“Kamu akan menjadi pemimpin Indo Corp yang hebat karena kamu melakukannya dengan sepenuh hati ….” Mutiara tersenyum setelah berkata demikian.
Sorot matanya yang sayu menunjukkan betapa besar rasa sakit yang sedang ia derita kini.Genggaman tangannya di tangan Kenzo melemah dan sekarang Mutiara yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit itu mulai memejamkan mata.“Tiara,” gumam Kenzo memanggil nama kekasihnya.Pria itu bersedia duduk selama beberapa jam di sisi ranjang Mutiara setiap malam, menemaninya di rumah sakit.Hanya sebentar terlelap kemudian esok harinya kembali ke kantor melakukan perannya sebagai CEO yang ambisius.Satu tangan Kenzo mengusap kepala Mutiara dan satu tangannya yang lain selalu menggenggam erat tangan rapuh yang tidak tertancap selang infus.“Aku lelah, Ken …,” ujar Mutiara yang“Jadi, Mommy sudah maafin Jill, kan?” Jillian menaik turunkan kedua alisnya berkali-kali menunjukkan wajah jenaka membuat Laura melepaskan kekehan singkat. “Iya, Mommy maafin kamu tapi baru setengah ….” Laura bersandar punggung seraya melipat tangan di dada, gerakannya begitu kalem dan elegan. Jillian jadi penasaran bagaimana rupa daddynya Kenzo, pria yang bisa meluluhkan hati wanita cantik nan anggun seperti Laura. “Kok setengah-setengah maafinnya?” Jillian tampak tidak terima karena ia merasa telah berjuang sepenuh jiwa dan raga untuk membuat Kenzo menginap di sini. Dan karena hal tersebut—ia dan Kenzo jadi harus bercinta tanpa pengaman. “Iya, soalnya nginepnya cuma sehari.” Dengan enteng Laura menjawab demikian. Jillian melorotkan bahu. “Disyukuri
Kenzo segera memutar badan, tidak sanggup menatap momen haru itu lebih lama lagi. Bukan karena hatinya berhasil diluluhkan Laura oleh satu set perhiasan untuk Jillian tapi karena Kenzo teringat Mutiara. Mutiara juga menyukai perhiasan mutiara, kekasihnya yang telah lebih dulu menghadap sang pencipta—memiliki banyak koleksi perhiasan mutiara—seperti namanya. Andaikan Mutiara masih hidup, mungkin dia yang sedang dipeluk Mommy sekarang ini. “Om Kenzo,” panggil Jillian membuat Kenzo refleks membalikan badan dan mengubah ekspresi wajahnya. “Bagus enggak?” Jillian sengaja bertanya setelah pelukannya dengan sang ibu mertua terurai. Kenzo hanya memberikan anggukan kepala tanpa suara. “Bilang makasih sama Mommy,” titah Jillian. Kenzo melirik ke arah Laura, untuk mempersingkat waktu akhir
“Mir … tolong temenin Jillian beli gaun untuk promnight.” Kenzo memberi perintah sambil menandatangani beberapa berkas di meja kerja sementara Amira berdiri di depannya. “Kamu mau menempatkan aku di posisi dulu lagi?” Kenzo mengangkat wajah bersama kerutan halus di antara alis. “Maksud kamu apa?” Kening Kenzo ikut mengerut dalam. Ia merasa semenjak kepulangannya dari Bali—Amira sering kali menyindirnya tidak jelas. “Dulu waktu kamu sama Tiara juga kaya gini nyuruh-nyuruh aku temenin dia dan setelahnya kamu minta aku temenin kamu tidur,” sindir Amira seraya membungkuk meraih berkas yang telah Kenzo tanda tangani. Rahang Kenzo mengeras, terpancing emosi oleh Amira yang menyinggung masa lalunya. Tidak ada bantahan dari Kenzo karena memang itu yang terjadi dulu ketika masa awal ke
“Om enggak usah anter, beneran … Jill sama driver aja ya, pleaseeee ….” Jillian menyatukan telapak tangan di depan dada sambil menunjukkan ekspresi memohon. Ia tidak bisa membiarkan Kenzo mengantarnya ke pesta promnight, khawatir ketiga sahabatnya curiga jika Kenzo menampakkan diri di pesta tersebut. Jillian sedang malas menjelaskan. “Hari sabtu dan minggu semua driver libur, nanti aku tunggu di mobil aja kalau kamu enggak mau teman-teman kamu melihat aku.” Kenzo tersenyum, bertolak belakang dengan kalimatnya barusan yang terdengar getir. “Bukan gitu ….” Jillian menggigit bibir bagian bawah, menatap Kenzo dari cermin di depannya. Wajah cantik itu tampak menyesal. Kenzo mendekat lalu berhenti di belakang Jillian. “Aku tunggu di mobil sampai acara selesai, ayo … nanti kamu terlamba
Jillian mencari tempat duduk untuk mengistirahatkan kakinya yang pegal. Jalan keluar pelataran parkir pasti macet karena acara telah selesai dan serempak semua siswa hendak meninggalkan hotel ini. Jillian mencari ponselnya dari dalam clutch dan mulai mengetik pesan untuk Kenzo. Jillian : Om, Jill sudah selesai. Nanti Jill tunggu depan loby tapi santai aja lah ya, pasti macet juga kan? Beberapa saat Jillian menunggu tapi tidak ada jawaban dari Kenzo. Jillian memasukan kembali ponselnya ke dalam clutch kemudian beranjak dari kursi. Tiba-tiba saja Jillian ingin buang air kecil, tadi memang ia banyak minum dan hanya sedikit menikmati hidangan yang disajikan di sana. Jillian harus menjaga berat badannya agar tetap proporsional. Langkah Jillian terhenti ketika beberapa meter lagi tib
Jillian tidak mengerti, seolah semesta bersekongkol menjauhkan orang-orang yang ia percaya hanya untuk menjadikan Kenzo satu-satunya yang ia miliki di dunia ini. Semenjak kepergian daddy, Rangga pun dipaksa pergi oleh situasi lalu sekarang Bima yang menjauh karena kesalah pahaman. Jillian dan Bima memang sudah tidak sedekat dulu tapi Jillian yakin Bima akan membantunya jika ia sedang dalam kesulitan. Namun, kejadian tadi malam telah membuat Bima membencinya. Ia tidak habis pikir kenapa sahabat masa kecilnya itu tidak mempercayai ucapannya, semestinya Bima percaya bahwa Jillian tidak akan berulah bila tidak diprovokasi terlebih dahulu. Sekarang Jillian tidak memiliki siapa-siapa lagi, hanya tersisa Kenzo dan hanya Kenzo yang menawarkan perlindungan juga kasih sayang dan cinta seperti yang dilakukan daddy semasa hidup. Jadi, harus
“Inget ya Om, kalau ada yang tanya … Jill adalah keponakannya Om.” Jillian mengingatkan Kenzo kembali dan hanya gumaman yang keluar dari mulut Kenzo. Bukan karena sedang mengemudi tapi ia kecewa, Kenzo juga bisa merajuk. Meski begitu, Kenzo tetap menggandeng Jillian saat memasuki venue yang berada di sebuah Resto and Lounge. Dekorasi vintage dengan warna putih dan gold menjadi tema pesta ulang tahun sosialita muda itu. Banyak sekali tamu undangan dari kalangan kaum jetset dan artis Ibu Kota yang hadir dalam pesta tersebut. Kenzo langsung mencari si pemilik acara begitu mereka tiba di venue setelah mengisi buku tamu dan menitipkan kado yang ia bawa untuk Risa. “Kenzo.” Dari jauh seorang wanita
“Baby ….” Suara parau Kenzo memanggil Jillian. Cukup lama mereka terjebak macet dan Jillian tidak bersuara semenjak mendapati Kenzo sedang bicara cukup dekat dengan Risa. Kenzo mengaku salah, ia terlalu tidak enak hati menolak Risa karena telah membantunya untuk mendekati Pak Hartono. Apalagi sebuah janji temu telah ia dapatkan dan sepertinya jalan Kenzo akan mulus untuk menjadikan pengusaha sukses di Surabaya itu sebagai kliennya dalam bisnis. Tidak ada sahutan dari Jillian, istrinya sedang merajuk. Tangan Kenzo terulur menyentuh paha Jillian, tidak ada penolakan—hanya matanya saja yang melirik sebentar ke paha yang disentuh Kenzo. Lama tangan itu di atas paha Jillian sesekali meremat lembut hampir tidak disadari Jillian. Jillian mencoba menghela tangan Kenzo tapi pria itu malah mencengkram erat p
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli