Windy masih diam seribu bahasa setelah sang ayah mengomeli habis-habisan. Pak Hartawan pun mengantarnya langsung ke rumah, terlihat mobil Fahmi pun sudah bertengger di halaman rumah. Lalu, saat mendengar suara deru mobil, suami Windy pun ke luar.Pria itu menghampiri dan mencium punggung kedua orang tua sang istri.“Maaf, Nak Fahmi. Ibu tadi ada kecelakaan sedikit di rumah jadi Windy mengantar sebentar,” ujar Pak Hartawan.“Iya, Pa. Tadi Windy pun sudah bilang. Tapi, saya tidak bisa ke rumah sakit,” ujar Fahmi.Setelah pamit, kedua orang tua Windy pun langsung pamit dan pergi dari rumah menantunya. Di dalam mobil pak Hartawan terus mengingatkan sang istri agar tidak melakukan hal gegabah. Apalagi bertengkar dengan Sinta seperti hari ini.“Bukan sama Ibu, kok.” Bu Atik masih saja membela diri.“Terserah mau salah siapa, tapi Papa hanya mengingatkan. Apalagi jika ibu mengganggu Anisa lagi. Jangan sampai Anisa marah dan membuat hancur perusahaan Papa. Mau jadi gembel?”Bu Atik bergidik n
Wisnu tak bisa menjawab semua yang dilontarkan oleh Anisa. Ia pun menyesal karena dulu tidak menghentikan sikap sang ibu yang sudah keterlaluan.“Bahkan, saat aku ingin proses bayi tabung, ibumu menolak dengan alasan buang-buang uang saja. Tapi, dia malah selalu menyalahkan aku atas kemandulan kamu!”“Aku tidak mandul, Nisa. Jaga bicara kamu,” ujar Wisnu emosi.“Cukup, jangan pernah berteriak di depan Anisa. Lebih baik kita pergi, Nis,” ucap Abas.“Tunggu.” Wisnu menarik lengan Anisa, tapi Abas gegas melepaskannya.“Jangan pernah sentuh calon istri saya atau kubuat Anda jatuh miskin. Camkan itu!”Tanpa banyak bicara, Abas menggandeng Anisa ke luar dari ruang persidangan meninggalkan Wisnu yang tak berpikir jika Abas mengancam dengan tegas.“Sial!”Wisnu terus menggerutu, harusnya ia masih bisa bersama Anisa jika ia tak menikah lagi. Sungguh penyesalan yang datang terlambat. Kecantikan Sinta mampu membuat ia berpaling.Sementara di mobil, Anisa tak berani menatap Abas. Kejadian tadi sa
Bu Atik sibuk mencari jawaban, sedangkan Anisa merasa ada hal baru yang membuat ia bahagia. Wanita yang di pilih untuk menggantikan posisinya membuat keributan di rumah mantan suaminya.Sudah pasti Sinta tidak cocok dengan Ibu mertua dan iparnya yang seperti ratu dan tuan putri itu. Anisa menyunggingkan senyum saat Bu Atik terlihat membuang muka darinya.“Itu loh, Mbak Anisa, menantu Jeng Atik kerja dan enggak mau mengurus rumah,” celetuk Bu Widia.“ih, cari saja pembantu. Masa menantu dijadikan pembantu, lagi pula suami Bu Atik pasti kaya raya. Membayar pembantu tidak kan membuat bangkrut perusahaan bukan?”Wajah Bu Atik memerah, dirinya merasa dipermalukan oleh Anisa. Sementara, Bu Widia dan teman yang lain pun setuju dengan ucapan Anisa.“Benar, tuh Jeng Atik. Dari pada ribut sama menantu, lebih baik kita mah ngalah, lagi pula sudah capek kerja malah di suruh berberes rumah.” Lagi, salah satu dari teman mereka ikut bicara.“Iya, Jeng. Tenang saja, saya bisa kok bayar 2 pembantu sek
Wajah yang sudah masam bertambah masam mendengar Abas mengatakan saham yang akan mereka berikan untuk investasi hanya sedikit. Tidak sesuai dengan apa yang mereka ajukan dan bayangkan.Wisnu menarik napas lalu membuang kasar. Ia merasa sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kehilangan berlian dan membuang kesempatan emas. Lagi, ia menyesal setiap melihat Anisa yang semakin hari semakin berkilau dengan beberapa berlian yang ia pakai di jari manis.Ia pun teringat saat bersamanya, Anisa sudah cantik, tapi sayang tak begitu ia manjakan hingga kecantikan aslinya tak terlihat seperti sekarang.“Bagaimana Pak Wisnu, jika Anda tidak menyetujui, kami bisa menarik kembali. Itu hanya tawaran saja,” ujar Abas.Sementara, Anisa sibuk membaca beberapa dokumen yang akan ia tanda tangani sampai tak sempat memperhatikan wajah mantan suaminya.Wisnu melirik ke sang ayah, Pak Hartawan sudah pasrah dan mengangguk saat Wisnu memberikan kode untuk menerima atau tidak. Mau bagaimana lagi, mereka sangat membutuh
“Ya sudah, aku temani. Makan cepat,” ujar Abas pasrah.“Yakin enggak mau makan?” tanya Anisa lagi.“Yakin.”Namun, suara perut Abas pun mematahkan semuanya. Anisa tertawa mendengar suara tak di undang itu. Lalu ia memesan makanan karena sudah lapar. Sementara, Abas menahan dahaganya karena ia tak mau makan di tempat itu.Anisa kasihan melihat Abas yang sepetinya lapar tapi malah menahan semuanya. Ia pun mencoba menyuapi sedikit nasi, awalnya di tolak. Tapi, Anisa terus memaksa dengan membulatkan matanya.Wajah Abas berubah pucat, lalu ia mengambil tisu dan membuang makanan Yang ada di mulutnya. Lalu, ia ke luar dengan cepat dan memuntahkan sisa makanan di pinggir mobilnya.Anisa merasa tidak enak, tapi ia menghabiskan dulu makanannya. Tidak peduli ia telah membuat Abas seperti itu. Setelah selesai, ia menghampiri Abas yang tak kembali ke warteg. Abas terlihat menyenderkan tubuh di jok mobil saat Anisa mengetuk jendela dan meminta buka.“Maaf, Bas.”“Walau aku lapar, aku tidak mau maka
Wisnu bingung menjawab pertanyaan Sinta. Semua memang ada kemungkinan akan bangkrut. Akan tetapi, ia tak bisa mengatakan jika perusahaan sang ayah akan jatuh.“Mas, jawab, apa perusahaan Papa kamu akan bangkrut?” tanya Sinta.“Eng—enggak kok, Sayang. Enggak mungkin bangkrut. Kan perusahaan Papa aku sudah sangat besar. Hanya saja sedikit merugi.” Wisnu mencoba menjelaskannya dengan pelan.Sinta sedikit ragu, tapi ia kembali yakin kalau perusahaan sang mertua akan baik-baik saja. Masalah seperti ini sudah biasa terjadi dalam dunia perbisnisan.Akhirnya Sinta menurut walau wajahnya masih masam. Ia pun tak meminta ke mal lagi dan belanja. Wisnu pun sudah tenang karena bisa membaut Sinta tak merengek lagi.Mobil memasuki halaman rumah, Sinta pun sudah membayangkan akan beristirahat tenang setelah berulang kali merasa sakit kepala memikirkan pekerjaan.Andai ia tidak harus bekerja dan hanya menjadi nyonya di rumah, mungkin hal itu akan lebih baik pikirnya.“Akhirnya kalian pulang juga.” Bu
Sinta terkesiap melihat asisten rumah tangga barunya. Wanita muda dengan paras ayu. Ia berpikir dari mana ayah mertuanya membawanya. Bagaimana bisa semuda ini mau bekerja sebagai pembantu. Ia merasa tidak tenang melihat kulit mulus itu juga bentuk tubuh yang begitu ideal bagi perempuan yang menjadi pembantu di rumahnya.Bu Atik pun tak kalah kaget dari Sinta. Wanita tua itu pun mencoba meminta penjelasan dari sang suami. Saat ditanya, Pak Hartawan hanya menjawab singkat.“Yang penting ada pembantu, kan?”“Iya, sih. Tapi Ibu agak risih dengan dia. Kenapa harus seumuran dengan anak kita Windy,” ujar Bu Atik.“Papa mana tahu, ini dari agensi. Sudah jangan banyak protes,” ujar Pak Hartawan.Bu Atik diam saat sang suami marah, sedangkan Sinta tak henti memperhatikan wanita itu. Lalu, sesekali melirik Wisnu yang mencuri pandang pada Nina, asisten baru di rumah mereka.“Mas, awas kamu macam-macam.” Sinta berbisik pelan.“Apa, sih, Sin.”Suasana makan pagi mereka sepi, hanya terdengar suara s
Sinta menghentikan langkah, ia memutar tubuh menghadap Anisa. Kedua perempuan itu saling berserobok seolah-olah mereka sudah memiliki dendam yang teramat lama.“Kupastikan akan menghancurkan hidupmu seperti kau menghancurkan pernikahanku, camkan itu,” ancam Anisa.Hal yang di lakukan Sinta pun hanya bisa memendam semuanya. Percuma melawannya kali ini, dirinya malah yang akan hancur. Satu tarikan napas, ia pun membalik badan dan melangkah ke ruangannya.Sebelum menemui Pak Amri, Anisa pun menghubungi Abbas untuk meminta pendapatnya. Anisa menutup ponsel, lalu menghubungi pak Amri dari ruangannya.“Hari ini yang mengurus kamu Pak Abas, jadi tunggu dia datang,” ujar Anisa.Sesuai instruksi Abas, Anisa pun tidak menemui Pak Amri karena takut salah langkah. Anisa pun menurut, baginya Abas punya wewenang dan lebih lama dalam menghadapi masalah seperti ini.Bisa-bisa nanti dirinya salah langkah jika tak menunggu Abas. Ia menaruh curiga jika Sinta dan Pak Amri.Anisa membuka pesan di ponsel.
“Nar, sudah membuat susu untuk Bumi?” tanya abu Zani. “Iya, Bu. Tapi aku mau buat makanan dulu buat Abas, kalau dia pulang tidak ada maafkan kasihan,” ujar Kinar dengan senyum tipis.Bu Zani mengerutkan kening, apa yang terjadi dengan Kinar anaknya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu, apa yang terjadi pikirnya. Ia menghampiri sang anak lalu bertanya apa yang di maksud olehnya. “Nar, Abas mau datang?” tanya Bu Zani pelan. “Iya, Bu. Tadi kami video call, dia senang karena aku sudah melahirkan anaknya. Bumi itu anak aku dan Abas,” ujar Kinar. Bu Zani cemas, lalu memegang bahu sang anak. “Nar, sadar kamu. Apa yang kamu katakan itu tidak benar. Bumi anak putri yang kamu adopsi, bukan anak kamu dan Abas.” Kinar menepis tangan sang ibu, tatapannya begitu tajam hingga membuat Bu Zani ngeri. Tidak mungkin sang anak mengalami gangguan jiwa, tapi memang dari gejala terlihat seperti itu. Ia langsung menarik Kinar untuk sadar dengan apa yang ada di pikirannya.Bu Zani menepuk-nepuk
Wisnu menatap kantor yang dirinya pimpinan kini gulung tikar. Awal kehancurannya adalah saat Kinar keluar tiba-tiba, semua membatalkan kerja sama hingga ia tak mendapatkan keuntungan. Dirinya telah mencari pengganti untuk posisi Kinar, tetapi justru membuat perusahaannya semakin hancur. "Pa, tolong suntikan dana."Pak Hartawan sudah tak mau lagi membantu perusahaan anaknya itu. Wisnu selalu gegabah dalam mengambil keputusan dana sebanyak apa pun akan habis. "Pa, lalu bagaimana dengan aku? Aku memiliki istri yang harus dinafkahi," ungkap Wisnu. Pak Hartawan, melepas kacamatanya. Ia memijat pangkal hidungnya itu. "Kamu bisa menjadi karyawan di perusahaan yang papa pimpin," ujar Pak Hartawan. Mata Wisnu membulat, ia menjadi bawahan di perusahaan papanya? Dirinya ingin menolak, tetapi tahu sifat seorang Hartawan bila telah mengambil keputusan tak ada satu orang pun yang dapat mengubahnya. Wisnu keluar dari ruangan papanya dengan wajah kecewa. Kariernya benar-benar hancur. Lelaki it
Bu Zani khawatir tentang masa depan Bumi. Pasti akan banyak biaya untuk kedepannya. Susu, pakaian serta lainnya. Entahlah sepertinya Kinar terlalu gegabah dengan mengambil keputusan tersebut. "Bumi, udah wangi, udah minum susu juga tidur, ya, Nak." Bu Zani bicara pelan.Akan tetapi, kehadiran Bumi pun membawa dampak positif bagi Kinar bila dia kini lebih mudah untuk tertawa."Nar, kamu taukan mengurus anak itu bukan hanya memberikan kasih sayang saja, tetapi pasti memiliki biaya, lalu kamu akan membiayainya dari mana?" tanya Bu Zani. Sudah satu minggu Bumi tinggal bersama mereka dan Kinar pun banyak menghabiskan waktu dengannya. Ia menaruh jari telunjuknya di bibir memberi pertanda agar ibunya tidak bicara lagi. Kinar beranjak dari kasur. Ia segera keluar dan menemui ibunya yang berada di ruang tamu. "Kinar nanti akan bekerja lagi, Ma," ujar Kinar. Senyumnya begitu semringah. Ya, hadirnya Bumi pada kehidupan Kinar membuat semangat baru. Kini ia akan kembali mencari pekerjaan kemb
Anisa dilarikan ke rumah sakit, air ketuban telah pecah. Namun, ia belum merasakan kontraksi apa-apa. "Bayinya terlilit tapi pusar, serta air ketubannya sudah keruh."Abas dan Bu Asih saling menatap. Abas belum mengerti apa tindakan yang harus ia ambil. "Lakukan apa pun yang terbaik, Dok," ujar Abas. Sang Dokter mengangguk. Ia pasti akan mengambil tindakan yang tepat. "Air ketuban keruh kemungkinan bayi dalam kandungan sudah bab, jika dibiarkan bisa-bisa ia keracunan di dalam kandungan."Abas semakin panik. Ia tak tahu harus bagaimana. "Untuk prosedur operasi caesar kami membutuhkan tandatangan, Pak Abas sebagai suaminya."Abas mengangguk ia segera menandatangani surat yang diberikan sang dokter. Usia kandungan Anisa memasuki minggu ke 39 saat USG dua hari lalu jika posisi bayi masih di atas belum berada pada posisi yang tepat untuk melahirkan secara normal. Sebelum operasi Anisa harus melakukan puasa terlebih dahulu. Wajah wanita itu terlihat pucat, banyak ketakutan yang diriny
Bab 100Melihat Wisnu yang masih mematung ia kecewa harus menelan pil pahit kehidupan bila dirinya memang lelaki mandul, buktinya dari tiga wanita yang pernah dirinya jamah tak ada yang hamil. Sebagai seorang lelaki dirinya benar-benar, malu. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika Nina tahu siapa yang bermasalah? Kinar langsung menendang kaki lelaki itu hingga terjatuh. Dirinya segera masuk ke mobil dan mengendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membelah teriknya matahari. Kinar membelokkan mobil pada parkiran sebuah rumah sakit mewah. Ya, sekarang ibunya sering sakit hingga ia harus menebus obat dibagian farmasi.Langkah Kinar terhenti. Baru saja bertemu Wisnu kini ia sudah dikejutkan oleh sepasang suami istri yang baru keluar dari ruang kandungan. Abas dan Anisa, ia memilih untuk menghindari keduanya. Dirinya benar-benar sedang tidak mau mencari ribut dengan siapa pun. Anisa dan Abas saling menatap. "Tumben, dia tidak mencari masalah," ujar Anisa. Abas mengangk
Anisa terpaku melihat perjuangan Abas yang rela basah kuyup demi membelikannya martabak keju. Ya, lelaki itu tak memakai mobil, karena takut terhambat macet yang akan menyita banyak waktu. Apalagi martabak yang diinginkannya adalah martabak yang sedang viral. "Kamu langsung mandi, Bas," ujar Anisa. Abas mengangguk. Ia segera menuju kamar dan Anisa melangkah menuju dapur. "Kamu tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Abas memangnya? Lihat dia rela hujan-hujanan demi membelikan apa yang kamu inginkan. Padahal ibu yakin martabak ini paling cuma kamu makan sepotong," ungkap Bu Asih sembari memindahkan bungkusan martabak ke piring. Anisa terdiam, ia memejamkan mata ini bukan untuk yang pertama kalinya Abas mencarikan apa yang dirinya ingin. Kemarin malam pun sama, dirinya menginginkan nasi goreng pukul 02.00 WIB dini hari. Abas rela mencarikannya. "Ini, bawa berikan martabak ini untuk Abas. Ibu tidak selera," ungkap Bu Asih. Anisa mengangguk. Hatinya dihantui rasa bersalah. Apa dirinya
Wisnu merasa sang istri merendahkannya. Jelas-jelas mengatakan bila ialah yang mandul. Dirinya merasa terpojokkan, Nina benar-benar memancing emosinya. "Kau—""Apa?" tanya Nina. "Beraninya kau berbicara seperti itu pada suamimu, Nin?" tanya Wisnu. Urat-urat leher lelaki itu sudah menegang. Matanya pun telah memerah. "Memangnya kenapa jika itu fakta kamu tak bisa mengelaknya, Mas," sahut Nina. Tak ada rasa takut, ia tetap menjawab apa yang Wisnu ucapkan. Dirinya lelah selalu dipojokkan dan disalahkan sang mertua dan juga suaminya. "Diam!" seru Wisnu. "Kalau aku tidak mau diam, kenapa?" sahut Nina. Wisnu mengepalkan tangan. Ia menendang kursi rias milik sang istri. Lalu berbalik menatap Nina dengan mengangkat tangan. Nina telah memejamkan mata, tetapi Wisnu mengurungkan niat untuk menamparnya. "Kenapa tidak jadi?" tanya Nina. Ia semakin menantang dengan mendekatkan pipi pada lengan Wisnu. "Ayo tampar aku, Mas," ujar Nina sembari memegangi lengan sang suami. Wisnu terdiam. H
Bu Asih, tersenyum. Ia puas melihat wajah mantan besannya yang terlihat muram itu. Rencana Allah itu memang dahsyat. Dulu putrinya dihina dikata-katai jika mandul, nyatanyalah sekarang anaknya tengah mengandung. "Hei, kamu, ajak Wisnu ke dokter kandungan siapa tahu memang dia memiliki masalah," ujar Bu Asih. Nina terdiam, ia hanya menunduk malu. Memang benar sampai sekarang dirinya belum hamil juga. Bu Asih bukan tanpa alasan mengatakan hal tersebut, tetapi dirinya tak mau jika wanita yang kini menjadi menantunya Bu Atik akan diperlakukan sama seperti Anisa waktu dulu. Ia hanya memberikannya sedikit peringatan. Anisa menyentuh bahu sang ibu, agar tidak lagi mengatakan apa pun. "Buahnya ini sudah cukup, Bu, Anisa juga udah capek," tutur Anisa. Bu Asih menoleh, ia mengangguk. "Kami pamit, dulu, ya, kan kalau wanita hamil itu tidak boleh kecapean," tutur Bu Asih. Mereka segera membayar, lalu pulang. Di dalam mobil Bu Asih bercerita kepada Bu Amira, bagaimana ia puas melihat reak
"Ih, kamu itu bisa enggak sih jangan dekat-dekat aku. Mual tau rasanya," ujar Anisa. "Masa, sih, Nis, kamu mual?" tanya Abas. Anisa bungkam. Anaknya ini tak bisa diajak berkompromi. Entahlah ia ingin berdekatan dengan Abas, tetapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Jika suaminya itu berangkat bekerja, ia akan merasa kesepian, kesal sendiri dan melakukan apa pun dengan emosi karena keinginannya tak dituruti. "Iya," jawab Anisa. Abas bukan orang yang mudah menyerah, ia akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kembali hati sang istri. Terlebih lagi sekarang mereka akan memiliki anak yang sudah pastinya akan semakin menguatkan rumah tangganya. Anisa melirik ke arah Abas terkadang beberapa kali mencuri pandang. "Ya sudah, daripada kamu mual lebih baik aku keluar," ujar Abas. 'Tak peka!' Anisa memalingkan wajahnya, kenapa coba Abas harus keluar dari kamar. Harusnya lelaki itu tetap berada di sampingnya, sudah seharian ditinggal kerja dan sekarang sudah di rumah pun dirinya h