“Inget ya Om, kalau ada yang tanya … Jill adalah keponakannya Om.”
Jillian mengingatkan Kenzo kembali dan hanya gumaman yang keluar dari mulut Kenzo.Bukan karena sedang mengemudi tapi ia kecewa, Kenzo juga bisa merajuk.Meski begitu, Kenzo tetap menggandeng Jillian saat memasuki venue yang berada di sebuah Resto and Lounge.Dekorasi vintage dengan warna putih dan gold menjadi tema pesta ulang tahun sosialita muda itu.Banyak sekali tamu undangan dari kalangan kaum jetset dan artis Ibu Kota yang hadir dalam pesta tersebut.Kenzo langsung mencari si pemilik acara begitu mereka tiba di venue setelah mengisi buku tamu dan menitipkan kado yang ia bawa untuk Risa.“Kenzo.” Dari jauh seorang wanita“Baby ….” Suara parau Kenzo memanggil Jillian. Cukup lama mereka terjebak macet dan Jillian tidak bersuara semenjak mendapati Kenzo sedang bicara cukup dekat dengan Risa. Kenzo mengaku salah, ia terlalu tidak enak hati menolak Risa karena telah membantunya untuk mendekati Pak Hartono. Apalagi sebuah janji temu telah ia dapatkan dan sepertinya jalan Kenzo akan mulus untuk menjadikan pengusaha sukses di Surabaya itu sebagai kliennya dalam bisnis. Tidak ada sahutan dari Jillian, istrinya sedang merajuk. Tangan Kenzo terulur menyentuh paha Jillian, tidak ada penolakan—hanya matanya saja yang melirik sebentar ke paha yang disentuh Kenzo. Lama tangan itu di atas paha Jillian sesekali meremat lembut hampir tidak disadari Jillian. Jillian mencoba menghela tangan Kenzo tapi pria itu malah mencengkram erat p
Keresek yang Kenzo bawa dari minimarket kini telah berganti fungsi menjadi tempat sampah berisi kaleng minuman ringan yang telah kosong, bekas kondom dan gulungan tissue kering dan basah yang kotor bekas membersihkan sisa-sisa cairan cinta Kenzo. Kenzo memasukan keresek putih dengan logo frinchase minimarket itu ke dalam tong sampah yang tersedia di mobil sebelum kemudian memacu kendaraannya pulang ke Penthouse. Hening tercipta sepanjang perjalanan, Jillian tidak bersuara. Ia sedang merutuki perbuatannya barusan yang dengan sengaja bertingkah seperti pelacur. Bergerak liar mengikuti hasrat yang membuncah di atas pangkuan Kenzo di dalam mobil ini dan sebelum itu ia memanjakan Kenzo dengan mulutnya seperti yang sering ia lakukan kepada Rangga. Apakah ini bisa dibilang berselingkuh? Tapi Kenzo adalah suaminya dan justru mereka diwajibkan untuk sering
+013317767424 : Sayang, ini aku. +013317767424 : Simpan nomor aku. Jillian : Apakabar Rangga? Jillian langsung tahu kalau yang mengirim pesan itu adalah Rangga. Tidak ada ekspresi bahagia ketika Jillian membalas pesan dari nomor tidak dikenal asal Luar Negri itu. Rangga : Formal banget, kamu berubah. Jillian mengembuskan napas jengah. “Mau ngajak ribut kayanya ini cowok.” Suasana hati Jillian sedang tidak baik semenjak beberapa malam lalu ia dan Kenzo membahas tentang wanita di masa lalu Kenzo. Kenzo tidak mampu menjawab pertanyaannya tentang melupakan masa lalu untuk sama-sama menatap masa depan. Padahal niat awal Jillian hanya mengetes Kenzo tapi ia sendiri yang kecewa mengetahui kasih sayang Kenzo padanya sebatas tindakan tidak sampai ke hati.
“Kapan kamu pergi?” Kenzo bertanya mengalihkan perhatiannya dari paha Jillian. “Hari Sabtu pagi.” Sesungguhnya berat tapi pria sejati harus menepati janji. “Berapa lama?” Kenzo bertanya lagi. “Dua minggu sampai tiga minggu.” “Hanya kalian berdua?” “Sama Izora dan Kirana juga, berempat.” “Tapi nanti ketemu Rangga di Paris,” lanjut Jillian dalam hati. “Enggak pakai tour guide?” “Kita hapal daerah sana, sering ke sana.” “Lalu … siapa yang jagain kalian?” Kenzo menghadapkan tubuh, melipat satu kaki sehingga berhadapan sempurna dengan Jillian setelah sebelumnya melepas sepatu. “Enggak usah dijagain, kita bukan bayi.” “Aku khawatir.” Raut wajah Kenzo i
Helaan napas gusar terdengar sering dari kabin belakang, Dion tidak berani melirik ke belakang karena khawatir mengganggu privasi bosnya. Namun selang beberapa lama, helaan napas gusar itu berubah menjadi decakan kesal. Jalanan yang macet memperparah atmosfir yang sudah terasa panas di dalam mobil. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Dion memberanikan diri bertanya dan ia mendapati Kenzo sedang mematuti layar ponselnya dengan kerutan tebal di kening. “Istri saya, Yon … dia lagi Euro Trip tapi udah dua hari enggak ada kabar, dia enggak kasih tahu saya udah sampai atau belum … menginap di mana, apa aja yang dia lakukan di sana … saya khawatir dia kenapa-kenapa.” Dion tercengang karena Kenzo yang baginya misterius itu sekarang bersedia mencurahkan isi hati. “Tapi ponselnya aktif, Pak?” Dion bertanya untuk me
Negara berikutnya yang mereka kunjungi adalah Belanda dengan kota tujuan Amsterdam. Kalverstraat menjadi tempat pertama yang mereka jelajahi, tempat belanja tertua dari abad ke-12 sekaligus terpopuler di Belanda itu terdiri dari toko tradisional hingga modern yang masih mempertahankan bangunan tua, sehingga berjalan di lorong Karverstraat menjadi sebuah pengalaman yang sangat mengasyikkan dan tentunya tidak lupa mereka mengambil banyak foto di sana. Meski tak seromantis Venesia, secantik Paris atau se-metropolis New York, tetapi Amsterdam memiliki atmosfer yang menggugah semangat untuk terus menjelajahinya. Usai membeli beberapa barang di Kalverstaat, Jillian dan ketiga sahabatnya menyewa sepeda untuk menikmati kota tua nan cantik ini. “Ke mana lagi ini kita sekarang?” Kirana bertanya dengan napas tersengal setelah mengembalikan sepeda kepada petugas penitipan.
Bagi Jillian, Euro Trip ini sudah sampai pada titik tidak menarik lagi saat mereka berpindah Negara ke Italy. Terhitung beberapa hari lamanya Kenzo tidak menghubungi dan Jillian akui bila merindukan pria itu. Jillian menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mampu menahan ego, semestinya ia membalas pesan Kenzo dan berhenti merajuk. Bukannya ia ingin melanjutkan rencananya dan itu berarti hubungannya harus baik dengan Kenzo. Tapi tanpa Jillian sadari, ia menginginkan cinta Kenzo yang utuh hanya untuk dirinya. “Jill!! Ke sini!” tegur Callista karena Jillian mengambil arah berbeda ketika mereka sedang menyusuri bangunan Colloseum yang dipandu oleh tour guide. Jillian terlalu banyak melamun sehingga tidak fokus. Jillian juga mulai malas untuk berfoto, mati gaya karena pikirannya melanglang buana ke Jakarta d
Jillian menangkup mug berisi coklat panas dengan kedua tangannya, kepalanya tertunduk menatap cairan coklat pekat dengan rasa manis itu. Sementara Kenzo duduk di depan Jillian, menatap tanpa jeda sambil bersandar punggung dan kedua tangan terlipat di depan dada. Setelah mengungkapkan cintanya tadi tanpa balasan secara langsung yang tercetus dari bibir Jillian—hanya balasan ciuman dari Jillian yang Kenzo dapatkan—lalu Kenzo membawa Jillian ke salah satu Caffe yang tidak jauh dari Menara Eiffel, bahkan mereka masih bisa menikmati indahnya bangunan kokoh itu bertabur cahaya dengan sangat jelas. “Kenapa Om bisa ada di sini?” Sebuah pertanyaan akhirnya terdengar meski Jillian masih segan menatap Kenzo. Pria itu menegakan tubuh, satu tangannya terulur meraih tangan Jillian dan mengubahnya menjadi genggaman lembut. “Aku stalk Ig kamu.”