya dipanggil oleh seorang wanita yang baru saja keluar dari balik pintu bercat putih. Sudah pasti ini adalah gilirannya untuk melakukan audisi di depan para personel Stonedrock."Sudah siap?" tanya wanita itu saat melihat Rara hanya bengong."I-iya, sudah," jawab Rara gugup. "Mari," kata wanita itu mempersilahkan Rara masuk. Rara menggendong softcase keyboardnya dan mengikuti wanita itu masuk ke dalam ruangan luas yang hanya ada empat kursi dan satu meja. Tiga kursi di antaranya diduduki tiga orang pemuda berambut panjang, dan satu kursi lagi kosong. "Rara, ya?" tanya salah seorang pria berbalut kemeja kotak-kotak sambil melemparkan senyum pada Rara. "I-iya, Kak," sahut Rara gugup. "Jangan nervous gitu, dong. Kita nggak gigit kok." Ucapan salah seorang pemuda membuat dua lainnya meloloskan tawa. Rara hanya meringis. Dibantu oleh salah seorang crew, Rara menyetting keyboardnya. Pria berjenggot yang membantunya menyiapkan alat mus
"Sam, nggak perlu gitu juga kali sama peserta." Selepas Rara keluar dari ruangan, Samuel langsung dikonfrontasi oleh Nathan. Namun pemuda itu hanya mengedikkan bahu. Dia bukan tidak suka dengan penampilan peserta bernama Rara barusan, mengingat permainan piano gadis itu begitu sempurna. Hanya saja, suasana hatinya sedang tidak baik. Pikirannya hanya dipenuhi oleh Bianca dan bagaimana caranya bisa menemui kekasihnya itu dan bicara tentang peristiwa kemarin.Bianca sama sekali tidak mau mengangkat telepon. Puluhan pesannya pun tak dibalas. Terakhir, nomernya justru diblokir oleh wanita itu."Aku cabut dulu, ya ... ada urusan penting," ujar Samuel dengan entengnya seraya beranjak dari duduknya."Loh, ini peserta audisi masih banyak, Sam," protes Josef saat melihat Samuel bersiap untuk meninggalkan ruangan."Kalian atur ajalah. Aku oke sama siapa pun yang lolos nanti." Setelah mengucapkan hal itu, Samuel benar-benar keluar meninggalkan ruangan itu tanpa peduli reaksi kawan-kawannya.Tujua
Bangun tidur pagi-pagi, yang Rara dapatkan adalah kabar baik. Dia diberitahu lewat pesan email kalau dirinya lolos seleksi pemain additional Stonedhell. Rara sampai membaca-baca ulang pesan itu memastikan kalau dia sedang tidak berhalusinasi.Kalau sudah rezeki memang tidak ke mana, begitu kata Sari sahabatnya dan memang benar. Gajinya nanti akan cukup besar sehingga Rara tidak akan kebingungan lagi memenuhi kebutuhan hidupnya.Masih diselimuti rasa lega dan bahagia dalam hati, ponselnya berdering dan tampak nomer tidak dikenal menghiasi layar benda pipih itu. Tanpa menunggu lama, diangkatnya telepon dan suara seorang wanita terdengar dari seberang."Hari ini, Mbak? Jam sebelas siang latihan di studio? Iya, Mbak. Saya akan datang tepat waktu," ucap Rara dengan penuh semangat.Rara melompat-lompat kegirangan. Akhirnya dia mendapatkan pekerjaan yang sesuai minat dan bakatnya selama ini. Pasti akan sangat menyenangkan, pikirnya. Pagi itu tiba-tiba Rara menjadi sangat rajin merapikan kama
"Kamu serius, Sam? "Siapa nama calon istrimu? "Kamu akan menikahi pemain additional Stonedhell? Para wartawan berebut menghujani Samuel dengan berbagai pertanyaan. Sementara Samuel masih merangkul Rara dengan mesra dengan senyum yang tersungging di bibir. Jangan lupakan tatapan heran dari personel Stonedhell yang lain, manager dan dua pemain additional yang terbengong-bengong. "Kamu akan menikah malam ini, Sam? Di mana?" Seorang wartawan menyeletuk. "Di suatu tempat rahasia. Aku rasa wawancara malam ini sudah selesai, ya?" Samuel menarik lengan Rara dan membawa gadis itu keluar gedung. Wartawan yang memburu keduanya dicegat oleh beberapa bodyguard Stonedhell agar keduanya bisa sampai di mobil dengan lancar. "Pak Danu, ke rumah pinggir danau, ya," perintahnya pada sopirnya. Pria paruh baya itu mengangguk dan melajukan mobil meninggalkan area gedung. Samuel mengeluarkan ponsel dari saku dan menelepon seseorang. "Ronald, siapin semua keperluan nikah malam ini juga. Iya, pokoknya se
Sejak Samuel semalam tiba di rumah tepi danaunya, para wartawan yang menduga-duga kalau pernikahan Samuel dan Rara akan dilakukan di rumah besar Samuel itu sudah berkeliaran di sekitar pintu gerbang, berharap bisa mendapatkan berita menghebohkan itu pertama kali.Namun, para pejaga yang Samuel tempatkan di gerbang rumahnya tentu menghalangi mereka untuk meliput. Alhasil, mereka hanya bisa menunggu Samuel muncul keluar rumahnya.Sementara Samuel tengah menikmati minuman bersama ketiga personel Stonedhell lain di studio musik pribadi yang ada di dalam rumah mewah itu."Kamu emang gila, Sam. Ini hal paling random yang pernah aku tahu, dilakukan oleh seseorang," kekeh Josef, disambut gelak tawa Dito. Sementara Nathan hanya diam saja memilin gelas berisi minuman beralkohol di tangannya."Aku juga nggak tahu. Idenya terlintas gitu aja, dan kakiku kaya berjalan sendiri ke arah Rara.""Serius? Jangan-jangan kamu diguna-guna sama dia," cebik Dito."Pernikahan ini nggak beneran kok, kalian udah
Samuel menarik tangan Rara yang masih membekap mulutnya, kemudian dia tertawa. Dia lihat wajah gadis itu pucat pasi, seperti ketakutan. Sungguh berlebihan reaksinya. Dia hanya ingin menggodai saja dengan ciuman kecil di bibir."Kesepakatan apa?" tanya Samuel."Kita tidur di kamar berbeda.""Oh, yang itu nggak bisa. Aku udah bilang alasannya, kan?"Rara menghela napas dalam-dalam. "Kalau gitu kesepakatannya adalah, Kak Sam nggak boleh ngapa-ngapain aku selama pernikahan," ujar Rara. Kalau tidak dibentengi sejak awal, takutnya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namanya juga dua orang berlawanan jenis yang berada dalam satu ruangan, berdua saja. Rara mungkin mudah saja menahan diri, selain dia tidak ada perasaan apa pun pada Samuel, dia juga takut dengan hal-hal semacam itu. Tapi, Samuel, dia pemuda normal yang bisa saja khilaf."Hmmm ... gimana, ya?" Samuel mengelus dagu, ragu-ragu untuk menjawab. "Aku coba, ya?" kekehnya."Kok cuma coba, Kak? Kakak harus setuju dengan kesepakatan y
"Serius kamu masih perawan ?""Apa sih nanya-nanya kaya gitu? Mau perawan atau enggak, bukan urusan kakak, di sini tugasku cuma jadi istri pura-pura, jadi masalah begituan nggak perlu dibahas." Rara berucap dengan sewotnya. Sebal juga melihat ekspresi penasaran di wajah Samuel. Apa sih yang dia pikirkan tentang dirinya yang masih perawan."Aku belum pernah cobain perawan, Ra."Mata Rara melotot. "Ya bodo amat! Awas, Kak, aku mau keluar!" Dia dorong tubuh Samuel yang menghalangi jalannya. Segera setelah ada kesempatan untuk membuka pintu, Rara kabur dari kamar tamu."Eh, siapa ini?" Rara terkejut saat tak sengaja berpapasan dengan seorang wanita paruh baya yang belum dia temui sebelumnya. Wanita itu sudah mendekati umur separuh abad sepertinya, tapi masih terlihat cantik dan elegan. Tubuhnya pun langsing dibalut pakaian casual yang mahal pastinya."Kamu pasti istrinya Samuel, ya?" Belum sempat Rara menjawab, Samuel sudah menyusul di belakangnya, dan tanpa ba-bi-bu, dia melingkarkan len
"Kamu ngapain di sini? Ngintip, ya?"Rara gelagapan. Namun dia berusaha bersikap tenang. Dengan angkuh dia mengangkat wajah. "Siapa yang ngintip. Aku abis cari minum di dapur terus kepikiran mau ngecek keyboardku. Kata Bu Via sudah diambil dari kos lamaku," karangnya. Padahal Rara pun tak tahu nasib keyboardnya di mana, karena saat selesai konser beberapa hari lalu, keyboardnya diurus oleh crew Stonedhell dan entah ditaruh di mana."Ngecek keyboard, ya?" kekeh Samuel. Dia tentu tahu keyboard milik Rara ada di studio Stonedhell, bukan di kos lama gadis itu. "Keyboard kamu udah kuno. Udah masuk di gudang studio. Sini masuk," pintanya kemudian."Kok dikasih gudang? Itu keyboard satu-satunya milikku, peninggalan dari ibuku," protes Rara."Udah sini masuk," ujar Samuel seraya menarik tangan Rara. Gadis itu ingin protes, tapi cekalan tangan Samuel begitu kuat hingga memaksanya masuk ke dalam studio. Rara terkagum-kagum dengan apa yang ada di dalam ruangan berhawa sejuk itu. Semua alat musik
Samuel menoleh ke arah tempat di mana Rara dan Nathan tadi duduk, tapi keduanya sudah tidak ada di sana. Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh bar, rupanya mereka ada di luar, mengobrol di dekat dinding pembatas balkon."Sorry, Bi ... aku harus pulang. Capek," pamit Samuel disambut senyuman tipis Bianca.Samuel meninggalkan Bianca dan melangkah ke arah Rara dan Nathan. "Ra, ayo pulang," ajaknya."Sekarang, Kak?" tanya Rara."Iya, sekarang." Samuel menatap ke arah Nathan yang tampak tak terlalu suka dengan kehadiran Samuel."Ya udah, deh. Padahal lagi asyik ngobrol sama Kak Nathan," ucap Rara sambil bibirnya manyun. Nathan hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis."Aku capek," sahut Samuel seraya meminta Rara memberikan tangannya untuk digandeng. Rara menurut saja. Tampaknya Samuel sedang bad mood. Pasti karena bertemu dengan Bianca. Perempuan itu juga masih berada di tempatnya, tersenyum seraya melambai ke arah Samuel dan Rara saat melintasinya."Kenapa mukamu gitu, Kak? Ngomo
Rara tidak tahu sebelumnya kalau ada acara after party setelah konser selesai. Semua crew Stonedhell berada di bar rooftop sebuah hotel berbintang. Rara pun terpaksa ikut ke tempat itu meskipun yang dia minum hanya lemon juice.Dia lihat Samuel masih berbicara dengan manager Stonedhell, Agustian, sedang Nathan dan yang lainnya duduk menikmati minuman mereka di meja bar.Rara memilih kursi di sudut ruangan sambil memperhatikan sekeliling. Tempat itu sepertinya sudah dibooking untuk Stonedhell dan crew."Minum apaan tuh, Ra?" tanya Lily yang kini duduk di samping Rara. Sementara Ana duduk di kursi seberang."Lemon juice," sahut Rara sambil meringis."Lemon juice doang? Nggak ada campuran apa-apa, gitu?" Ana mengerutkan kening."Enggak. Emang harus dicampur apa?" tanya Rara bingung."Vodka kek, apa kek."Rara menggeleng keras. "Nggak ah, nanti kepalaku pusing."Ana dan Lily seketika meloloskan tawa mendengar ucapan Rara yang polos. "Pantesan Kak Sam gemes banget sama kamu, ya ... kamunya
Konser besar Stonedhell akan diadakan dua hari lagi. Rara merasa sedikit berdebar-debar mengingat konser itu akan menjadi pertama kalinya dia tampil di depan ribuan atau bahkan jutaan orang meskipun dirinya hanya pemain additional.Lagu-lagu hits Stonedhell sudah berhasil dia kuasai. Namun, bisa saja nanti di atas panggung dia akan terserang demam panggung sehingga otaknya tiba-tiba blank. Bisa-bisa dia dipecat oleh Samuel.Seharian ini dia berlatih tanpa henti kecuali saat makan siang. Itu pun karena Bu Via yang memaksanya. Sementara Samuel tidak kelihatan batang hidungnya di rumah. Mungkin dia di studio atau di tempat yang tidak diketahui Rara.Menjelang malam, Rara memutuskan untuk keluar dari studio pribadi Samuel dan menemui Bu Via di dapur."Bu, mau masak makan malam?" tanya Rara. Wanita paruh baya itu sedang sibuk mencuci sayuran."Iya, Mbak. Mas Samuel tadi telepon, katanya mau makan di rumah.""Ohh, Bu Via mau masak apa?" Rara melongok dari balik punggung wanita itu."Mas Sam
Di studio Stonehell, Rara sibuk memasang peralatan keyboardnya. Di sampingnya ada Ana dan Lily; para pemain biola, juga sibuk dengan biola mereka. Samuel belum kelihatan batang hidungnya. Tadi Rara berangkat sendiri karena Samuel sudah pergi dari rumah sejak pagi."Sini aku bantuin." Suara Nathan terdengar di samping Rara. Pemuda itu meraih kabel yang sedang dipegang oleh Rara yang tampak kesulitan memasukannya ke dalam lubang output."Makasih, Kak," ucapnya setelah Nathan selesai."Coba suaranya, Ra," pinta Nathan.Rara segera mengetes suara keyboardnya. "Aman, Kak."Nathan tersenyum. Manis sekali di mata Rara. Keduanya saling tatap untuk beberapa saat hingga terputus saat pintu studio dibuka seseorang. Samuel muncul dan langsung menatap ke arah Rara dan Nathan."Sorry, telat," ucap Samuel seraya melirik Rara sekilas, kemudian berjalan menuju gitarnya di stand.Entah kenapa Rara merasa Samuel hari itu terlihat muram. Rara menduga pasti ada hubungannya dengan Bianca. Samuel pergi seja
"Ngapain sih ngeliatin aku kaya gitu, Kak?" tanya Rara sambil mengerutkan kening. Aneh sekali Samuel memandanginya seperti itu sambil senyum-senyum sendiri."Penampilan kamu hari ini beda," sahut Samuel. Tadi pagi saat dia bangun, Rara sudah berangkat ke sekolah jadi dia tidak sempat melihat penampilan Rara.Rara mendesis seraya membuka pintu mobil dan menghambur keluar. Suara gelak tawa Samuel terdengar di belakangnya."Tapi rok kamu ketinggian nggak, sih?" ujar Samuel yang kini sudah berada di sampingnya. Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah."Masa?" Rara memeriksa rok sepannya yang setinggi lutut. "Nggak, ah. Standar ini.""Yaa, untuk ukuran guru SD, agak terlalu seksi, sih. Tapi bagus kok, aku suka." Setelah mengatakan itu, Samuel berjalan mendahului Rara menuju ke taman belakang rumah.Dada Rara tiba-tiba berdebar mendengar ucapan Samuel. Apa maksudnya dia bilang suka. Ah, mungkin bukan apa-apa. Rara mengibaskan tangan menganggap ucapan Samuel hanya angin lalu.Saat itu Rara me
"Sam, ada yang nyari." Riana; pengurus studio sekaligus yang mengurus akomodasi Stonedhell saat tour atau manggung, melongok dari balik pintu ruang studio musik di mana Samuel dan yang lainnya sedang berkutat dengan alat-alat musik mereka."Siapa?" tanya Samuel seraya menghentikan petikan gitarnya. "Liat aja sendiri, deh." Samuel mendecak sebal. Kalau ternyata yang mencarinya fans atau wartawan, dia bersumpah akan memotong gaji Riana. Namun, saat dia masuk ke ruang tamu, dia tertegun. Sosok ramping yang dibalut pakaian elegan itu berdiri di sisi meja kabinet membelakanginya. Dia sedang menatap poster personel Stonedhell yang terpajang di dinding. "Bi?" panggil Samuel dengan tenggorokan tercekat. Bianca memutar badan dan tersenyum. "Hai, Sam ... apa kabar?" sapanya. "Baik. Kamu ... ada perlu apa ke sini?" tanya Samuel. Matanya masih menatap sosok Bianca yang masih cantik seperti biasanya. Meskipun sepasang mata indah itu tampak sedikit sembab, atau kurang tidur mungkin. Samuel mak
Lagu Frederic Chopin Nocturne In D Sharp Minor mengalun di studio pribadi milik Samuel. Yang memainkannya tentu saja Rara yang hari itu sedang bosan. Main piano adalah jalan satu-satunya untuk membuat moodnya kembali membara.Rara baru berhenti menekan tuts tuts hitam putih saat pintu studio diketuk seseorang."Mbak Rara, ada yang nyari." Bu Via melongok dari balik pintu."Siapa, Bu?" tanya Rara."Orangnya masih di pos satpam. Dia bilang dia ayahnya Mbak Rara. Namanya ... mmm ... Pak Arkan.""Hah!" Rara terkejut bukan main. "Orangnya kaya apa, Bu?" tanyanya penasaran."Saya nggak tahu, Mbak. Mau ngecek aja ke pos satpam apa gimana? Soalnya masih ditahan sama Pak Guntur. Takutnya orang iseng atau malah berniat nggak baik."Rara mengangguk-angguk. Dia penasaran juga apa memang ayahnya yang datang mencari dirinya. Arkan memang nama ayahnya. Tapi, kenapa tiba-tiba dia mencari Rara. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya sekarang."Itu, Mbak ... kayaknya orangnya masih di pos satpam," tunjuk
Rara iseng melamar pekerjaan melalui internet, menjadi guru musik di sebuah sekolah dasar international. Dia merasa banyak waktu luang sekarang karena jadwal latihan dengan Stonedhell hanya sabtu dan minggu.Tanpa diduga, keesokan harinya dia mendapatkan email kalau dirinya diterima di sekolah itu dan diharapkan kehadirannya sesegera mungkin untuk wawancara. Hari ini dipilih Rara untuk datang ke calon tempat kerjanya. Pagi-pagi dirinya sudah sibuk mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk dipakai wawancara.Saat akan berganti baju, dia memeriksa Samuel di atas kasur yang sepertinya masih terlelap. Sudah pasti Samuel bangunnya siang."Mau ke mana?""Aaargh!" teriak Rara terkejut bukan main. Dia belum sempat memakai kemeja dan hanya mengenakan rok serta atasnya masih dalam balutan bra. "Kak Sam kok udah bangun?!" ujarnya gusar sambil menutupi bagian dadanya dengan kemeja."Apa, sih, Ra. Heboh banget. Udah lihat juga aku tadi kamu pake celana dalam sama bra doang."Rara menutup mulutnya
Seperti biasa, Rara menaruh guling di tengah-tengah kasur sebagai pembatas antara dirinya dan Samuel tidur. Saat dia merebahkan badan, tak sengaja tatapan matanya berhenti pada wajah Samuel yang berjarak beberapa centi darinya. Pemuda itu sudah memejamkan mata. Rara memperhatikan sejenak wajah tampan yang terlihat begitu damai itu. Gadis itu berpikir sejenak mengenai nasib Samuel yang tidak beruntung dalam hal asamara. Sebenarnya perempuan bernama Bianca itu bodoh atau apa. Apa kurangnya Samuel. Tampan, gitaris hebat dan kaya. Ya, meskipun dia menyebalkan. Jika dirinya menjadi Bianca ...."Ngapain liat-liat?" "Hah?!" Rara tersentak. Samuel tiba-tiba membuka mata. Jadi dia cuma pura-pura tidur. Aduh, dirinya tertangkap basah memperhatikan Samuel. "Naksir?" "Dih, enggak ya, Kak. Aku cuma lagi kasihan aja sama kamu!" sungut Rara sambil beringsut memunggungi Samuel. "Kasihan kenapa?" desak Samuel. "Ya kasihan aja nggak bisa move on," sahut Rara asal. Samuel tergelak. "Lebih kasihan