“Sayang sekali, Shanum. Kau bukan hanya telah mengecewakan aku. Tapi, kau juga telah membuat dirimu menjadi istri yang haram di sentuh!” Ucapan Rasyid bagai pisau yang tertancap begitu dalam di dada Shanum. Nafas wanita itu tercekat mendengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Shanum. Suaranya terdengar bergetar. “Seorang wanita yang sedang hamil itu haram untuk di sirami laki-laki lain, Shanum! Dan aku tidak akan pernah menyentuhmu walau sudah melahirkan sekalipun!” sentak Rasyid.Tidak-tidak. Bukan ini yang di inginkan Shanum. Ia bukannya tidak ingin di sentuh oleh Rasyid, Shanum hanya memerlukan waktu.Emosi dalam diri Rasyid meluap-luap. Pria langsung pergi hendak keluar dari kamar ini. Namun, pergerakannya terhenti saat mendengar ucapan Shanum. “Aku berani bersumpah atas nama Allah, Buby! Aku tidak pernah bersetubuh dengan siapapun semenjak kita menikah!”Rasyid menoleh. Ia berjalan mendekat. Matanya terlihat memandang Shanum dengan pandangan meragukan. “Pernikahan kita sudah berjalan
Rasyid meraup kasar wajahnya. Dia tidak menyangka jika lisannya bisa dengan mudah mengucapkan kata cerai. Rasa kecewa di hatinya membuat Rasyid hilang kendali. Ia memijit pelipisnya. Mencoba menenangkan diri dengan beristighfar dalam hati.“Kita pulang!” titah Rasyid lalu pergi begitu saja. Shanum terus menangis. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Pasti ada seseorang yang sengaja menjebaknya. Dan tidak ada yang bisa di curigai selain sang mertua.Ia mengusut air matanya lalu menatap tajam ke arah Ummi Zulaikha. Shanum berjalan mendekat. Telunjuk kanannya langsung menunding ke arah Ummi Zulaikha, dan melayangkan tuduhannya. “Kau?! Ini semua pasti ulahmu, kan?!”Ummi Zulaikha sedikit terkesiap mendengarnya. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang. “Kenapa kau jadi menuduhku? Aku tidak berbuat apapun,” ucap Ummi Zulaikha. Shanum berdecih. Ia yakin tuduhannya benar. “Kau yang melakukannya! Hanya kau yang membenci aku di sini! Kau pasti sedang mencari celah untuk memisahkan aku dan Rasy
Di sisi lain, Rasyid terlihat keluar dari mobil dan berjalan gontai memasuki masjid. Hatinya sudah sangat kalut. Pandangannya sangat gelap hingga membuat Rasyid tidak tahu harus berbuat apa. Di saat seperti itu, Rasyid sadar bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan selain bersujud kepada Allah. Ia berdiri menghadap kiblat dengan kaki gemetar. Shalat sunnah taubat yang ia lakukan benar-benar membuat dadanya terasa sesak. Takbir yang ia gaungkan pun tidak selantang biasanya. Rasyid benar-benar merasa malu kepada Allah. Dia malu karena merasa gagal menjaga istrinya dengan baik. Ada rasa penyesalan yang menyelinap di hatinya. Ia terus berandai-andai akan kejadian ini. Andai saja dia tidak membiarkan Shanum pergi, pasti Shanum tidak sampai seperti sekarang. Andai saja ia tidak membuat sumpah konyol itu, mungkin, semuanya tidak akan seperti ini. Ia langsung beristighfar dalam shalatnya saat sadar telah meragukan jalan takdir Allah dan kehilangan fokus akan shalatnya. Ia bersuj
Shanum mengganti pakaiannya. Ia memakai kaus yang di balut jaket kulit dengan bawahan celana Levis hitam. Jangan di tanya ia mendapatkan pakaian itu dari mana. Semua yang ia kenakan adalah milik Rasyid. Kunci motor yang sudah ia pegang pun milik suaminya. Setelah membulatkan tekadnya, Shanum langsung mengobrak-abrik isi lemari dan laci lalu mengambil barang yang ia rasa sangat di butuhkan untuk rencananya kali ini.Shanum mengikat ujung kerudungnya ke belakang. Ia memandang sebentar pantulan dirinya di cermin. Sudah lama Shanum tidak berpakaian seperti ini. Semenjak mulai bekerja di rumah bordir pada usia delapan belas tahun, Shanum harus menghentikan hobi bermain motornya. Wanita itu membuka ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ia menjadi sedikit ragu. “Bagaimana jika dokter itu sudah pulang?” gumam Shanum. Shanum sedikit berpikir. Jika dokter itu sudah pulang, maka rencananya bisa berantakan.“Ah, sudahlah! Tidak ada salahnya mencoba lebih dulu,” uca
“Hei, kau, wanita gila! Cepat lepaskan aku!” teriak Amira. Matanya sudah berkaca-kaca. Suaranya terdengar bergetar. Tetapi Shanum, dia tidak menggubris sama sekali. Amira meronta. Ia berusaha untuk melepaskan dirinya sendiri. Tetapi, kursi itu malah hampir terjatuh. Jantung Amira serasa ingin lepas. Jika saja kursi itu benar-benar jatuh, maka kepalanya lah yang akan lebih dulu hangus. “Aku mohon, lepaskan aku! Aku akan menuruti semua perintahmu, aku berjanji!” Amira tidak punya pilihan, ia harus memohon. “Benarkah, kau akan melakukan apapun?” tanya Shanum. Amira mengangguk cepat. “Ya, aku akan lakukan apapun. Tapi cepat lepaskan aku! Api itu ingin kembali mencoba membakarku,” ucapnya dengan suara parau. Shanum mendengus. Ide Clara ternyata cukup merepotkan. Biar bagaimanapun, Shanum tidak akan senekat itu. Percayalah, ekspresi datar yang ia tunjukkan sangat berlawanan dengan hatinya yang ikut ketakutan melihat kobaran api itu. Menurut Clara, Amira memiliki rasa takut
“Rasyid tidak menyangka Ummi akan berbuat sangat keji pada Shanum,” ucap Rasyid. Guratan rasa kecewa terlihat jelas di wajahnya. Semua kebenaran telah terkuak. Ummi Zulaikha sudah tidak bisa mengelak lagi.Di atas brankar, Shanum tersenyum miring. Ia sangat senang melihat Rasyid tidak ingin mendengarkan satupun pembelaan dari Ummi Zulaikha. Pandangan Rasyid beralih. Ada rasa bersalah yang begitu nampak saat Shanum bertatapan dengan manik biru itu.Rasyid berlutut di samping brankar Shanum dan menggenggam erat tangan cantik itu. “Shanum, a-aku tahu kesalahanku sangat besar. Tidak. Aku sangat bodoh.”“Aku telah berbuat sangat kasar padamu. Bahkan, aku telah menuduhmu berselingkuh dariku.” “Ta-tapi ternyata, ini semua hanyalah karangan yang sengaja di buat oleh Ummi,” ucap Rasyid. Di akhir kalimatnya, Rasyid sempat melirik tajam ke arah Ummi Zulaikha lalu kembali menatap Shanum.“Jika bisa, tolong maafkan aku, Shanum.” Rasyid memohon dengan lirih. Pandangannya seketika tertunduk. I
“Ta-tapi, ini masih pagi, Buby.” sahut Shanum. Rasa gugup sekaligus malu mulai menguasai dirinya, apalagi, di saat Rasyid mengigit pelan daun telinganya. “Tidak ada peraturan waktu untuk melakukannya, kan?” tanya Rasyid. Suaranya masih terdengar berbisik. Deru nafas Rasyid yang berhembus di lehernya masih bisa di rasakan dengan jelas oleh Shanum.“Ba-bagaimana jika Ummi dengar?” Shanum balik bertanya. Kulit wajahnya telah berganti warna menjadi merah padam. Rasyid langsung menatap Shanum dengan mata yang menyipit. “Apa yang akan Ummi dengar?” tanya Rasyid.Nada bicaranya terdengar seperti sedang mencurigai Shanum yang sudah membayangkan permainan cinta mereka. Shanum spontan menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan. Ia sangat malu karena merasa telah di pergoki oleh Rasyid.Rasyid hanya bisa terkekeh geli melihat tingkah Shanum. Ia semakin mengeratkan pelukannya, lalu, menyingkirkan tangan yang menutupi wajah cantik itu. “Jangan khawatir, Ummi tidak akan mendengar apapun.
“A-apa Syekh baru saja melihat ini?” tanya Rasyid dengan ekspresi memelas. Ummi Zulaikha hanya mengangguk. Pria itu langsung menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia malu bukan kepalang. Jika saja tanda kissmark yang di buat oleh Shanum tidak di lihat oleh Syekh Abdurrahman, tentu dia akan merasa sangat bangga. Tapi, jika sudah begini kejadiannya, Rasyid malah takut untuk bertemu lagi dengan Syekh Abdurrahman.“Apa aku harus pergi ke Masjid, Ummi?” tanya Rasyid. Ingin sekali rasanya Ummi Zulaikha tertawa saat mendengar pertanyaan Rasyid.Sebab, pertanyaan itu membuat Rasyid terkesan seperti anak kecil yang sedang malas pergi ke Masjid. “Ummi rasa harus. Kau sudah tidak datang ke rumah Syekh, jangan buat dia semakin kecewa karena ketidakhadiranmu di Masjid,” jawab Ummi Zulaikha sambil terus tersenyum.Wanita tua itu terkekeh ketika melihat anaknya semakin lesu. Langkah Rasyid menjadi sangat lambat, ia seolah sedang mengulur waktu untuk pergi ke Masjid. Saat sampai di dalam kama
Sesuai apa yang di ucapkannya semalam, Rasyid sudah siap dengan mobilnya seusai sholat subuh. Sepertinya, dia masih sedikit marah padaku perihal ucapanku semalam. Memang, setelah sentakannya semalam, dia tidak mau mendengarkan perkataanku lagi dan meminta aku untuk segera tidur.“Berhati-hatilah di jalan, Rasyid,” ucap Tuan Abrahah sambil menepuk bahu suamiku. Sungguh sandiwara yang sempurna. Ingin sekali rasanya aku meneriaki semua niat busuknya di hadapan semua orang.Tapi, aku yakin tidak akan ada yang mempercayaiku. Yang ada aku hanya akan mendapatkan cibiran dari mertuaku dan amarah yang semakin besar dari suamiku. Setelah menutup bagasi mobilnya, Rasyid berjalan menghampiriku.Aku langsung mencium punggung tangannya saat dia menyodorkan tangannya padaku. Dia memelukku cukup lama, lalu berbisik, “Maafkan aku karena semalam telah membentakmu.”Kami mengendurkan pelukan kami. Aku menatapnya lalu mengangguk pelan. Saat dia tersenyum tipis, aku pun ikut tersenyum. Rasa kesal ya
Hari-hari berlalu, sangat terasa bagiku setiap detiknya saat Tuan Abrahah tinggal di sini bersamaku. Dia gila! Tuan Abrahah sangat gila! Dia berkali-kali berusaha mencelakai aku dan kandunganku.Tuan Abrahah seringkali membasahi lantai yang akan aku pijak dengan menggunakan minyak agar aku terpeleset dan jatuh, atau, sengaja mencampurkan bahan-bahan makanan yang dapat menggugurkan kandunganku.Untunglah aku memiliki suami yang sangat perhatian padaku. Semua siasat busuk Tuan Abrahah selalu di gagalkan oleh Rasyid. Saat aku hendak terjatuh karena memijak lantai yang licin, Rasyid dengan sigap menangkapku dan memarahi para asisten rumah tangga yang dia anggap kurang teliti dalam mengeringkan lantai.Begitupun saat Rasyid mengetahui jika ada bahan makanan yang membahayakan ibu hamil di makananku. Seluruh koki yang baru di sewa oleh Rasyid setelah mengetahui kehamilanku langsung di marahi habis-habisan bahkan di pecat. Padahal, ini bukan kesalahan mereka, tapi kesalahan dari kakaknya.
“Tidak! Rasyid!” aku berteriak. Ini memang sangat nekat. Tapi, lebih baik aku di marahi Rasyid dan menjadi bulan-bulanannya Ummi Zulaikha daripada harus melayani Tuan Abrahah. Tuan Abrahah panik seketika. Ia langsung membekap mulutku saat Rasyid mulai menggedor-gedor pintu. “Shanum? Kau kah itu yang berteriak? Tolong buka pintunya, Sayang.” kata Rasyid sambil terus menggedor pintu.Aku berusaha memberontak, tapi, tenaganya sangat kuat. “Dasar pelacur gila!” umpatnya padaku dengan suara berbisik sambil menyeret diriku bersembunyi di balik bak. Kamar mandi ini memang di sediakan untuk art di rumah ini. Itulah sebabnya tidak ada bathub di sini, melainkan sebuah bak yang terbuat dari semen dan di lapisi dengan keramik.Ukuran bak ini cukup untuk menyembunyikan aku dan Tuan Abrahah. Gedoran pintu terdengar semakin keras. “Shanum, jangan membuat aku cemas, cepat buka pintunya!” teriak Rasyid dari arah luar.Tuan Abrahah sedikit mengintip sambil terus memegangiku. Dari suara yang aku de
“Apa maksudmu, Bang?” tanya Rasyid pada Tuan Abrahah. Lelaki itu mengalir pandangannya dariku. Dia tersenyum pada Rasyid. “Ah, bukan apa-apa. Aku hanya bergurau,” jawabnya. Dia memang sedang berbicara dengan Rasyid, tapi, matanya selalu mengarah kepadaku.Di ruang tamu ini, ada beberapa orang yang wajahnya sangat asing bagiku, tapi, jika di perhatikan, Tuan Abrahah terlihat mirip dengan Rasyid. Ada dua orang perempuan seusiaku dan tiga orang perempuan seusia Ummi Zulaikha, juga ada tiga orang pria di sini, tiga pria itu terlihat sudah cukup berumur.Kami pun duduk di sofa yang sudah tersedia. Aku cukup terkejut saat melihat dua perempuan seusiaku itu duduk mengapit Tuan Abrahah, lalu, melingkarkan tangan mereka di kedua lengan lelaki itu.“Shanum, perkenalkan, mereka adalah kerabat almarhum Abi mertuamu yang baru sah warga negara Indonesia satu pekan yang lalu,” ucap Ummi Zulaikha padaku. Oh, shit! Jadi, Tuan Abrahah sudah menetap selama satu pekan di sini?Aku tersenyum singkat p
Kenapa orang itu bisa menghubungi Rasyid? Siapa dia? Apa hubungannya dengan Rasyid? Jika orang itu melihatku, itu bisa gawat! Pundakku tiba-tiba di tepuk. Aku yang masih ketakutan pun refleks berteriak keras. “Aaaa! To-tolong menjauh dariku!” teriakku yang refleks berjongkok memeluk lututku.“Hei, Shanum, ada apa? Ini aku,” suara Rasyid terdengar. Aku langsung mendongakkan kepalaku. Aku langsung bangkit dari dudukku sambil meraba tubuh Rasyid. Benar. Ini Rasyid. Tidak ada orang menakutkan itu di sini.“Ada apa?” tanya Rasyid lagi. Apakah aku harus memberitahunya? Tapi, bagaimana jika aku salah dengar? Tidak-tidak. Aku tidak salah dengar. Aku hapal betul bagaimana suaranya.“Shanum?” Rasyid memanggilku sambil mengusap pipiku. Aku yang semula memandang kosong kini beralih menatap manik birunya. Tatapannya yang teduh membuat hatiku sedikit tenang. “Ada apa, Sayang?”tanya Rasyid sekali lagi. “Ta-tadi ada yang menelfon,” jawabku sedikit terbata.Ekspresi Rasyid langsung menunjukkan b
Satu pekan telah berlalu. Selama itu, aku sadar bahwa hamil itu tidak enak. Setiap hari aku harus mengalami morning sicknees yang sangat menyiksa. Selama satu pekan itu, Rasyid pun menjadi tempat aku meluapkan emosiku. Aku sering memarahinya tanpa alasan, sering tiba-tiba merajuk. Dan Rasyid sendiri, dia selalu meladeni semua tingkahku dengan penuh kelembutan.Seperti sekarang ini, aku sedang marah pada Rasyid karena gagal membawakan aku bubur ayam langganan kami. Saat Rasyid kembali dengan tangan kosong, aku langsung menangis. Ya, aku akui semenjak hamil aku menjadi cengeng. Tangisanku bahkan belum berhenti sampai sekarang. “Berhenti menangis, Sayang. Aku bisa belikan di tempat lain, mau?” tawarnya. Aku menggeleng cepat. “Cuma mau yang di depan gang itu!” kesalku. “Di sana kan tutup, Sayang. Di tempat lain aja ya?” bujuknya lagi. “No! No! No!” ucapku sambil menggelengkan kepala dan menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan ke kiri.“Mau bubur aja ribet! Banyak banget dramanya, h
Aku sedang duduk di kursi taman belakang. Menghirup rakus udara yang ada di sana. Berusaha menetralkan hatiku yang tidak beraturan. Bulir-bulir air mataku terus menetes, mewakili berbagai kata yang tak sanggup terucap. Ucapan Rasyid sebelumnya bagai sebuah pisau yang menancap begitu dalam di hatiku. Cukup lama aku duduk di sini, dengan air mata yang terus mengalir. Mataku sudah terasa berat. Sepertinya, aku harus menghentikan tangisanku. Saat aku bangun dari dudukku, tiba-tiba saja kepalaku terasa berkunang. Semua pandangan menjadi kabur dan, perlahan, semuanya menjadi gelap bersamaan dengan jatuhnya keseimbangan kakiku. Samar-samar aku mendengar suara laki-laki yang memanggil namaku. Sepertinya itu Rasyid. Aku ingin membuka mataku, tapi, mataku ini terasa sangat berat. Entah sudah berapa lama mataku terpejam, tapi, saat aku membuka mata, aku sudah berada di kamar. Rasa pening kembali menyerang, namun, tidak senyeri sebelumnya. Pandanganku mengedar mengitari ruangan. Ada Rasyi
“Buby, apa itu benar?” tanyaku. Aku terus menatapnya, dengan maksud menuntut suamiku agar segera memberikan jawaban. Rasyid menatapku sejenak, lalu, membuang pandangannya sambil menghela nafas berat. “Sudahlah, hentikan pembahasan ini!” kata Rasyid. Nada bicaranya sedikit ketus. Dia langsung pergi dari kamar menyisakan perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Tiba-tiba saja Zulfah berteriak, “Kenapa kau meminta Rasyid untuk menjadikan aku istri keduanya?! Aku tidak mau, Ummi!” Wow, cukup mengejutkan. Sebelumnya, Zulfah terlihat ketakutan setengah mati, dan sekarang, dia sudah berani memakai Ummi Zulaikha. Harus aku akui, gadis ini sudah tidak waras.“Cih! Kau tidak ingin menjadi yang kedua tapi menyukai pria beristri. Dasar gadis gila! Di mana otakmu itu?” sarkasku sambil menatap tajam ke arah Zulfah.Zulfah sudah terlihat marah. Ia siap melontarkan segala perkataan kasarnya. Namun, Ummi Zulaikha langsung memelototi Zulfah. Aku paham dengan isyarat mata mertuaku itu. Dia memberi
Mataku melebar sempurna mendengarnya tuduhannya. Ternyata, selain pengecut, Zulfah merupakan perempuan munafik. Suamiku bergerak cepat menggendong Ummi Zulaikha dan meletakkannya di atas ranjang. Lalu, dengan telaten suamiku melakukan pertolongan pertama pada dahi mertuaku.Sejauh ini, Rasyid belum bereaksi apapun terhadap tuduhan yang di lontarkan Zulfah. Manik birunya terlihat mengedar menatap kamar yang berantakan.Entah kenapa, aku pun hanya diam. Aku malah ikut mengedarkan pandanganku, padahal, seharusnya aku memberikan pembelaan diri karena sudah di tuduh oleh Zulfah. Tidak. Sebenarnya, aku ingin melihat bagaimana reaksi Rasyid. Pandangannya sempat menatap aku dan Zulfah secara bergantian. Setelahnya, dia kembali menunjukkan fokusnya pada Ummi Zulaikha. Namun,tatapan yang di berikannya tadi, seolah menyelidik aku dan Zulfah. Keheningan terjadi di antara kami bertiga.Zulfah masih setia berdiri di ambang pintu, dan aku pun sama. Aku masih duduk di tepi kasur sambil memandan