Home / Romansa / Mendadak Jadi Istri Dosen / BAB 4 - Pria Idaman

Share

BAB 4 - Pria Idaman

Author: Alina Lin
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Nikah.

            Nikah.

            Nikah.

            Kata itu masih memenuhi otakkau sampai sekarang. Kira-kira orang yang berlalu lalang di depanku ini sudah memikirkan pernikahan belum, ya? Mereka tampak asyik bercanda, apalagi segerombolan mahasiswa baru yang percakapannya baru sebatas ‘Nanti main ke kos siapa?’.

Saat ini aku sedang duduk di taman kampus sambil menikmati sekotak susu. Hari mulai senja dan aku masih setia di sini. Dua sahabatku yang paling cantik jelita masih berada di kelas bersama adik tingkat. Mereka mengulang mata kuliah Riset Komunikasi Strategis di semester lima karena ketahuan menyontek waktu ujuan. Dua manusia itu memang sekali-kali perlu diberi efek seperti ini biar jera.

            Dari sekian orang yang melewatiku, ada satu pria yang langsung menuju ke arahku ketika kami bertatapan. Senyumannya yang selalu cerah bersatu dengan cahaya jingga senja.

            “Sendirian aja, nggak takut diculik?” ucap Kak Alex sambil duduk di sampingku.

            “Nggak ada penculik yang mau nyulik saya.”

            “Ah, masa? Deretan cowok yang kamu tolak juga bakal ambil langkah ekstrem kalau kadung keblinger cinta.”

            “Lebay.”

            Dia Alex Aditia Krisbiantoro, kakak tingkat dua tahun di atasku yang juga mantan ketua BEM Fakultas. Aku mengenalnya sejak tahun kemarin ketika dia mengulang mata kuliah dan sekelas denganku. Kami satu kelompok. Dia yang hobi demo sana-sini membuatku mau tidak mau me-back up tugasnya. Namun, dia tidak lepas tangan begitu saja. Dia akan mencetak dan menjilid tugas. Selain itu, perutku akan kenyang karena selalu dijajanin. Intinya aku tidak rugi. Kami imbang. Aku mengeluarkan pikiran, sedangkan dia mengeluarkan uang.

            “Menurut indra penciuman saya, bau-baunya ini habis nyusun strategi demo.”

            Kak Alex langsung terbawa terbahak. Jejeran gigi putih bersihnya bisa kulihat jeras. Walau pakaiannya urakan, tapi dia tidak pernah menyentuh rokok, apalagi alkohol. Bibirnya juga berwarna merah muda segar. Darah keturunan Jerman membuatnya semakin terlihat menawan. Satu lagi yang kusuka darinya, kumis tipisnya itu manis banget.

            Astagfirullah, istighfar Una. Kenapa jadi malah kesemsem sama Kak Alex! Tapi, dia memang ganteng banget. Pernah melihat Ari Wibowo versi muda? Itulah Kak Alex di mataku.

            “Kenapa, sih, hobi banget demo, Kak?”

            “Bukan hobi, itu bentuk penyampaian aspirasi. Sebelum demo juga sudah dicoba cara baik-baik, tapi nggak ada hasil. Biasalah para petinggi, naruninya sering ketinggalan di kamar mandi. Kalau nggak di demo sama mahasiswa, aspirasi rakyat nggak akan dianggap. Apalagi media suka sama yang rusuh-rusuh begini untuk dimuat ke berita.”

            “Tapi, demonya jangan anarkis, Kak.” Aku mengingatkan.

            “Mahasiswa yang bener-bener paham tujuan demo nggak akan bikin keributan dengan ngehancurin fasilitas umum, nyerang aparat, apalagi pake kekerasan. Yang kayak gitu tuh biasanya penyusup yang niatnya memang bikin ricuh aja. Lain kali ikut, deh, biar tahu sensasinya.”

            Pernah kubahas kenapa aku tidak bisa menyukai Mas Harun? Karena ini, perbandingannya adalah Kak Alex. Mas Harun memang baik, tapi nggak seterbuka Kak Alex. Pria di sampingku ini punya mindset yang membuatku sering terkagum-kagum kalau sudah berbincang serius dengannya.

            “Udah pernah dan nggak mau lagi,” kataku.

            “Kapan?”

            “Tahun lalu saya ikut demo tentang harga BBM naik, mata saya perih banget kena gas air mata. Kapok saya.”

            “Sama siapa demonya? Kok aku nggak tahu?” Kak Alex menyerongkan duduknya. Dia menatapku dengan penuh tanya sampai keningnya berkerut.

            “Sama Kakak juga, kok. Itu, lho, yang bareng-bareng mahasiswa se-Jabodetabek yang di Senayan. Masa nggak ingat?”

            “Serius kamu ikut itu?” Kak Alex tampak sangat tidak percaya dengan apa yang kuucapkan.

            “Kenapa? Nggak percaya, ya, kalau orang kayak saya ikut-ikutan demo?”

            “Bukan nggak percaya, cuma kok aku sampe nggak tahu. Harusnya aku tahu dan bisa jagain kamu.”

            “Dih, jagain apaan. Kak Alex, lho, sibuk orasi di depan barisan. Mau ngelindungin gimana?” ucapku mengejek. Kami biasa bercanda seperti ini.

            “Seenggaknya aku bisa lindungin kamu dari gas air mata, nganterin kamu pulang, dan mastiin nggak ada yang luka.”

            Kurasa di Indonesia nggak ada musim semi, tapi kenapa aku seperti melihat bunga sakura berguguran? Rasanya sejuk dan nyaman, seperti kalimat Kak Alex barusan. Apa dia nggak sadar kalau ucapannya itu berbahaya untuk para wanita? Apalagi wanita yang lemah iman sepertiku.

            “Tapi, nggak luka, kan? Atau sampe jatuh?” tanyanya lagi.

            Aku menggeleng.

            “Syukurlah. Ntar kalau mau ikut demo bilang sama aku dulu. Kamu itu salah satu mahasiswa yang perlu dikasih briefing lebih sebelum turun ke jalan. Nanti berdiri di barisan yang nggak jauh dariku, biar bisa kulihatin,” ujarnya sambil tersenyum. Aku pun tidak bisa menolak senyumannya. Dia ini memang … idaman. Kalau sudah begini bagaimana mungkin aku bisa menerima lamaran Mas Harun? Aku sudah menemukan sosok pendamping yang kumau. Nggak harus Kak Alex, tapi aku mau sifatnya. Aku mau pria dengan pemikiran yang membuatku jadi tahu banyak hal dan terbuka.

            “Lex, buru!” Terdengar suara yang meneriaki Kak Alex. Itu temannya.

            “Na, jangan ke mana-mana.”

            “Saya nggak boleh pulang?”

            “Maksudnya tetap di posisi yang bisa kulihat.”

            Aku langsung terdiam dan melongo begitu saja. Ucapannya sangat memungkinkan untuk membuatku salah paham.

“Makasih untuk obrolan sore yang bikin aku semakin semangat ….”

            “Semangat untuk apa?”

            “Semangat nyelesein kuliah dan semangat untuk mengenalmu.” Kak Alex berdiri dari duduknya kemudian melambaikan tangan ke arahku. Dia berjalan mundur sambil terus tersenyum. Bohong kalau aku tidak menyukainya. Sebagai wanita biasa, aku suka dengannya. Perlakuannya sangat lembut dan manis. Banyak mahasiswi yang secara terang-teranganya menyukainya. Namun, dia tidak memedulikan semua. Dia malah sering seperti ini, langsung menghampiriku saat bertemu. Percakapan kami memang berlangsung singkat, tapi efeknya yang seperti diberi formalin. Tahan lama!

Secara fisik dia sangat tampan. Hidung mancung dan bola mata kecokelatannya bisa untuk memperbaiki keturunan. Tubuhnya yang tinggi bak model sangat pas dengan wajahnya. Tapi, aku juga cukup tahu diri. Siapa aku yang bisa ada di lingkungannya? Dia berada di jajaran borjuis yang nggak akan pusing mikirin UKT meski kuliahnya sampe semester empat belas sekali pun. Meski begitu, sesekali aku membayangkan bisa bersamanya. Aku tidak salah, kan?

Related chapters

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 5 - Hanya Diri Sendiri

    Aku baru saja pulang setelah nonton film bersama Sherin dan Wawa di bioskop. Bagi kaum jomlo, nonton bersama sahabat adalah momen yang lebih bahagia daripada kencan. Mau kencan sama siapa, kan, nggak punya pacar? Pukul sepuluh malam aku baru sampai di rumah. Bertepatan aku masuk, si manusia kalong alias Mbak Tasya baru keluar kamar. Kadang aku kesal dengan Ibu, apa pun yang dilakukan Mbak Tasya tidak akan diprotes olehnya. Ibu rela menjaga toko dari pagi sampai malam untuk memenuhi kebutuhan sembari menabung membayar utang Mbak Tasya, sedangkan anaknya hanya leha-leha nggak jelas. Lalu, aku? Aku malah disuruh nikah. Mbak Tasya dulu bekerja di biro travel umroh dan haji. Bayangkan saja, cewek yang hobinya buka-bukaan kayak Mbak Tasya kerja di lingkungan yang mengharuskan memakai pakaian tertutup dan sopan. Dia nggak betah dan sering membuat kesalahan, akhirnya dipecat. Sejak tiga bulan lalu sampai sekarang dia belum kerja lagi. “Sesekali hidup kayak manusia normal, Mbak.

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 6 - Masalah Baru

    Hatiku terasa sesak. Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini? Selama ini aku menjadi Hamba yang baik. Kenapa Allah mengujiku bertubi-tubi? Katanya setiap masalah ada hikmahnya. Dari peristiwa ini, hikmah apa yang bisa kuambil? Hikmah kalau keluargaku adalah orang yang menjualku? Aku sudah melajukan motor sekuat yang kumampu. Aku tidak peduli dengan klakson yang mengingatkanku untuk tidak ugal-ugalan. Sudah tak terhitung berapa kali aku ngerem mendadak atau hampir serempetan dengan kendaraan lain. Aku benar-benar tak peduli dengan semuanya. Mungkin malam ini juga aku akan mati konyol di jalanan. Yang penting aku sudah memakai helem. Selebihnya biar takdir yang bekerja. Ayah, katamu aku harus menurut ke Ibu. Tapi, apakah perintahnya ini patut kuturuti? Apa Ayah nggak marah kalau aku dipaksa menikah demi utang? Siapa manusia di bumi ini yang benar-benar menyayangiku seperti Ayah? Pandanganku semakin kabur karena tertutup lapisan bening yang sama sekali tidak mau berhen

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 7 - Anak Durhaka

    Aku meringis ketika cairan infus membersihkan lukaku. Perihnya langsung membuatku tersadar kalau aku baru saja membuat repot Pak Abi. Aku tidak tahu kecelakaan tadi di mana dan kenapa Pak Abi bisa mengenaliku yang mengenakan helem. Selama perawat melakukan tugasnya, otakku malah berpikir bahwa aku baru saja menumpuk utang. Uang lagi, uang lagi! Pak Abi masuk ketika perawat sudah selesai. “Kamu hapal nomor orang tuamu?” Aku menggeleng. Bukan karena tidak hapal, tapi aku tidak mau berhubungan dengan Ibu dulu. “Setelah ini saya langsung antar kamu pulang.” Aku menggeleng lagi. “Saya berantem sama Ibu saya.” “Kalau gitu kamu harus minta maaf. Gara-gara kamu berantem dengan ibumu, kamu kecelakaan, motor rusak, dan badanmu luka.” Ingin sekali kuplester mulut Pak Abi. Dia berbicara asal yang membuatku kembali terpancing emosi. Aku mengatur napas sejenak, kemudian mendongak ke Pak Abi yang berdiri di dep

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 8 - Kesalahpahaman

    Jalanan Kota Jakarta masih saja ramai di jam yang sudah dini hari. Aku menatap ingar bingat jalanan itu dari balik jendela mobil. Kendaraan yang berlalu lalang, gedung yang gemerlap, dan orang-orang dengan kesibukannya masing-masing. Entah apa yang mereka lakukan di jam selarut ini. Apa mereka sama sepertiku? Apa kami sama-sama menjadi makhluk bumi yang sedang merasakan sakitnya pengkhianatan? Aku merebahkan kepala di sandaran mobil. Kucari posisi ternyaman dengan tatapan yang tak teralih dengan pemandangan di luar. Otak, hati, dan fisikku semuanya kelelahan. Badanku seperti baru saja digebuki warga saking pegalnya. Hatiku lelah karena baru mendapakan serangan dadakan. Otakku rasanya seperti baru diforsir berpikir selama 24 jam untuk mengerjakan ujian tanpa jeda. Mataku yang sedari tadi menangis juga sudah sembab dan terasa sangat berat. Suasana mobil yang tenang membuatku seperti dininabobokkan. Aku memejamkan mata sejenak selama perjalanan. Rasa lelah ini sudah tidak bis

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 9 - Sekadar Pelukan

    Aku tak peduli dengan pernikahan. Aku tak peduli dengan Pak Abi. Aku tak peduli setelah ini bagaimana. Yang jelas, aku suka dipeluk begini. Aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Namun, kenapa pelukannya seperti begitu pas untukku? Apa tubuhku dan tubuhnya dirancang seperti lego yang saling mengikat? Aku baru saja memberikan anggukan untuk permintaan mama Pak Abi. Aku tahu ini salah. Ini nggak benar. Ini bahkan lebih menjijikan dari pernikahan dengan Mas Harun yang demi uang. Aku juga paham ini akan menimbulkan banyak kejutan ke depannya. Namun, tidak salah kalau aku begitu mendamba pelukan ini, kan? Sekarang aku bisa lupa dengan tamparan Ibu dan Mbak Tasya. Aku bahkan tidak merasakan sakitanya kulitku yang baru tergores aspal tadi. Ini … ini sangat nyaman. Air mataku luruh begitu saja. Ini bukan air mata kebagiaan setelah lamaran absurd tadi. Ini air mata karena aku sangat begitu rindu. Aku tidak pernah dipeluk Ibu. Kalau ada yang mau men

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 10 - Isi Kesepakatan

    "Saya nggak tahu ini dosa atau enggak. Saya nggak tahu pernikahan ini benar atau enggak. Saya nggak peduli. Untuk sekarang, saya hanya perlu rumah. Rumah yang sungguhan definisi rumah. Malam itu saya bener-bener memilih untuk mati saja. Andai Bapak nggak membantu saya, pasti saya memilih untuk dipenjara. Uluran tangan mama Pak Abi membuat saya silau. Saya mau itu. Terserah setelah ini mau bagaimana. Yang jelas, izinkan saya sebentar saja bisa mengerti arti keluarga. Agar saya bisa mengingatnya dan dengan begitu bisa perlahan pergi," ucapaku. Ini pertama kalinya kami mendapatkan momen berdua. Aku dan Pak Abi baru dari KUA untuk mendaftarkan pernikahan yang akan dilangsungkan di kediaman orang tuanya, yaitu Bogor. "Kamu nggak akan suka dengan apa itu keluarga. Saya malah ingin hidup sendiri tanpa ada yang peduli sepertimu.” Tatapan matanya masih awas di kemudi mobil. "Tapi, kalau itu maumu. Baiklah. Supaya saya memiliki teman menderita tentang busuknya keluarga." Aku terdiam begitu saj

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 11 - Kisah yang Lucu

    “Hamil duluan, ya?” Satu pertanyaan itu membuatku sadar kalau aku masih mengenakan kebaya berwarna putih. Aku masih di sini. Di tempat di mana aku baru melakukan sesuatu yang sakral dan mengikat. Suara itu terdengar dari seseorang yang tak kukenal. Entah itu pegawai KUA atau salah satu keluarga Pak Abi. “Enggak,” jawabku jujur. “Kok nikahnya buru-buru dan diam-diam?” Sebenarnya aku malas sekali menanggapi pertanyaan itu yang terus berulang. Rasanya lelah saja. Apa perlu aku membawa berkas bukti dari dokter yang menunjukkan selaput daraku masih utuh? Mulutku ini lagi kaku dan tidak selera berbicara panjang lebar. Kenapa, ya, orang-orang itu senang sekali mengurusi kehidupan orang lain? Entah datang dari mana, tiba-tiba aku merasakan ada yang merangkul. Ketika kumendongak ke kanan, ternyata Pak Abi. “Nggak usah cari bahan gosip,” selorohnya kepada wanita paruh baya itu. Kemudian dia menuntuntku untuk keluar KUA. Dia hanya berjalan dan

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 12 - Malam Pertama

    “Selera Pak Abi boleh juga,” ucapku ketika dia baru bergabung ke ruang tengah. Kuacungkan kedua jempol sambil meringis, “Cantik.” Dia tidak menjawab dan hanya menatapku tanpa ekspresi. Dia merebahkan punggungnya ke sandaran sofa. Kami sama-sama lelah. Pak Abi sih enak bisa dapat pelukan dari pacarnya, sedangkan aku dari siapa? Oh, iya, kan aku sudah dapat pelukan yang lama dari ibu mertua tercinta. “Saya tidur di mana?” tanyaku lagi. “Sesukamu asal jangan di kamar saya.” “Dih, saya juga nggak berniat ke sana. Saya tidur di kamar Aksa?” “Di mana pun asal jangan di kamar SAYA!” Pak Abi menegaskan kata saya. Aku mendecih karena kalimatnya sangat kecut. Berbeda saat tadi dia dengan pacarnya, siapa tadi namanya Rania, ya? Iya, Rania. “Saya ngapain aja di sini? Nggak enak kalau numpang makan tidur, tapi nggak ngelakuin apa-apa.” “Kerja sama sama Bik Tun tentang rumah dan bersikap seperti mamanya Aksa.” “Kalau begitu Bapak juga harus bersikap seperti papanya Aksa, dong.” “Sudah say

Latest chapter

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 53 - Memulai Kisah Baru

    “Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 52 - Janji Berdua

    Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 51 - Kehilangan

    Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 50 - Berita Buruk

    Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 49 - Duel

    Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 48 - Pillow Talk

    Aku menganggap urusanku dengan Kak Alex sudah selesai. Sejak kejadian di kantin, esoknya Jessica mengirimkan video untukku. Video itu berisi permintaan maaf darinya. Aku tahu itu bukan permintaan maaf yang tulus, tapi tak apa, aku tetap memaafkannya. Sisanya biar menjadi urusan Tuhan Yang Maha Esa.Sekarang aku harus melanjutkan hidupku lagi. Tanggal sidang sudah ditetapkan dan aku perlu menyiapkan banyak hal, terkhusus mentalku. Beruntung suamiku sangat supportif, meski caranya sangat menyiksa. Setiap malam kepalaku pasti benjol akibat diketok dengan pulpen olehnya. Tenang, itu bukan KDRT, ketokan pulpen itu nggak sakit karena setelahnya dihadiahi kecupan yang lebih banyak.Hari ini hari terakhirku untuk menghadap ke Bu Ambar sebelum sidang. Setelah ini aku akan fokus ke persiapan di luar materi.“Kamu pernah bilang mau melanjutkan S2, kan?” tanya Bu Ambar tiba-tiba.“Iya, Bu.”Bu Ambar menyodorkan sebuah brosur untukku. Pelan-pelan kubaca setiap rangkaian huruf yang tertera. Ini br

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 47 - Apresiasi Hati

    Kami duduk berhadapan di kafe yang kebetulan tepat berada di samping minimarket. Aku sperti de javu ketika bersamanya seperti ini. Aku mengingat saat kami berbincang penuh emosi pada saat itu. Semoga hari ini aku dan Kak Alex bisa bicara dengan kepala dingin. Dia pasti ingin mendengar cerita lebih lengkap tentang kejadian di kantin tadi.“Apa kabar?” tanyanya.“Baik. Kak Alex apa kabar?”“Semoga baik-baik saja.” Dia menyunggingkan senyum dipaksa.Kami kembali diam dan larut dalam pemikiran masing-masing. Aku ingin sekali membuka pembicaraan dengannya. Aku ingin dia bercerita banyak hal. Meski tanpa ada perasaan ingin saling memiliki, apa aku masih boleh menjadi temannya? Aku mau mendengarnya membahas persoalan politik yang sedang disorot.“Kamu diapain aja sama Jessica?” tanyanya lagi.“Cuma itu ….”Aku tidak melanjutkan perkataanku secara detail. Bukan karena aku tidak percaya atau membencinya. Hanya saja ini sangat cangung. Aku merasa tidak nyaman. Aku ingin mengeluarkan banyak kata

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 46 - Cinta Itu Buta

    “Strategi gue berhasil. Akhirnya lo ngaku. Sebenernya gue nggak yakin-yakin banget. Tapi, setelah mengaitkan dengan gosip yang lo ditolak Kak Alex setelah bertahun-tahun pedekate, gue coba aja. Ternyata berhasil. Hati-hati Jes, lo nggak kenal siapa Una. Kalau lo tahu posisinya dia sekarang, pasti lo langsung sujud di kaki—”“Wa, aku malu. Kita jadi tontonan. Udahan aja, yang jelas udah jelas kalau mereka yang lakuin.” Aku menarik tangan Wawa untuk menjauh, tapi dia menolak. Sebenarnya aku lebih takut kalau Wawa keceplosan mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Lagian, Jessica tahu dari mana tentang hubungan kami? Aku sama sekali nggak pernah terlihat akrab dengan Mas Abi saat di kampus. Jangan bilang dari Kak Alex? Tapi, kayaknya enggak, deh.“Perbaiki dulu tabiat lo supaya gue bisa terkesan,” ucap Kak Alex ke Jessica. Setelah itu dia pergi lagi. Dia tidak menghadap ke arahku. Dia nggak bicara denganku. Memangnya aku berharap apa? Kak Alex sudah memberi batasan yang jelas antara kami.“S

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 45 - Terungkap Alasan

    Di sinilah aku berada. Aku dan Wawa menghampiri segerombolan mahasiswa yang berada di salah satu meja kantin. Ini memang wilayah yang sering mereka pakai. Selain Jessica dan keenam sahabatnya, di meja ini juga ada beberapa cowok. Aku tidak mengenal mereka, entah dari jurusan ilkom atau jurusan lain. Yang jelas mereka semua terlihat akrab. Wawa tanpa gentar langsung membelah kerumunan itu dan berhadapan dengan Jessica. Semua orang yang ada di kantin memperhatikan kami. Aduh Wawa, dia malah menggiringku untuk menjadi pusat perhatian! “Lo yang ngerjain Una, kan?” Tanpa pembukaan apalagi ucapan salam, Wawa langsung bertanya ke Jessica. Wanita berambut kecokelatan yang sedang duduk itu hanya memperhatikan Wawa dengan ekspresi terganggu. Bola mata kebiruannya seolah mengisyaratkan kalau dia tidak tahu apa-apa. Kemudian, dia beralih menatapku. Aku bisa lihat sorotan merendahkan darinya. “Siapa, ya?” tanya Jessica. Nah, apa kubilang, Jessica nggak mungkin kenal aku. Di jurusan yang seangk

DMCA.com Protection Status