Aku meraih bingkai foto itu, mengusap pelan wajah cantik, putih sahabatku itu. Ada apa sebenarnya denganmu Vi? Jika saja kau tahu kini aku yang menggantikan posisimu di rumah ini, apa kau akan marah padaku? Dan menganggapku sebagai teman yang jahat?Aku bermonolog sendiri sambil menatap foto mereka.Tiba-tiba saja semua percakapanku kemarin dengan Mama Rita melintas dalam benakku. Aku tak boleh goyah hanya karena melihat foto Evita."Aku memang menyayangimu Vi, tapi aku tak bisa terus seperti ini, pernikahan antara aku dan Raka sudah terlanjur terjadi dan itu pun karena ulahmu yang tak bertanggung jawab. Jadi sekarang aku ingin menjalankan peranku sebagai istri, sebagaimana mestinya. Karena ini bukan salahku." Kembali aku bermonolog sendiri meyakinkan diri bahwa tekadku sudah bulat.Aku pun tak tega melihat Raka yang terus menerus terjerat dalam cinta masa lalu, cinta yang ia perjuangkan untukmu nyatanya kau balas dengan kesakitan untuknya.Dia suamiku sekarang, dan aku ingin mengajak
"Apa-apaan ini? Siapa yang mengijinkan kamu masuk kamarku? Hah?!" Raka menunjuk pada kamar miliknya yang pintunya terbuka lebar. Ia menatapku tajam seakan hendak menelanku hidup-hidup.Raka masih pakai pakaian kantor lengkap. Ketika aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam sebelas malam. Ini adalah kali pertama Raka kembali pulang larut malam, setelah beberapa lama ia selalu pulang sore, atau paling lambat selepas magrib."Ra–Raka, aku cuma– Cuma membersihkan kamarmu saja, itu saja," jawabku gugup. Jujur aku merasa takut ketika melihatnya marah.Maklum ayahku sendiri saja hampir tak pernah membentak atau bicara kasar padaku, jadi ketika ada orang lain yang tiba-tiba berbicara keras padaku, aku sudah gemetar ketakutan."Aku kan sudah pernah bilang, kamu di larang masuk ke kamarku! Kenapa nggak ngerti sih!" ungkapnya sengit masih dengan nada ketus dan terlihat jelas raut kekesalannya."Oke, aku minta maaf Raka. Maafkan aku. Aku tak akan mengulanginya lagi," ucapku pelan. Aku meng
"Yang tadi itu lho, yang tadi kamu mau bawakan untuk aku," sahutnya."Oh, kan kata kamu bekal makan siang itu cuma untuk anak TK, orang kantor bawa bekal, nanti kamu malu, jadi kayak anak TK," sindirku sambil melirik ke arahnya yang terlihat bingung hendak menjawab apa."Ehm, itu, anu, aku ... Berubah pikiran, sekarang mana tas bekal tadi, aku mau bawa," ucapnya pelan sambil menggaruk belakang kepalanya.Lekas aku mencuci tanganku yang masih penuh dengan busa sabun, lalu berbalik badan menoleh ke arahnya."Kenapa? Kok tiba-tiba berubah pikiran?" tanyaku, sambil menahan tawa, sejujurnya aku ingin tertawa terbahak-bahak melihat sikapnya yang lucu, tadi nggak mau, kenapa sekarang jadi mau? Kamu terlalu gengsi Raka."Nih." Aku meraih tas bekal yang ada di atas meja dan memberikan padanya.Ia pun langsung meraihnya dan melenggang begitu saja meninggalkanku. Setelah ia berlalu, aku tersenyum sendiri."Makanya kalau memang mau, nggak usah sok gengsi menolak makanan dariku," cibirku lirih. Ta
"Maksudmu apa? Aku tak mengerti.""Ehm itu maksudku, aku ingin mendatangi laundry tempat kamu mencuci pakaianku kemarin."Raka bertanya dengan wajah polosnya."Kau memintaku mencuci bajumu lagi? Begitu maksudmu?" tanyaku begitu aku paham maksudnya dia."Hah? Apa?! Maksudmu kemarin itu Kau yang mencucinya sendiri?!" Raka bertanya setengah berteriak, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.Aku tersenyum, merasa lucu sekali dengan obrolan kami siang ini."Yaiyalah! Kau pikir aku pergi ke Laundry mana?!" Aku menanggapinya santai sambil melanjutkan makan.Lagi-lagi Raka seperti terkejut."Aku pikir kamu–""Oke, aku mau mencucikan bajumu, tapi kali ini nggak gratis." Raka langsung melirikku dengan tatapan tajam, penuh rasa penasaran."Aku harus bayar? Begitu maksudnya?"Aku menarik bibirku menatapnya."Ya.""Berapa aku harus membayarmu?""Aku ingin bayaran yang lain, bukan uang."Seketika Raka duduk kembali dan mendekatkan wajahnya. Mendadak wajahku jadi menghangat karena jarak wajah kami
Raka POVPernikahan impian yang sudah terbayangkan indah bersama Evita–kekasihku, ternyata justru menjadi pernikahan paling menyedihkan. Menjadi titik awal yang kisah memilukan.Evita pergi di hari bahagia itu. Dan dengan keputusan sepihak Papa menyodorkan seorang wanita yang baru ku ketahui ternyata gadis itu anak dari sahabatnya. Aku seperti pernah melihat gadis ini, setelah aku ingat-ingat ternyata dia adalah sahabatnya Evita, aku pernah bertemu dengannya ketika kencan dengan Evita.Tapi mengapa tiba-tiba dia mau saja saat disuruh duduk di pelaminan menggantikan Evita?Pernikahan dengan orang yang baru dikenal tentu membuat kami begitu canggung. Meski sebenarnya jika di perhatikan, paras wajahnya Amira lebih cantik dari Evita, ya kuakui itu. Kulitnya putih, wajahnya putih bersih, hidungnya mancung, bulu matanya lentik, dengan alis tebal hitam yang natural. Ia terlihat begitu anggun dengan gamis dan hijab yang membalut tubuhnya.Berbeda dengan Evita yang tak mengenakan hijab. Ah, ak
Raka PovBetapa terkejutnya aku ketika melintasi dapur, ternyata makanan sudah berjejer rapi di atas meja. Rasa bersalah di hatiku makin menjadi, jelas makanan ini masih utuh, aku yakin Amira sendiri belum menyentuhnya, apakah dia menungguku pulang untuk makan bersama? Tapi aku justru asyik nongkrong, makan di restoran dengan teman-temanku di luar.Meski diantara kami tak ada cinta, tapi jujur aku akui, Amira adalah partner yang baik, ia selalu bisa diajak kerjasama untuk bersandiwara di depan orangtua kami. Untuk beberapa hari ke depan, Papa ke luar negeri untuk urusan bisnis, Mama akan tinggal di sini. Tentu ini sedikit merepotkan, tapi juga aku merasa lebih tenang, dari pada Mama di rumah sendiri, hanya di temani Bibik, aku khawatir dengan kesehatan Mama."Raka kamu mau ngapain?" tanya Mama tiba-tiba, ketika aku memasuki dapur.Ya, sesuai janjiku siang tadi, aku akan masak untuk makan malam. Sebagai imbalan karena Amira mau mencucikan baju-bajuku.Aku terkejut ketika mendapati semu
Raka Pov."Kamu yakin mau masak lagi?" tanyaku pada Amira, ia tampak serius di dapur, tangannya begitu lihai meracik bumbu. "Ya. Sebaiknya kamu temani Mama sana!"Aku masih tak bergeming, berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri. Ingin bantu, tapi bingung bantu apa? Nasi goreng yang tadi sudah jadi sama sekali tak bisa di makan, karena rasanya kelewat asin."Ehm, Mir!""Ya." Amira menyahut tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Apa dia marah? Karena hasil masakanku tak bisa di makan? Atau dia kesal karena kondisi dapur yang sangat berantakan ini? Aku jadi tak enak padanya."Maaf ya," ucapku pelan."Ya. Nggak apa-apa, aku maklum kok, kamu kan anak Mama, jadi wajar nggak bisa di dapur. Mau makan tinggal makan, mau minum tinggal minum, tanpa tahu bagaimana repotnya di dapur," sahutnya ketus.Ck, nylekit juga nih anak ngomongnya. Ya memang bener sih, selama ini aku terbiasa selalu di layani, mana pernah aku memasak sendiri di dapur."Lagian udah tahu aku nggak bisa masak, malah kamu minta aku
"Hah, Raka! Kamu apa-apaan sih! Turunin aku! Raka! Turun!" Amira yang baru saja membuka matanya, langsung berontak berusaha melepaskan diri, membuatku kewalahan karena aksinya itu.Aku pun jadi tak kuasa menahan tubuhnya akibat pergerakan darinya yang tak kira-kira.Brugh!Aku dan Amira jadi sama-sama jatuh di atas ranjang. Dengan posisi aku berada diatasnya. Bahkan kini tubuh kami sangat dekat lengan dan dada kami berdempetan tanpa jarak. Pandangan mataku mengarah tepat di kedua netranya yang bening dan lentik itu.Beberapa saat aku seperti terbius akan pesonanya. Ia pun sepertinya sama denganku, kami seperti sama-sama larut dalam suasana yang tiba-tiba membuat kami begitu dekat, sangat dekat. Bahkan aku bisa merasakan hembusan napasnya.Degup jantungku tiba-tiba berpacu cepat. Semoga saja ia tak sampai mendengar detak jantungku ini. Tak kupungkiri, ada perasaan berbeda saat berdekatan begini dengannya, aku laki-laki normal, melihat wanita cantik di depanku, membuat desiran aneh di d
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin