“Aw! Aw! Sakit, Sayang.” Rasyid mengaduh sambil menggerakkan pinggangnya ke kanan dan ke kiri menghindar dari cubitan Shanum. Rasyid menepikan motornya lalu berhenti dan menoleh ke arah Shanum.“Kamu suka, kan, di deketin banyak perempuan kayak tadi? Oh! Atau, jangan-jangan tadi pulang lama karena ngobrol sama perempuan dulu ya?! Mangaku deh!” tuduh Shanum. “Astagfirullah, su'udzon itu tidak baik, Sayangku. Apalagi sama suami sendiri,” ucap Rasyid sambil menangkup wajah Shanum.“Terus tadi ngapain aja? Kok lama pulangnya?” tanya Shanum. Mata wanita itu menyipit seolah sedang menyelidik Rasyid dengan teliti. “Tadi aku bantu bersihkan halaman masjid. Marbotnya sedang sakit, jadi masjidnya sedikit tidak terurus.” “Apalagi tadi pagi di pakai untuk tempat pengajian, sampah plastik banyak berserakan di sana,” jawab Rasyid sejujur mungkin.“Beneran?” tanya Shanum memastikan. “Benar, tidak ada kebohongan. Sama seperti cinta aku sama kamu,” jawab Rasyid.Wajahnya tampannya terlihat semakin
Malam telah tiba. Salat isya kali ini Rasyid memutuskan untuk salat di kost bersama Shanum. “Udah siap?” tanya Rasyid ketika melihat Shanum sudah siap dengan mukenahnya. Shanum mengangguk.Lantunan surah Al-Fatihah dan surah pendek yang di bacakan oleh Rasyid terdengar begitu merdu. Shanum sampai pangling saat mendengarnya.Namun, setelahnya, Shanum bisa salat dengan sangat khusyuk. Hatinya terasa begitu sejuk mendengar setiap surah yang di bacakan oleh Rasyid.Setelah selesai salat, Rasyid berbalik mendekati Shanum lalu membacakan doa di ubun-ubun nya. Entah kenapa Shanum meremang saat mendengar suara bisikan Rasyid yang berada di kepalanya.Pria itu menangkup wajah Shanum lalu mencuri kecupan di kedua pipi dan dahi Shanum. Saat hendak mengecup bibir Shanum, wanita itu langsung menahan bibir Rasyid dengan telapak tangannya. “Jangan modus deh!” kesal Shanum. Tatapannya terlihat begitu sinis pada Rasyid.Rasyid tersenyum. Shanum terlihat sangat menggemaskan jika sedang marah. Hal i
Semenjak hinaan yang di berikan oleh Ummi Zulaikha, Shanum memang sedikit lebih sensitif jika kembali mendengar hal semacam itu. Ia bisa mengalami serangan panik attack saat itu juga.Hal itulah yang membuat Shanum tidak berbicara apapun saat mendapatkan tuduhan tersebut. Padahal, Shanum terlihat seperti sosok wanita yang terkesan angkuh jika di lihat dari luar. Nyatanya, dia hanyalah wanita pemilik hati rapuh yang mudah hancur.Helaan nafas terdengar dari Rasyid. Pria itu bingung harus bagaimana lagi. Shanum terus menangis. Segala tawaran sudah di berikan olehnya. Mulai dari mengajak pulang ke rumah, menyewa apartemen, sampai mengajak membeli rumah sendiri.Semuanya di tolak oleh Shanum. Jika di tanya ingin apa, maka jawaban shanum adalah, tidak ingin di kost ini lagi.“Jangan membuat aku bingung, Shanum. Cobalah terima salah satu tawaranku. Atau, katakan, apa yang kamu mau?” ujar Rasyid. Lagi lagi Shanum tidak menjawab. Wanita itu hanya diam tertunduk sambil memilin ujung jilbab
Shanum langsung membekap mulutnya. Ia tidak percaya jika yang berbicara di sambungan telepon itu adalah Ummi Zulaikha. “Jika bisa, pulanglah besok pagi. Ummi akan menyambutmu,” suara Ummi Zulaikha kembali terdengar.Shanum semakin terpaku. Ini mustahil. Rasyid terlihat begitu penasaran saat melihat reaksi Shanum. Ia sedikit khawatir jika sang ibu telah berbicara macam-macam pada istrinya.Segera ia ambil kembali ponselnya. “Ummi bilang apa sama Shanum?” tanya Rasyid. Nada bicaranya terkesan menuduh sang ibu. “Ummi meminta Shanum untuk ikut pulang sama kamu. Kenapa? Salah?” jawab Ummi Zulaikha. Dari suara yang terdengar, sepertinya Ummi Zulaikha merasa sedikit kesal.Rasyid cukup terkejut mendengarnya. Namun, sejurus kemudian, senyum bahagia terukir di bibirnya. Hatinya langsung bersyukur karena Ummi Zulaikha sudah mau berdamai dengan menantunya sendiri.“Tidak, Ummi. Malah Rasyid sangat berterimakasih karena Ummi sudah mau menerima Shanum,” ujar Rasyid bahagia. “Ya, mintalah agar
“Kita sampai,” ucap Rasyid. Pria itu menurunkan Shanum dari gendongannya, lalu tersenyum menatap wajah padam istrinya. Shanum melirik sinis ke arah Rasyid sambil berdecak sebal. Andai saja Ummi Zulaikha tidak ada di sini, mungkin Shanum sudah mencakar wajah itu. “Jangan lihatin aku aja, Sayang. Aku tahu kok aku mempesona. Tapi, Ummi udah nungguin tuh,” ucap Rasyid dengan percaya diri saat Shanum terus menatapnya. Shanum kembali berdecak. Malas sekali meladeni Rasyid sekarang. Netranya segera beralih menatap Ummi Zulaikha. Seketika kegugupan melanda dirinya. “A-assalamu'alaikum, Ummi.” ucap Shanum sambil mencium punggung tangan Ummi Zulaikha. “Waalaikumsalam,” jawab Ummi Zulaikha. Dengan segan Ummi Zulaikha memeluk Shanum. Pelukan itu pun tidak berlangsung lama. Ummi Zulaikha langsung melepas pelukannya lalu beralih pada Rasyid. Ibu dan anak itu saling berpelukan. Shanum dapat melihat Ummi Zulaikha begitu menyayangi Rasyid. Terlihat dari caranya memeluk erat Rasyid lalu men
Mata Shanum sedikit melebar mendengarnya. “Semuanya? Maksud Ummi?” tanya Shanum sedikit bingung. Tidak mungkin,kan, jika dia membersihkan seluruh bagian rumah besar ini? “Ck! Begitu saja tidak paham! Kamu aku tugaskan untuk membersihkan seluruh rumah ini!”“Kau bisa membersihkan satu persatu ataupun sekaligus aku tidak peduli!”“Jika sudah, kamu setrika pakaian di kamar belakang!” ucap Ummi Zulaikha, ketus. Setelah berkata demikian, Ummi Zulaikha langsung meninggalkan Shanum. Shanum menghela nafas. Rumah ini sangat besar. Tapi, ia rasa, tidak ada gunanya mengeluh. “Sepertinya hari ini aku hanya bisa membersihkan satu lantai rumah ini,” gumam Shanum. Wanita itu berjalan menghampiri Ummi Zulaikha yang sedang duduk di sofa sambil membaca kitab kuning. “Ummi, jika hari ini aku hanya membersihkan lantai dasar apa boleh?” tanya Shanum. Ummi Zulaikha hanya berdehem sambil mengibaskan tangannya sebagai isyarat agar Shanum segera pergi. Wanita itu menurut. Shanum langsung kembali ke
“Selamat, Tuan. Anda Akan Segera Menjadi Ayah,”Ucapan dokter itu bagai petir yang menyambar hati Rasyid. Ia menatap nanar ke arah istrinya. Sementara Shanum, wanita itu terpaku mendengar pernyataan dari sang dokter. “Be-berapa usia kandungannya?” tanya Rasyid. Mulut pria itu sampai bergetar saat menanyakan pertanyaan yang tidak ingin dia dengar jawabannya.“Sudah memasuki usia satu minggu, Tuan.” jawab sang dokter. Rasyid langsung memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut saat mendengar jawaban itu. “Tidak! Dokter pasti salah! Saya tidak mungkin hamil, Dokter!” elak Shanum. Netranya beralih menatap Rasyid. Kecemasan melanda hatinya saat melihat tatapan Rasyid berubah padanya.“Hasil pemeriksaanku menunjukkan itu, Nyonya. Jika kau kurang yakin, kau bisa menggunakan testpack,” ucap sang Dokter. Ia membuka tasnya dan menyodorkannya sebuah alat kecil pada Shanum.Dengan cepat Shanum bangun dan menyambar testpack itu lalu berlari ke kamar mandi. Rasyid masih ingin mempercayai istrin
“Sayang sekali, Shanum. Kau bukan hanya telah mengecewakan aku. Tapi, kau juga telah membuat dirimu menjadi istri yang haram di sentuh!” Ucapan Rasyid bagai pisau yang tertancap begitu dalam di dada Shanum. Nafas wanita itu tercekat mendengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Shanum. Suaranya terdengar bergetar. “Seorang wanita yang sedang hamil itu haram untuk di sirami laki-laki lain, Shanum! Dan aku tidak akan pernah menyentuhmu walau sudah melahirkan sekalipun!” sentak Rasyid.Tidak-tidak. Bukan ini yang di inginkan Shanum. Ia bukannya tidak ingin di sentuh oleh Rasyid, Shanum hanya memerlukan waktu.Emosi dalam diri Rasyid meluap-luap. Pria langsung pergi hendak keluar dari kamar ini. Namun, pergerakannya terhenti saat mendengar ucapan Shanum. “Aku berani bersumpah atas nama Allah, Buby! Aku tidak pernah bersetubuh dengan siapapun semenjak kita menikah!”Rasyid menoleh. Ia berjalan mendekat. Matanya terlihat memandang Shanum dengan pandangan meragukan. “Pernikahan kita sudah berjalan
Sesuai apa yang di ucapkannya semalam, Rasyid sudah siap dengan mobilnya seusai sholat subuh. Sepertinya, dia masih sedikit marah padaku perihal ucapanku semalam. Memang, setelah sentakannya semalam, dia tidak mau mendengarkan perkataanku lagi dan meminta aku untuk segera tidur.“Berhati-hatilah di jalan, Rasyid,” ucap Tuan Abrahah sambil menepuk bahu suamiku. Sungguh sandiwara yang sempurna. Ingin sekali rasanya aku meneriaki semua niat busuknya di hadapan semua orang.Tapi, aku yakin tidak akan ada yang mempercayaiku. Yang ada aku hanya akan mendapatkan cibiran dari mertuaku dan amarah yang semakin besar dari suamiku. Setelah menutup bagasi mobilnya, Rasyid berjalan menghampiriku.Aku langsung mencium punggung tangannya saat dia menyodorkan tangannya padaku. Dia memelukku cukup lama, lalu berbisik, “Maafkan aku karena semalam telah membentakmu.”Kami mengendurkan pelukan kami. Aku menatapnya lalu mengangguk pelan. Saat dia tersenyum tipis, aku pun ikut tersenyum. Rasa kesal ya
Hari-hari berlalu, sangat terasa bagiku setiap detiknya saat Tuan Abrahah tinggal di sini bersamaku. Dia gila! Tuan Abrahah sangat gila! Dia berkali-kali berusaha mencelakai aku dan kandunganku.Tuan Abrahah seringkali membasahi lantai yang akan aku pijak dengan menggunakan minyak agar aku terpeleset dan jatuh, atau, sengaja mencampurkan bahan-bahan makanan yang dapat menggugurkan kandunganku.Untunglah aku memiliki suami yang sangat perhatian padaku. Semua siasat busuk Tuan Abrahah selalu di gagalkan oleh Rasyid. Saat aku hendak terjatuh karena memijak lantai yang licin, Rasyid dengan sigap menangkapku dan memarahi para asisten rumah tangga yang dia anggap kurang teliti dalam mengeringkan lantai.Begitupun saat Rasyid mengetahui jika ada bahan makanan yang membahayakan ibu hamil di makananku. Seluruh koki yang baru di sewa oleh Rasyid setelah mengetahui kehamilanku langsung di marahi habis-habisan bahkan di pecat. Padahal, ini bukan kesalahan mereka, tapi kesalahan dari kakaknya.
“Tidak! Rasyid!” aku berteriak. Ini memang sangat nekat. Tapi, lebih baik aku di marahi Rasyid dan menjadi bulan-bulanannya Ummi Zulaikha daripada harus melayani Tuan Abrahah. Tuan Abrahah panik seketika. Ia langsung membekap mulutku saat Rasyid mulai menggedor-gedor pintu. “Shanum? Kau kah itu yang berteriak? Tolong buka pintunya, Sayang.” kata Rasyid sambil terus menggedor pintu.Aku berusaha memberontak, tapi, tenaganya sangat kuat. “Dasar pelacur gila!” umpatnya padaku dengan suara berbisik sambil menyeret diriku bersembunyi di balik bak. Kamar mandi ini memang di sediakan untuk art di rumah ini. Itulah sebabnya tidak ada bathub di sini, melainkan sebuah bak yang terbuat dari semen dan di lapisi dengan keramik.Ukuran bak ini cukup untuk menyembunyikan aku dan Tuan Abrahah. Gedoran pintu terdengar semakin keras. “Shanum, jangan membuat aku cemas, cepat buka pintunya!” teriak Rasyid dari arah luar.Tuan Abrahah sedikit mengintip sambil terus memegangiku. Dari suara yang aku de
“Apa maksudmu, Bang?” tanya Rasyid pada Tuan Abrahah. Lelaki itu mengalir pandangannya dariku. Dia tersenyum pada Rasyid. “Ah, bukan apa-apa. Aku hanya bergurau,” jawabnya. Dia memang sedang berbicara dengan Rasyid, tapi, matanya selalu mengarah kepadaku.Di ruang tamu ini, ada beberapa orang yang wajahnya sangat asing bagiku, tapi, jika di perhatikan, Tuan Abrahah terlihat mirip dengan Rasyid. Ada dua orang perempuan seusiaku dan tiga orang perempuan seusia Ummi Zulaikha, juga ada tiga orang pria di sini, tiga pria itu terlihat sudah cukup berumur.Kami pun duduk di sofa yang sudah tersedia. Aku cukup terkejut saat melihat dua perempuan seusiaku itu duduk mengapit Tuan Abrahah, lalu, melingkarkan tangan mereka di kedua lengan lelaki itu.“Shanum, perkenalkan, mereka adalah kerabat almarhum Abi mertuamu yang baru sah warga negara Indonesia satu pekan yang lalu,” ucap Ummi Zulaikha padaku. Oh, shit! Jadi, Tuan Abrahah sudah menetap selama satu pekan di sini?Aku tersenyum singkat p
Kenapa orang itu bisa menghubungi Rasyid? Siapa dia? Apa hubungannya dengan Rasyid? Jika orang itu melihatku, itu bisa gawat! Pundakku tiba-tiba di tepuk. Aku yang masih ketakutan pun refleks berteriak keras. “Aaaa! To-tolong menjauh dariku!” teriakku yang refleks berjongkok memeluk lututku.“Hei, Shanum, ada apa? Ini aku,” suara Rasyid terdengar. Aku langsung mendongakkan kepalaku. Aku langsung bangkit dari dudukku sambil meraba tubuh Rasyid. Benar. Ini Rasyid. Tidak ada orang menakutkan itu di sini.“Ada apa?” tanya Rasyid lagi. Apakah aku harus memberitahunya? Tapi, bagaimana jika aku salah dengar? Tidak-tidak. Aku tidak salah dengar. Aku hapal betul bagaimana suaranya.“Shanum?” Rasyid memanggilku sambil mengusap pipiku. Aku yang semula memandang kosong kini beralih menatap manik birunya. Tatapannya yang teduh membuat hatiku sedikit tenang. “Ada apa, Sayang?”tanya Rasyid sekali lagi. “Ta-tadi ada yang menelfon,” jawabku sedikit terbata.Ekspresi Rasyid langsung menunjukkan b
Satu pekan telah berlalu. Selama itu, aku sadar bahwa hamil itu tidak enak. Setiap hari aku harus mengalami morning sicknees yang sangat menyiksa. Selama satu pekan itu, Rasyid pun menjadi tempat aku meluapkan emosiku. Aku sering memarahinya tanpa alasan, sering tiba-tiba merajuk. Dan Rasyid sendiri, dia selalu meladeni semua tingkahku dengan penuh kelembutan.Seperti sekarang ini, aku sedang marah pada Rasyid karena gagal membawakan aku bubur ayam langganan kami. Saat Rasyid kembali dengan tangan kosong, aku langsung menangis. Ya, aku akui semenjak hamil aku menjadi cengeng. Tangisanku bahkan belum berhenti sampai sekarang. “Berhenti menangis, Sayang. Aku bisa belikan di tempat lain, mau?” tawarnya. Aku menggeleng cepat. “Cuma mau yang di depan gang itu!” kesalku. “Di sana kan tutup, Sayang. Di tempat lain aja ya?” bujuknya lagi. “No! No! No!” ucapku sambil menggelengkan kepala dan menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan ke kiri.“Mau bubur aja ribet! Banyak banget dramanya, h
Aku sedang duduk di kursi taman belakang. Menghirup rakus udara yang ada di sana. Berusaha menetralkan hatiku yang tidak beraturan. Bulir-bulir air mataku terus menetes, mewakili berbagai kata yang tak sanggup terucap. Ucapan Rasyid sebelumnya bagai sebuah pisau yang menancap begitu dalam di hatiku. Cukup lama aku duduk di sini, dengan air mata yang terus mengalir. Mataku sudah terasa berat. Sepertinya, aku harus menghentikan tangisanku. Saat aku bangun dari dudukku, tiba-tiba saja kepalaku terasa berkunang. Semua pandangan menjadi kabur dan, perlahan, semuanya menjadi gelap bersamaan dengan jatuhnya keseimbangan kakiku. Samar-samar aku mendengar suara laki-laki yang memanggil namaku. Sepertinya itu Rasyid. Aku ingin membuka mataku, tapi, mataku ini terasa sangat berat. Entah sudah berapa lama mataku terpejam, tapi, saat aku membuka mata, aku sudah berada di kamar. Rasa pening kembali menyerang, namun, tidak senyeri sebelumnya. Pandanganku mengedar mengitari ruangan. Ada Rasyi
“Buby, apa itu benar?” tanyaku. Aku terus menatapnya, dengan maksud menuntut suamiku agar segera memberikan jawaban. Rasyid menatapku sejenak, lalu, membuang pandangannya sambil menghela nafas berat. “Sudahlah, hentikan pembahasan ini!” kata Rasyid. Nada bicaranya sedikit ketus. Dia langsung pergi dari kamar menyisakan perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Tiba-tiba saja Zulfah berteriak, “Kenapa kau meminta Rasyid untuk menjadikan aku istri keduanya?! Aku tidak mau, Ummi!” Wow, cukup mengejutkan. Sebelumnya, Zulfah terlihat ketakutan setengah mati, dan sekarang, dia sudah berani memakai Ummi Zulaikha. Harus aku akui, gadis ini sudah tidak waras.“Cih! Kau tidak ingin menjadi yang kedua tapi menyukai pria beristri. Dasar gadis gila! Di mana otakmu itu?” sarkasku sambil menatap tajam ke arah Zulfah.Zulfah sudah terlihat marah. Ia siap melontarkan segala perkataan kasarnya. Namun, Ummi Zulaikha langsung memelototi Zulfah. Aku paham dengan isyarat mata mertuaku itu. Dia memberi
Mataku melebar sempurna mendengarnya tuduhannya. Ternyata, selain pengecut, Zulfah merupakan perempuan munafik. Suamiku bergerak cepat menggendong Ummi Zulaikha dan meletakkannya di atas ranjang. Lalu, dengan telaten suamiku melakukan pertolongan pertama pada dahi mertuaku.Sejauh ini, Rasyid belum bereaksi apapun terhadap tuduhan yang di lontarkan Zulfah. Manik birunya terlihat mengedar menatap kamar yang berantakan.Entah kenapa, aku pun hanya diam. Aku malah ikut mengedarkan pandanganku, padahal, seharusnya aku memberikan pembelaan diri karena sudah di tuduh oleh Zulfah. Tidak. Sebenarnya, aku ingin melihat bagaimana reaksi Rasyid. Pandangannya sempat menatap aku dan Zulfah secara bergantian. Setelahnya, dia kembali menunjukkan fokusnya pada Ummi Zulaikha. Namun,tatapan yang di berikannya tadi, seolah menyelidik aku dan Zulfah. Keheningan terjadi di antara kami bertiga.Zulfah masih setia berdiri di ambang pintu, dan aku pun sama. Aku masih duduk di tepi kasur sambil memandan