“Gimana kabarnya, Bumil?” Heni tengah video call dengan Karina, pipi sahabatnya itu sudah nampak gembil. Padahal usia kandungan Karina dan Heni lebih tua kandungan Heni, dan gadis itu malah terlihat lebih membulat daripada dia? “Baik ... emak otw dua anak, apa kabarmu?” balas Heni sambil mengaduk susu cokelat di dalam gelas. Ia terpaksa membuka salah satu koper yang menyimpan semua peralatan makan yang selama ini dia bawa ke kost. Agaknya masih besok pagi dia pindah ke kost barunya. Bukannya menjawab, Karina malah tertawa terbahak-bahak. Nampak dia jauh lebih baik dan lebih tenang dari beberapa hari yang lalu saat Karina menelepon Heni dan mengabarkan bahwa dia sudah hamil lagi. Agaknya, Karina sudah bisa menerima kondisi dan takdir bahwa dia harus secepat ini hamil lagi. “Sialan!” gumam Karina setelah sukses menghentikan tawanya. “Loh ... kan kamu otw dua anak beneran, Rin. Di mana letak salahnya.” Bela Heni yang tidak terima Karina hendak meningkari kenyataan. “Dan jangan lupa .
“Mama? Papa?” Heni terkejut setengah mati melihat kedua mertuanya sudah berdiri di depan pintu kamar kostnya. Bagaimana bisa? Brian tadi tidak bilang apa-apa kecuali dia akan kemari guna mengantarkan Heni ke tempat kost baru.“Sureprise! Gimana udah siap semua?” Astrid tersenyum, ia berjalan mendekati Heni, mengulurkan tangan agar menantunya itu bisa meraih dan mencium tangannya dengan penuh hormat.“Sudah dari kemarin, mama sama papa kapan sampai?” kini Heni melangkah mendekati Ridwan, memberi salam hormat pada pemilik nomor yang diberi nama ‘Donatur Hidup’ oleh suaminya itu.“Siang tadi, gimana kabar cucu papa?”Wajah Heni memerah, senyumnya merekah sempurna. Bagaimana kabarnya? Tentu baik karena Heni menjaganya dengan begitu baik. Kedatangan Ridwan dan Astrid makin membuatnya tenang dan tidak lagi overthinking dengan kehamilan dan masa internshipnya.“Baik, Pa. Semua dalam kondisi baik.” Heni tersenyum, menatap Brian yang sejak tadi terpaku menatapnya tanpa kedip. Kenapa lagi suami
“Dua kamar kalo bisa jejeran ada, Mbak? Terserah deh mau tipe apa aja. Orang cuma buat semalem ini kok.” Pinta Brian pada petugas resepsionis hotel.“Mau ambil yang include breakfast, Pak?” tampak mata itu menatap ke arah Brian meskipun wajah wanita muda itu menatap layar komputer yang ada di depan.“Boleh sekalian. Untuk empat orang, Mbak.”Wanita itu mengangguk, kembali fokus pada layar komputernya sementara Brian merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Matanya membulat ketika secara kebetulan ada panggilan telepon masuk. Siapa lagi kalau bukan sahabat karibnya itu?“Apaan lagi sih? Mau nyuruh gue gantiin elu kawin?” semprot Brian kesal, bukan apa-apa akhir-akhir ini selalu itu yang Kelvin minta ketika meneleponnya begini.“Nggak kok! Tenang kenapa sih, Yan? Sentimen banget sama gue?” balas suara itu dengan segera.“Masalahnya otak lu dah geser, Vin. Gimana gue nggak jadi sentimen sih?” damprat Brian yang rasanya ingin sekali menemui lelaki itu untuk dia tonjok hidungnya sekali
“Hah, nginep?”Bukan hanya Ridwan yang terkejut dengan ide yang baru saja Brian sampaikan, Astrid dan Heni pun sama. Mereka semua kompak menatap Brian yang nampak begitu asyik menyantap makanan yang dia pesan.“Loh kita nggak ada agenda nginep loh, Yan!” protes Astrid yang gemas melihat anak lelakinya ini.“Emang. Tapi nggak ada salahnya nginep, kan, Ma? Semua pasti capek malam ini. Daripada nekat pulang, mending pulang subuh besok.”Semua kompak saling pandang, tidak ada yang mengajukan protes lagi karena merasa apa yang Brian katakan itu ada benarnya. Lelaki itu bahkan masih dengan begitu santai menyantap makanan yang dia pesan, tidak peduli dengan semua mata yang tertuju padanya saat ini.“Okelah, papa setuju!” Ridwan kembali bersuara, “Memang sudah dapat kamar?”Kini Brian mengangkat wajah, mulutnya masih penuh dengan makanan. Ia mengunyah dan menelan makanan itu dengan segera, matanya masih menatap Ridwan dengan saksama. Ia lantas mengangguk sebagai wujud jawaban dari apa yang ta
Brian berkeringat dua kali lebih banyak. Mereka memang tidak melakukan itu, cukup riskan di usia yang semuda ini dan Brian tentu tidak mau kalau sampai anaknya sampai kenapa-kenapa. Buah cinta dan bukti besar cinta Brian pada Heni adalah dia. Di mana Brian mempercayakan Heni sepenuhnya untuk jadi ibu dari anak-anaknya kelak. Satu-satunya wanita beruntung yang Brian percayai untuk jadi ibu anaknya.“Udah?” Heni muncul dari kamar mandi, tersenyum begitu manis lalu perlahan naik ke atas ranjang.“Udah! Makasih banyak, Sayang!” sebuah kecupan dia daratkan di sana. Kini rasanya tubuh Brian sudah tidak lagi bertenaga sama sekali.Bayangkan pulang jaga langsung membawa mobil guna menyusul istrinya, lalu perjalanan kemari dan aktivitas yang baru saja dia lakukan rasanya benar-benar membuat tenaga Brian habis tidak bersisa. Ia masih berusaha mentralkan napas, ketika tiba-tiba tangan itu memeluk tubuhnya erat-erat.“Mas ... serius deh, kita kayaknya beneran perlu bahas rencana Mas kedepannya ma
"Udah semua?" Brian menoleh menatap Heni, ia baru saja kelar mengangkut koper Heni ke dalam bagasi. Ditanya begitu, Heni hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia lantas memalingkan wajah, menatap Yana dan Fitri yang berdiri lesu di depan pintu. "Aku pamit ya, makasih udah jadi tetangga kost yang super-duper baik." desis Heni lirih, matanya berkaca-kaca. Fitri maju selangkah, langsung meraih Heni dalam pelukan. Tangis mereka pecah, membuat Brian tersenyum sambil bersandar di mobil menatap ketiga gadis itu. "Mbak cepet amat pindah sih? Kita belum ada setaun, loh!" protes Fitri yang tampak tidak ikhlas. "Kan kita masih bisa ketemu nanti. Tetep jaga komunikasi, ya?" bisik Heni lantas melepaskan pelukan mereka secara perlahan. "Nanti kalo udah lahiran, kabari ya, Mbak. Pengen lihat keponakan."Heni menyeka air mata, ia tertawa lirih lalu mengangguk perlahan. Belum sempat ia kembali berkata-kata, kini Yana yang menjatuhkan diri ke dalam pelukan Heni. Ia pun ikut terisak. "Nggak a
Jose segera mematikan mesin mobil. Begitu turun, ia tidak mendapati mobil itu ada di halaman rumah kost itu, yang mana artinya, Heni sudah pergi. "Telat, kan?" desisnya sambil tersenyum getir. Baru saja Jose hendak kembali masuk ke dalam mobil ketika teriakan itu menyapa dan menghentikan kakinya yang hendak melangkah. "Dokter Jose?" Sebuah suara yang cukup familiar dan mampu membuat Jose segera menoleh mencari sumber suara. "Eh, Yan? Lupa aku kalo kamu kost di sini juga!" sapanya dengan senyum tersungging. "Mau nyariin dokter Heni, Dok?" tebak gadis itu yang sama sekali tidak salah. "Iya! Tapi kayaknya udah berangkat, ya?" Jose kembali tersenyum, ia memperhatikan gadis itu dengan saksama. "Bener, Dok. Udah berangkat kok. Ya kira-kira sekitar setengah jam yang lalu." jawabnya singkat. Jose menganggukkan kepala perlahan. Ia melirik arloji lalu kembali menatap Yana yang masih berdiri di depan gerbang. "Yan, udah makan? Makan yuk!"Bisa Jose lihat mata gadis itu membulat, nampak
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be