“Yan ... kalian berantem?”Bagas berbisik begitu lirih, namun Brian bisa dengan jelas menangkap suara yang ditujukan calon kakak iparnya itu kepadanya. Brian menoleh, menatap Bagas yang memperhatikan dia dengan saksama. Mereka sedang pergi ke toko mebel yang buka cabang di salah satu mall terbesar di kota itu.“Ah nggak tuh, Mas. Kenapa memang?” tentu Brian berkata jujur, mereka tidak ada masalah kok sekembalinya dari kost dan menyusul keluarga besar Heni di rumah baru mereka.“Lah? Tumben si Heni dari tadi diem mulu, kirain berantem sama kamu, Yan.” Bagas nampak terkejut, tentu sebagai kakak kandung, dia hapal betul dengan tabiat Heni.Kini Brian menoleh, menatap Heni yang nampak tengah memperhatikan sample kitchen set yang ada di pojok ruangan. Memang wajah itu begitu lain, tidak macam biasanya, membuat Brian tertegun bingung. Kenapa dengan calon istrinya itu? Brian menoleh, menatap Bagas yang sejak tadi menemani dia melihat-lihat sofa untuk ruang keluarga. Dengan mimik wajah dan so
Hari masih gelap, namun Heni sudah harus bangun. Semua acara penting mulai dari ijab qobul sampai resepsi dari pihak Heni dilakukan di Tangerang. Untuk dari pihak Brian sendiri hanya akan ada jamuan makan malam satu keluarga besar bersama sanak family dan bakti sosial di salah satu panti asuhan yang sudah ditunjuk pihak keluarga. Tidak ada resepsi karena Brian dan Heni sendiri yang minta. Mereka tentu tahu diri, sudah dibelikan rumah plus biaya renovasi, tentu baik Brian maupun Heni tidak ingin lagi membebani Astrid dan Ridwan yang sudah berbaik hati kepada mereka. Terlebih Astrid dan Ridwan pun juga sudah mengatakan akan menanggung semua biaya sekolah spesialis Brian selepas menikah nanti. Seperti itu dan mereka masih mau menuntut minta diadakan resepsi? Kenapa jadi tidak tahu diri sekali? Heni berulang kali menghirup napas dalam-dalam. Acara tidak terlalu mewah. Hanya menyewa sebuah gedung pertemuan bukan ballroom hotel berbintang. Mas Bagas sendiri yang menyarankan supaya dana y
Brian sejak tadi mondar-mandir di depan kamar hotel yang keluarganya pesan tidak jauh dari lokasi gedung pertemuan yang di sewa untuk acara sakral Brian bersama Heni. Jujur Brian gugup, risau dan takut. Ia takut acara tidak berjalan sebagaimana mestinya, Brian takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ah ... Brian benar-benar overthinking untuk hari ini. "Yan ... mau nikah malah cosplay jadi setrika begitu?"Brian tersentak, sosok itu sudah berdiri di depan pintu. Brian menelan ludah dengan susah payah. Itu Ridwan, papanya. Ridwan dan Brian sejak dulu tidak terlalu dekat. Brian hanya dekat dengan sang mama. Dengan Ridwan, selain karena jarang bertemu saking sibuknya pendidikan semasa Brian belum masuk ke FK dulu, juga karena Ridwan terlalu kaku dan keras pada Brian. Anak lelaki harus tegar, kuat dan tahan banting! Begitu kata Ridwan dulu. Kata yang selalu Ridwan ulangi terus dan terus sampai Brian sendiri bosan mendengarnya. "Kamu gugup?" Ridwan tersenyum begitu manis. Na
Brian hampir pingsan rasanya ketika sosok dengan kebaya putih dan mahkota singer itu melangkah di apit dua gadis muda menuju ke arahnya. Wajah itu begitu cantik, begitu luar biasa mempesona sampai-sampai Brian dibuat kagum olehnya. Dia ini menikahi manusia atau bidadari sih? Brian masih tertegun menatap peka ke arah calon istrinya ketika mas Bagas lantas berdehem membuat kekaguman Brian buyar dan ia terpaksa menoleh ke arah lelaki yang menjadi wali Heni menggantikan almarhum bapak. "Liatinnya bisa biasa aja nggak, Yan?" nampak ketara sekali Bagas tengah menahan tawanya, membuat wajah Brian memerah seketika. Brian terkekeh, menundukkan wajah sambil berusaha menahan tawanya sendiri yang hendak pecah karenanya. Bukan salah Brian kalo sampai tidak berkedip menatap sosok berbalut kebaya putih yang masih melangkah ke arahnya ini. Heni benar-benar luar biasa memukau hari ini.Kekonyolan dan kesomplakan Heni yang biasanya ada yang mampu membuat Brian sakit kepala, kini semua luntur dan seo
Kelvin mencebik ketika wajah itu nampak sumringah melihat ia melangkah ke pelaminan. Sungguh kalau tidak banyak orang dan tidak kasihan dengan istri dari Brian yang baru beberapa jam sah dia nikahi itu, rasanya Kelvin ingin mencekik Brian sampai kehabisan napas detik ini juga! Kelvin masih mencoba ramah, menyalami kakak dan ibu Heni lalu melangkah mendekati Brian yang cengar-cengir di sebelah istrinya. Tentu Kelvin tidak perlu bertanya apa yang membuat sahabatnya itu begitu bahagia. Dia tidak hanya berhasil mengawini gadis yang Brian cintai, Brian juga sukses membuat Kelvin harus kalah taruhan dan mengorbankan masa depannya dengan menikahi gadis ingusan yang disodorkan sang mama! "Hey, thanks Bro udah disempetin dateng. Sendirian nih nggak sama calon bini?" sebuah sapaan yang rasanya makin membuat Kelvin ingin mencekik Brian hingga lemas. "Lu masih pengen buka segel, kan, ntar malem? Kalo masih tolong nggak usah nanya macem-macem!" bisik Kelvin di dekat telinga Brian sambil menjaba
Heni dan Brian harus pasrah, meskipun di undangan sudah di tulis bahwa kedua belah pihak keluarga tidak menerima tamu di rumah, tetapi tetap saja banyak sekali tamu yang datang ke rumah. Ijab qobul dilaksanakan pagi, resepsi siang hari. Harapan Brian dan Heni tentu dari pesta usai sampai sore atau bahkan malam nanti mereka bisa beristirahat barang sejenak untuk persiapan malam spesial mereka, tapi agaknya mereka salah! Mereka masih di rumah Heni, dan sejak pulang dari gedung tadi, mereka sama sekali belum istirahat sama sekali! "Keluar dulu, yuk. Ada temen senamnya Bunda, tuh!"Heni membelalakkan mata, sementara Brian? Dia hanya tersenyum kecut tanpa berani membelalakkan mata macam sang istri. Bisa-bisa di pecat jadi mantu Brian nanti. Mana dia belum ada 1 kali 24 jam jadi istri Heni. Oleh karena itu, Brian harus jaga sikap betul-betul. "Astaga, Bun ... emang temen senam Bunda nggak Bunda undang ke gedung, tadi?" tentu Heni protes. Bukankah sesuai kesepakatan mereka, mereka tidak
Brian hampir terhuyung jatuh ketika mendadak Heni kembali melompat dan meraup bibirnya penuh gairah. Bukankah tadi Brian bertanya sesuatu hal pada Heni? Kenapa bukannya menjawab, istrinya itu malah menyerangnya seperti ini? Brian mencoba melawan, mengendalikan dirinya agar bisa menguasai permainan mereka. Bibir Heni terlampau manis, sejak pertama kali Brian menyentuh bibir ini, rasanya Brian tidak mau berhenti. Apalagi hari ini? Ketika bahkan bukan hanya bibir Heni yang bisa Brian nikmati, tapi semuanya! Semua bagian tubuh Heni dari ujung rambut sampai ujung kaki.Brian mendorong wajah itu, kini Brian yang mengambil alih kuasa. Ia terus menyesap bibir itu tanpa henti, layaknya gula-gula manis yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Brian amat menikmati aktivitas ini ketika kemudian secara perlahan-lahan Heni melepaskan pagutan bibir mereka dan menarik wajahnya menjauh. Nampak mata itu begitu sayu, apakah itu artinya Heni sudah merasakan apa yang Brian rasakan? Apakah itu tanda bahwa H
"Mas Bagas kapan balik?"Brian duduk di kursi teras malam ini, berduaan bersama Bagas yang nampak asyik merokok di teras rumah. Sudah pukul sembilan, dan Brian berharap sudah tidak ada lagi dayoh atau tamu yang datang. Bagas menghembuskan asap ke udara, mematikan rokoknya lalu menoleh dan menatap Brian yang duduk di sebelahnya. "Lusa mungkin. Anak-anak ngajak liburan, Yan. Bunda Mas tawarin ikut, cuma nggak tau sih bunda mau atau tidak.""Memang mau kemana rencana, Mas?" alis Brian berkerut, ia sendiri ingin sebenarnya liburan, sekalian bulan madu gitu, hanya saja dia belum bisa ambil libur panjang. "Paling ke Spore, anak-anak minta ke sana sih."Brian mengangguk pelan. Ia sendiri belum tahu Heni minta dibawa kemana. Yang jelas dalam bayangan Brian, agaknya Bali atau Lombok adalah tempat paling best untuk rencana mereka ini. Atau Karimun Jawa mungkin? "Kamu nggak naik ke atas, Yan?"Brian terkejut, ia menoleh menatap Bagas yang nampak tersenyum lebar dengan alis dinaikkan. Kontan
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be