Perkara Wisnu saja membuat Abas cemburu. Anisa tidak suka dengan hal itu, ia mencoba memahaminya dengan pelan. Namun, Abas malah membuatnya jengkal. Benar dugaannya, Pak Hartawan datang bersama sang istri. Begitu juga dengan Wisnu yang juga datang bersama dengan Nina, istri barunya. Wisnu dengan sengaja mengajak Nina walau sebenarnya Bu Atik tidak mau mengajak menantunya yang kampungan itu. Sesuai pikirannya, Anisa datang bersama dengan Abas dan bertemu dengannya yang mengajak sang istri. Anisa pun sudah biasa dengan tatapan mantan ibu mertuanya. Namun, kali ini pandangannya beralih pada istri baru Wisnu.Bukan cemburu, hanya saja ia sedikit tersenyum karena mengingat cara mereka menikah dan cara mendapatkan Wisnu lewat memisahkan Sinta dengannya. Sungguh karma untuk Sinta, tapi sepetinya Anisa tak melihat penyesalan di diri Wisnu malah dengan bangga mengajaknya. “Aduh pengantin baru, sudah hamil belum?” tanya Bu Atik menyindir.“Ibu Atik tidak pernah hamil atau pura-pur
Wajar memang jika Pak Hartawan bangkit sangat cepat karena memang ini semua salah Wisnu bukan ayahnya. Mereka pun tak akan meninggalkan Pak Hartawan hanya karena ulah sang anak. Anis menarik napas panjang saat tak sengaja netranya berserobok dengan Wisnu.Anisa langsung membuang muka dan tak mau bertatapan dengan mantan suaminya itu. Sama halnya dengan Wisnu, ia merasa masih sangat cemburu saat Anisa bersama Abas. Tak ingin hal itu semakin menjadi, Wisnu kembali fokus untuk berbincang dengan beberapa kliennya. Bu Atik tak tenang dengan kehadiran Nina, entah kenapa sang anak malah membawa istrinya yang kampungan itu ke makam malam ini. Sudah ia katakan pada sang anak untuk tidak mengajak Nina, tapi malah mengajaknya dengan alasan ia tak mau kalah dari Anisa. Bu Atik tidak lama pulang bersama sang suami. Juga Wisnu yang mengikuti sang ayah. Ada telepon dari Windy, dia berada di rumah sakit. Mereka semua cemas dan langsung menuju rumah sakit. Anisa melihat mereka semua pergi. Ia m
Pagi-pagi sekali, Anisa sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk dirinya dan juga suami. Hari ini adalah hari pertama Abas masuk kantor setelah mereka berbulan madu. Abas sendiri masih berada di kamar, laki-laki itu sedang bersiap-siap. Tidak menunggu lama, Abas sudah keluar dan menghampiri Anisa yang sedang sibuk di meja makan. Abas tersenyum saat melihat sang istri tengah sibuk menatap sarapan di meja makan.“Selamat pagi,” sapa Abas yang langsung dijawab oleh Anisa. “Duduk, Mas. Kita sarapan,” ajak Anisa. Abas mengangguk, lalu keduanya duduk berhadapan dan memulai acara sarapan mereka. Setelah selesai, Abas segera pamit untuk pergi ke kantor karena hari ini Anisa belum bisa masuk.Hari pertama masuk ke kantor, tidak serta merta membuat Abas tenang. Bahkan sudah banyak pekerjaan yang menunggu dirinya di sana. Sesampainya di ruangan, Abas segera duduk di kursi kerjanya dan mengerjakan tugas-tugas. Di sela kegiatan mengerjakan tugasnya, Abas tiba-tiba terin
Sepertinya Abas sangat cemas masalah Kinar, apalagi mantan kekasihnya itu tak bisa di mutasi untuk saat ini karena sebuah pekerjaan yang sedang ia kerjakan. Bagaimana bisa nanti jika Anisa tahu semua akan berantakan. Maju mundur Abas berpikir untuk menceritakan pada Anisa. Apa harus menceritakan atau tidak. Namun, jika sang istri tahu dari orang lain, hal itu sangat berbahaya. Marahnya akan lama bahkan membuat dirinya tak tenang.Sebuah pesan dari Anisa membuat ia kembali tak tenang. [Aku bosan di kantor, mau ke sana kita makan siang, mau?]Abas semakin gelisah memikirkan bagaimana bisa memulai untuk bercerita. Pasti ada hati yang tak tenang setelah ini. Tangan Abas gesit mengetik balasan.[Iya, mau. Datang saja]Dengan mengucap basmalah, ia pun gegas sedikit merapikan dokumen. Lalu kembali memutar otak untuk memulai bercerita. “Jadi gini, eh begini. Aduh, kok grogi aku.”Abas menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal, ia duduk sembari menatap jam di tangannya.“Kenapa kok
Bukan tidak mau menjawab, hanya saja dirinya seperti memakan buah simalakama. Cerita marah, bohong juga sama saja. Judulnya wanita selalu benar, jika dia marah dan ia pun harus mengalah dari sang istri.Anisa menatap intens sang suami sembari menunggu jawaban, Anisa pun memainkan ponsel lalu Kembali menatap ke arah sang suami.“Jadi, kamu mau menjawab atau aku yang mengatakan jika memang benar wanita itu datang menemui kamu.”“Maaf, memang Kinar datang karena ada beberapa pekerjaan yang salah. Jadi, aku memanggilnya itu pun tidak lama. Nis, jangan berpikiran macam-macam.”“Iya, aku percaya.”Mulut bicara percaya, tapi di hatinya terasa perih. Apalagi mengingat wanita itu mantan kekasih sang suami. Anisa menarik napas panjang, kenapa harus ada wanita itu setelah ia menikah.Abas pun merasa serba salah. Akan tetapi, ia pun lega karena sudah bercerita pada istrinya tentang Kinar dan Anisa tidak tahu dari orang lain. “Aku butuh suport kamu. Tolong percaya sama aku, Sayang.”Abas
Amira pun menepuk pundak Anisa, ia berharap tak terjadi sesuatu dengan dengan pernikahan mereka. Apalagi jika Abas mendadak bodoh dan kembali dekat dengan Kinar. Hal itu tak bisa membuatnya tenang, bahkan sejak pertama kali dirinya tahu jika wanita itu ada di kantor sang anak.Anisa pun masuk kamar setelah pamit pada sang mertua. Ia mencoba tenang, apa pun yang terjadi harus ia lewati sekali pun itu sangat sulit. “Sayang, masih memikirkan yang tadi?” Abas memeluk Anisa dari belakang. Lalu, ia mulai menciumi leher jenjang sang istri. Abas membalikkan tubuh Anisa hingga berhadapan dengannya. “Jangan banyak pikiran.” Kecupan mesra mendarat di bibir Anisa. Anisa pun menyambut, keduanya saling berpagut mesra. Abas menuntun sang istri ke ranjang dan mulai membuat Anisa kembali candu dengan sentuhan tangannya. ***Sebuah pesan masuk dari Kinar masuk ke ponsel Abas. Gegas ia menghapus tanpa membukanya. Anis masih di kamar mandi, Abas tak mau menerima risiko jika terjadi kemarahan besar da
Telinga Anisa panas saat mendengar ungkapan Kinar. Iya mendorong pintu ruangan lalu menampar pipi mantan kekasih suaminya itu. Tatapannya begitu menghujam seperti ingin menerkam.Kinar tidak menyangka jika Anisa hadir di saat tidak tepat. Istri dari mantan kekasihnya itu menatap bengis seperti hendak menerkam. “Kamu harusnya berpikir, bekerja di mana dan mencari makan di perusahaan siapa. Dia ini suamiku, dasar wanita tak punya malu bisa-bisa mengatakan ingin menjadi istri kedua. Enggak punya harga diri?” Abas menenangkan sang istri, sedangkan Kinar merasa sangat malu saat tangan Anisa menggapai pipinya. Habis sudah kesabaran Anisa, ia pikir tak akan menemukan perusak dalam rumah tangganya. Namun, nyatanya di awal pernikahan malah ia harus menguras tenaga untuk mengurus manusia seperti Kinar.“Ajukan surat pengunduran diri, mau berprestasi atau tidak, tetap saja perusak!”Kinar terkesiap saat tiba-tiba Anisa memecatnya. Bukan hanya Kinar, Abas pun hanya menatap kosong perten
“Tidak perlu ada yang di laporkan. Pecat saja secara tidak hormat. Di kantor ini tidak butuh orang seperti dia.” Bu Rahayu bersikap tegas.Seharusnya memang langsung di tindak sepeti itu jika tak ingin ada masalah. Sayangnya, Abas seolah-oleh memperkeruh masalah. “Buatkan saja suratnya. Biar kabar burung itu kita bereskan pelan-pelan.” Abas kembali menimpali.”Setelah itu mereka kembali ke ruangan masing-masing. Anisa pun sama kembali ke ruangan lali diikuti oleh Abas. “Kamu tenang saja.”“Kamu bilang kau harus tenang, sementara dia semena-mena di luar. Licik sekali dia ternyata.”Anisa tak henti terus mengomel pada Abas. Kekesalannya kali ini sungguh membuat ia tak mengerti dengan jalan pikiran Abas yang memintanya tenang.Tarikan napas Anisa terasa berat. Kali ini ia pun mengambil minum untuk menenangkan diri. Hal yang dia takutkan sebelum menikah adalah hal ini. “Kalau belum selesai bisa kamu selesaikan dulu dengan dia.”“Aku sudah menyelesaikan semuanya. Hanya saja te
“Nar, sudah membuat susu untuk Bumi?” tanya abu Zani. “Iya, Bu. Tapi aku mau buat makanan dulu buat Abas, kalau dia pulang tidak ada maafkan kasihan,” ujar Kinar dengan senyum tipis.Bu Zani mengerutkan kening, apa yang terjadi dengan Kinar anaknya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu, apa yang terjadi pikirnya. Ia menghampiri sang anak lalu bertanya apa yang di maksud olehnya. “Nar, Abas mau datang?” tanya Bu Zani pelan. “Iya, Bu. Tadi kami video call, dia senang karena aku sudah melahirkan anaknya. Bumi itu anak aku dan Abas,” ujar Kinar. Bu Zani cemas, lalu memegang bahu sang anak. “Nar, sadar kamu. Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Bumi anak putri yang kamu adopsi, bukan anak kamu dan Abas.” Kinar menepis tangan sang ibu, tatapannya begitu tajam hingga membuat Bu Zani ngeri. Tidak mungkin sang anak mengalami gangguan jiwa, tapi memang dari gejala terlihat seperti itu. Ia langsung menarik Kinar untuk sadar dengan apa yang ada di pikirannya.Bu Zani menepuk-nepuk
Wisnu menatap kantor yang dirinya pimpinan kini gulung tikar. Awal kehancurannya adalah saat Kinar keluar tiba-tiba, semua membatalkan kerja sama hingga ia tak mendapatkan keuntungan. Dirinya telah mencari pengganti untuk posisi Kinar, tetapi justru membuat perusahaannya semakin hancur. "Pa, tolong suntikan dana."Pak Hartawan sudah tak mau lagi membantu perusahaan anaknya itu. Wisnu selalu gegabah dalam mengambil keputusan dana sebanyak apa pun akan habis. "Pa, lalu bagaimana dengan aku? Aku memiliki istri yang harus dinafkahi," ungkap Wisnu. Pak Hartawan, melepas kacamatanya. Ia memijat pangkal hidungnya itu. "Kamu bisa menjadi karyawan di perusahaan yang papa pimpin," ujar Pak Hartawan. Mata Wisnu membulat, ia menjadi bawahan di perusahaan papanya? Dirinya ingin menolak, tetapi tahu sifat seorang Hartawan bila telah mengambil keputusan tak ada satu orang pun yang dapat mengubahnya. Wisnu keluar dari ruangan papanya dengan wajah kecewa. Kariernya benar-benar hancur. Lelaki it
Bu Zani khawatir tentang masa depan Bumi. Pasti akan banyak biaya untuk kedepannya. Susu, pakaian serta lainnya. Entahlah sepertinya Kinar terlalu gegabah dengan mengambil keputusan tersebut. "Bumi, udah wangi, udah minum susu juga tidur, ya, Nak." Bu Zani bicara pelan.Akan tetapi, kehadiran Bumi pun membawa dampak positif bagi Kinar bila dia kini lebih mudah untuk tertawa."Nar, kamu taukan mengurus anak itu bukan hanya memberikan kasih sayang saja, tetapi pasti memiliki biaya, lalu kamu akan membiayainya dari mana?" tanya Bu Zani. Sudah satu minggu Bumi tinggal bersama mereka dan Kinar pun banyak menghabiskan waktu dengannya. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir memberi pertanda agar ibunya tidak bicara lagi. Kinar beranjak dari kasur. Ia segera keluar dan menemui ibunya yang berada di ruang tamu. "Kinar nanti akan bekerja lagi, Ma," ujar Kinar. Senyumnya begitu semringah. Ya, hadirnya Bumi pada kehidupan Kinar membuat semangat baru. Kini ia akan kembali mencari pekerjaan kemb
Anisa dilarikan ke rumah sakit, air ketuban telah pecah. Namun, ia belum merasakan kontraksi apa-apa. "Bayinya terlilit tapi pusar, serta air ketubannya sudah keruh."Abas dan Bu Asih saling menatap. Abas belum mengerti apa tindakan yang harus ia ambil. "Lakukan apa pun yang terbaik, Dok," ujar Abas. Sang Dokter mengangguk. Ia pasti akan mengambil tindakan yang tepat. "Air ketuban keruh kemungkinan bayi dalam kandungan sudah bab, jika dibiarkan bisa-bisa ia keracunan di dalam kandungan."Abas semakin panik. Ia tak tahu harus bagaimana. "Untuk prosedur operasi caesar kami membutuhkan tandatangan, Pak Abas sebagai suaminya."Abas mengangguk ia segera menandatangani surat yang diberikan sang dokter. Usia kandungan Anisa memasuki minggu ke 39 saat USG dua hari lalu jika posisi bayi masih di atas belum berada pada posisi yang tepat untuk melahirkan secara normal. Sebelum operasi Anisa harus melakukan puasa terlebih dahulu. Wajah wanita itu terlihat pucat, banyak ketakutan yang diriny
Bab 100Melihat Wisnu yang masih mematung ia kecewa harus menelan pil pahit kehidupan bila dirinya memang lelaki mandul, buktinya dari tiga wanita yang pernah dirinya jamah tak ada yang hamil. Sebagai seorang lelaki dirinya benar-benar, malu. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika Nina tahu siapa yang bermasalah? Kinar langsung menendang kaki lelaki itu hingga terjatuh. Dirinya segera masuk ke mobil dan mengendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membelah teriknya matahari. Kinar membelokkan mobil pada parkiran sebuah rumah sakit mewah. Ya, sekarang ibunya sering sakit hingga ia harus menebus obat dibagian farmasi.Langkah Kinar terhenti. Baru saja bertemu Wisnu kini ia sudah dikejutkan oleh sepasang suami istri yang baru keluar dari ruang kandungan. Abas dan Anisa, ia memilih untuk menghindari keduanya. Dirinya benar-benar sedang tidak mau mencari ribut dengan siapa pun. Anisa dan Abas saling menatap. "Tumben, dia tidak mencari masalah," ujar Anisa. Abas mengangk
Anisa terpaku melihat perjuangan Abas yang rela basah kuyup demi membelikannya martabak keju. Ya, lelaki itu tak memakai mobil, karena takut terhambat macet yang akan menyita banyak waktu. Apalagi martabak yang diinginkannya adalah martabak yang sedang viral. "Kamu langsung mandi, Bas," ujar Anisa. Abas mengangguk. Ia segera menuju kamar dan Anisa melangkah menuju dapur. "Kamu tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Abas memangnya? Lihat dia rela hujan-hujanan demi membelikan apa yang kamu inginkan. Padahal ibu yakin martabak ini paling cuma kamu makan sepotong," ungkap Bu Asih sembari memindahkan bungkusan martabak ke piring. Anisa terdiam, ia memejamkan mata ini bukan untuk yang pertama kalinya Abas mencarikan apa yang dirinya ingin. Kemarin malam pun sama, dirinya menginginkan nasi goreng pukul 02.00 WIB dini hari. Abas rela mencarikannya. "Ini, bawa berikan martabak ini untuk Abas. Ibu tidak selera," ungkap Bu Asih. Anisa mengangguk. Hatinya dihantui rasa bersalah. Apa dirinya
Wisnu merasa sang istri merendahkannya. Jelas-jelas mengatakan bila ialah yang mandul. Dirinya merasa terpojokkan, Nina benar-benar memancing emosinya. "Kau—""Apa?" tanya Nina. "Beraninya kau berbicara seperti itu pada suamimu, Nin?" tanya Wisnu. Urat-urat leher lelaki itu sudah menegang. Matanya pun telah memerah. "Memangnya kenapa jika itu fakta kamu tak bisa mengelaknya, Mas," sahut Nina. Tak ada rasa takut, ia tetap menjawab apa yang Wisnu ucapkan. Dirinya lelah selalu dipojokkan dan disalahkan sang mertua dan juga suaminya. "Diam!" seru Wisnu. "Kalau aku tidak mau diam, kenapa?" sahut Nina. Wisnu mengepalkan tangan. Ia menendang kursi rias milik sang istri. Lalu berbalik menatap Nina dengan mengangkat tangan. Nina telah memejamkan mata, tetapi Wisnu mengurungkan niat untuk menamparnya. "Kenapa tidak jadi?" tanya Nina. Ia semakin menantang dengan mendekatkan pipi pada lengan Wisnu. "Ayo tampar aku, Mas," ujar Nina sembari memegangi lengan sang suami. Wisnu terdiam. H
Bu Asih, tersenyum. Ia puas melihat wajah mantan besannya yang terlihat muram itu. Rencana Allah itu memang dahsyat. Dulu putrinya dihina dikata-katai jika mandul, nyatanyalah sekarang anaknya tengah mengandung. "Hei, kamu, ajak Wisnu ke dokter kandungan siapa tahu memang dia memiliki masalah," ujar Bu Asih. Nina terdiam, ia hanya menunduk malu. Memang benar sampai sekarang dirinya belum hamil juga. Bu Asih bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut, tetapi dirinya tak mau jika wanita yang kini menjadi menantunya Bu Atik akan diperlakukan sama seperti Anisa waktu dulu. Ia hanya memberikannya sedikit peringatan. Anisa menyentuh bahu sang ibu, agar tidak lagi mengatakan apa pun. "Buahnya ini sudah cukup, Bu, Anisa juga udah capek," tutur Anisa. Bu Asih menoleh, ia mengangguk. "Kami pamit, dulu, ya, kan kalau wanita hamil itu tidak boleh kecapean," tutur Bu Asih. Mereka segera membayar, lalu pulang. Di dalam mobil Bu Asih bercerita kepada Bu Amira, bagaimana ia puas melihat reak
"Ih, kamu itu bisa enggak sih jangan dekat-dekat aku. Mual tau rasanya," ujar Anisa. "Masa, sih, Nis, kamu mual?" tanya Abas. Anisa bungkam. Anaknya ini tak bisa diajak berkompromi. Entahlah ia ingin berdekatan dengan Abas, tetapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Jika suaminya itu berangkat bekerja, ia akan merasa kesepian, kesal sendiri dan melakukan apa pun dengan emosi karena keinginannya tak dituruti. "Iya," jawab Anisa. Abas bukan orang yang mudah menyerah, ia akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali hati sang istri. Terlebih lagi sekarang mereka akan memiliki anak yang sudah pastinya akan semakin menguatkan rumah tangganya. Anisa melirik ke arah Abas terkadang beberapa kali mencuri pandang. "Ya sudah, daripada kamu mual lebih baik aku keluar," ujar Abas. 'Tak peka!' Anisa memalingkan wajahnya, kenapa coba Abas harus keluar dari kamar. Harusnya lelaki itu tetap berada di sampingnya, sudah seharian ditinggal kerja dan sekarang sudah di rumah pun dirinya h