Bangun tidur pagi-pagi, yang Rara dapatkan adalah kabar baik. Dia diberitahu lewat pesan email kalau dirinya lolos seleksi pemain additional Stonedhell. Rara sampai membaca-baca ulang pesan itu memastikan kalau dia sedang tidak berhalusinasi.
Kalau sudah rezeki memang tidak ke mana, begitu kata Sari sahabatnya dan memang benar. Gajinya nanti akan cukup besar sehingga Rara tidak akan kebingungan lagi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masih diselimuti rasa lega dan bahagia dalam hati, ponselnya berdering dan tampak nomer tidak dikenal menghiasi layar benda pipih itu. Tanpa menunggu lama, diangkatnya telepon dan suara seorang wanita terdengar dari seberang.
"Hari ini, Mbak? Jam sebelas siang latihan di studio? Iya, Mbak. Saya akan datang tepat waktu," ucap Rara dengan penuh semangat.
Rara melompat-lompat kegirangan. Akhirnya dia mendapatkan pekerjaan yang sesuai minat dan bakatnya selama ini. Pasti akan sangat menyenangkan, pikirnya. Pagi itu tiba-tiba Rara menjadi sangat rajin merapikan kamar kosnya yang biasanya berantakan. Dari merapikan tempat tidur, menyapu dan mengepel. Baju-baju di lemari yang tidak pernah rapi pun dia rapikan dengan sempurna.
Tiba saatnya dia musti bersiap-siap untuk pergi ke studio Stonedhell. Rara memakai pakaian rapi, mini dress warna hitam polos sepanjang lutut dan sepatu vintage kesayangan. Rambut panjangnya dia gerai begitu saja dan wajah manisnya dia poles dengan riasan tipis.
"Dih, kaya mau kencan aja," kekehnya saat mematut dirinya di dalam cermin. Rara akui penampilannya cukup menarik sampai-sampai ada beberapa menit dia memperhatikan wajah manisnya sendiri sambil senyum-senyum. Namun, dia cepat tersadar kalau dia harus segera pergi ke studio. Ini hari pertama latihan dengan band kesohor itu, dia tidak boleh menunjukkan kesan buruk jika sampai terlambat.
Siang yang panas, dengan menggendong softcase keyboard yang cukup berat, Rara harus naik angkot dari area kos-kosannya menuju halte busway terdekat yang akan membawanya ke studio. Sayangnya, angkotnya terjebak macet untuk beberapa saat dan alhasil dia tiba di gedung tempat studio Stonedhell terlambat dua puluh menit.
"Ruang latihan di sebelah mana ya, Mbak?" Rara yang kebingungan mencari ruang studio tempat dia akan latihan dengan Stonedhell, bertanya pada seorang wanita berbalut t-shirt hitam dengan gambar empat orang pemuda berambut panjang yang sedang melintas.
"Kamu additional player yang lolos kemarin, ya?" Wanita itu balik bertanya.
"Iya, Mbak."
"Ayo, aku antar ke ruang studio." Si wanita mengajak Rara ke lantai atas melewati tangga. Mereka pun tiba di lantai dua yang terdiri dari beberapa ruangan. Rara diantar ke salah satu ruangan di mana semua orang sudah berkumpul. Empat personel Stonedhell termasuk si angkuh Samuel, dan dua orang gadis dengan biola di tangan mereka, yang sepertinya juga adalah pemain additional yang lolos audisi.
"M-maaf, saya telat. Tadi macet," ucap Rara dengan wajah pucat. Pasalnya, semua orang yang ada di dalam ruangan menatap ke arahnya, termasuk Samuel yang langsung memasang ekspresi wajah tak suka.
"Lain kali jangan telat, ya?" Suara Nathan, yang ternyata adalah basist terlihat dari instrumen yang menggantung dari bahunya, membuat Rara merasa lega. Pemuda itu memang manis sekali dan ramah. Sangat berbeda dengan si angkuh yang berdiri di sampingnya.
Sambil menyiapkan keyboardnya dibantu oleh seorang crew, Rara berkenalan dengan dua pemain biola, Ana dan Lily. Keduanya sangat ramah dan cepat akrab dengan Rara.
"Okay, Ladies ... selamat datang ya di team Stonedhell. Latihan hari ini untuk showcase kita dua hari lagi di salah satu stasiun televisi, sekaligus sebagai tes kami untuk kalian bertiga apakah kalian bisa mengikuti performance kami." Suara Nathan membuat Rara dan dua temannya mengakhiri sesi keakraban di antara mereka.
Rara tersenyum sambil memperhatikan Nathan yang terlihat gagah dengan gitar basnya. Jika dipikir-pikir, sosok basist Stonedhell ini layak sekali untuk dijadikan pacar. Namun Rara buru-buru menepis pikiran aneh yang tiba-tiba melintas dalam benaknya itu.
Setelah beberapa menit briefing lagu-lagu yang akan dimainkan, ruangan studio dipenuhi dengan alunan lagu cadas yang sejujurnya terdengar asing di telinga Rara, tapi gadis itu bisa mengikuti dengan baik.
Latihan hari itu Rara lewati dengan lancar, meskipun ada sedikit kejanggalan yang dirasakan olehnya. Sepanjang latihan, terkadang tatapan mata Rara bertemu dengan tatapan miring Samuel tanpa disengaja. Saat hal itu terjadi, Rara buru-buru membuang pandangannya ke arah lain. Dia tidak tahu apa maksud tatapan si angkuh itu padanya. Berbeda dengan Nathan yang ramah, juga personel lain, Josef sang vocalist dan Dito sang drummer, si gitarist angkuh selalu menatapnya dengan tatapan remeh.
Selesai tampil di sebuah acara televisi bersama Stonedhell, Rara dan dua rekannya diminta untuk ikut sesi interview dengan para wartawan. Katanya untuk diperkenalkan pada publik bahwa mereka adalah pemain latar band kesohor itu.
Namun, Rara perhatikan, rupanya wartawan lebih tertarik melontarkan pertanyaan pada Samuel tentang hubungannya yang kandas dengan Bianca, dan peristiwa heboh yang pernah Sari ceritakan padanya. Rara mencondongkan badannya sedikit ke depan untuk melihat reaksi Samuel yang terhalang tiga personel Stonedhell yang lain. Entah kenapa dia merasa penasaran dengan reaksi pemuda itu.
Rara bisa melihat jelas Samuel sangat tidak nyaman dengan acara jumpa pers ini. Kedua telapak tangannya di atas meja mengepal keras seakan-akan hendak memukulkannya ke sana.
"Samuel, apa tanggapanmu tentang Bianca Downey yang akan melangsungkan pernikahan dengan Ronald Sinaga minggu ini?"
Rara mendecak mendengar pertanyaan wartawan yang dilontarkan untuk Samuel. Meskipun dia sebal dengan pemuda itu, tapi dia bisa merasakan betapa tidak nyamannya saat orang memberikan pertanyaan tentang sesuatu yang mungkin sangat menyakiti hatinya.
"Aku nggak peduli dia mau menikah minggu ini atau bahkan detik ini juga. Sudah ya, tolong kasih pertanyaan lain. Ini jumpa pers untuk acara kami tadi, bukan untuk masalah pribadi." Suara Samuel terdengar tenang. Namun, Rara bisa merasakan getaran amarah dalam nada suaranya.
"Kenapa begitu, Sam?" Wartawan yang belum puas dengan jawaban Samuel kembali melontarkan pertanyaan.
"Karena aku juga akan menikah," jawab Samuel. Bersamaan dengan itu, terdengar suara petir menggelegar dari luar gedung. Sepertinya ucapan Samuel telah disambut oleh alam semesta.
"Dengan siapa, Sam. Siapa perempuan yang akan kamu nikahi?"
Samuel tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah Rara yang duduk di antara Nathan dan Lily. Rara terkejut bukan main saat Samuel kini telah berdiri di belakangnya, dan tanpa dia sangka-sangka, pemuda itu merangkul pundaknya.
"Ini calon istriku, kami akan menikah malam ini."
Semua yang ada di dalam ruangan itu terperangah, tak terkecuali tiga personel Stonedhell, terutama Nathan, dan dua rekan Rara. Sementara Rara terbengong mendengar ucapan Samuel. Tenggorokannya tercekat, seakan-akan ada makanan yang nyangkut di lehernya.
"A-apa maksudnya ini?" cicit Rara dengan suara yang sama sekali tidak keluar dari tenggorokannya.
***
"Kamu serius, Sam? "Siapa nama calon istrimu? "Kamu akan menikahi pemain additional Stonedhell? Para wartawan berebut menghujani Samuel dengan berbagai pertanyaan. Sementara Samuel masih merangkul Rara dengan mesra dengan senyum yang tersungging di bibir. Jangan lupakan tatapan heran dari personel Stonedhell yang lain, manager dan dua pemain additional yang terbengong-bengong. "Kamu akan menikah malam ini, Sam? Di mana?" Seorang wartawan menyeletuk. "Di suatu tempat rahasia. Aku rasa wawancara malam ini sudah selesai, ya?" Samuel menarik lengan Rara dan membawa gadis itu keluar gedung. Wartawan yang memburu keduanya dicegat oleh beberapa bodyguard Stonedhell agar keduanya bisa sampai di mobil dengan lancar. "Pak Danu, ke rumah pinggir danau, ya," perintahnya pada sopirnya. Pria paruh baya itu mengangguk dan melajukan mobil meninggalkan area gedung. Samuel mengeluarkan ponsel dari saku dan menelepon seseorang. "Ronald, siapin semua keperluan nikah malam ini juga. Iya, pokoknya se
Sejak Samuel semalam tiba di rumah tepi danaunya, para wartawan yang menduga-duga kalau pernikahan Samuel dan Rara akan dilakukan di rumah besar Samuel itu sudah berkeliaran di sekitar pintu gerbang, berharap bisa mendapatkan berita menghebohkan itu pertama kali.Namun, para pejaga yang Samuel tempatkan di gerbang rumahnya tentu menghalangi mereka untuk meliput. Alhasil, mereka hanya bisa menunggu Samuel muncul keluar rumahnya.Sementara Samuel tengah menikmati minuman bersama ketiga personel Stonedhell lain di studio musik pribadi yang ada di dalam rumah mewah itu."Kamu emang gila, Sam. Ini hal paling random yang pernah aku tahu, dilakukan oleh seseorang," kekeh Josef, disambut gelak tawa Dito. Sementara Nathan hanya diam saja memilin gelas berisi minuman beralkohol di tangannya."Aku juga nggak tahu. Idenya terlintas gitu aja, dan kakiku kaya berjalan sendiri ke arah Rara.""Serius? Jangan-jangan kamu diguna-guna sama dia," cebik Dito."Pernikahan ini nggak beneran kok, kalian udah
Samuel menarik tangan Rara yang masih membekap mulutnya, kemudian dia tertawa. Dia lihat wajah gadis itu pucat pasi, seperti ketakutan. Sungguh berlebihan reaksinya. Dia hanya ingin menggodai saja dengan ciuman kecil di bibir."Kesepakatan apa?" tanya Samuel."Kita tidur di kamar berbeda.""Oh, yang itu nggak bisa. Aku udah bilang alasannya, kan?"Rara menghela napas dalam-dalam. "Kalau gitu kesepakatannya adalah, Kak Sam nggak boleh ngapa-ngapain aku selama pernikahan," ujar Rara. Kalau tidak dibentengi sejak awal, takutnya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namanya juga dua orang berlawanan jenis yang berada dalam satu ruangan, berdua saja. Rara mungkin mudah saja menahan diri, selain dia tidak ada perasaan apa pun pada Samuel, dia juga takut dengan hal-hal semacam itu. Tapi, Samuel, dia pemuda normal yang bisa saja khilaf."Hmmm ... gimana, ya?" Samuel mengelus dagu, ragu-ragu untuk menjawab. "Aku coba, ya?" kekehnya."Kok cuma coba, Kak? Kakak harus setuju dengan kesepakatan y
"Serius kamu masih perawan ?""Apa sih nanya-nanya kaya gitu? Mau perawan atau enggak, bukan urusan kakak, di sini tugasku cuma jadi istri pura-pura, jadi masalah begituan nggak perlu dibahas." Rara berucap dengan sewotnya. Sebal juga melihat ekspresi penasaran di wajah Samuel. Apa sih yang dia pikirkan tentang dirinya yang masih perawan."Aku belum pernah cobain perawan, Ra."Mata Rara melotot. "Ya bodo amat! Awas, Kak, aku mau keluar!" Dia dorong tubuh Samuel yang menghalangi jalannya. Segera setelah ada kesempatan untuk membuka pintu, Rara kabur dari kamar tamu."Eh, siapa ini?" Rara terkejut saat tak sengaja berpapasan dengan seorang wanita paruh baya yang belum dia temui sebelumnya. Wanita itu sudah mendekati umur separuh abad sepertinya, tapi masih terlihat cantik dan elegan. Tubuhnya pun langsing dibalut pakaian casual yang mahal pastinya."Kamu pasti istrinya Samuel, ya?" Belum sempat Rara menjawab, Samuel sudah menyusul di belakangnya, dan tanpa ba-bi-bu, dia melingkarkan len
"Kamu ngapain di sini? Ngintip, ya?"Rara gelagapan. Namun dia berusaha bersikap tenang. Dengan angkuh dia mengangkat wajah. "Siapa yang ngintip. Aku abis cari minum di dapur terus kepikiran mau ngecek keyboardku. Kata Bu Via sudah diambil dari kos lamaku," karangnya. Padahal Rara pun tak tahu nasib keyboardnya di mana, karena saat selesai konser beberapa hari lalu, keyboardnya diurus oleh crew Stonedhell dan entah ditaruh di mana."Ngecek keyboard, ya?" kekeh Samuel. Dia tentu tahu keyboard milik Rara ada di studio Stonedhell, bukan di kos lama gadis itu. "Keyboard kamu udah kuno. Udah masuk di gudang studio. Sini masuk," pintanya kemudian."Kok dikasih gudang? Itu keyboard satu-satunya milikku, peninggalan dari ibuku," protes Rara."Udah sini masuk," ujar Samuel seraya menarik tangan Rara. Gadis itu ingin protes, tapi cekalan tangan Samuel begitu kuat hingga memaksanya masuk ke dalam studio. Rara terkagum-kagum dengan apa yang ada di dalam ruangan berhawa sejuk itu. Semua alat musik
Wajahnya cantik kebule-bulean. Hidung mancung dan kulit putih bersih. Fisiknya mendekati sempurna, hanya saja dia merasa keberuntungannya masih jauh. Bianca Downey, seorang model majalah pria dewasa yang bercita-cita menjadi bintang film terkenal. Namun, jalannya mengembangkan karir tidaklah semulus kulitnya. Meskipun dia adalah kekasih dari rockstar ternama negeri ini, tapi langkahnya dalam meniti karir tidaklah mudah.Apa karena skill aktingnya kurang. Entahlah. Selama ini dia hanya mendapat peran kecil di semua film yang dibintanginya. Meskipun namanya mencuat gara-gara memiliki hubungan dengan Samuel Rorimpandey si gitaris gahar Stonedhell, tapi orang-orang di industri film tidak pernah memandangnya.Saat putus asa, Bianca bertemu dengan Ronald Sinaga. Pria paruh baya yang merupakan produser film kaya raya dan terkenal. Ronald yang seorang duda dengan satu anak yang telah dewasa, jatuh cinta padanya. Tidak hanya itu, Ronald juga menawarkan sebuah popularitas yang tak dibayangkan B
"Ada es krim di bibir kamu," tunjuk Nathan pada bibir Rara. Gadis itu buru-buru mengelap bibir dengan punggung tangan."Ada tisyu kok, nih," ujar Nathan seraya mengambil dua lembar tisyu yang tersedia di atas meja.Rara meringis. Duh, kenapa jadi gugup begini, batinnya. Dia meraih tisyu dari tangan Nathan dan mengelap bibirnya. Jadi, selama menikmati es krim di kedai es krim itu, Rara lebih banyak menunduk dan pura-pura fokus pada mangkuk es krimnya."Kamu kenapa, Ra?""Hah? Memang aku kenapa?""Kayaknya salah tingkah banget."Kembali Rara meringis. Sial banget. Nathan menangkap kegugupan yang sedang melandanya. Terus harus jawab apa. Bayangkan saja, makan es krim berdua dengan basist-nya Stonedhell, apa itu bukan impian setiap perempuan."Udah selesai?" tanya Nathan."Oh, iya, udah." Es krim di mangkuk Rara sudah ludes saking dia tidak tahu harus ngobrol apa, jadinya dia makan dengan cepat."Bentar, ya ... aku bayar dulu."Saat Nathan beranjak dari duduknya, barulah Rara merasa lega.
Rara terbangun karena dadanya terasa sesak. Seperti ada benda berat yang menghimpit dan membuatnya susah napas. Beberapa saat mencerna apa yang terjadi, dia terpekik seraya mendorong kepala Samuel yang bertengger di dadanya."Auch! Apa sih, Ra?" Samuel tentu kaget tiba-tiba dikasari oleh Rara."Apaan sih, Kak? Ngapain tidurnya nempel-nempel gitu. Kan udah dipisahin guling!" seru Rara kesal sambil memperbaiki piyamanya yang berantakan."Namanya juga tidur, Ra. Mana aku tahu mau gerak ke mana." Samuel berucap seakan tak punya dosa."Kalau gini mending aku tidur di ruang tamu aja, deh." Rara hendak beranjak, tapi ditahan oleh Samuel."Jangan, dong, Ra!""Ya udah kalau gitu Kak Sam jaga jarak, dong," sungut Rara. Dia memperbaiki guling yang sudah tidak pada tempatnya. "Nih garisnya, udah jelas, kan?""Iya, iya," sahut Samuel sekenanya. Kenapa jadi Rara yang mengatur, ini kan kamarnya. Tapi anehnya Samuel menurut saja.Dasar rocker bagajulan, tidur nggak bisa anteng, gerutu Rara dalam hati
Samuel menoleh ke arah tempat di mana Rara dan Nathan tadi duduk, tapi keduanya sudah tidak ada di sana. Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh bar, rupanya mereka ada di luar, mengobrol di dekat dinding pembatas balkon."Sorry, Bi ... aku harus pulang. Capek," pamit Samuel disambut senyuman tipis Bianca.Samuel meninggalkan Bianca dan melangkah ke arah Rara dan Nathan. "Ra, ayo pulang," ajaknya."Sekarang, Kak?" tanya Rara."Iya, sekarang." Samuel menatap ke arah Nathan yang tampak tak terlalu suka dengan kehadiran Samuel."Ya udah, deh. Padahal lagi asyik ngobrol sama Kak Nathan," ucap Rara sambil bibirnya manyun. Nathan hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis."Aku capek," sahut Samuel seraya meminta Rara memberikan tangannya untuk digandeng. Rara menurut saja. Tampaknya Samuel sedang bad mood. Pasti karena bertemu dengan Bianca. Perempuan itu juga masih berada di tempatnya, tersenyum seraya melambai ke arah Samuel dan Rara saat melintasinya."Kenapa mukamu gitu, Kak? Ngomo
Rara tidak tahu sebelumnya kalau ada acara after party setelah konser selesai. Semua crew Stonedhell berada di bar rooftop sebuah hotel berbintang. Rara pun terpaksa ikut ke tempat itu meskipun yang dia minum hanya lemon juice.Dia lihat Samuel masih berbicara dengan manager Stonedhell, Agustian, sedang Nathan dan yang lainnya duduk menikmati minuman mereka di meja bar.Rara memilih kursi di sudut ruangan sambil memperhatikan sekeliling. Tempat itu sepertinya sudah dibooking untuk Stonedhell dan crew."Minum apaan tuh, Ra?" tanya Lily yang kini duduk di samping Rara. Sementara Ana duduk di kursi seberang."Lemon juice," sahut Rara sambil meringis."Lemon juice doang? Nggak ada campuran apa-apa, gitu?" Ana mengerutkan kening."Enggak. Emang harus dicampur apa?" tanya Rara bingung."Vodka kek, apa kek."Rara menggeleng keras. "Nggak ah, nanti kepalaku pusing."Ana dan Lily seketika meloloskan tawa mendengar ucapan Rara yang polos. "Pantesan Kak Sam gemes banget sama kamu, ya ... kamunya
Konser besar Stonedhell akan diadakan dua hari lagi. Rara merasa sedikit berdebar-debar mengingat konser itu akan menjadi pertama kalinya dia tampil di depan ribuan atau bahkan jutaan orang meskipun dirinya hanya pemain additional.Lagu-lagu hits Stonedhell sudah berhasil dia kuasai. Namun, bisa saja nanti di atas panggung dia akan terserang demam panggung sehingga otaknya tiba-tiba blank. Bisa-bisa dia dipecat oleh Samuel.Seharian ini dia berlatih tanpa henti kecuali saat makan siang. Itu pun karena Bu Via yang memaksanya. Sementara Samuel tidak kelihatan batang hidungnya di rumah. Mungkin dia di studio atau di tempat yang tidak diketahui Rara.Menjelang malam, Rara memutuskan untuk keluar dari studio pribadi Samuel dan menemui Bu Via di dapur."Bu, mau masak makan malam?" tanya Rara. Wanita paruh baya itu sedang sibuk mencuci sayuran."Iya, Mbak. Mas Samuel tadi telepon, katanya mau makan di rumah.""Ohh, Bu Via mau masak apa?" Rara melongok dari balik punggung wanita itu."Mas Sam
Di studio Stonehell, Rara sibuk memasang peralatan keyboardnya. Di sampingnya ada Ana dan Lily; para pemain biola, juga sibuk dengan biola mereka. Samuel belum kelihatan batang hidungnya. Tadi Rara berangkat sendiri karena Samuel sudah pergi dari rumah sejak pagi."Sini aku bantuin." Suara Nathan terdengar di samping Rara. Pemuda itu meraih kabel yang sedang dipegang oleh Rara yang tampak kesulitan memasukannya ke dalam lubang output."Makasih, Kak," ucapnya setelah Nathan selesai."Coba suaranya, Ra," pinta Nathan.Rara segera mengetes suara keyboardnya. "Aman, Kak."Nathan tersenyum. Manis sekali di mata Rara. Keduanya saling tatap untuk beberapa saat hingga terputus saat pintu studio dibuka seseorang. Samuel muncul dan langsung menatap ke arah Rara dan Nathan."Sorry, telat," ucap Samuel seraya melirik Rara sekilas, kemudian berjalan menuju gitarnya di stand.Entah kenapa Rara merasa Samuel hari itu terlihat muram. Rara menduga pasti ada hubungannya dengan Bianca. Samuel pergi seja
"Ngapain sih ngeliatin aku kaya gitu, Kak?" tanya Rara sambil mengerutkan kening. Aneh sekali Samuel memandanginya seperti itu sambil senyum-senyum sendiri."Penampilan kamu hari ini beda," sahut Samuel. Tadi pagi saat dia bangun, Rara sudah berangkat ke sekolah jadi dia tidak sempat melihat penampilan Rara.Rara mendesis seraya membuka pintu mobil dan menghambur keluar. Suara gelak tawa Samuel terdengar di belakangnya."Tapi rok kamu ketinggian nggak, sih?" ujar Samuel yang kini sudah berada di sampingnya. Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah."Masa?" Rara memeriksa rok sepannya yang setinggi lutut. "Nggak, ah. Standar ini.""Yaa, untuk ukuran guru SD, agak terlalu seksi, sih. Tapi bagus kok, aku suka." Setelah mengatakan itu, Samuel berjalan mendahului Rara menuju ke taman belakang rumah.Dada Rara tiba-tiba berdebar mendengar ucapan Samuel. Apa maksudnya dia bilang suka. Ah, mungkin bukan apa-apa. Rara mengibaskan tangan menganggap ucapan Samuel hanya angin lalu.Saat itu Rara me
"Sam, ada yang nyari." Riana; pengurus studio sekaligus yang mengurus akomodasi Stonedhell saat tour atau manggung, melongok dari balik pintu ruang studio musik di mana Samuel dan yang lainnya sedang berkutat dengan alat-alat musik mereka."Siapa?" tanya Samuel seraya menghentikan petikan gitarnya. "Liat aja sendiri, deh." Samuel mendecak sebal. Kalau ternyata yang mencarinya fans atau wartawan, dia bersumpah akan memotong gaji Riana. Namun, saat dia masuk ke ruang tamu, dia tertegun. Sosok ramping yang dibalut pakaian elegan itu berdiri di sisi meja kabinet membelakanginya. Dia sedang menatap poster personel Stonedhell yang terpajang di dinding. "Bi?" panggil Samuel dengan tenggorokan tercekat. Bianca memutar badan dan tersenyum. "Hai, Sam ... apa kabar?" sapanya. "Baik. Kamu ... ada perlu apa ke sini?" tanya Samuel. Matanya masih menatap sosok Bianca yang masih cantik seperti biasanya. Meskipun sepasang mata indah itu tampak sedikit sembab, atau kurang tidur mungkin. Samuel mak
Lagu Frederic Chopin Nocturne In D Sharp Minor mengalun di studio pribadi milik Samuel. Yang memainkannya tentu saja Rara yang hari itu sedang bosan. Main piano adalah jalan satu-satunya untuk membuat moodnya kembali membara.Rara baru berhenti menekan tuts tuts hitam putih saat pintu studio diketuk seseorang."Mbak Rara, ada yang nyari." Bu Via melongok dari balik pintu."Siapa, Bu?" tanya Rara."Orangnya masih di pos satpam. Dia bilang dia ayahnya Mbak Rara. Namanya ... mmm ... Pak Arkan.""Hah!" Rara terkejut bukan main. "Orangnya kaya apa, Bu?" tanyanya penasaran."Saya nggak tahu, Mbak. Mau ngecek aja ke pos satpam apa gimana? Soalnya masih ditahan sama Pak Guntur. Takutnya orang iseng atau malah berniat nggak baik."Rara mengangguk-angguk. Dia penasaran juga apa memang ayahnya yang datang mencari dirinya. Arkan memang nama ayahnya. Tapi, kenapa tiba-tiba dia mencari Rara. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya sekarang."Itu, Mbak ... kayaknya orangnya masih di pos satpam," tunjuk
Rara iseng melamar pekerjaan melalui internet, menjadi guru musik di sebuah sekolah dasar international. Dia merasa banyak waktu luang sekarang karena jadwal latihan dengan Stonedhell hanya sabtu dan minggu.Tanpa diduga, keesokan harinya dia mendapatkan email kalau dirinya diterima di sekolah itu dan diharapkan kehadirannya sesegera mungkin untuk wawancara. Hari ini dipilih Rara untuk datang ke calon tempat kerjanya. Pagi-pagi dirinya sudah sibuk mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk dipakai wawancara.Saat akan berganti baju, dia memeriksa Samuel di atas kasur yang sepertinya masih terlelap. Sudah pasti Samuel bangunnya siang."Mau ke mana?""Aaargh!" teriak Rara terkejut bukan main. Dia belum sempat memakai kemeja dan hanya mengenakan rok serta atasnya masih dalam balutan bra. "Kak Sam kok udah bangun?!" ujarnya gusar sambil menutupi bagian dadanya dengan kemeja."Apa, sih, Ra. Heboh banget. Udah lihat juga aku tadi kamu pake celana dalam sama bra doang."Rara menutup mulutnya
Seperti biasa, Rara menaruh guling di tengah-tengah kasur sebagai pembatas antara dirinya dan Samuel tidur. Saat dia merebahkan badan, tak sengaja tatapan matanya berhenti pada wajah Samuel yang berjarak beberapa centi darinya. Pemuda itu sudah memejamkan mata. Rara memperhatikan sejenak wajah tampan yang terlihat begitu damai itu. Gadis itu berpikir sejenak mengenai nasib Samuel yang tidak beruntung dalam hal asamara. Sebenarnya perempuan bernama Bianca itu bodoh atau apa. Apa kurangnya Samuel. Tampan, gitaris hebat dan kaya. Ya, meskipun dia menyebalkan. Jika dirinya menjadi Bianca ...."Ngapain liat-liat?" "Hah?!" Rara tersentak. Samuel tiba-tiba membuka mata. Jadi dia cuma pura-pura tidur. Aduh, dirinya tertangkap basah memperhatikan Samuel. "Naksir?" "Dih, enggak ya, Kak. Aku cuma lagi kasihan aja sama kamu!" sungut Rara sambil beringsut memunggungi Samuel. "Kasihan kenapa?" desak Samuel. "Ya kasihan aja nggak bisa move on," sahut Rara asal. Samuel tergelak. "Lebih kasihan