Amira pun menepuk pundak Anisa, ia berharap tak terjadi sesuatu dengan dengan pernikahan mereka. Apalagi jika Abas mendadak bodoh dan kembali dekat dengan Kinar. Hal itu tak bisa membuatnya tenang, bahkan sejak pertama kali dirinya tahu jika wanita itu ada di kantor sang anak.Anisa pun masuk kamar setelah pamit pada sang mertua. Ia mencoba tenang, apa pun yang terjadi harus ia lewati sekali pun itu sangat sulit. “Sayang, masih memikirkan yang tadi?” Abas memeluk Anisa dari belakang. Lalu, ia mulai menciumi leher jenjang sang istri. Abas membalikkan tubuh Anisa hingga berhadapan dengannya. “Jangan banyak pikiran.” Kecupan mesra mendarat di bibir Anisa. Anisa pun menyambut, keduanya saling berpagut mesra. Abas menuntun sang istri ke ranjang dan mulai membuat Anisa kembali candu dengan sentuhan tangannya. ***Sebuah pesan masuk dari Kinar masuk ke ponsel Abas. Gegas ia menghapus tanpa membukanya. Anis masih di kamar mandi, Abas tak mau menerima risiko jika terjadi kemarahan besar da
Telinga Anisa panas saat mendengar ungkapan Kinar. Iya mendorong pintu ruangan lalu menampar pipi mantan kekasih suaminya itu. Tatapannya begitu menghujam seperti ingin menerkam.Kinar tidak menyangka jika Anisa hadir di saat tidak tepat. Istri dari mantan kekasihnya itu menatap bengis seperti hendak menerkam. “Kamu harusnya berpikir, bekerja di mana dan mencari makan di perusahaan siapa. Dia ini suamiku, dasar wanita tak punya malu bisa-bisa mengatakan ingin menjadi istri kedua. Enggak punya harga diri?” Abas menenangkan sang istri, sedangkan Kinar merasa sangat malu saat tangan Anisa menggapai pipinya. Habis sudah kesabaran Anisa, ia pikir tak akan menemukan perusak dalam rumah tangganya. Namun, nyatanya di awal pernikahan malah ia harus menguras tenaga untuk mengurus manusia seperti Kinar.“Ajukan surat pengunduran diri, mau berprestasi atau tidak, tetap saja perusak!”Kinar terkesiap saat tiba-tiba Anisa memecatnya. Bukan hanya Kinar, Abas pun hanya menatap kosong perten
“Tidak perlu ada yang di laporkan. Pecat saja secara tidak hormat. Di kantor ini tidak butuh orang seperti dia.” Bu Rahayu bersikap tegas.Seharusnya memang langsung di tindak sepeti itu jika tak ingin ada masalah. Sayangnya, Abas seolah-oleh memperkeruh masalah. “Buatkan saja suratnya. Biar kabar burung itu kita bereskan pelan-pelan.” Abas kembali menimpali.”Setelah itu mereka kembali ke ruangan masing-masing. Anisa pun sama kembali ke ruangan lali diikuti oleh Abas. “Kamu tenang saja.”“Kamu bilang kau harus tenang, sementara dia semena-mena di luar. Licik sekali dia ternyata.”Anisa tak henti terus mengomel pada Abas. Kekesalannya kali ini sungguh membuat ia tak mengerti dengan jalan pikiran Abas yang memintanya tenang.Tarikan napas Anisa terasa berat. Kali ini ia pun mengambil minum untuk menenangkan diri. Hal yang dia takutkan sebelum menikah adalah hal ini. “Kalau belum selesai bisa kamu selesaikan dulu dengan dia.”“Aku sudah menyelesaikan semuanya. Hanya saja te
Kinar melebarkan senyum mendengar tawaran Wisnu, teman lama yang kini bertemu kembali dan memiliki misi yang sama. Keduanya berjabat tangan, lalu saling pandang dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang ada di pikiran Wisnu, kini ia kembali memiliki dendam yang baginya harus tuntas. Merebut kembali Anisa atau merusak kebahagiaan mantan istrinya itu. “Mulai besok kamu bisa bekerja sama denganku. Menjadi sekretaris pribadiku.” “Dengan senang hati, kita hancurkan mereka. Aku mau lihat, apa mereka masih bisa tersenyum,” ucap Kinar.Bayangan Kinar pun penuh dengan kebencian. Apalagi lagi saat mengingat Abas. Sama dengan Wisnu, misinya adalah menghancurkan rumah tangga Anisa atau bisnisnya sekaligus. Sebagaimana Anisa menghancurkan hatinya juga Abas yang membuat jiwanya rapuh. Kedua orang jahat itu entah bagaimana bisa memiliki sifat sama. Wisnu menatap Kinar tanpa henti, melihat kecantikan teman lamanya itu membuat hasratnya bergairah. Apalagi jika mengingat Nina, istrinya yang
Perasaan yang sama juga di rasakan oleh Abas saat melihat keduanya tersenyum. Apa ini adalah sebuah awal dari apa yang mereka kan lakukan pada perusahaan Anisa pikir Abas. “Kayanya harus waspada kita, Nis.” Abas kembali mengingatkan untuk waspada dan berhati-hati dengan keduanya. Dia tidak menyangka jika Wisnu kembali berulah setelah dirinya percaya dengan mantan suami sang istri. Harusnya mereka tak mempercayai dan tak memberikan modal untuk Wisnu. Ternyata, sifat tak bisa berubah dan sudah mendarah daging. “Kita pergi dari sini, Bas.” “Iya, Nis.” Abas kembali mengemudikan mobilnya menuju kantor. Ia gegas mengumpulkan beberapa orang untuk membahas masalah ini termasuk Bu Rahayu. Keduanya sampai di kantor, Abas langsung mengadakan rapat dan Anisa langsung ke ruangannya. Melihat kondisi perusahaan sepeti ini, Anisa sedikit terguncang apalagi melihat mantannya melakukan hal tidak baik. Apa yang ia lakukan pun sepertinya harus lebih mantap. “Kamu kenapa sepeti itu?” tanya Amira y
“Apa yang di rebut. Aku dan kamu sudah selesai, aku sudah katakan itu sejak awal.” Abas mencoba menjelaskan pada Kinar. Namun, di dalam lubuk hati Kinar, ia tak percaya jika mantan kekasihnya itu sudah melupakannya.“Mungkin kita sudah selesai, itu kata kamu. Tapi, aku yakin di dalam lubuk hati kamu masih ada nama aku. Benarkan?”Tidak ada yang salah dari apa yang di katakan oleh Kinar. Saat hampir menikah saja ia masih memikirkan Kinar. “Kalau kamu tidak cinta denganku, mana mungkin kamu datang ke acara pemakaman Papa aku. Itu tandanya kamu masih peduli dengan aku, Bas. Hanya saja kamu terikat dengan perjodohan itu.”Abas mengusap wajah dengan kasar. Ia tak mau Kinar kembali mengharapkannya. Namun, ia pun tidak memungkiri jika masih mencintai Kinar walau kini ia sudah menjadi suami dari Anisa. “Bas, jawab!” pekik Kinar lagi.“Apa yang harus aku jawab?”“Kamu masih cinta sama aku, kan?” “Kamu pikir saja sendiri, berapa lama kita berhubungan. Aku memang masih mencintai kam
Amira terdiam, menantunya itu menatap dengan tajam. Menuntut sebuah jawaban atas pertanyaan yang dirinya juga ragu akan hal tersebut. Sebuah jaminan? Apa yang menjadi jaminan? Harus bagaimana ia sekarang? Abas benar-benar membuatnya harus memutar otak. Ancaman Anisa pun sepertinya tidak main-main. Membuat Amira harus berhati-hati dalam bertindak. Takut jika salah langkah, ia benar-benar dimiskinkan. "Mengapa Mama terdiam? Mama juga ragu, kan tentang hal itu?" tanya Anisa. Membangun sebuah kepercayaan di atas kepercayaan yang pernah kecewa, tidaklah mudah. Anisa tak hanya curiga bahkan ia mendengarnya secara langsung bila Abbas masih mencintai wanita lain. Lantas lelaki seperti apalagi yang harus dirinya percaya. "Mama yang akan menjadi jaminannya bila Abas tidak akan seperti itu," ungkap Amira. Anisa menggeleng, soal kepercayaan membuatnya luluh lantak. Ia takut kembali jatuh dalam kubangan kecewa. Takut kembali mengalami masa-masa yang membuatnya terluka. Luka batin takkan mudah
Anisa kecewa, ia benar-benar marah akan apa yang telah diperbuat oleh Abas. Terlebih lagi Kinar yang membuatnya muak. Dirinya segera bangkit, keluar dari kamar dan melangkah cepat dengan napas yang memburu. Apa yang membuat hatinya ragu terbukti. Selain yang terdengar dan terlihat oleh mata kepalanya sendiri. Anisa mengetuk pintu kamar sang mertua dengan keras. Tak memedulikan bila punggung tangannya telah memerah. "Ada apa Anisa?" tanya Amira. "Apakah bukti yang Mama maksud bila Abas tak seperti apa yang aku pikirkan?" tanya Anisa sembari menunjukkan ponselnya itu. Amira terdiam. Ia bungkam, entah harus bagaimana cara menjelaskannya foto tersebut membuat dirinya sulit untuk mengelak. "Sabar dulu, Nis," ujar Amira. "Apa kata Mama aku harus sabar? Kurang sabar bagaimana aku ini Ma?" tanya Anisa. Hati wanita yang pernah kecewa dan kini dikecewakan lagi harus bersabar? "Takkan ada ampun untuk seorang pengkhianat," ujar Anisa. "Anisa, mama mohon tenangkan dulu dirimu, ya, Nak,"
“Nar, sudah membuat susu untuk Bumi?” tanya abu Zani. “Iya, Bu. Tapi aku mau buat makanan dulu buat Abas, kalau dia pulang tidak ada maafkan kasihan,” ujar Kinar dengan senyum tipis.Bu Zani mengerutkan kening, apa yang terjadi dengan Kinar anaknya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu, apa yang terjadi pikirnya. Ia menghampiri sang anak lalu bertanya apa yang di maksud olehnya. “Nar, Abas mau datang?” tanya Bu Zani pelan. “Iya, Bu. Tadi kami video call, dia senang karena aku sudah melahirkan anaknya. Bumi itu anak aku dan Abas,” ujar Kinar. Bu Zani cemas, lalu memegang bahu sang anak. “Nar, sadar kamu. Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Bumi anak putri yang kamu adopsi, bukan anak kamu dan Abas.” Kinar menepis tangan sang ibu, tatapannya begitu tajam hingga membuat Bu Zani ngeri. Tidak mungkin sang anak mengalami gangguan jiwa, tapi memang dari gejala terlihat seperti itu. Ia langsung menarik Kinar untuk sadar dengan apa yang ada di pikirannya.Bu Zani menepuk-nepuk
Wisnu menatap kantor yang dirinya pimpinan kini gulung tikar. Awal kehancurannya adalah saat Kinar keluar tiba-tiba, semua membatalkan kerja sama hingga ia tak mendapatkan keuntungan. Dirinya telah mencari pengganti untuk posisi Kinar, tetapi justru membuat perusahaannya semakin hancur. "Pa, tolong suntikan dana."Pak Hartawan sudah tak mau lagi membantu perusahaan anaknya itu. Wisnu selalu gegabah dalam mengambil keputusan dana sebanyak apa pun akan habis. "Pa, lalu bagaimana dengan aku? Aku memiliki istri yang harus dinafkahi," ungkap Wisnu. Pak Hartawan, melepas kacamatanya. Ia memijat pangkal hidungnya itu. "Kamu bisa menjadi karyawan di perusahaan yang papa pimpin," ujar Pak Hartawan. Mata Wisnu membulat, ia menjadi bawahan di perusahaan papanya? Dirinya ingin menolak, tetapi tahu sifat seorang Hartawan bila telah mengambil keputusan tak ada satu orang pun yang dapat mengubahnya. Wisnu keluar dari ruangan papanya dengan wajah kecewa. Kariernya benar-benar hancur. Lelaki it
Bu Zani khawatir tentang masa depan Bumi. Pasti akan banyak biaya untuk kedepannya. Susu, pakaian serta lainnya. Entahlah sepertinya Kinar terlalu gegabah dengan mengambil keputusan tersebut. "Bumi, udah wangi, udah minum susu juga tidur, ya, Nak." Bu Zani bicara pelan.Akan tetapi, kehadiran Bumi pun membawa dampak positif bagi Kinar bila dia kini lebih mudah untuk tertawa."Nar, kamu taukan mengurus anak itu bukan hanya memberikan kasih sayang saja, tetapi pasti memiliki biaya, lalu kamu akan membiayainya dari mana?" tanya Bu Zani. Sudah satu minggu Bumi tinggal bersama mereka dan Kinar pun banyak menghabiskan waktu dengannya. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir memberi pertanda agar ibunya tidak bicara lagi. Kinar beranjak dari kasur. Ia segera keluar dan menemui ibunya yang berada di ruang tamu. "Kinar nanti akan bekerja lagi, Ma," ujar Kinar. Senyumnya begitu semringah. Ya, hadirnya Bumi pada kehidupan Kinar membuat semangat baru. Kini ia akan kembali mencari pekerjaan kemb
Anisa dilarikan ke rumah sakit, air ketuban telah pecah. Namun, ia belum merasakan kontraksi apa-apa. "Bayinya terlilit tapi pusar, serta air ketubannya sudah keruh."Abas dan Bu Asih saling menatap. Abas belum mengerti apa tindakan yang harus ia ambil. "Lakukan apa pun yang terbaik, Dok," ujar Abas. Sang Dokter mengangguk. Ia pasti akan mengambil tindakan yang tepat. "Air ketuban keruh kemungkinan bayi dalam kandungan sudah bab, jika dibiarkan bisa-bisa ia keracunan di dalam kandungan."Abas semakin panik. Ia tak tahu harus bagaimana. "Untuk prosedur operasi caesar kami membutuhkan tandatangan, Pak Abas sebagai suaminya."Abas mengangguk ia segera menandatangani surat yang diberikan sang dokter. Usia kandungan Anisa memasuki minggu ke 39 saat USG dua hari lalu jika posisi bayi masih di atas belum berada pada posisi yang tepat untuk melahirkan secara normal. Sebelum operasi Anisa harus melakukan puasa terlebih dahulu. Wajah wanita itu terlihat pucat, banyak ketakutan yang diriny
Bab 100Melihat Wisnu yang masih mematung ia kecewa harus menelan pil pahit kehidupan bila dirinya memang lelaki mandul, buktinya dari tiga wanita yang pernah dirinya jamah tak ada yang hamil. Sebagai seorang lelaki dirinya benar-benar, malu. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika Nina tahu siapa yang bermasalah? Kinar langsung menendang kaki lelaki itu hingga terjatuh. Dirinya segera masuk ke mobil dan mengendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membelah teriknya matahari. Kinar membelokkan mobil pada parkiran sebuah rumah sakit mewah. Ya, sekarang ibunya sering sakit hingga ia harus menebus obat dibagian farmasi.Langkah Kinar terhenti. Baru saja bertemu Wisnu kini ia sudah dikejutkan oleh sepasang suami istri yang baru keluar dari ruang kandungan. Abas dan Anisa, ia memilih untuk menghindari keduanya. Dirinya benar-benar sedang tidak mau mencari ribut dengan siapa pun. Anisa dan Abas saling menatap. "Tumben, dia tidak mencari masalah," ujar Anisa. Abas mengangk
Anisa terpaku melihat perjuangan Abas yang rela basah kuyup demi membelikannya martabak keju. Ya, lelaki itu tak memakai mobil, karena takut terhambat macet yang akan menyita banyak waktu. Apalagi martabak yang diinginkannya adalah martabak yang sedang viral. "Kamu langsung mandi, Bas," ujar Anisa. Abas mengangguk. Ia segera menuju kamar dan Anisa melangkah menuju dapur. "Kamu tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Abas memangnya? Lihat dia rela hujan-hujanan demi membelikan apa yang kamu inginkan. Padahal ibu yakin martabak ini paling cuma kamu makan sepotong," ungkap Bu Asih sembari memindahkan bungkusan martabak ke piring. Anisa terdiam, ia memejamkan mata ini bukan untuk yang pertama kalinya Abas mencarikan apa yang dirinya ingin. Kemarin malam pun sama, dirinya menginginkan nasi goreng pukul 02.00 WIB dini hari. Abas rela mencarikannya. "Ini, bawa berikan martabak ini untuk Abas. Ibu tidak selera," ungkap Bu Asih. Anisa mengangguk. Hatinya dihantui rasa bersalah. Apa dirinya
Wisnu merasa sang istri merendahkannya. Jelas-jelas mengatakan bila ialah yang mandul. Dirinya merasa terpojokkan, Nina benar-benar memancing emosinya. "Kau—""Apa?" tanya Nina. "Beraninya kau berbicara seperti itu pada suamimu, Nin?" tanya Wisnu. Urat-urat leher lelaki itu sudah menegang. Matanya pun telah memerah. "Memangnya kenapa jika itu fakta kamu tak bisa mengelaknya, Mas," sahut Nina. Tak ada rasa takut, ia tetap menjawab apa yang Wisnu ucapkan. Dirinya lelah selalu dipojokkan dan disalahkan sang mertua dan juga suaminya. "Diam!" seru Wisnu. "Kalau aku tidak mau diam, kenapa?" sahut Nina. Wisnu mengepalkan tangan. Ia menendang kursi rias milik sang istri. Lalu berbalik menatap Nina dengan mengangkat tangan. Nina telah memejamkan mata, tetapi Wisnu mengurungkan niat untuk menamparnya. "Kenapa tidak jadi?" tanya Nina. Ia semakin menantang dengan mendekatkan pipi pada lengan Wisnu. "Ayo tampar aku, Mas," ujar Nina sembari memegangi lengan sang suami. Wisnu terdiam. H
Bu Asih, tersenyum. Ia puas melihat wajah mantan besannya yang terlihat muram itu. Rencana Allah itu memang dahsyat. Dulu putrinya dihina dikata-katai jika mandul, nyatanyalah sekarang anaknya tengah mengandung. "Hei, kamu, ajak Wisnu ke dokter kandungan siapa tahu memang dia memiliki masalah," ujar Bu Asih. Nina terdiam, ia hanya menunduk malu. Memang benar sampai sekarang dirinya belum hamil juga. Bu Asih bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut, tetapi dirinya tak mau jika wanita yang kini menjadi menantunya Bu Atik akan diperlakukan sama seperti Anisa waktu dulu. Ia hanya memberikannya sedikit peringatan. Anisa menyentuh bahu sang ibu, agar tidak lagi mengatakan apa pun. "Buahnya ini sudah cukup, Bu, Anisa juga udah capek," tutur Anisa. Bu Asih menoleh, ia mengangguk. "Kami pamit, dulu, ya, kan kalau wanita hamil itu tidak boleh kecapean," tutur Bu Asih. Mereka segera membayar, lalu pulang. Di dalam mobil Bu Asih bercerita kepada Bu Amira, bagaimana ia puas melihat reak
"Ih, kamu itu bisa enggak sih jangan dekat-dekat aku. Mual tau rasanya," ujar Anisa. "Masa, sih, Nis, kamu mual?" tanya Abas. Anisa bungkam. Anaknya ini tak bisa diajak berkompromi. Entahlah ia ingin berdekatan dengan Abas, tetapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Jika suaminya itu berangkat bekerja, ia akan merasa kesepian, kesal sendiri dan melakukan apa pun dengan emosi karena keinginannya tak dituruti. "Iya," jawab Anisa. Abas bukan orang yang mudah menyerah, ia akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali hati sang istri. Terlebih lagi sekarang mereka akan memiliki anak yang sudah pastinya akan semakin menguatkan rumah tangganya. Anisa melirik ke arah Abas terkadang beberapa kali mencuri pandang. "Ya sudah, daripada kamu mual lebih baik aku keluar," ujar Abas. 'Tak peka!' Anisa memalingkan wajahnya, kenapa coba Abas harus keluar dari kamar. Harusnya lelaki itu tetap berada di sampingnya, sudah seharian ditinggal kerja dan sekarang sudah di rumah pun dirinya h