Baru saja aku turun dari motor dan menyerahkan helm yang kukenakan pada pengemudi ojeg online. Tiba-tiba sebuah lengan kekar melingkar di pinggangku. Aku terperanjat, kaget bukan main, dan reflek tanganku langsung menepis tangan seorang laki-laki yang baru kutahu saat aku menoleh seseorang itu, ternyata Raka."Raka!" Aku terpekik kaget.Hah, kenapa tiba-tiba dia bisa ada di sini? Apa jangan-jangan dia diam-diam memata-mataiku?"Ayo, mau masuk ke dalam 'kan?" Raka merengkuh pinggangku posesif, dengan setengah memaksa berjalan bersama memasuki Kafe. Seketika semua mata tertuju pada kami, terutama para karyawan.Aku hanya menyunggingkan senyuman canggung, beruntung Raka melepaskan tangannya dari pinggangku begitu akan memasuki Kafe, dan kini gantian ia meraih telapak tanganku, menggandengnya erat. Saat aku melirik ke samping melihat wajahnya, netra elangnya itu seperti mencari seseorang di dalam Kafe. Dan sesaat kemudian ia tersenyum kecil, seperti telah menemukan apa yang dia cari. S
Waktu terus berlalu, tak terasa setengah tahun sudah aku menjalani biduk rumah tangga dengan Raka, rumah tangga yang tak sewajarnya. Kenapa aku menyebut ini tak sewajarnya, karena kehidupan kami berbeda dengan pasangan-pasangan lain. Dimana di tahun-tahun pertama pernikahan mereka tentu akan diliputi kebahagiaan. Berbeda denganku, yang masih begini, aku seperti wanita singel karena aku sama sekali tak melayani kebutuhan Raka, dalam segala hal, hanya status kami saja yang suami istri.Jujur yang aku rasakan hampa. Aku merasa hidup di tengah kepura-puraan hanya capek. Tapi tak mampu berbuat apa-apa selain menjalani ini.Tak ada kemajuan yang berarti antara aku dan Raka. Hanya saja kini kami berdua lebih terlihat kompak dan makin makin maksimal bersandiwara saat di depan kedua orang tua kami. Panggilan 'Sayang' terdengar ringan sekali terucap dari bibir Raka ketika berada di depan kedua orang tua kami. Sungguh sandiwara yang sangat totalitas sekali, bukan?Hari ini hari minggu seperti bi
"Mama? Tumben kesini, nggak bilang-bilang dulu," tanyaku saat menemui Mama di meja Kafe. Aku langsung keluar begitu Mita bilang ada Mama mertuaku datang."Iya, ada yang ingin Mama sampaikan sama kamu. Mama ganggu nggak?""Oh nggak kok Ma, kebetulan Amira sedang nggak sibuk."Waktu masih menunjukkan jam sepuluh pagi, suasana Kafe juga masih lenggang."Sebentar Amira ambilkan minum ya Ma. Atau Mama mau nyemil atau makan berat?" tawarku."Eh, nggak usah Mir, minum aja Sayang.""Baik Ma, Jus alpukat?""Boleh deh."Aku pun mengangguk tersenyum kemudian dengan cepat melenggang ke dapur membuatkan jus alpukat untuk Mama mertuaku. Dalam beberapa menit aku kembali keluar dapur dengan membawa satu gelas jus alpukat dan satu gelas jus strawberry untukku.Mama tampak terdiam sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja. Pandangannya menerawang lurus ke depan. Raut wajahnya seperti terlihat risau.Tampak jelas seperti ada yang tengah Mama pikiran. Tiba-tiba aku teringat ucapan Raka, kalau Mama ngg
Aku tergugu, tak mampu berkata apapun pada perempuan yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri ini. Hanya air mata yang tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi.Aku sampai tak mempedulikan suasana sekitar, sepertinya beberapa orang karyawan mulai melirik ke arahku.Genggaman tangannya aku rasakan semakin erat, seakan memberikan kekuatan padaku."Mir, lihat Mama," pintanya. Aku yang masih menunduk pun mau tak mau harus mengangkat kepala menatap wajah ayu nan senyum hangat yang selalu terpancar."Kamu sayang sama Mama?"Aku kembali mengangguk."Mama juga sudah sayang sekali sama kamu Amira. Bolehkah Mama meminta suatu hal?"Aku menyeka air mata yang sudah membasahi pipi, lalu kembali menatap dalam netra tua milik Mama."Maukah kamu perjuangkan pernikahan ini, demi Mama?" Degh!Aku terperangah. Apa lagi ini? Setelah tadi Mama memberikan pertanyaan untuk aku mau bertahan atau berpisah? Kenapa sekarang seakan mengharuskan aku untuk bertahan? "Dengarkan dulu kata-kata Mama, Sayang. Mam
Jika biasanya aku bangun sesaat setelah adzan subuh berkumandang, atau ketika alarm jam pada ponselku berbunyi. Tapi Pagi ini setengah jam sebelum subuh aku sudah bangun, aku mulai mengeluarkan beberapa sayuran dan ayam dari dalam kulkas untuk di masak. Tekadku sudah bulat, aku akan berusaha mempertahankan pernikahan ini. Toh nyatanya Evita tak diketahui dimana rimbanya.Aku lebih mengutamakan perasaan orang-orang yang sudah tulus menyayangiku. Kedua orang tuaku, juga termasuk mertuaku. Mereka menaruh harapan besar untuk kebutuhan pernikahan ini.Tanganku dengan cekatan mengupas bawang merah, bawang putih dan bumbu dapur lainnya. Mengupas dan mencuci bersih wortel, kentang dan juga ayam.Sop ayam untuk menu pagi ini, dan tahu isi. Aku juga membuat ayam kecap dan tumis capcay kering, untuk bekal makan siang Raka.Aku mulai berkutat di dapur, ketika suasana masih hening, kamar Raka masih tertutup rapat. Dia pasti masih tidur, seperti biasa ia akan keluar kamar saat jam tujuh pagi dan s
Aku meraih bingkai foto itu, mengusap pelan wajah cantik, putih sahabatku itu. Ada apa sebenarnya denganmu Vi? Jika saja kau tahu kini aku yang menggantikan posisimu di rumah ini, apa kau akan marah padaku? Dan menganggapku sebagai teman yang jahat?Aku bermonolog sendiri sambil menatap foto mereka.Tiba-tiba saja semua percakapanku kemarin dengan Mama Rita melintas dalam benakku. Aku tak boleh goyah hanya karena melihat foto Evita."Aku memang menyayangimu Vi, tapi aku tak bisa terus seperti ini, pernikahan antara aku dan Raka sudah terlanjur terjadi dan itu pun karena ulahmu yang tak bertanggung jawab. Jadi sekarang aku ingin menjalankan peranku sebagai istri, sebagaimana mestinya. Karena ini bukan salahku." Kembali aku bermonolog sendiri meyakinkan diri bahwa tekadku sudah bulat.Aku pun tak tega melihat Raka yang terus menerus terjerat dalam cinta masa lalu, cinta yang ia perjuangkan untukmu nyatanya kau balas dengan kesakitan untuknya.Dia suamiku sekarang, dan aku ingin mengajak
"Apa-apaan ini? Siapa yang mengijinkan kamu masuk kamarku? Hah?!" Raka menunjuk pada kamar miliknya yang pintunya terbuka lebar. Ia menatapku tajam seakan hendak menelanku hidup-hidup.Raka masih pakai pakaian kantor lengkap. Ketika aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam sebelas malam. Ini adalah kali pertama Raka kembali pulang larut malam, setelah beberapa lama ia selalu pulang sore, atau paling lambat selepas magrib."Ra–Raka, aku cuma– Cuma membersihkan kamarmu saja, itu saja," jawabku gugup. Jujur aku merasa takut ketika melihatnya marah.Maklum ayahku sendiri saja hampir tak pernah membentak atau bicara kasar padaku, jadi ketika ada orang lain yang tiba-tiba berbicara keras padaku, aku sudah gemetar ketakutan."Aku kan sudah pernah bilang, kamu di larang masuk ke kamarku! Kenapa nggak ngerti sih!" ungkapnya sengit masih dengan nada ketus dan terlihat jelas raut kekesalannya."Oke, aku minta maaf Raka. Maafkan aku. Aku tak akan mengulanginya lagi," ucapku pelan. Aku meng
"Yang tadi itu lho, yang tadi kamu mau bawakan untuk aku," sahutnya."Oh, kan kata kamu bekal makan siang itu cuma untuk anak TK, orang kantor bawa bekal, nanti kamu malu, jadi kayak anak TK," sindirku sambil melirik ke arahnya yang terlihat bingung hendak menjawab apa."Ehm, itu, anu, aku ... Berubah pikiran, sekarang mana tas bekal tadi, aku mau bawa," ucapnya pelan sambil menggaruk belakang kepalanya.Lekas aku mencuci tanganku yang masih penuh dengan busa sabun, lalu berbalik badan menoleh ke arahnya."Kenapa? Kok tiba-tiba berubah pikiran?" tanyaku, sambil menahan tawa, sejujurnya aku ingin tertawa terbahak-bahak melihat sikapnya yang lucu, tadi nggak mau, kenapa sekarang jadi mau? Kamu terlalu gengsi Raka."Nih." Aku meraih tas bekal yang ada di atas meja dan memberikan padanya.Ia pun langsung meraihnya dan melenggang begitu saja meninggalkanku. Setelah ia berlalu, aku tersenyum sendiri."Makanya kalau memang mau, nggak usah sok gengsi menolak makanan dariku," cibirku lirih. Ta
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin