"Sam, nggak perlu gitu juga kali sama peserta." Selepas Rara keluar dari ruangan, Samuel langsung dikonfrontasi oleh Nathan. Namun pemuda itu hanya mengedikkan bahu. Dia bukan tidak suka dengan penampilan peserta bernama Rara barusan, mengingat permainan piano gadis itu begitu sempurna. Hanya saja, suasana hatinya sedang tidak baik. Pikirannya hanya dipenuhi oleh Bianca dan bagaimana caranya bisa menemui kekasihnya itu dan bicara tentang peristiwa kemarin.
Bianca sama sekali tidak mau mengangkat telepon. Puluhan pesannya pun tak dibalas. Terakhir, nomernya justru diblokir oleh wanita itu.
"Aku cabut dulu, ya ... ada urusan penting," ujar Samuel dengan entengnya seraya beranjak dari duduknya.
"Loh, ini peserta audisi masih banyak, Sam," protes Josef saat melihat Samuel bersiap untuk meninggalkan ruangan.
"Kalian atur ajalah. Aku oke sama siapa pun yang lolos nanti." Setelah mengucapkan hal itu, Samuel benar-benar keluar meninggalkan ruangan itu tanpa peduli reaksi kawan-kawannya.
Tujuannya hanya satu, melajukan mobilnya menuju apartemen Bianca. Dia membelah jalanan kota yang padat hingga sampai di tempat yanb dia tuju. Namun, menemui Bianca ternyata tidak semudah yang dia duga. Ada bodyguard yang berjaga di depan pintu apartemennya. Sepertinya Bianca sudah mempersiapkan hal ith untuk mengantisipasi kedatangannya.
"Dia di dalam, kan?" Samuel menatap sinis dua pria berbadan besar yang menghadangnya.
"Nona Bianca sedang keluar, Pak." Salah seorang bodyguard menjawab.
"Nggak usah bohong sama saya, saya tahu dia di dalam. Minggir, saya mau ketemu dia."
"Nggak bisa, Pak. Nona Bianca tidak berkenan bertemu dengan bapak. Maaf ya, Pak."
"Brengsek! Berani kalian menghalangi saya?"
"Maaf, Pak. Kami hanya menjalankan tugas kami."
Samuel naik pitam. Didorongnya salah seorang bodyguard dengan keras. Konflik pun tak bisa dihindari. Meskipun begitu, dua pria itu tidak memukuli Samuel, hanya saja, dengan badan mereka yang jauh lebih besar darinya, mereka dengan mudah menyeret Samuel keluar dari gedung apartemen.
Sialnya, di luar gedung telah menunggu kerumunan wartawan yang siap menyerang Samuel dengan berbagai pertanyaan. Meskipun Samuel dengan sigap menghindari kejaran para pemburu berita itu, tetap saja saat dia hendak masuk ke dalam mobilnya, dia terjebak di antara mereka.
"Aku nggak ada komentar apa pun, okay?" tegas Samuel.
"Sebentar saja, Sam. Beberapa pertanyaan aja."
"Nggak ada!" Samuel benar-benar kesal dibuatnya. Para wartawan itu seakan tidak akan melepaskannya sampai dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan.
"Kabarnya dengan Pak Ronald Sinaga gimana? Apa kamu sudah ada kesepakatan damai dengan dia?"
"Lalu hubunganmu dengan Bianca gimana, Sam? Dengar-dengar setelah Pak Ronald keluar dari rumah sakit, Bianca dan Pak Ronald akan menikah."
Mata Samuel membulat mendengar ucapan salah seorang wartawan. Bianca berencana menikah dengan Ronald, yang benar saja. "Dari mana kalian dapat berita sampah itu?" tanyanya marah, meskipun di dalam hati kecilnya cukup merasa penasaran.
"Bianca sendiri yang mengabarkan rencana pernikahannya dengan Pak Ronald semalam di rumah sakit."
Semalam. Semalam saat Samuel mendekam dalam sel, rupanya Bianca telah mengumumkan rencana pernikahannya dengan pria itu. Samuel memaki dalam hati. Tangannya mengepal keras. Ingin rasanya dia menghantam apa saja yang ada di sekitarnya untuk meluapkan amarah yang memuncak.
"Tentang hal itu aku nggak tahu. Sudah, ya," ujarnya seraya mendorong salah seorang wartawan yang berdiri di dekat pintu mobilnya. Samuel segera masuk dan melajukan mobilnya dengan kencang.
"Brengsek! Brengsek kamu, Bi!" makinya seraya memukul-mukul roda kemudi.
"Salahku apa sama kamu, Bi? Kenapa kamu bisa kaya gini?" Samuel terus meracau seraya terus mengemudikan mobilnya menuju entah ke mana. Dia tidak habis pikir dengan kekasihnya itu. Apa yang kurang dari dirinya. Dia bisa memberikan apa pun yang diminta oleh Bianca, tapi kenapa wanita itu memilih untuk meninggalkan dirinya dengan cara sadis seperti ini. Bahkan satu penjelasan saja tidak bisa Samuel dapatkan dari mulut Bianca.
Malam itu Samuel habiskan dengan minum-minum di sebuah bar elite yang ada di rooftop sehuah hotel bintang lima langganannya. Dia sudah tidak bisa berpikir lagi. Hidupnya kacau dan terasa hampa.
"Hi, Sam."
Samuel menoleh ke sampingnya, di mana seorang wanita cantik kini duduk di sampingnya sambil menyunggingkan senyum. Samuel berusaha mengingat siapa dia, tapi ingatannya hanya sampai pada wanita yang dulu mungkin pernah menghabiskan semalam bersamanya, sebelum dia bersama Bianca.
"Pasti kamu nggak ingat aku, ya?" kekeh wanita itu.
"Sorry, kayaknya udah lama banget ya kita pernah ketemu?" tanya Samuel ragu-ragu.
"Iya lah, udah lama banget. Dua tahun lalu. Tapi aku masih inget banget malam itu kok. Aku Sarah."
"Aah, Sarah ... ya, ya ... apa kabar?" Samuel mencoba berbasa-basi, meskipun dia sama sekali tidak mengingat nama itu.
"Aku denger berita tentang kamu ...."
Samuel mengangkat tangannya untuk menghentikan ucapan Sarah. "Aku lagi nggak ingin ngomongin itu." Dia teguk sloki berisi cairan berwarna krem dengan cepat, lalu mendorongnya ke arah bartender, meminta untuk diisi kembali.
"Maaf. Tapi, aku boleh duduk di sini, nemenin kamu minum?" tanya Sarah.
"Terserah kamu," sahut Samuel asal. Namun satu hal yang berhasil memasuki ingatannya, bahwa Sarah ini adalah wanita penghibur papan atas yang dulu pernah dia sewa sekali. Pantas saja dia berkeliaran di tempat-tempat orang-orang berduit menghabiskan waktu bersenang-senang, atau seperti dirinya yang sedang dirundung masalah pelik.
Obrolan antara Samuel dan wanita itu pun mengalir seiring malam yang semakin larut dan sloki demi sloki mereka habiskan. Entah siapa yang mengajak, keduanya kini justru berpindah ke dalam kamar hotel dan bergumul di atas ranjang dengan panasnya.
"Oh, Sam ... kamu masih liar seperti malam itu," lenguh Sarah, saat Samuel menghujaninya dengan ciuman dan sentuhan-sentuhan di seluruh lekuk badannya.
Samuel memang liar jika sudah berada di atas ranjang. Namun, malam itu yang ada di benaknya hanya ada Bianca. Dia lampiaskan seluruh amarah dan gairah yang menggelora dalam dada pada wanita bertubuh sintal itu. Bianca yang sedang dia gumuli.
Dari ekspresi wajah menahan kenikmatan, erangan, lenguhan, hembusan napas, sentuhan panas, semua yang dia lihat dan rasakan malam itu hanya Bianca.
"Kamu cantik, Bi ... kamu cantik banget," erang Samuel seraya menggigit telinga, pipi dan bibir Sarah. Wanita itu membalas dengan tidak kalah liarnya, membuat Samuel merasa dirinya berada di atas angkasa, terombang-ambing dalam gairah yang semakin lama semakin menuju ke puncaknya. Samuel semakin mempercepat gerakannya tanpa terkendali.
Ranjang empuk berbalut kain putih itu menjadi saksi Samuel menjemput nikmat tiada tara. Bersamaan dengan gelombang kenikmatan yang tak lagi mampu dia bendung, Samuel mengerang menyebutkan satu nama yang memenuhi relung hatinya.
"Biancaa!"
***
Bangun tidur pagi-pagi, yang Rara dapatkan adalah kabar baik. Dia diberitahu lewat pesan email kalau dirinya lolos seleksi pemain additional Stonedhell. Rara sampai membaca-baca ulang pesan itu memastikan kalau dia sedang tidak berhalusinasi.Kalau sudah rezeki memang tidak ke mana, begitu kata Sari sahabatnya dan memang benar. Gajinya nanti akan cukup besar sehingga Rara tidak akan kebingungan lagi memenuhi kebutuhan hidupnya.Masih diselimuti rasa lega dan bahagia dalam hati, ponselnya berdering dan tampak nomer tidak dikenal menghiasi layar benda pipih itu. Tanpa menunggu lama, diangkatnya telepon dan suara seorang wanita terdengar dari seberang."Hari ini, Mbak? Jam sebelas siang latihan di studio? Iya, Mbak. Saya akan datang tepat waktu," ucap Rara dengan penuh semangat.Rara melompat-lompat kegirangan. Akhirnya dia mendapatkan pekerjaan yang sesuai minat dan bakatnya selama ini. Pasti akan sangat menyenangkan, pikirnya. Pagi itu tiba-tiba Rara menjadi sangat rajin merapikan kama
"Kamu serius, Sam? "Siapa nama calon istrimu? "Kamu akan menikahi pemain additional Stonedhell? Para wartawan berebut menghujani Samuel dengan berbagai pertanyaan. Sementara Samuel masih merangkul Rara dengan mesra dengan senyum yang tersungging di bibir. Jangan lupakan tatapan heran dari personel Stonedhell yang lain, manager dan dua pemain additional yang terbengong-bengong. "Kamu akan menikah malam ini, Sam? Di mana?" Seorang wartawan menyeletuk. "Di suatu tempat rahasia. Aku rasa wawancara malam ini sudah selesai, ya?" Samuel menarik lengan Rara dan membawa gadis itu keluar gedung. Wartawan yang memburu keduanya dicegat oleh beberapa bodyguard Stonedhell agar keduanya bisa sampai di mobil dengan lancar. "Pak Danu, ke rumah pinggir danau, ya," perintahnya pada sopirnya. Pria paruh baya itu mengangguk dan melajukan mobil meninggalkan area gedung. Samuel mengeluarkan ponsel dari saku dan menelepon seseorang. "Ronald, siapin semua keperluan nikah malam ini juga. Iya, pokoknya se
Sejak Samuel semalam tiba di rumah tepi danaunya, para wartawan yang menduga-duga kalau pernikahan Samuel dan Rara akan dilakukan di rumah besar Samuel itu sudah berkeliaran di sekitar pintu gerbang, berharap bisa mendapatkan berita menghebohkan itu pertama kali.Namun, para pejaga yang Samuel tempatkan di gerbang rumahnya tentu menghalangi mereka untuk meliput. Alhasil, mereka hanya bisa menunggu Samuel muncul keluar rumahnya.Sementara Samuel tengah menikmati minuman bersama ketiga personel Stonedhell lain di studio musik pribadi yang ada di dalam rumah mewah itu."Kamu emang gila, Sam. Ini hal paling random yang pernah aku tahu, dilakukan oleh seseorang," kekeh Josef, disambut gelak tawa Dito. Sementara Nathan hanya diam saja memilin gelas berisi minuman beralkohol di tangannya."Aku juga nggak tahu. Idenya terlintas gitu aja, dan kakiku kaya berjalan sendiri ke arah Rara.""Serius? Jangan-jangan kamu diguna-guna sama dia," cebik Dito."Pernikahan ini nggak beneran kok, kalian udah
Samuel menarik tangan Rara yang masih membekap mulutnya, kemudian dia tertawa. Dia lihat wajah gadis itu pucat pasi, seperti ketakutan. Sungguh berlebihan reaksinya. Dia hanya ingin menggodai saja dengan ciuman kecil di bibir."Kesepakatan apa?" tanya Samuel."Kita tidur di kamar berbeda.""Oh, yang itu nggak bisa. Aku udah bilang alasannya, kan?"Rara menghela napas dalam-dalam. "Kalau gitu kesepakatannya adalah, Kak Sam nggak boleh ngapa-ngapain aku selama pernikahan," ujar Rara. Kalau tidak dibentengi sejak awal, takutnya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namanya juga dua orang berlawanan jenis yang berada dalam satu ruangan, berdua saja. Rara mungkin mudah saja menahan diri, selain dia tidak ada perasaan apa pun pada Samuel, dia juga takut dengan hal-hal semacam itu. Tapi, Samuel, dia pemuda normal yang bisa saja khilaf."Hmmm ... gimana, ya?" Samuel mengelus dagu, ragu-ragu untuk menjawab. "Aku coba, ya?" kekehnya."Kok cuma coba, Kak? Kakak harus setuju dengan kesepakatan y
"Serius kamu masih perawan ?""Apa sih nanya-nanya kaya gitu? Mau perawan atau enggak, bukan urusan kakak, di sini tugasku cuma jadi istri pura-pura, jadi masalah begituan nggak perlu dibahas." Rara berucap dengan sewotnya. Sebal juga melihat ekspresi penasaran di wajah Samuel. Apa sih yang dia pikirkan tentang dirinya yang masih perawan."Aku belum pernah cobain perawan, Ra."Mata Rara melotot. "Ya bodo amat! Awas, Kak, aku mau keluar!" Dia dorong tubuh Samuel yang menghalangi jalannya. Segera setelah ada kesempatan untuk membuka pintu, Rara kabur dari kamar tamu."Eh, siapa ini?" Rara terkejut saat tak sengaja berpapasan dengan seorang wanita paruh baya yang belum dia temui sebelumnya. Wanita itu sudah mendekati umur separuh abad sepertinya, tapi masih terlihat cantik dan elegan. Tubuhnya pun langsing dibalut pakaian casual yang mahal pastinya."Kamu pasti istrinya Samuel, ya?" Belum sempat Rara menjawab, Samuel sudah menyusul di belakangnya, dan tanpa ba-bi-bu, dia melingkarkan len
"Kamu ngapain di sini? Ngintip, ya?"Rara gelagapan. Namun dia berusaha bersikap tenang. Dengan angkuh dia mengangkat wajah. "Siapa yang ngintip. Aku abis cari minum di dapur terus kepikiran mau ngecek keyboardku. Kata Bu Via sudah diambil dari kos lamaku," karangnya. Padahal Rara pun tak tahu nasib keyboardnya di mana, karena saat selesai konser beberapa hari lalu, keyboardnya diurus oleh crew Stonedhell dan entah ditaruh di mana."Ngecek keyboard, ya?" kekeh Samuel. Dia tentu tahu keyboard milik Rara ada di studio Stonedhell, bukan di kos lama gadis itu. "Keyboard kamu udah kuno. Udah masuk di gudang studio. Sini masuk," pintanya kemudian."Kok dikasih gudang? Itu keyboard satu-satunya milikku, peninggalan dari ibuku," protes Rara."Udah sini masuk," ujar Samuel seraya menarik tangan Rara. Gadis itu ingin protes, tapi cekalan tangan Samuel begitu kuat hingga memaksanya masuk ke dalam studio. Rara terkagum-kagum dengan apa yang ada di dalam ruangan berhawa sejuk itu. Semua alat musik
Wajahnya cantik kebule-bulean. Hidung mancung dan kulit putih bersih. Fisiknya mendekati sempurna, hanya saja dia merasa keberuntungannya masih jauh. Bianca Downey, seorang model majalah pria dewasa yang bercita-cita menjadi bintang film terkenal. Namun, jalannya mengembangkan karir tidaklah semulus kulitnya. Meskipun dia adalah kekasih dari rockstar ternama negeri ini, tapi langkahnya dalam meniti karir tidaklah mudah.Apa karena skill aktingnya kurang. Entahlah. Selama ini dia hanya mendapat peran kecil di semua film yang dibintanginya. Meskipun namanya mencuat gara-gara memiliki hubungan dengan Samuel Rorimpandey si gitaris gahar Stonedhell, tapi orang-orang di industri film tidak pernah memandangnya.Saat putus asa, Bianca bertemu dengan Ronald Sinaga. Pria paruh baya yang merupakan produser film kaya raya dan terkenal. Ronald yang seorang duda dengan satu anak yang telah dewasa, jatuh cinta padanya. Tidak hanya itu, Ronald juga menawarkan sebuah popularitas yang tak dibayangkan B
"Ada es krim di bibir kamu," tunjuk Nathan pada bibir Rara. Gadis itu buru-buru mengelap bibir dengan punggung tangan."Ada tisyu kok, nih," ujar Nathan seraya mengambil dua lembar tisyu yang tersedia di atas meja.Rara meringis. Duh, kenapa jadi gugup begini, batinnya. Dia meraih tisyu dari tangan Nathan dan mengelap bibirnya. Jadi, selama menikmati es krim di kedai es krim itu, Rara lebih banyak menunduk dan pura-pura fokus pada mangkuk es krimnya."Kamu kenapa, Ra?""Hah? Memang aku kenapa?""Kayaknya salah tingkah banget."Kembali Rara meringis. Sial banget. Nathan menangkap kegugupan yang sedang melandanya. Terus harus jawab apa. Bayangkan saja, makan es krim berdua dengan basist-nya Stonedhell, apa itu bukan impian setiap perempuan."Udah selesai?" tanya Nathan."Oh, iya, udah." Es krim di mangkuk Rara sudah ludes saking dia tidak tahu harus ngobrol apa, jadinya dia makan dengan cepat."Bentar, ya ... aku bayar dulu."Saat Nathan beranjak dari duduknya, barulah Rara merasa lega.
Samuel menoleh ke arah tempat di mana Rara dan Nathan tadi duduk, tapi keduanya sudah tidak ada di sana. Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh bar, rupanya mereka ada di luar, mengobrol di dekat dinding pembatas balkon."Sorry, Bi ... aku harus pulang. Capek," pamit Samuel disambut senyuman tipis Bianca.Samuel meninggalkan Bianca dan melangkah ke arah Rara dan Nathan. "Ra, ayo pulang," ajaknya."Sekarang, Kak?" tanya Rara."Iya, sekarang." Samuel menatap ke arah Nathan yang tampak tak terlalu suka dengan kehadiran Samuel."Ya udah, deh. Padahal lagi asyik ngobrol sama Kak Nathan," ucap Rara sambil bibirnya manyun. Nathan hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis."Aku capek," sahut Samuel seraya meminta Rara memberikan tangannya untuk digandeng. Rara menurut saja. Tampaknya Samuel sedang bad mood. Pasti karena bertemu dengan Bianca. Perempuan itu juga masih berada di tempatnya, tersenyum seraya melambai ke arah Samuel dan Rara saat melintasinya."Kenapa mukamu gitu, Kak? Ngomo
Rara tidak tahu sebelumnya kalau ada acara after party setelah konser selesai. Semua crew Stonedhell berada di bar rooftop sebuah hotel berbintang. Rara pun terpaksa ikut ke tempat itu meskipun yang dia minum hanya lemon juice.Dia lihat Samuel masih berbicara dengan manager Stonedhell, Agustian, sedang Nathan dan yang lainnya duduk menikmati minuman mereka di meja bar.Rara memilih kursi di sudut ruangan sambil memperhatikan sekeliling. Tempat itu sepertinya sudah dibooking untuk Stonedhell dan crew."Minum apaan tuh, Ra?" tanya Lily yang kini duduk di samping Rara. Sementara Ana duduk di kursi seberang."Lemon juice," sahut Rara sambil meringis."Lemon juice doang? Nggak ada campuran apa-apa, gitu?" Ana mengerutkan kening."Enggak. Emang harus dicampur apa?" tanya Rara bingung."Vodka kek, apa kek."Rara menggeleng keras. "Nggak ah, nanti kepalaku pusing."Ana dan Lily seketika meloloskan tawa mendengar ucapan Rara yang polos. "Pantesan Kak Sam gemes banget sama kamu, ya ... kamunya
Konser besar Stonedhell akan diadakan dua hari lagi. Rara merasa sedikit berdebar-debar mengingat konser itu akan menjadi pertama kalinya dia tampil di depan ribuan atau bahkan jutaan orang meskipun dirinya hanya pemain additional.Lagu-lagu hits Stonedhell sudah berhasil dia kuasai. Namun, bisa saja nanti di atas panggung dia akan terserang demam panggung sehingga otaknya tiba-tiba blank. Bisa-bisa dia dipecat oleh Samuel.Seharian ini dia berlatih tanpa henti kecuali saat makan siang. Itu pun karena Bu Via yang memaksanya. Sementara Samuel tidak kelihatan batang hidungnya di rumah. Mungkin dia di studio atau di tempat yang tidak diketahui Rara.Menjelang malam, Rara memutuskan untuk keluar dari studio pribadi Samuel dan menemui Bu Via di dapur."Bu, mau masak makan malam?" tanya Rara. Wanita paruh baya itu sedang sibuk mencuci sayuran."Iya, Mbak. Mas Samuel tadi telepon, katanya mau makan di rumah.""Ohh, Bu Via mau masak apa?" Rara melongok dari balik punggung wanita itu."Mas Sam
Di studio Stonehell, Rara sibuk memasang peralatan keyboardnya. Di sampingnya ada Ana dan Lily; para pemain biola, juga sibuk dengan biola mereka. Samuel belum kelihatan batang hidungnya. Tadi Rara berangkat sendiri karena Samuel sudah pergi dari rumah sejak pagi."Sini aku bantuin." Suara Nathan terdengar di samping Rara. Pemuda itu meraih kabel yang sedang dipegang oleh Rara yang tampak kesulitan memasukannya ke dalam lubang output."Makasih, Kak," ucapnya setelah Nathan selesai."Coba suaranya, Ra," pinta Nathan.Rara segera mengetes suara keyboardnya. "Aman, Kak."Nathan tersenyum. Manis sekali di mata Rara. Keduanya saling tatap untuk beberapa saat hingga terputus saat pintu studio dibuka seseorang. Samuel muncul dan langsung menatap ke arah Rara dan Nathan."Sorry, telat," ucap Samuel seraya melirik Rara sekilas, kemudian berjalan menuju gitarnya di stand.Entah kenapa Rara merasa Samuel hari itu terlihat muram. Rara menduga pasti ada hubungannya dengan Bianca. Samuel pergi seja
"Ngapain sih ngeliatin aku kaya gitu, Kak?" tanya Rara sambil mengerutkan kening. Aneh sekali Samuel memandanginya seperti itu sambil senyum-senyum sendiri."Penampilan kamu hari ini beda," sahut Samuel. Tadi pagi saat dia bangun, Rara sudah berangkat ke sekolah jadi dia tidak sempat melihat penampilan Rara.Rara mendesis seraya membuka pintu mobil dan menghambur keluar. Suara gelak tawa Samuel terdengar di belakangnya."Tapi rok kamu ketinggian nggak, sih?" ujar Samuel yang kini sudah berada di sampingnya. Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah."Masa?" Rara memeriksa rok sepannya yang setinggi lutut. "Nggak, ah. Standar ini.""Yaa, untuk ukuran guru SD, agak terlalu seksi, sih. Tapi bagus kok, aku suka." Setelah mengatakan itu, Samuel berjalan mendahului Rara menuju ke taman belakang rumah.Dada Rara tiba-tiba berdebar mendengar ucapan Samuel. Apa maksudnya dia bilang suka. Ah, mungkin bukan apa-apa. Rara mengibaskan tangan menganggap ucapan Samuel hanya angin lalu.Saat itu Rara me
"Sam, ada yang nyari." Riana; pengurus studio sekaligus yang mengurus akomodasi Stonedhell saat tour atau manggung, melongok dari balik pintu ruang studio musik di mana Samuel dan yang lainnya sedang berkutat dengan alat-alat musik mereka."Siapa?" tanya Samuel seraya menghentikan petikan gitarnya. "Liat aja sendiri, deh." Samuel mendecak sebal. Kalau ternyata yang mencarinya fans atau wartawan, dia bersumpah akan memotong gaji Riana. Namun, saat dia masuk ke ruang tamu, dia tertegun. Sosok ramping yang dibalut pakaian elegan itu berdiri di sisi meja kabinet membelakanginya. Dia sedang menatap poster personel Stonedhell yang terpajang di dinding. "Bi?" panggil Samuel dengan tenggorokan tercekat. Bianca memutar badan dan tersenyum. "Hai, Sam ... apa kabar?" sapanya. "Baik. Kamu ... ada perlu apa ke sini?" tanya Samuel. Matanya masih menatap sosok Bianca yang masih cantik seperti biasanya. Meskipun sepasang mata indah itu tampak sedikit sembab, atau kurang tidur mungkin. Samuel mak
Lagu Frederic Chopin Nocturne In D Sharp Minor mengalun di studio pribadi milik Samuel. Yang memainkannya tentu saja Rara yang hari itu sedang bosan. Main piano adalah jalan satu-satunya untuk membuat moodnya kembali membara.Rara baru berhenti menekan tuts tuts hitam putih saat pintu studio diketuk seseorang."Mbak Rara, ada yang nyari." Bu Via melongok dari balik pintu."Siapa, Bu?" tanya Rara."Orangnya masih di pos satpam. Dia bilang dia ayahnya Mbak Rara. Namanya ... mmm ... Pak Arkan.""Hah!" Rara terkejut bukan main. "Orangnya kaya apa, Bu?" tanyanya penasaran."Saya nggak tahu, Mbak. Mau ngecek aja ke pos satpam apa gimana? Soalnya masih ditahan sama Pak Guntur. Takutnya orang iseng atau malah berniat nggak baik."Rara mengangguk-angguk. Dia penasaran juga apa memang ayahnya yang datang mencari dirinya. Arkan memang nama ayahnya. Tapi, kenapa tiba-tiba dia mencari Rara. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya sekarang."Itu, Mbak ... kayaknya orangnya masih di pos satpam," tunjuk
Rara iseng melamar pekerjaan melalui internet, menjadi guru musik di sebuah sekolah dasar international. Dia merasa banyak waktu luang sekarang karena jadwal latihan dengan Stonedhell hanya sabtu dan minggu.Tanpa diduga, keesokan harinya dia mendapatkan email kalau dirinya diterima di sekolah itu dan diharapkan kehadirannya sesegera mungkin untuk wawancara. Hari ini dipilih Rara untuk datang ke calon tempat kerjanya. Pagi-pagi dirinya sudah sibuk mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk dipakai wawancara.Saat akan berganti baju, dia memeriksa Samuel di atas kasur yang sepertinya masih terlelap. Sudah pasti Samuel bangunnya siang."Mau ke mana?""Aaargh!" teriak Rara terkejut bukan main. Dia belum sempat memakai kemeja dan hanya mengenakan rok serta atasnya masih dalam balutan bra. "Kak Sam kok udah bangun?!" ujarnya gusar sambil menutupi bagian dadanya dengan kemeja."Apa, sih, Ra. Heboh banget. Udah lihat juga aku tadi kamu pake celana dalam sama bra doang."Rara menutup mulutnya
Seperti biasa, Rara menaruh guling di tengah-tengah kasur sebagai pembatas antara dirinya dan Samuel tidur. Saat dia merebahkan badan, tak sengaja tatapan matanya berhenti pada wajah Samuel yang berjarak beberapa centi darinya. Pemuda itu sudah memejamkan mata. Rara memperhatikan sejenak wajah tampan yang terlihat begitu damai itu. Gadis itu berpikir sejenak mengenai nasib Samuel yang tidak beruntung dalam hal asamara. Sebenarnya perempuan bernama Bianca itu bodoh atau apa. Apa kurangnya Samuel. Tampan, gitaris hebat dan kaya. Ya, meskipun dia menyebalkan. Jika dirinya menjadi Bianca ...."Ngapain liat-liat?" "Hah?!" Rara tersentak. Samuel tiba-tiba membuka mata. Jadi dia cuma pura-pura tidur. Aduh, dirinya tertangkap basah memperhatikan Samuel. "Naksir?" "Dih, enggak ya, Kak. Aku cuma lagi kasihan aja sama kamu!" sungut Rara sambil beringsut memunggungi Samuel. "Kasihan kenapa?" desak Samuel. "Ya kasihan aja nggak bisa move on," sahut Rara asal. Samuel tergelak. "Lebih kasihan