Hari terus berganti, hingga tak terasa satu Minggu sudah Mama menginap di rumah ini. Jujur semenjak ada Mama, suasana rumah jadi hangat, bahkan saat aku pulang kerja Amira selalu menyiapkan minuman hangat untukku, dan setiap sore kami akan bersantai bersama di ruang tengah atau di taman belakang, dengan secangkir teh hangat dan cemilan yang selalu dibuat oleh Amira. Ia seperti tak kehabisan ide ada saja makanan ringan yang ia suguhkan, menghangatkan suasana.Sekilas hubungan kami nyaris terlihat sempurna. Ya, pasti setiap orang yang melihatnya akan berpikir demikian.Tapi sesungguhnya jika di dalam kamar, aku tidur di lantai dan Amira yang tidur di ranjang. Aku mengalah tidur di lantai sejak kejadian Amira menggigil kedinginan ketika tidur di lantai. Kami hanya akan bicara dan membahas sesuatu yang penting-penting saja, selebihnya kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Selama seminggu ini pula, Amira jarang ke Kafe-nya. Ia lebih banyak libur karena menemani Mama di rumah. Untuk
Amira Pov.Aku menghibur Mama yang masih kecewa, terlihat beliau sangat terluka mendengar alasan Raka waktu itu pernah meninggalkanku di restoran itu. Jangankan Mama, aku pun terkejut mendengarnya.Andai saja ia berkata jujur bahwa ia melihat Evita hari itu, tentu aku akan dengan sigap membantu mengejarnya, aku akan bantu mencarinya waktu itu.Aku juga sangat paham waktu itu ia tak lebih dari sosok orang yang tengah patah hati. Mengapa ia memilih untuk bungkam dan mengabaikan aku? Meninggalkan aku sendirian di sana, menunggu seperti orang tolol di restoran itu sampai larut malam.Aku tersenyum getir mengingat waktu itu, sangat miris nasibku.Dan sekarang ini aku tengah berjuang membuka hatiku untuk laki-laki yang memang telah dihalalkan bagiku, sudah cukup lama waktu yang terbuang sia-sia dengan segala kepura-puraan ini! Sudah cukup orangtua telah dibuat kecewa akan keadaan hubungan kami ini. Tapi apa aku mampu bertahan, apakah segala usahaku ini berhasil dan mampu mengetuk pintu hati
Hari Sabtu aku lebih santai tak seperti dari hari biasanya, karena Raka tak ke kantor. Aku berkutat di dapur menyiapkan sarapan di bantu sama Mama, beliau duduk mengupas bawang merah di meja. Sedangkan Raka, ia masih asyik berlari di atas treadmill-nya, sepertinya itu sudah menjadi kebiasaannya, setiap hari libur maka di pagi hari ia akan berolah raga.Mama lebih banyak diam sejak semalam, akan bicara seperlunya saja ketika aku bertanya. Mendadak suasana di rumah ini hening, sepi.Kami makan dalam diam, tampak Raka melirikku dan Mama bergantian, sorot matanya seolah bertanya apakah Mama baik-baik saja? Aku hanya tersenyum tipis, menggendikan bahu."Mama, mau nambah nasi lagi?" tanya Raka yang sepertinya itu hanya basa basi saja, karena memang Mama hampir tak pernah nambah ketika makan.Mama hanya menggeleng.Raka menghentikan makannya, ia meraih jemari Mama dan menatapnya dalam."Mama masih marah sama Raka?" tanyanya.Mama hanya memandang Raka dengan sorot mata yang sulit di artikan,
"Ayo." Raka menarik lenganku, aku sedikit terkejut karena baru turun dari mobil dan masih mengedarkan pandangan ke sekeliling, suasana di dalam base man yang cenderung gelap.Aku mengikuti saja apa maunya laki-laki ini. Walau dalam hati aku menggerutu.Aku lho pengin gitu ya, digandeng mesra jalan bersisian memasuki mall. Lha ini aku setengah di seret oleh-nya yang melangkah lebar."Raka! Pelan dikit dong! Dah, dah, lepasin tanganku, sakit tau!" sungutku."Kamu jalan kelamaan, liat kesan kesini, keburu mulai filmnya, tayang jam setengah sembilan soalnya!" Raka berkata tanpa menoleh ia terus berjalan memasuki lobby pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di kota metropolitan ini. Banyaknya lalu lalang orang yang melintas tak menyurutkan langkah kakinya untuk berjalan cepat, aku hanya pasrah mengikuti kemana ia membawaku. "Mau nonton film apaan sih memangnya?" tanyaku."Ada lah nanti kamu juga liat.""Kenapa nggak ngomong dari siang biar aku bisa siap-siap dari rumah, jadi nggak buru-b
"Memang sebelumnya kamu nggak pernah gitu, makan di pinggir jalan kayak tadi?" Aku iseng bertanya.Raka yang sedang fokus mengemudi pun menoleh sekilas ke arahku."Hem." Ia mengangguk."Tapi setelah tadi makan di situ, kamu nggak apa-apa kan?" tanyaku lagi, khawatir juga kan, kalau tiba-tiba dia alergi atau apa gitu, gara-gara makan di pinggir jalan tadi."Nggak. Nggak apa-apa. Ternyata enak juga ya," sahutnya kemudian."Alhamdulillah kalau gitu. Kalau nggak kenapa-napa berarti boleh dong, nanti sering-sering jajan di pinggir jalan.""Hah! Ehm, nggak lah, kalau memang ada tempat yang lebih baik, kenapa harus beli yang di pinggir jalan." "Maksud kamu makan di restoran gitu?""Ya, tempatnya lebih nyaman, lebih bersih.""Memangnya kamu bisa jamin mereka lebih bersih dalam mengolah makanan, daripada yang di pinggir jalan.""Ya nggak juga, setidaknya kan mereka punya standar kebersihan sendiri dan SOP-nya jelas karena ada management yang mengontrol pekerjaan mereka.""Iya juga sih, tapi b
"Ehm, apa kau ingin kita berpisah?" Aku balik bertanya. Tiba-tiba saja dada ini berdenyut nyeri mendengarnya.Raka terdiam, bahkan ia masih sempat tersenyum menanggapi keterkejutanku."Amira, apa kau punya pacar, sebelum menikah denganku?" tanyanya lagi. Bukannya menjawab pertanyaanku tadi ia justru kembali bertanya hal yang tidak penting."Dulu. Saat aku masih kuliah, aku pernah mencintai seseorang, tapi ternyata dia ....""Dia meninggalkanmu?"Aku mengangguk kecil, mengingat masa saat dulu aku menjalin hubungan dengan Billy, teman satu kampus."Lalu sekarang dimana dia? Maksudku, laki-laki itu?"Aku bangkit dari dudukku, rasanya malas saja membahas tentang dia, dan tiba-tiba saja obrolan kami jadi membuatku bad mood."Hei, mau kemana? Aku kan sedang bertanya," cegah Raka."Aku mau tidur. ngantuk," ucapku ketus."Apa kau marah karena aku bertanya soal mantanmu?""Memangnya itu penting bagimu? Membahas masa lalu itu nggak penting, Raka.""Itu penting buatku, karena kau istriku sekaran
"Billy," bisikku lirih. Aku tercekat, tak menyangka akan bertemu dengan dia lagi, di sini, di tempat usahaku sendiri. Padahal sudah beberapa tahun aku merintis Kafe ini, tapi Tuhan mentakdirkan kami bertemu di hari ini."Hei Mir, apa kabar? Kamu, mau di makan di sini juga?" tanyannya memecah keheningan diantara kami. Setelah hampir lima tahun ini kami tak bersua, tentu saja yang ada kini rasa canggung.Aku masih diam, lidahku terasa kelu, tak mampu berkata apapun, hanya degup di dada yang terasa makin tak menentu.-"Setelah wisuda nanti aku akan datang ke rumahmu untuk melamarmu, Amira, dan selang tiga bulan, kita akan menikah. Kamu mau kan jadi istriku?" tanya Billy waktu itu kita sedang sama-sama menyusun skripsi.Tentu saja aku langsung mengangguk cepat dengan senyum merekah, aku mencintainya, sudah tentu aku sangat bahagia mendengar kepastian darinya itu."Aku mencintaimu, setelah kita nikah nanti nggak apa-apa kan, kita mulai semuanya dari nol, Papa bilang kalau aku nikah dulu
"Apa? Amira, maksudnya, kamu, sudah menikah?""Hei Bung kenapa kaget gitu? Sebenarnya ada perlu apa Anda dengan istri saya?" tanya Raka menatap lekat ke arah Billy."Oh, nggak. Nggak ada apa-apa sih, tadi kami cuma nggak sengaja ketemu di sini." Raka mengangguk kemudian menoleh padaku."Oh, apa ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakan? Kalau tidak ada, saya ingin mengajak istri saya pulang," pungkas Raka membuat Billy tak mampu berkata-kata lagi."Ayo Sayang, kita pulang," ucap Raka menatapku datar. Aku mengangguk dan ikut dibelakangnya."Tunggu Raka, tas-ku masih di dalam.""Biar aku yang ambil, Kau tunggu di mobil," ucapnya membuatku tak bisa membantah.Baru kali ini aku melihat netranya menatap lain ke arahku, seperti kesal, tapi juga ada kekhawatiran terlihat di sana.Raka melangkah memasuki Lobby restoran kembali. Dimana masih ada Billy duduk di sana.Tapi Raka terlihat melewatinya begitu saja, dan menemui Mita. Sepertinya ia meminta Mita untuk mengambilkan tas-ku.Tak be
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin