Hai, makasih ya yang udah baca sampai bab ini. Tunggu updatenya besok ya :)
Seperti yang Kael katakan waktu itu, suaminya kini benar-benar menjadi manusia super sibuk.Selama ini, Zara sudah terbiasa dengan kesibukan suaminya. Namun kali ini, situasinya berbeda. Sebelumnya, Kael masih sempat pulang, meskipun larut. Sekarang, pria itu bahkan kadang hanya pulang pagi untuk berganti pakaian, lalu pergi lagi tanpa sempat sarapan.Zara menatap layar ponselnya, membaca pesan singkat dari Kael.[Aku nggak bisa pulang malam ini. Jangan nungguin aku ya? Kamu tidur duluan aja.]Wanita itu menghela napas. Ini sudah keberapa kalinya dalam seminggu? Dia tahu Kael sibuk, tapi ⊠apakah harus sepadat ini?"Sebetulnya tugas Presiden Direktur kayak apa sih? Sampai super sibuk banget," gerutu Zara pelan.Tentu saja Kael sangat sibuk, dengan jadwal rapat bertubi-tubi, pertemuan dengan klien besar, dan mengawasi langsung berbagai proyek Ashwara Group. Belum lagi dia harus menghadapi orang-orang yang berusaha menjatuhkannya.Saat itulah sebuah ide terlintas di kepala Zara. Mungkin
Zara menuangkan teh hangat ke dalam cangkir Maharani sebelum akhirnya duduk kembali di kursinya. Sarapan pagi ini terasa berbeda karena ada ibu mertuanya di meja makan.Biasanya, saat Kael sedang sibuk seperti sekarang, dia hanya makan sendiri, tapi pagi ini Maharani menginap dan bersamanya sejak semalam.âZara, gimana? Kamu udah kontrol belum? Jangan sampai karena Kael sibuk, kamu jadi nggak sempat ke dokter,â tanya Maharani, suaranya lembut tapi penuh perhatian.Zara sempat terdiam. Sejujurnya, bulan ini dia belum sempat kontrol karena Kael terlalu sibuk. Dia tahu suaminya akan marah kalau tahu Zara pergi sendiri, apalagi dokter kandungannya adalah Gala. Kael masih belum sepenuhnya suka kalau Zara berinteraksi dengan mantan kekasihnya itu.âSudah, Bu,â jawab Zara akhirnya, memilih untuk menutupi kenyataan. Dia tidak mau Maharani khawatir, karena kalau sampai ibu mertuanya tahu, bisa-bisa detik itu juga dia diseret ke rumah sakit untuk kontrol.Maharani menghela napas lega. âSyukurlah
Perlahan, Zara berjalan ke pintu utama, jari-jarinya sedikit ragu saat hendak membuka kunci. Begitu pintu terbuka, matanya langsung membesar.âRanu?âPria di hadapannya tersenyum lebar. âPagi, Zara.ââMaaf, Kael baru aja pergi. Kamu mau ketemu Kael, âkan?âRanu menggeleng. âOh, nggak apa-apa. Aku cuma mampir sebentar. Lagian, aku belum pernah main ke sini setelah kalian menikah.âZara sedikit bingung. Haruskah dia menerima Ranu masuk? Di rumah hanya ada dia dan asisten rumah tangga. Namun, kalau menolak, dia takut dianggap tidak sopan terhadap keluarga suaminya. Akhirnya, dia menyingkirkan keraguannya dan mempersilakan Ranu masuk.Mereka duduk di ruang tamu, sementara asisten rumah tangga datang membawakan teh untuk Ranu.âMau aku panggilkan Kael?â tanya Zara akhirnya, berusaha menjaga sopan santun.âNggak usah, aku tahu dia sibuk sekarang. Aku cuma ingin mampir sebentar.âZara mengangguk, tapi tetap merasa sedikit canggung. âOh ⊠Kalau gitu, ada yang bisa aku bantu?âRanu tersenyum t
âMas, apa ini ada hubungannya sama pembagian warisan itu? Kamu jadi takut Ranu macem-macem?â tanya Zara begitu mereka masuk ke ruang kerja Kael.Kael tidak langsung menjawab. Tangannya sibuk membolak-balik beberapa berkas di meja, tetapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana.âBisa dibilang gitu,â kata Kael akhirnya, suaranya terdengar datar, tetapi ada ketegangan tipis di baliknya.Zara menyandarkan tubuhnya ke meja, menatap Kael yang tampak sibuk mencari sesuatu. âTapi kenapa harus takut? Itu âkan urusan kamu. Aku nggak ada hubungannya.âKael menghentikan gerakannya sejenak, lalu menatap Zara.âItu masalahnya,â gumam Kael, suaranya sedikit lebih rendah dari sebelumnya.Zara mengerutkan kening. âMaksudnya?âKael menghela napas pelan, lalu meletakkan berkas yang tadi dipegangnya. âZara, kamu pikir kenapa Ranu datang ke sini? Itu bukan kunjungan biasa. Dia bukan tipe orang yang iseng mampir cuma buat ngobrol.âZara menggigit bibirnya. Dari awal dia memang merasa ada sesuatu yang aneh
âCepet banget, Din. Lo yakin?â akhirnya suara Zara keluar setelah beberapa saat diam. Bukan karena dia marah, tetapi karena dia benar-benar tidak menyangka.Andin mengangguk. âGue yakin. Gue sama Varen udah ngomongin ini. Kita sama-sama udah siap.ââGila.â Zara bersandar di kursinya, masih berusaha memproses semua ini.âJangan bilang lo nggak setuju.âZara mendesah pelan. âBukan nggak setuju, gue cuma ⊠kaget. Lo nggak bilang apa-apa, tiba-tiba pacaran, eh, sekarang mau nikah?âAndin tersenyum kecil. âMakanya gue bilang sekarang. Biar lo nggak kaget lagi nanti.âZara mengusap wajahnya, mencoba memproses apa yang sedang terjadi. âLo tau nggak, kalau lo bukan sahabat gue, gue udah siram lo pake kuah tomyum sekarang.âAndin tertawa. âUntung gue sahabat lo, ya? Jadi aman.âZara mendengus. âTapi gue masih nggak percaya.âAndin tersenyum lembut. âMakanya lo harus dateng biar percaya.âZara menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas. âYa iyalah gue pasti dateng. Tapi gue tetap mau lihat
Zara menoleh dan mendapati Kael berdiri di dekat lift, dia menatap Zara dengan sedikit heran. Alis pria itu mengernyit tipis.âKenapa kamu di sini?â tanya Kael, lalu berjalan mendekat ke istrinya yang masih berdiri di depan meja resepsionis.âAku habis ketemu Andin, terus mau mampir sebentar. Aku udah telepon kamu, tapi nggak kamu angkat,â kata Zara.Kael merogoh saku jasnya, lalu menghela napas pelan. âPonselku ketinggalan di ruangan.âKael baru selesai rapat di lantai bawah. Saat hendak kembali ke ruangannya, matanya langsung tertuju pada sosok familiar di depan meja resepsionis. Awalnya, dia mengira hanya salah lihat, tetapi dugaannya terbukti benar, Zara ada di sana.âKenapa nggak langsung ke atas aja, Sayang?â tanya Kael.Mendengar panggilan itu, Rosa yang tadi sempat menahan Zara langsung menunduk. Wajahnya mendadak pucat, menyadari kesalahannya. Ternyata, wanita yang berdiri di hadapannya memang istri dari atasannya.âKatanya aku nggak bisa masuk, soalnya aku nggak buat janji re
âMas nggak ada rencana kasih tahu aku?â tanya Zara begitu Nisa keluar.Kael berhenti mengunyah, menatapnya sekilas. âAku lupa.âZara mendengus pelan. âLupa? Lupa juga kalau kamu udah nikah, jadi nggak perlu ngabarin istri sendiri?â tanyanya, suaranya terdengar datar, tapi jelas ada ketidakpuasan di sana.Kael menghela napas, meletakkan sendoknya ke piring sebelum menatap istrinya. âBukan gitu.âZara menyandarkan tubuh ke sofa, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. âTerus gimana? Aku baru tahu dari orang lain kalau suamiku mau ke luar negeri. Kamu anggap aku ini apa?âKael diam sejenak, lalu berkata tenang, âIni cuma perjalanan bisnis biasa, Zara.ââTapi tetap aja,â balas Zara cepat. âAku istrimu, Mas. Apa susahnya bilang dari awal?âKael menatapnya, seolah sedang menimbang sesuatu, sebelum akhirnya berkata, âMaaf, aku nggak sempat kasih tahu.âZara mencibir. âNggak sempat atau emang nggak niat kasih tahu?âKael terdiam, tapi tatapannya tetap terkunci pada Zara. Dia tahu istrin
"Maaf Zara, karena kandungan kamu belum kuat, aku belum bisa kasih izin kamu buat naik pesawat," suara Gala terdengar di seberang telepon.Zara menggigit bibirnya, berusaha menekan perasaan kecewa yang mendadak menyeruak. Dia sudah menduga ini, tapi tetap sajaâmendengarnya langsung dari Gala membuatnya semakin frustasi. Harapannya untuk ikut Kael perlahan memudar.âJadi ⊠nggak ada cara lain?â tanya Zara pelan.âUntuk sekarang, sebaiknya nggak dulu,â jawab Gala dengan nada tegas namun tetap lembut. âAku tahu kamu pasti pengen ikut Kael, tapi kondisi kamu belum stabil. Tekanan di pesawat bisa berisiko buat janin.âZara menunduk, mengusap perutnya tanpa sadar. Di dalam sana, ada kehidupan yang dilindungi, tapi di saat yang sama, dia tetap merasa kecewa.âZara?âSuara di telepon membuatnya kembali fokus. âIya, Kak. Aku ngerti.âGala menghela napas pelan dari seberang. âAku tahu ini berat buat kamu, tapi janin kamu lebih penting.âZara tersenyum kecil, meski tak sampai ke matanya. âIya, Ka
Pernikahan Andin dan Varen diadakan di sebuah ballroom hotel, yang juga menjadi tempat Zara menginap malam ini. Ballroom itu didekorasi dengan nuansa pastel yang lembut dan romantis, selaras dengan gaun pengantin yang dikenakan Andinâwarna pink pastel dengan aksen bunga-bunga kecil di bagian lengan. Sementara Varen tampak gagah dalam setelan jas berwarna putih.Sahabatnya itu sangat cantik hari ini, memancarkan aura kebahagiaan yang hangat. Saat melihat Zara datang, Andin segera melambaikan tangan, wajahnya sumringah seolah sudah tak sabar menunggu. Di sampingnya, Varen juga tersenyum ke arah Zara, ramah seperti biasanya.Jujur saja, terasa aneh melihat mereka berdiri berdampingan seperti ini. Ada sedikit ruang kosong di dada Zara saat mengingat bahwa dulu, Varen adalah pria yang pernah menyukainya.âZara, gue kira lo nggak akan datang,â ucap Andin begitu Zara sudah berada di dekat mereka.Memang, awalnya Zara ragu untuk datang. Anjana sempat memintanya membatalkan kehadiran dengan al
âZara, nanti kamu selama di sana ditemani bodyguard saja ya?â ucap Anjana sembari menuangkan teh ke dalam cangkir di hadapannya.Pagi itu, aroma roti panggang dan scrambled egg menguar dari dapur. Namun, meja makan keluarga Wijaya tidak sehangat biasanya. Ada kecanggungan yang menggantung di udara, sejak pembicaraan soal kepergian Zara ke luar kota.Hari ini, Zara akan menghadiri pesta pernikahan Andin dan Varenâdua sahabatnya yang telah lama menantikan hari bahagia itu. Namun, karena pestanya diadakan di luar kota, Gala menyarankan Zara untuk tidak terlalu memaksakan diri. Dia harus menginap semalam agar tubuhnya tak kelelahan, terutama pasca keguguran.Namun, permintaan Anjana terasa berlebihan. Ditemani bodyguard hanya untuk menghadiri pesta?Zara mendongak dari piringnya. Telur setengah matang di garpunya sudah dingin.âMa, tapi saya cuma nginep satu malam aja. Nggak perlu sampai pakai bodyguard segala,â tolak Zara, berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya terasa sesak. Ini buka
âChef, tastenya sudah pas?â Suara salah satu sous chef membuyarkan lamunan Kael.Pria itu mengangguk pelan. âSudah,â jawabnya singkat.Kini Kael berdiri di dapur The Velvet Spoonâtempat yang sudah cukup lama tidak dia kunjungi. Setelah urusan di Ashwara Group sedikit lebih stabil sejak pengangkatannya sebagai presiden direktur, Kael akhirnya memutuskan kembali ke restorannya. Bukan untuk inspeksi atau evaluasi besar-besaran, tapi sekadar menenggelamkan diri dalam kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya.Sudah seminggu sejak Zara pergi dari rumah. Dan sejak itu, Kael belum bisa sepenuhnya tenang.Kael hanya butuh mengalihkan pikirannya. Mencari pelarian. Mencegah dirinya terlalu larut memikirkan satu hal yang akhir-akhir ini selalu membuat dadanya sesak, yaitu perpisahannya dengan Zara.Tangan pria itu tetap bergerak, mengarahkan tim, mencicipi, memberi instruksi. Namun, pikirannya tidak benar-benar ada di sana.Sesekali, matanya tertuju pada kaca yang menghadap ke area servis. Dari
âApa kamu bilang?! Dokter Gala ⊠ayah dari Zelena?!â bentak Anjana, begitu Ceva akhirnya jujur tentang siapa ayah kandung anaknya. Matanya membelalak, suaranya tajam dan bergetar menahan marah.âIya, Ma âŠâ Ceva menunduk, suaranya lirih. âGala ayahnya.âTubuh Ceva gemetar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun, tetap saja, saat berhadapan langsung dengan amarah ibunya, semuanya terasa jauh lebih berat dari yang dia bayangkan.Wajar jika Anjana semarah ini. Selama bertahun-tahun, Ceva menyimpan kebenaran itu sendiri. Bagi orang lain, ini mungkin hanya kisah cinta yang kandas. Namun, bagi Anjana yang menjaga nama keluarga seperti menjaga napasnya sendiri, ini adalah aib yang tak termaafkan.Anjana menatap putrinya dengan sorot tajam. âKenapa kamu tidak bilang dari dulu?! Kamu anggap Mama ini apa?!âCeva tak sanggup menjawab. Dia hanya diam, berharap ibunya berhenti bicara, walau tahu itu mustahil.Dulu, Ceva sempat magang di rumah sakit tempat Gala bekerja. Di sanalah semuanya dimulai. Hubunga
Gadis kecil yang selalu tersenyum hangat padanya ... adalah anak Gala?Mantan kekasihnya?Ini gila.Seketika, perut Zara terasa mual. Entah karena syok, kaget, atau karena tubuhnya yang sedang hamil memang tak kuat menampung kenyataan sebanyak ini di pagi hari. Dia mundur selangkah, berniat meninggalkan tempat itu diam-diam.Prang!Sebuah suara nyaring pecah di udara. Vas bunga di atas meja kecil dekat tirai jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai.Zara mematung. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.âGawat. Aku ketahuan,â batin Zara panik.Dari taman, Gala langsung menoleh cepat. Begitu pula Ceva. Wajah keduanya berubahâkaget, panik, dan bingung dalam waktu bersamaan.âZara?â Suara Gala terdengar pelan, nyaris tak percaya.Zara hanya berdiri kaku, masih terperangkap antara ingin berlari atau berpura-pura tidak mendengar apa pun. Namun, semuanya sudah terlambat. Tatapan mereka bertemu. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan.Ceva bangkit dari bangku, langkahny
Zara tersenyum kecil saat membaca pesan dari Andin.Ah, benar juga. Andin akan menikah minggu depan. Karena semua kekacauan yang terjadi belakangan ini, Zara sampai lupa akan undangan pernikahan sahabatnya itu.Andin dan Varen.Sebuah pasangan yang tak pernah dia bayangkan akan bersama. Andin adalah sahabatnya, teman baiknya sejak awal kuliah.Sedangkan Varen ... pria yang pernah menyatakan cinta padanya. Pria yang sempat membuat hatinya goyah, tapi tidak cukup kuat untuk menggantikan Kael.Dan sekarang? Varen akan menikahi sahabatnya sendiri.Sungguh kebetulan yang aneh. Namun, hidup memang tidak pernah kehabisan kejutan, âkan?Zara menghela napas, lalu mengetik balasan.[Gue udah sehat kok. Gue pasti usahain dateng ke nikahan lo.]Jari-jarinya berhenti di atas layar. Pandangannya terpaku pada pesan itu. Resepsi Andin akan digelar di luar kota, dan itu artinya dia harus menginap. Mengingat kondisi kehamilannya sekarang, dan sikap Anjana yang makin protektif, kecil kemungkinan ibunya a
âKael gimana, Ra? Kalian udah ketemu?â tanya Gala pelan setelah selesai memeriksa kondisi Zara.Mereka kini berada di kamar lantai dua. Ruang yang selama seminggu terakhir menjadi tempat Zara mengasingkan diri dari dunia luar. Gala tahu betul, luka di tubuh Zara mungkin sudah mulai pulih, tapi tidak dengan luka di hatinya.Pria itu juga tahu, apa yang terjadi antara Zara dan Kael bukan hal sepele. Gala bahkan sempat bertemu Kael di depan rumah sakit saat Zara diperbolehkan pulang. Tatapan pria itu kosong, wajahnya lelah seperti tak tidur berhari-hari. Aneh rasanya, karena Kael seharusnya pulang bersama Zara hari itu, tapi nyatanya hanya wanita itu yang dibawa pulang oleh Anjana.Zara menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab.âBelum, Kak,â ucap Zara pelan. âSempat datang ke sini ... tapi diusir sama bodyguard Mama.âZara menunduk, suaranya serak. Tidak ada amarah dalam kata-katanya, hanya kelelahan yang tertahan terlalu lama.Ya, seketat itu Anjana menjagan
âZara, ayo sarapannya dimakan,â suara Anjana dari meja makan membuyarkan lamunan Zara.Perempuan itu tersentak pelan, lalu mengangguk dan memaksakan senyum. Dia mengambil sendok, meski tak benar-benar lapar.Sejujurnya, Zara tidak merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tatapan tajam kakeknya, Harun yang selalu mengawasinya seolah dia adalah orang luar, dan nada bicara Atma yang dingin setiap kali mereka berpapasanâsemuanya membuat udara di rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.Namun, dia tetap memilih tinggal di sini. Rumah itu memang bukan tempat yang ramah, tapi jauh di dalam hati, dia masih trauma dengan apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Ingatan tentang paket ancaman itu masih membekas.Setiap suara langkah di malam hari, setiap bayangan yang melintas di dinding, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan. Setidaknya, di sini dia merasa lebih aman ⊠walau tak benar-benar merasa diterima.âKalau kamu nggak suka menu hari ini, bisa minta Mbok Darmi buat yang lain,â ucap Anjan
Kael mematung. Untuk sesaat, seluruh dunia terasa hening. Bahkan detak mesin infus terdengar seperti gema di lorong kosong.âMaksud kamu âŠ?â tanya Kael pelan. Suaranya serak, seperti tertahan di tenggorokan.Zara menatapnya lurus, dan kali ini tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dalam. âMama bilang, kamu udah gagal jagain aku. Jadi dia minta aku buat pisah.âKael menunduk, perlahan berdiri. Tangan di sisi tubuhnya mengepal, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak di dalam dadanya.âKamu setuju?â tanya pria itu pelan. Suaranya rendah. Bukan marah, tapi penuh luka yang tak dia tunjukkan pada siapa pun selama ini.Zara tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali pada jendela, tak kuasa menatap pria itu lebih lama. Suaminya. Lelaki yang membuat segalanya menjadi rumit sekaligus bermakna.âZara,â suara Kael terdengar lebih dalam sekarang.âAku nggak mau, Mas ⊠Tapi kalau Mama maksa, aku harus gimana?â lirih Zara nyaris seperti bisikan.Kael terdiam. Di wajahnya, tidak ada amarahây