Keresek yang Kenzo bawa dari minimarket kini telah berganti fungsi menjadi tempat sampah berisi kaleng minuman ringan yang telah kosong, bekas kondom dan gulungan tissue kering dan basah yang kotor bekas membersihkan sisa-sisa cairan cinta Kenzo.
Kenzo memasukan keresek putih dengan logo frinchase minimarket itu ke dalam tong sampah yang tersedia di mobil sebelum kemudian memacu kendaraannya pulang ke Penthouse.Hening tercipta sepanjang perjalanan, Jillian tidak bersuara.Ia sedang merutuki perbuatannya barusan yang dengan sengaja bertingkah seperti pelacur.Bergerak liar mengikuti hasrat yang membuncah di atas pangkuan Kenzo di dalam mobil ini dan sebelum itu ia memanjakan Kenzo dengan mulutnya seperti yang sering ia lakukan kepada Rangga.Apakah ini bisa dibilang berselingkuh?Tapi Kenzo adalah suaminya dan justru mereka diwajibkan untuk sering+013317767424 : Sayang, ini aku. +013317767424 : Simpan nomor aku. Jillian : Apakabar Rangga? Jillian langsung tahu kalau yang mengirim pesan itu adalah Rangga. Tidak ada ekspresi bahagia ketika Jillian membalas pesan dari nomor tidak dikenal asal Luar Negri itu. Rangga : Formal banget, kamu berubah. Jillian mengembuskan napas jengah. “Mau ngajak ribut kayanya ini cowok.” Suasana hati Jillian sedang tidak baik semenjak beberapa malam lalu ia dan Kenzo membahas tentang wanita di masa lalu Kenzo. Kenzo tidak mampu menjawab pertanyaannya tentang melupakan masa lalu untuk sama-sama menatap masa depan. Padahal niat awal Jillian hanya mengetes Kenzo tapi ia sendiri yang kecewa mengetahui kasih sayang Kenzo padanya sebatas tindakan tidak sampai ke hati.
“Kapan kamu pergi?” Kenzo bertanya mengalihkan perhatiannya dari paha Jillian. “Hari Sabtu pagi.” Sesungguhnya berat tapi pria sejati harus menepati janji. “Berapa lama?” Kenzo bertanya lagi. “Dua minggu sampai tiga minggu.” “Hanya kalian berdua?” “Sama Izora dan Kirana juga, berempat.” “Tapi nanti ketemu Rangga di Paris,” lanjut Jillian dalam hati. “Enggak pakai tour guide?” “Kita hapal daerah sana, sering ke sana.” “Lalu … siapa yang jagain kalian?” Kenzo menghadapkan tubuh, melipat satu kaki sehingga berhadapan sempurna dengan Jillian setelah sebelumnya melepas sepatu. “Enggak usah dijagain, kita bukan bayi.” “Aku khawatir.” Raut wajah Kenzo i
Helaan napas gusar terdengar sering dari kabin belakang, Dion tidak berani melirik ke belakang karena khawatir mengganggu privasi bosnya. Namun selang beberapa lama, helaan napas gusar itu berubah menjadi decakan kesal. Jalanan yang macet memperparah atmosfir yang sudah terasa panas di dalam mobil. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Dion memberanikan diri bertanya dan ia mendapati Kenzo sedang mematuti layar ponselnya dengan kerutan tebal di kening. “Istri saya, Yon … dia lagi Euro Trip tapi udah dua hari enggak ada kabar, dia enggak kasih tahu saya udah sampai atau belum … menginap di mana, apa aja yang dia lakukan di sana … saya khawatir dia kenapa-kenapa.” Dion tercengang karena Kenzo yang baginya misterius itu sekarang bersedia mencurahkan isi hati. “Tapi ponselnya aktif, Pak?” Dion bertanya untuk me
Negara berikutnya yang mereka kunjungi adalah Belanda dengan kota tujuan Amsterdam. Kalverstraat menjadi tempat pertama yang mereka jelajahi, tempat belanja tertua dari abad ke-12 sekaligus terpopuler di Belanda itu terdiri dari toko tradisional hingga modern yang masih mempertahankan bangunan tua, sehingga berjalan di lorong Karverstraat menjadi sebuah pengalaman yang sangat mengasyikkan dan tentunya tidak lupa mereka mengambil banyak foto di sana. Meski tak seromantis Venesia, secantik Paris atau se-metropolis New York, tetapi Amsterdam memiliki atmosfer yang menggugah semangat untuk terus menjelajahinya. Usai membeli beberapa barang di Kalverstaat, Jillian dan ketiga sahabatnya menyewa sepeda untuk menikmati kota tua nan cantik ini. “Ke mana lagi ini kita sekarang?” Kirana bertanya dengan napas tersengal setelah mengembalikan sepeda kepada petugas penitipan.
Bagi Jillian, Euro Trip ini sudah sampai pada titik tidak menarik lagi saat mereka berpindah Negara ke Italy. Terhitung beberapa hari lamanya Kenzo tidak menghubungi dan Jillian akui bila merindukan pria itu. Jillian menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mampu menahan ego, semestinya ia membalas pesan Kenzo dan berhenti merajuk. Bukannya ia ingin melanjutkan rencananya dan itu berarti hubungannya harus baik dengan Kenzo. Tapi tanpa Jillian sadari, ia menginginkan cinta Kenzo yang utuh hanya untuk dirinya. “Jill!! Ke sini!” tegur Callista karena Jillian mengambil arah berbeda ketika mereka sedang menyusuri bangunan Colloseum yang dipandu oleh tour guide. Jillian terlalu banyak melamun sehingga tidak fokus. Jillian juga mulai malas untuk berfoto, mati gaya karena pikirannya melanglang buana ke Jakarta d
Jillian menangkup mug berisi coklat panas dengan kedua tangannya, kepalanya tertunduk menatap cairan coklat pekat dengan rasa manis itu. Sementara Kenzo duduk di depan Jillian, menatap tanpa jeda sambil bersandar punggung dan kedua tangan terlipat di depan dada. Setelah mengungkapkan cintanya tadi tanpa balasan secara langsung yang tercetus dari bibir Jillian—hanya balasan ciuman dari Jillian yang Kenzo dapatkan—lalu Kenzo membawa Jillian ke salah satu Caffe yang tidak jauh dari Menara Eiffel, bahkan mereka masih bisa menikmati indahnya bangunan kokoh itu bertabur cahaya dengan sangat jelas. “Kenapa Om bisa ada di sini?” Sebuah pertanyaan akhirnya terdengar meski Jillian masih segan menatap Kenzo. Pria itu menegakan tubuh, satu tangannya terulur meraih tangan Jillian dan mengubahnya menjadi genggaman lembut. “Aku stalk Ig kamu.”
“Kok gitu sih, Jill? Masa lo ninggalin kita?” Kirana memberengut, tidak terima karena Jillian harus pergi lebih dulu. Baru saja Jillian menyampaikan bahwa Kenzo datang menjemput untuk membawanya ke New York. Jillian terpaksa harus berkata jujur karena ia tidak memiliki alasan lagi selain itu. “Sorry ya, Kirana … lo tau ‘kan gue dipantau terus sama tiga wali gue.” Tapi dengan sedikit berdusta tidak memberitau jika Kenzo adalah suaminya. “Sampai kapan sih lo di Baby sitter-in gini?” Callista berjongkok, ikut membantu Jillian membereskan pakaian ke dalam koper. “Gue enggak tahu.” Jillian menunjukkan tampang sedih yang dibuat-buat. “Lo berdua aja sama si om ganteng itu di sana?” celetuk Izora bertanya. Gadis yang sedang duduk di tepi jendela sambil mematuti layar ponsel itu sebenarnya ti
Di sini, Jillian tidak perlu menyembunyikan hubungannya dengan Kenzo. Tidak ada yang mengenal mereka, jadi ketika Kenzo mengaitkan tangannya di pinggang Jillian saat memasuki loby hotel—Jillian tidak merasa keberatan bahkan merasa senang layaknya gadis yang sedang kasmaran juga bangga dicintai pria seperti Kenzo. Kenzo membawa Jillian duduk di salah satu sofa sementara Dion melakukan check in di Resepsionis. “Berapa hari kita di sini?” Jillian bertanya. Tidak ada panggilan Om lagi di akhir kalimat membuat Kenzo mengulum senyum. “Kamu mau berapa hari? Mau melanjutkan liburan kamu?” Kenzo menawarkan. “Jill sebenarnya belum belanja lho waktu di Paris.” Jillian menggerutu. “Kenapa? Aku udah kasih kartu kredit.” “Karena galau mikirin kamu.” Yang hanya bisa Jillian katakan di dalam hati.