Ternyata Andin dan Varen udah mau nikah nih guys. Yuk hari ini kita up 2 bab yaa :)
“Cepet banget, Din. Lo yakin?” akhirnya suara Zara keluar setelah beberapa saat diam. Bukan karena dia marah, tetapi karena dia benar-benar tidak menyangka.Andin mengangguk. “Gue yakin. Gue sama Varen udah ngomongin ini. Kita sama-sama udah siap.”“Gila.” Zara bersandar di kursinya, masih berusaha memproses semua ini.“Jangan bilang lo nggak setuju.”Zara mendesah pelan. “Bukan nggak setuju, gue cuma … kaget. Lo nggak bilang apa-apa, tiba-tiba pacaran, eh, sekarang mau nikah?”Andin tersenyum kecil. “Makanya gue bilang sekarang. Biar lo nggak kaget lagi nanti.”Zara mengusap wajahnya, mencoba memproses apa yang sedang terjadi. “Lo tau nggak, kalau lo bukan sahabat gue, gue udah siram lo pake kuah tomyum sekarang.”Andin tertawa. “Untung gue sahabat lo, ya? Jadi aman.”Zara mendengus. “Tapi gue masih nggak percaya.”Andin tersenyum lembut. “Makanya lo harus dateng biar percaya.”Zara menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas. “Ya iyalah gue pasti dateng. Tapi gue tetap mau lihat
Zara menoleh dan mendapati Kael berdiri di dekat lift, dia menatap Zara dengan sedikit heran. Alis pria itu mengernyit tipis.“Kenapa kamu di sini?” tanya Kael, lalu berjalan mendekat ke istrinya yang masih berdiri di depan meja resepsionis.“Aku habis ketemu Andin, terus mau mampir sebentar. Aku udah telepon kamu, tapi nggak kamu angkat,” kata Zara.Kael merogoh saku jasnya, lalu menghela napas pelan. “Ponselku ketinggalan di ruangan.”Kael baru selesai rapat di lantai bawah. Saat hendak kembali ke ruangannya, matanya langsung tertuju pada sosok familiar di depan meja resepsionis. Awalnya, dia mengira hanya salah lihat, tetapi dugaannya terbukti benar, Zara ada di sana.“Kenapa nggak langsung ke atas aja, Sayang?” tanya Kael.Mendengar panggilan itu, Rosa yang tadi sempat menahan Zara langsung menunduk. Wajahnya mendadak pucat, menyadari kesalahannya. Ternyata, wanita yang berdiri di hadapannya memang istri dari atasannya.“Katanya aku nggak bisa masuk, soalnya aku nggak buat janji re
“Mas nggak ada rencana kasih tahu aku?” tanya Zara begitu Nisa keluar.Kael berhenti mengunyah, menatapnya sekilas. “Aku lupa.”Zara mendengus pelan. “Lupa? Lupa juga kalau kamu udah nikah, jadi nggak perlu ngabarin istri sendiri?” tanyanya, suaranya terdengar datar, tapi jelas ada ketidakpuasan di sana.Kael menghela napas, meletakkan sendoknya ke piring sebelum menatap istrinya. “Bukan gitu.”Zara menyandarkan tubuh ke sofa, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Terus gimana? Aku baru tahu dari orang lain kalau suamiku mau ke luar negeri. Kamu anggap aku ini apa?”Kael diam sejenak, lalu berkata tenang, “Ini cuma perjalanan bisnis biasa, Zara.”“Tapi tetap aja,” balas Zara cepat. “Aku istrimu, Mas. Apa susahnya bilang dari awal?”Kael menatapnya, seolah sedang menimbang sesuatu, sebelum akhirnya berkata, “Maaf, aku nggak sempat kasih tahu.”Zara mencibir. “Nggak sempat atau emang nggak niat kasih tahu?”Kael terdiam, tapi tatapannya tetap terkunci pada Zara. Dia tahu istrin
"Maaf Zara, karena kandungan kamu belum kuat, aku belum bisa kasih izin kamu buat naik pesawat," suara Gala terdengar di seberang telepon.Zara menggigit bibirnya, berusaha menekan perasaan kecewa yang mendadak menyeruak. Dia sudah menduga ini, tapi tetap saja—mendengarnya langsung dari Gala membuatnya semakin frustasi. Harapannya untuk ikut Kael perlahan memudar.“Jadi … nggak ada cara lain?” tanya Zara pelan.“Untuk sekarang, sebaiknya nggak dulu,” jawab Gala dengan nada tegas namun tetap lembut. “Aku tahu kamu pasti pengen ikut Kael, tapi kondisi kamu belum stabil. Tekanan di pesawat bisa berisiko buat janin.”Zara menunduk, mengusap perutnya tanpa sadar. Di dalam sana, ada kehidupan yang dilindungi, tapi di saat yang sama, dia tetap merasa kecewa.“Zara?”Suara di telepon membuatnya kembali fokus. “Iya, Kak. Aku ngerti.”Gala menghela napas pelan dari seberang. “Aku tahu ini berat buat kamu, tapi janin kamu lebih penting.”Zara tersenyum kecil, meski tak sampai ke matanya. “Iya, Ka
Zara masih terpaku di tempatnya, napasnya tersengal. Dadanya naik-turun, sementara matanya tetap menatap boneka lusuh itu dengan ngeri."Bi Susi ..." suara Zara nyaris tidak terdengar.Asisten rumah tangga yang juga masih shock, menoleh cepat. "Iya, Nyonya?""Ambil plastik. Buang ini jauh-jauh," suara Zara bergetar, tapi ada nada tegas di dalamnya."Tapi, Nyonya—""Buang!" suara Zara meninggi, hampir terdengar putus asa. Dia tidak ingin barang itu ada di rumahnya sedetik lebih lama.Susi buru-buru mengambil plastik besar, memasukkan boneka itu ke dalamnya dengan tangan gemetar. Begitu plastik terikat rapat, Zara menghela napas panjang, berusaha mengendalikan gemuruh di dadanya."Tolong taruh di luar dulu," ucap Zara lirih.Susi mengangguk cepat dan bergegas keluar, meninggalkan Zara yang masih berdiri di tempatnya.Tangannya meraih ponsel sekali lagi, kali ini mencoba menghubungi Nisa, sekretaris suaminya. Namun, panggilannya masih tidak bisa tersambung.Tiba-tiba Zara merasa pusing. P
“Pak Kael, sepertinya Ibu Zara mencoba menghubungi saya tadi ketika kita di pesawat,” ucap Nisa sambil melirik ponselnya begitu mereka melangkah keluar dari Changi Airport.Kael menghentikan langkahnya sejenak, keningnya berkerut samar."Oke," jawab Kael singkat, nyaris terdengar seperti gumaman.Mungkin Zara hanya ingin menanyakan keberadaan suaminya. Namun, kenapa dia menghubungi Nisa, bukan langsung ke ponselnya?“Mana ponsel saya?” tanya Kael sambil menadahkan tangan ke arah sekretarisnya.Nisa buru-buru membuka tas kerja Kael yang dibawanya, mencari ponsel bosnya. Namun, ketika menemukannya, layar ponsel itu mati total.“Ini, Pak. Tapi sepertinya baterainya habis. Mau saya charge dulu setiba di kantor cabang?”Kael menatap ponselnya sejenak sebelum mengangguk. Saat itulah, Nisa menatap Kael lebih saksama dan ragu-ragu membuka suara.“Pak, sepertinya Anda kurang sehat. Mau saya bawakan obat atau vitamin?” tanya Nisa dengan sedikit khawatir.Kael menoleh sebentar, lalu menghela napa
Kael membuka mata perlahan, menyadari bahwa dia berada di tempat asing.Langit-langit putih. Suara mesin medis berdengung pelan. Sensasi dingin di punggung tangannya, jarum infus terpasang di sana.Kael mengerjapkan mata, mencoba mengusir kantuk yang masih menggantung. Pandangannya beralih ke sisi ranjang, di mana Nisa duduk dengan wajah cemas."Saya di mana?" suara Kael serak, lemah, dan nyaris tidak terdengar."Pak Kael?" Nisa segera mendekat begitu melihat bosnya terjaga. "Bapak di rumah sakit. Tadi Bapak pings—”Namun, sebelum Nisa bisa menyelesaikan kalimatnya, matanya melebar saat melihat Kael mencabut infus dari tangannya dengan paksa."Pak Kael! Jangan—"Darah langsung merembes dari luka kecil di tangan Kael, tapi pria itu tidak peduli. Dengan cepat, dia menyingkirkan selimut dan berusaha bangkit dari ranjang.Kepalanya masih berdenyut, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih mendesak dalam pikirannya.Zara. Gambar di berita itu kembali terputar di benaknya. Membuat rahangnya mengat
Zara duduk di ruang praktik Gala, yang kini sepi. Setelah berita tentang mereka berdua meledak di berbagai portal berita, Gala terpaksa berhenti menerima pasien sementara.Di tangannya, layar ponsel terus menampilkan artikel demi artikel, setiap judul lebih liar dari sebelumnya. Seperti bola api yang terus membesar, sulit dikendalikan.Zara menggigit bibirnya, jari-jarinya mencengkeram ponsel erat. Kepalanya terasa penuh."Kak ..." suara Zara lemah, nyaris bergetar. "Aku harus gimana?"Gala yang berdiri di dekat meja menghela napas panjang sebelum menarik kursi dan duduk di depannya. Hasil pemeriksaan Zara tadi memang tidak menunjukkan sesuatu yang serius, tapi stres berkepanjangan bukan hal yang bisa diabaikan."Pertama, jangan panik," kata Gala dengan tenang, meskipun matanya sendiri menunjukkan kecemasan yang tak kalah besar."Berita ini udah terlanjur menyebar." Zara meremas ponselnya lebih erat. "Aku nggak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Tapi aku juga nggak tahu harus mulai d
Pernikahan Andin dan Varen diadakan di sebuah ballroom hotel, yang juga menjadi tempat Zara menginap malam ini. Ballroom itu didekorasi dengan nuansa pastel yang lembut dan romantis, selaras dengan gaun pengantin yang dikenakan Andin—warna pink pastel dengan aksen bunga-bunga kecil di bagian lengan. Sementara Varen tampak gagah dalam setelan jas berwarna putih.Sahabatnya itu sangat cantik hari ini, memancarkan aura kebahagiaan yang hangat. Saat melihat Zara datang, Andin segera melambaikan tangan, wajahnya sumringah seolah sudah tak sabar menunggu. Di sampingnya, Varen juga tersenyum ke arah Zara, ramah seperti biasanya.Jujur saja, terasa aneh melihat mereka berdiri berdampingan seperti ini. Ada sedikit ruang kosong di dada Zara saat mengingat bahwa dulu, Varen adalah pria yang pernah menyukainya.“Zara, gue kira lo nggak akan datang,” ucap Andin begitu Zara sudah berada di dekat mereka.Memang, awalnya Zara ragu untuk datang. Anjana sempat memintanya membatalkan kehadiran dengan al
“Zara, nanti kamu selama di sana ditemani bodyguard saja ya?” ucap Anjana sembari menuangkan teh ke dalam cangkir di hadapannya.Pagi itu, aroma roti panggang dan scrambled egg menguar dari dapur. Namun, meja makan keluarga Wijaya tidak sehangat biasanya. Ada kecanggungan yang menggantung di udara, sejak pembicaraan soal kepergian Zara ke luar kota.Hari ini, Zara akan menghadiri pesta pernikahan Andin dan Varen—dua sahabatnya yang telah lama menantikan hari bahagia itu. Namun, karena pestanya diadakan di luar kota, Gala menyarankan Zara untuk tidak terlalu memaksakan diri. Dia harus menginap semalam agar tubuhnya tak kelelahan, terutama pasca keguguran.Namun, permintaan Anjana terasa berlebihan. Ditemani bodyguard hanya untuk menghadiri pesta?Zara mendongak dari piringnya. Telur setengah matang di garpunya sudah dingin.“Ma, tapi saya cuma nginep satu malam aja. Nggak perlu sampai pakai bodyguard segala,” tolak Zara, berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya terasa sesak. Ini buka
“Chef, tastenya sudah pas?” Suara salah satu sous chef membuyarkan lamunan Kael.Pria itu mengangguk pelan. “Sudah,” jawabnya singkat.Kini Kael berdiri di dapur The Velvet Spoon—tempat yang sudah cukup lama tidak dia kunjungi. Setelah urusan di Ashwara Group sedikit lebih stabil sejak pengangkatannya sebagai presiden direktur, Kael akhirnya memutuskan kembali ke restorannya. Bukan untuk inspeksi atau evaluasi besar-besaran, tapi sekadar menenggelamkan diri dalam kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya.Sudah seminggu sejak Zara pergi dari rumah. Dan sejak itu, Kael belum bisa sepenuhnya tenang.Kael hanya butuh mengalihkan pikirannya. Mencari pelarian. Mencegah dirinya terlalu larut memikirkan satu hal yang akhir-akhir ini selalu membuat dadanya sesak, yaitu perpisahannya dengan Zara.Tangan pria itu tetap bergerak, mengarahkan tim, mencicipi, memberi instruksi. Namun, pikirannya tidak benar-benar ada di sana.Sesekali, matanya tertuju pada kaca yang menghadap ke area servis. Dari
“Apa kamu bilang?! Dokter Gala … ayah dari Zelena?!” bentak Anjana, begitu Ceva akhirnya jujur tentang siapa ayah kandung anaknya. Matanya membelalak, suaranya tajam dan bergetar menahan marah.“Iya, Ma …” Ceva menunduk, suaranya lirih. “Gala ayahnya.”Tubuh Ceva gemetar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun, tetap saja, saat berhadapan langsung dengan amarah ibunya, semuanya terasa jauh lebih berat dari yang dia bayangkan.Wajar jika Anjana semarah ini. Selama bertahun-tahun, Ceva menyimpan kebenaran itu sendiri. Bagi orang lain, ini mungkin hanya kisah cinta yang kandas. Namun, bagi Anjana yang menjaga nama keluarga seperti menjaga napasnya sendiri, ini adalah aib yang tak termaafkan.Anjana menatap putrinya dengan sorot tajam. “Kenapa kamu tidak bilang dari dulu?! Kamu anggap Mama ini apa?!”Ceva tak sanggup menjawab. Dia hanya diam, berharap ibunya berhenti bicara, walau tahu itu mustahil.Dulu, Ceva sempat magang di rumah sakit tempat Gala bekerja. Di sanalah semuanya dimulai. Hubunga
Gadis kecil yang selalu tersenyum hangat padanya ... adalah anak Gala?Mantan kekasihnya?Ini gila.Seketika, perut Zara terasa mual. Entah karena syok, kaget, atau karena tubuhnya yang sedang hamil memang tak kuat menampung kenyataan sebanyak ini di pagi hari. Dia mundur selangkah, berniat meninggalkan tempat itu diam-diam.Prang!Sebuah suara nyaring pecah di udara. Vas bunga di atas meja kecil dekat tirai jatuh dan hancur berkeping-keping di lantai.Zara mematung. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.‘Gawat. Aku ketahuan,’ batin Zara panik.Dari taman, Gala langsung menoleh cepat. Begitu pula Ceva. Wajah keduanya berubah—kaget, panik, dan bingung dalam waktu bersamaan.“Zara?” Suara Gala terdengar pelan, nyaris tak percaya.Zara hanya berdiri kaku, masih terperangkap antara ingin berlari atau berpura-pura tidak mendengar apa pun. Namun, semuanya sudah terlambat. Tatapan mereka bertemu. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan.Ceva bangkit dari bangku, langkahny
Zara tersenyum kecil saat membaca pesan dari Andin.Ah, benar juga. Andin akan menikah minggu depan. Karena semua kekacauan yang terjadi belakangan ini, Zara sampai lupa akan undangan pernikahan sahabatnya itu.Andin dan Varen.Sebuah pasangan yang tak pernah dia bayangkan akan bersama. Andin adalah sahabatnya, teman baiknya sejak awal kuliah.Sedangkan Varen ... pria yang pernah menyatakan cinta padanya. Pria yang sempat membuat hatinya goyah, tapi tidak cukup kuat untuk menggantikan Kael.Dan sekarang? Varen akan menikahi sahabatnya sendiri.Sungguh kebetulan yang aneh. Namun, hidup memang tidak pernah kehabisan kejutan, ‘kan?Zara menghela napas, lalu mengetik balasan.[Gue udah sehat kok. Gue pasti usahain dateng ke nikahan lo.]Jari-jarinya berhenti di atas layar. Pandangannya terpaku pada pesan itu. Resepsi Andin akan digelar di luar kota, dan itu artinya dia harus menginap. Mengingat kondisi kehamilannya sekarang, dan sikap Anjana yang makin protektif, kecil kemungkinan ibunya a
“Kael gimana, Ra? Kalian udah ketemu?” tanya Gala pelan setelah selesai memeriksa kondisi Zara.Mereka kini berada di kamar lantai dua. Ruang yang selama seminggu terakhir menjadi tempat Zara mengasingkan diri dari dunia luar. Gala tahu betul, luka di tubuh Zara mungkin sudah mulai pulih, tapi tidak dengan luka di hatinya.Pria itu juga tahu, apa yang terjadi antara Zara dan Kael bukan hal sepele. Gala bahkan sempat bertemu Kael di depan rumah sakit saat Zara diperbolehkan pulang. Tatapan pria itu kosong, wajahnya lelah seperti tak tidur berhari-hari. Aneh rasanya, karena Kael seharusnya pulang bersama Zara hari itu, tapi nyatanya hanya wanita itu yang dibawa pulang oleh Anjana.Zara menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab.“Belum, Kak,” ucap Zara pelan. “Sempat datang ke sini ... tapi diusir sama bodyguard Mama.”Zara menunduk, suaranya serak. Tidak ada amarah dalam kata-katanya, hanya kelelahan yang tertahan terlalu lama.Ya, seketat itu Anjana menjagan
“Zara, ayo sarapannya dimakan,” suara Anjana dari meja makan membuyarkan lamunan Zara.Perempuan itu tersentak pelan, lalu mengangguk dan memaksakan senyum. Dia mengambil sendok, meski tak benar-benar lapar.Sejujurnya, Zara tidak merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tatapan tajam kakeknya, Harun yang selalu mengawasinya seolah dia adalah orang luar, dan nada bicara Atma yang dingin setiap kali mereka berpapasan—semuanya membuat udara di rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.Namun, dia tetap memilih tinggal di sini. Rumah itu memang bukan tempat yang ramah, tapi jauh di dalam hati, dia masih trauma dengan apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Ingatan tentang paket ancaman itu masih membekas.Setiap suara langkah di malam hari, setiap bayangan yang melintas di dinding, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan. Setidaknya, di sini dia merasa lebih aman … walau tak benar-benar merasa diterima.“Kalau kamu nggak suka menu hari ini, bisa minta Mbok Darmi buat yang lain,” ucap Anjan
Kael mematung. Untuk sesaat, seluruh dunia terasa hening. Bahkan detak mesin infus terdengar seperti gema di lorong kosong.“Maksud kamu …?” tanya Kael pelan. Suaranya serak, seperti tertahan di tenggorokan.Zara menatapnya lurus, dan kali ini tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dalam. “Mama bilang, kamu udah gagal jagain aku. Jadi dia minta aku buat pisah.”Kael menunduk, perlahan berdiri. Tangan di sisi tubuhnya mengepal, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak di dalam dadanya.“Kamu setuju?” tanya pria itu pelan. Suaranya rendah. Bukan marah, tapi penuh luka yang tak dia tunjukkan pada siapa pun selama ini.Zara tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali pada jendela, tak kuasa menatap pria itu lebih lama. Suaminya. Lelaki yang membuat segalanya menjadi rumit sekaligus bermakna.“Zara,” suara Kael terdengar lebih dalam sekarang.“Aku nggak mau, Mas … Tapi kalau Mama maksa, aku harus gimana?” lirih Zara nyaris seperti bisikan.Kael terdiam. Di wajahnya, tidak ada amarah—y