Perjalanan berlangsung sekitar dua jam setengah untuk sampai di tempat tujuan. Sebuah mobil mengantar mereka setelah turun dari persawat menuju sebuah hotel yang tentunya sudah dipesan oleh nenek sebagai tempat singgah bulan madu. Sheraton Resort menjadi pilihan yang cocok untuk mereka sebagai pasangan pengantin baru.
Disisi lain karena tempatnya yang mewah, Megan juga mengenal siapa pemilik hotel tersebut. Pernah juga ikut bergabung beberapa kali setiap ada perayaan tahunan di hotel tersebut.
Sampai di hotel, mereka langsung diantar oleh dua orang Bellboy menuju kamar yang sudah dipesan. Sepanjang berjalan menyusuri Lorong, Jesika tidak berhenti terkagum-kagum dengan horel ini. di depan dia sudah di manjakan dengan pemandangan yang indah, bangunan mewah, lalu masuk ke dalam disambut layaknya seorang tamu special, hingga sampai diantar ke kamar.
Jadi seperti inikah menginap di sebuah hotel?
Jesika menoleh ke belakang sebelum pintu kamar dengan nomor 106 terbuka. Beberapa pintu berderet rapat, apa semua berpenghuni?
“Tuan bisa panggil saya jika membutuhkan sesuatu,” ucap Bellboy tersebut. Sepertinya ini termasuk orang suruhan nenek.
Selepas dua orang itu pergi, Jesika masih terfokus memandangi Lorong panjang. Entah apa yang sedang dia pikirkan, sampai akhirnya Antonio berdehem.
“Oh, maaf.” Jesika menunduk, menyeret dua koper, membuntuti Antonio masuk ke dalam lebih dulu.
Oh! ini mewah sekali!
Jesika terbengong dengan dua mata membulat sempurna. Mulutnya terbuka, sementara dua tangan sudah melepas gagang koper. Badannya mulai bergerak seolah memutari ruangan ini. Jesika seolah tidak peduli dengan keberadaan Antonio di kamar ini. dia melepas tas selempangnya, melempar ke sisi lain, lalu berlari menuju jendal full kaca yang mengarahkan pemandangan ke pantai.
Jesika membuak jendela kaca tersebut, lalu keluar hingga sampai di tepi balkon. Wajahnya ebrbinar penuh kekaguman lalu merentangkan kedua tangan, wajah menengadah menikmati udara segar dengan angin sepoi-sepoi.
“Ya Tuhan, ini indah sekali!” serunya sampai badannya melompat-lompat. Sungguh dia tidak tahu ada sepasang mata yang mengawasi dengan tatapan aneh.
Sekampungan itukah dia sampai melompat-lompat kegirangan?
Antonio membiarkan Jesika di sana, sementara dirinya duduk di tepi ranjang. Niatnya ingin membaringkan tubuhnya yang lelah, tapi entah kenapa badannya seolah memilih untuk tetap duduk. Bukan tanpa alasan, akan tetapi karena tubuh setinggi seratus enam puluh lima senci meter di balkon mengundangnya untuk memandangi.
Diam-diam Antonio mengamati bagaimana tingkah Jesika di luar sana, hingga kemudian ponselnya mendadak berdering. Sebuah paggilan masuk dari nomor yang tidak asing.
“Ya, halo. Bagaimana? Kamu dapat info lain?”
“Iya, Tuan. Saya bicara di telpon atau bagaimana?”
“Saya di Bali, Kamu bisa bicara sekarang.”
“Baik, Tuan.”
Antonio mendekatkan ponselnya benar-benar menempel pada telinga, dia mendengarkan dengan bai kapa yang orang seberang katakana. Sementara mendengarkan, dua matanya tidak menjauh tatapan dari sosok yang masih berdiri di balkon. Raut wajah yang tenang, sedikit menunjukkan rasa terkejut ketika mendengar sebuah fakta yang dijelaskan oleh sipenelpon.
Antonio bergeser ke samping, meraih sebuah kertas di dalam tasnya lalu menuliskan sesuatu seperti sebuah alamat rumah dan juga nomor telepon. Sementara Jesika yang menyadari kalau dirinya tidak sendirian di sini, sudah menatap dari balik dinding kaca sambil gigit jadi.
“Astaga, aku lupa kalau aku tidak sendirian di sini. Apa tadi aku bertingkah berlebihan?”
Jesika mengingat-ingat kembali bagaimana ketika tadi pertama datang hingga masuk ke dalam sini. Terus diingat-ingat, Jesika sampai meringis geli sendiri. wajahnya juga sudah mencirut seperti kain diperas menyembunyikan rasa malu, padahal tidak ada siapapun yang melihatnya sekarang.
Jesika memeluk tubuhnya yang mulai dingin terkena aangin di luar sini, memilih masuk kembali ke kamar. Sambil mengusap-usap lengannya, langkah ia buat seperlahan mungkin supaya tidak mengganggu orang yang tengah bicara di telpon.
Sangat perlahan Jesika terus menapakkan kaki, menuju tasnya yang tadi ia lempar ke atas sofa. Namun, ketika tinggal sekitar dua langkah lagi, suara bariton mengejutkannya. Jesika berhenti segera dengan satu kaki sudah terbuka. Perlahan lehernya memutar, sampai bertemu tatap dengan Antonio.
Jesika menarik satu kakinya dengan cepat, lalu meringis sambil meliukkan badan. “Maaf, aku hanya tidak mau mengganggu.”
Antonio memasukkan kertas dan pulpen kedalam tasnya lagi sementara ponsel ia letakkan di atas tepi ranjang.
“Aku mau ke luar. Kamu mau tetap di sini atau ikut?”
Jesika berpikir sejenak sambil menggigit bibir. Pemandangan pantai di luar sana begitu indah dan sayang jika tidak dikunjungi. Jesika sempat melirik ke arah balkon dengan bibir cemeberut, lalu kembali pada tatapan awal.
“Apa boleh ikut?” tanyanya. “Anda mau ke mana?”
“Cari udara segar.”
Senyum Jesika langsung mengembang sampai gigi putihnya terlihat. “Oke, saya ikut.”
Antonio tahu resikonya jika keluar bersama Jesika. Di sini mungkin tidak akan aada wartawan yang mengejar-ngejarnya, tapi pasti ada saja yang berhasil mengambil gambarnya lalu menyebarkan diinternet dengan berbagai caption.
Antonio masih duduk, dengan alis mata menurun. Jesika yang sudah berdiri usai mengambil tasnya ikut menurunkan alisnya.
“Apa ada yang salah, Tuan?”
Antonio berdiri sambil memasukkan ponsel dan dompet ke dalam saku celana. “Tidak ada,” jawabnya singkat.
Wajah Jesika benar-benar sumringah sekarang. dia seperti anak remaja yang diajak pergi berlibur. Apalagi membayangkan bagaimana suasana pantai menjelang sore. Pasti indah dengan angin sepoi-sepoi.
Antonio berhenti di sebuah toko aksesoris. Dia melihat sebuah topi yang menggantung di rak bundar.
“Mau pakai juga tidak?”
Jesika mendekat lebih maju. Dia melihat sebuah topi bulat dengan pita yang mengelilinginya. “Boleh yang itu? sepertinya cocok untuk ke pantai?”
“Memang siapa yang mau ke pantai?”
“Ha?”
Jesika ternganga, setelahnya dia menarik dagu ke dalam. “Bukankah kita mau ke pantai?”
“Aku bilang mau cari makan.”
“Ta-tapi kan …”
Pupus sudah harapan Jesika sekarang. Bibirnya merengut, lalu tidak jadi berminat untuk membeli topi.
"Tidak jadi topinya?" tanya Antonio.
Jesika menggeleng.
"Jangan salahkan aku kalau wajahmu kena panas.”
Antonio meraih satu topi berwana abu-abu, lalu mebayarnya dengan lembaran uang dari dalam saku.
Huh! Orang seperti dia ternyata punya uang lembaran lima puluh ribuan juga.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan menyusuri trotoar yang dihiasi tanaman bunga di pinggirannya. Beberapa orang juga melintas di sana, dan tentunya cukup ramai.
“Tunggu dulu!”
Secepat kilat Antonio menarik pinggang Jesika yang hendak menyeberang tanpa menoleh-noleh. Jesika sempat terkejut, tapi akhirnya terbengong begitu saja, menatap satu tangan kekar melingkar dipinggangnya. Wajah tampan pria ini begitu tenang dan serius menunggu mobil yang melintas kosong.
Jesika pikir tangan itu akan terlepas ketika hendak menyeberang, tapi nyatanya masih berada di pinggangnya bahkan ketika sudah berhasil menyeberang.
“Kamu masih hutang budi padaku. Enak saja mau mati.”
Gubrak!
Jesika meliukkan badan ketika mendadak kakinya seperti tak bertulang. Dia kemudian meringis getir.
Dasar brengsek! Apa yang aku harapkan dari pria ini, sialan!
***
“Jadi apa kamu sudah menemukan wanitamu yang kabur?”“Belum. Sial! aku hampir gila mencarinya.”“Aku kirim gambar padamu. Sebaiknya kamu melihatnya.”Panggilan masih tersambung, pria itu melihat sebuah pesan gambar yang masuk. Keningnya mulai berkerut ketika melihat seroang Wanita cantik dengan rambut digulung, dengan poni belah samping. Model rambut yang biasa menjadi tren di Korea.Pria itu kembali menempelkan ponsel pada telinganya. “Di mana kamu melihatnya.”“Jalanan dekat pantai kuta. Bukankah sangat mirip?”“Aku matikan telpon dulu. Kita bisara lagi nanti.”Saat panggilan sudah selesai, pria dengan rambut Buzz cut itu menepi menuju sebuah apartemen. Dia berjalan cepat menuju apartemennya yang berada di lantai dua puluh. Hari cukup melelahkan karena pekerjaan kantor sangat banyak.Sampai di dalam apartemnnya, Joseph langsung duduk di sofa dengan punggung bersandar. Dia menyelunjrkan kedua kakinya ke atas sofa, lalu membuka ponselnya lagi.Tatapan mata pada layar yang menyala itu
“Seharusnya kita segera pindah setelah mendapatkan uang itu, Pa!” decak Sera. “Dia sunggu menakutkan!”Atiqah manarik sang putri dalam pelukannya, sementara matanya menatap sedih bercampr kesal pada sang suami.“Seharusnya kamu mengawasinya lebih ketat supaya dia tidak kabur.”Sanjaya meraup wajah sambil mendesah berat. Bisnisnya mulai berkembang sebenarnya. “Jesika sudah di rumah itu sebelum kabur. Seharusnya pengawal Joseph yang lebih ketat penjagaannya.”“Memang benar, tapi kalau sudah begini, kita yang repot juga. Dia sampai mengancam akan membawa Sera.”Sanjaya meraup kasar wajahnya yang kusam. “Besok kita pindah. Toh sekarang bisnis kita sudah mulai berkembang. kita tidak akan lagi kekurangan. Kalian tenang saja.”Sanjaya berlalu meninggalkan sang istri dan putrinya yang masih berada di dalam kamar. Melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja berlaci, Sanjaya mendekat ke sana. Dia ingat kalau Joseph mengirimkan sesuatu di sana,Sebelum duduk, Sanjaya mengambil kaca mata lebih
Dia tidak sungguh tidur di sampingku, kan?Jesika masih tidur seperti posisi semula. Niatnya akan beranjak ketika Antonio berada di dalam kamar mandi, tapi siapa sangka kalau pria itu bahkan tidak ada dua menit di dalam sana. Terpaksa Jesika yang sudah membuka mata, kembali mengatupkannya pura-pura tidur lagi.Samar-samar Jesika mendengar suara tapak kaki semakin mendekat. Jantung yang semula berdetak teratur, mendadak bergejolak lebih cepat.Apa dia datang ke sini?Antonio berdiri tepat di hadapan Jesika hanya dengan terhalang sofa panjang tanpa sandaran. Kening Antonio terlihat berkerut. Kepala miring, dia mengamati Jesika yang masih terlelap.Antonio mendesah berat lalu melempar handuk ke sembarang tempat. Dia paling malas melihat orang tidur tanpa posisi yang semenstinya. Kalau bukan karena rasa kantuk yang amat sangat, Antonio enggan sekali mengangkat tubuh Jesika—memindahkan—ke sebelah atas bahkan sampai menatakan bantal.“Apa kamu jarang makan? Kenapa ringan sekali,” seloroh An
Jesika meminta berjalan saja untuk sampai di pantai. Jaraknya terlihat jelas jika terlihat dari kamar hotel, tapi kalau dilalui dengan jalan kaki cukup jauh sekitar ratusan meter. Tian sudah menawarkan untuk mengendarai mobil saja, tapi Jesika menolaknya. Sepertinya berjalan menyusuri trotoar sambil melihat-lihat area sekitar menjadi lebih seru, toh tidak akan melelahkan.Wajah Jesika sangat sumringah bahkan hampir setiap orang yang berpapasan dengannya diberi senyuman merekah. Menganggukan kepala, juga sempat lambai telapak tangan.Sementara di belakang, Tian yang sedari tadi mengikuti diam-diam mulai merekam. Entah sudah medapatkan durasi berapa, tapi sepertinya cukup panjang karena dimulai dari ketika mendekati jalanan yang penuh dengan bunga dan pepohonan.“Ya Tuhan! Apa itu?” Jesika melihat sebuah toko aksesoris di sebelah kiri. “Ayo ke sana sebentar!” ajak Jesika pada Tian.Tian menurut saja.Jesika masuk ke dalam melenggak penuh kagum seperti anak kecil di diajak berbelanja ole
Tian membukakan pintu cukup lebar, lantas mempersilahkan Jesika masuk lebih dulu. Melihat kamar yang kosong, kening Jesika tampak berkerut. “Apa Tuan Antonio sedang pergi?” “Ya. Tuan pergi menemui temannya.” Jesika manggut-manggut. Cukup menyenangkan tidak ada Antonio di sini. Senyum bibir pun terlihat merekah sambil menatap boneka pikachu dan dua paper bag yang di bawa Tian. “Ini, Nona.” “Oke, terima kasih.” Jesika menerima belanjaannya lalu masuk ke dalam usai pintu ditutup. Senyumnya masih mengembang girang, lalu tanpa pergi mandi atau membersihkan diri lebih dulu, Jesika duduk dan mulai membongkar belanjaannya. Kedua kaki terangkat lalu duduk terlipat. Dia menuang satu paper bag hingga beberapa aksesoris seperti bando, gelang dan juga ikat rambut berjatuhan di atas sofa. “Astaga! ini sangat lucu-lucu sekali!” bibir sampai monyong menggoyangkan pundak betapa gemasnya dengan beberapa barang yang ia beli. Entah kapan Jesika terakhir kali memakai aksesoris Wanita. Dia punya, t
Jesika baru selesai mandi. Udara tidak terlalu dingin di sini, meski ac menyala. Mungkin bulan ini sedang musim panas, Jesika tidak terlalu mengerti hal itu. Masih mengenakan jubah handuk, Jesika berjalan menuju kopernya. Antonio belum pulang, setidaknya cukup santai untuk berganti pakaian. “Apa hanya ini yang ada di koperku?” decak Jesika ketika menemukan sebuah piama yang kesekian kalinya. Ini bukan hanya sekedar piama, tapi lebih tepatnya pakaian dinas malam seperti yang orang katakana. Modelnya tidak terlalu terbuka di bagian dada karena memiliki lengan sampai bawah pundak. Panjangnya juga pas selutut, tidak begitu menerawang. Namun, satu hal yang cukup membuat risih yaitu, bagian punggung yang terbuka dengan hiasan tali menyilang. Bagian terbuka itu bahkan hampir sampai ke pinggang. “Kenapa modelnya seperti ini semua, sih!” protes Jesika lagi. “Nenek sengaja, kah?” Ya, yang berkemas kemarin bukanlah Jesika sendiri melainkan Megan. Wanita tua berambut putih itu yang dengan seng
Selepas mandi, Jesika tidak menemukan keberadaan Antonio di kamar. Pria itu menghilang entah kemana tanpa berpamitan.“Aku harus apa sekarang?”Jesika bengong sambil mencoba memikirkan sesuatu. Menit berikutnya setelah pantat mendarat pada sofa yang menghadap pada layar tv lebar, Jesika teringat kalau dia belum menyentuh ponsel lagi sejak kemarin diberi oleh Antonio.Jesika menoleh ke belakang, lalu mengedarkan pandangan. “Di mana ya aku meletakkan ponselnya?”Jesika akhirnya beranjak karena teringat kalau ponselnya masih di dalam kardusnya. Jesika menuju tas jinjing yang kemarin ia bawa. Di sana ada beberapa keperluannya seperti pasta gigi dan sabun mandi.“Astaga! aku belum menyiapkan sabun mandi!” pekik Jesika tiba-tiba ketika tangannya yang merogog tas menemukan sabun Batangan.Dia buru-buru mengambilnya, lalu meletakkan di rak kamar mandi. Jesika keluar dari sana, dengan wajah terheran-heran.“Kenapa ya, kok dia harus ganti sabun setiap mandi? Kenapa tidak pakai sabun botolan saj
Jesika jatuh terduduk di tepi ranjang. Dia terbengong memikirkan hal tadi. Ada rasa bersalah, tapi juga penasaran. Ketika tatapannya mengarah pada pinty, khawatir, takut semakin terasa. Jesika benar-benar lupa tentang pembalutnya yang ia lepas sebelum mandi.“Apa dia benar-benar marah padaku?” gumam Jesika was-was. Entah keberapa kali dia menggigit bibir dan memilin-milin jemarinya.Rasa semakin gelisah ketika sudah dua jam lebih pria itu belum muncul kembali. Jesika menggenggam tangannya sendiri di depan dada, mondar-mandir seperti orang bingung.Mendengar ketukan pintu, Jesika langsung terkesiap. Dia berlari kecil menuju pintu dan segera membukanya. Mulutnya yang terbuka hampir menyebutkan nama Antonio, tapi nyatanya yang datang Tian.“Maaf, Nona. Ini makan malam untuk Nona.”“Oh … oke, terimakasih.”Jesika tersenyum lantas menerima bungkusan tersebut yang berisi sekotak makan malam. Ada raut wajah kecewa di sana. Meski rasa takut masih jelas ada, tapi entah kenap Jesika tetap menun
Di dalam otaknya, Antonio pernah berpikir untuk membantu keuangan Luna yang sedang merosot. Kabar rumah yang disita waktu itu, bahkan membuat Antonio merasa khawatir. Namun, rasa peduli itu nyatanya tidak dibalas dengan baik. Luna justru memainkan perannya sebagai orang yang licik penuh tipu muslihat. Keluar dari restoran, Antonio langsung meminta Tian untuk membawanya segera pergi. Antonio bahkan meninggalkan meja tanpa menunggu Luna kembali. Antonio tidak mau kalau sampai terjadi pertengkaran di sana, karena memang amarah Antonio sedang berada dipuncaknya. “Ada apa, Tuan?” tanya Tian ketika mobil sudah melaju. Wajah Antonio benar-benar merah padam. Kedua tangan tampak mengepal seperti ingin melayangkan tinju. Melihatnya saja membuat Tian bergidik ngeri. “Antar aku menemui Selena.” Kening Tian berkerut, namun akhrinya tetap menganggukkan kepala. Mobil melaku ke sebuah kompleks perumahan mewah. Sekarang sudah pukul dua siang, sialnya Selena sedang tidak du rumah. “Tian, kamu kump
Jesika mengatur pertemuan dengan rekan-rekannya di sebuah restoran berlantai dua di dekat danau. Jaraknya memang cukup jauh dengan kantor, tapi tidak masalah menurt Jesika karena datang beramai-ramai diantar mobil kantor. Setidaknya sekaran juga menjelang hari minggu, jadi berada diluar kantor cukup panjang tidak terlalu masalah.Sementara di kantor sendiri, Antonio dan beberapa infestor mulai kembali membahas tentang dana yang hilang. Pembahasan ini juga langsung teruju pada sebuah cctv yang Tian dapatkan dari setiap ruangan di sini.Siapa sangka kalau ternyata Luna pernah duduk di kursi ruangan kerja Antonio ketika Antonio tengah keluar sebentar untuk mengambil sesuatu kala itu. Antonio tidak pernah manaruh rasa curiga sebelumnya, karena memang yang dia pikir Luna adalah rekan yang baik.“Kamu yakin itu Luna?” tanya Antonio.“Jadi Tuan tidak percaya kalau ini Nona Luna?”Antonio menelan ludah dengan pertanyaan itu. memang sikap Antonio terlalu menyebalkan akhir-akhir ini karena terl
Masuk ke dalam kamar, Antonio melihat sang istri meringkuk di atas ranjang tanpa mengenakan selimut. Antonio meletakkan jas yang tersampir pada lengannya di atas sandaran sofa. Selepas itu, dia mendekati ranjang memeriksa keadaan sang istri. Melihat posisi Jesika, sepertinya Wanita itu ketiduran saat menunggu Antonio pulang.“Kenapa kamu tidak mengenakan selimut? Kamar dingin sekali.” Antonio membungkuk lalu meraij selimut.Namun, ketika hendak menutupkan pada Sebagian tubuh Jesika, Jesika malah terbangun. Wanita itu merangkuk lalu membalikkan badan.“Kamu sudah pulang?”Antonio tersenyum, kemudian duduk membantu sang istri yang beranjak duduk. “Kamu ketiduran?”Masih dengan mata sayu belum terbuka sempurna, Jesika mengangguk. “Kenapa baru pulang?” sekarang Jesika mencoba menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam.Antonio tersenyum tipis, mengelus lembut pucuk kepala sang istri. “Maaf, hari ini lumayan sibuk.”Jadi dia tidak mau mengatakannya padaku?Jesika terdiam mema
Sebelumnya saya minta maaf karena mungkin banyak typo. saya belum sempat untuk mengoreksinya kembali.***Jesika mungkin harus menunggu hingga malam tiba untuk bisa bertemu dengan sang suami. Di kantor, Jesika hanya sempat bertemu ketika tadi nyelonong masuk ke dalam ruangan, tapi setelah itu Jesika tidak melihat lagi bahkan hingga jam pulang kerja. Jesika bahkan pulang lebih dulu karena kata Tian pekerjaan Antonio belum selesai.“Kamu pulang sendiri, Jes?” tanya mama yang menyambutnya di depan pintu ruang tamu.Jesika mengangguk lalu mencium punggung telapak tangan mama mertuanya itu.“Antonio di mana?”Mereka berdua berjalan bersama masuk ke dalam.“Kata Tian, Antonio masih ada kerjaan.”“Tumben?”“Iya, aku juga kurang tahu, Ma. Aku tidak sempat bicara dengannya di kantor.”Menjelang makan malam, Antonio masih belum juga kunjung pulang ke rumah. dia menyempatkan diri menelpon Jesika dengan mengatakan kalau sebentar lagi akan pulang, namun meski begitu tatap saja merasa khawatir kare
Jesika tidak mau peduli mengenai Selena, tapi ketika dia hendak pergi membeli beberapa lembar kertas di sebuah toko, dia tidak sengaja melihat Selena tengah berdebat dengan seseorang. Jesika mengamati dari kejauhan.“Aku sudah mengirim banyak pada ayah. Ayah tidak perlu menemuiku ke sini!”“Ayah butuh lebih. Kalau sampai siang ini ayah tidak mendapatkan uang, ayah bisa mati.”“Apa peduliku?”“Anak kurang ajar!”Selena langsung menyingkir ketika tangan itu melayang hendak menampar dirinya. Jesika yang melihat dari kejauhan sampai membelalakkan mata dan menutup mulut.“Ayah jangan macam-macam denganku di tempat umum. Aku sudah beberapa kali memperingati ayah untuk tidak menemuiku di tempat umum. Ayah tahu resikonya, kan?”Pria berjenggot itu berdecak, menghempas tangan lalu berlalu pergi dengan sia-sia tanpa mendapatkan uang. sementara Selena, dia hanya bisa menghela nafas lalu menyapu ke area sekitar berharap tidak ada yang melihat perdebata baru saja.Jesika yang langsung bersembunyi,
Memang siapa yang sangka kalau Selena bisa melakukan hal sekeji itu hanya demi karirnya? Terkadang memang hal kotor bisa dilakukan demi sesuatu yang ingin sekali digapai, hanya saja cara Selena benar-benar di luar nalar walaupun pada kenyataannya banyak yang begitu di luar sana.“Aku benar-benar tidak menyangka kalau Antonio melupakanku demi Wanita yang jauh di bawahku.” Selena menyulut rokoknya sampai asap mengepul tinggi ke udara.“Jangan bilang sebenarnya kamu masih mengharapkan Amtonio?” Pemela menebak-nebak denga mata sinis. “Kamu masih belum move on?”“Oh come on! Ini sudah satu tahun lebih. Tentu saja aku sudah move on.”Pamela tersenyum miring. “Kamu yakin? Jangan kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu masih sering memantaunya dari jauh. Kamu bahkan meminta Luna untuk bisa lebih dekat dengan Antonio. Kamu Cuma menggunakannya sebagai alat untuk mengetahui tentang mereka kan?”“Brengsek kamu!” umpat Selena. “Aku tidak ada maksud seperti itu. setidaknya Luna lebih tinggi dari istri
Ketika Antonio berjalan mendekat setelah turun dari panggung, dengan bangganya Jesika bertepuk tangan. Bibirnya tersenyum menunjukkan deretan gigi yang putih. Reaksi Antonio yang langsung mengusap pucuk kepala Jesika, tentunya membuat siapa pun akan merasa iri.“Ah, kasihan sekali Selena. Pria seperhatian itu malah ditinggal kabur dulu.”“Benar juga. Jesika sangat beruntung mendapatkan Antonio.”Selena yang berdiri hampir di di paling ujung mendengar percakapan tamu undangan itu, tapi dia hanya menarik satu ujung bibir ke atas dengan wajah acuh sambil menenggak minumannya.“Kalau bukan karena keluarganya yang tak merestui, aku juga tidak mungkin meninggalkan Antonio. Mereka pikir sangat mudah menjadi diriku yang tidak disambut di keluarga Antonio. Brengsek!”Selena meletakkan gelasnya lalu beranjak pergi ke toilet.“Kamu ngobrol sama nenek dulu, aku mau ke toilet dulu sebentar.”“Oke.”Jesika menghampiri nenek yang tengah ngobrol dengan rekan-rekan dan beberapa artis di sana. ketika J
Entah kapan Antonio terakhir kali menginjakkan kaki di gedung agensi milik neneknya. Setiap langkah, ketika melihat beberapa poster dan layar monitor di beberapa titik dinding gedung, terkadang membuat rasa rindu untuk kembali lagi ke sini. Namun, Antonio lebih merasa nyaman ketika sudah meninggalkan agensi. Rasanya bisa berekspresi lebih luas lagi, dan juga tidak terlalu banyak tututan.“Ada apa?” tegur Jesika ketika melihat wajah sendu sang suami.Antonio bergidik lalu tersenyum. “Tidak, aku hanya sedikit rindu ketika masih di sini.”Jesika mengusap lengan Antonio lalu menggandengnya dengan erat. Beberapa orang atau tamu lain berjalan di belakang mereka, tapi tentunya tidak terlihat heboh karena memang ini sudah aturannya bagi siapa pun yang ingin datang ke acara tahunan agensi.Mereka menuju lantai tiga di mana acara akan berlangsung. Papa dan mama tidak bisa datang, jadi hanya nenek yang berangkat bersama Antonio dan Jesika. ada Tian dan Bitt juga pastinya.Sampai di ruanga acara,
“Wanita itu menemui Antonio lagi?”“Iya, Nona.”Jesika yang tengah mengunyah makanan, memegang ponselnya dengan tangan kiri.“Kamu menelpon siapa, Sayang?” tanya nenek yang duduk di hadapannya dengan dibatasi meja bulat.“Tian, Nek.”Megan mengangguk-angguk melanjutkan makan lagi, sementara Jesika membali bicara dengan Tian.“Mau apa dia datang lagi? sudah berapa kali dia datang menemui Antonio?”Nada bicara Jesika membuat Megan menatap penasaran.“Sayang kurang tahu, Nona. Mereka bicara di ruang tamu kantor. Saya hanya bisa melihat dari luar saja.Ruang tamu memang didesain dengan dinding kaca. Tidak ada privasi di sini memang, jadi akan jauh lebih netral untuk bicara dan tidak membuat siapapun salah sangka.“Biarkan saja mereka bicara. perempuan itu tidak akan menyerah sepertinya. Kamu bantu awasi saja. Aku takut dia ada campur tangan dengan klaim karya waktu itu.”“Baik, Nona.”Pemikiran Jesika sepertinya sama dengan Tian. sejujurnya Tian sudah melihat cctv di parkiran belakang ged