“Aku masih mau kuliah, nggak mau nikah!”
“Apa kurangnya Harun? Dia punya semuanya.” Ibu menyela.
Bukan tentang memiliki semuanya, tapi mengenai masa depanku. Menikah itu berarti aku harus mengabdi kepada suami. Surgaku tergantung kepadanya. Jika dia ridho, aku akan bahagia. Begitu, kan, konsepnya? Aku tahu Mas Harun dan keluarganya. Dia tidak akan membiarkan perempuan berkeliaran di luar rumah. Membayangkan aku menjadi patung di rumah itu membuatku sesak. Enggak. Ini nggak bisa dibiarkan!
“Aku masih mau kuliah, Bu. Titik!”
“Justru karena masih mau kuliah, kamu harus menikah dengannya. Dia bisa bayar uang semestermu yang mahal itu. Kehidupan kita udah beda!” Ibu mengatakan dengan tegas. Dia langsung berdiri dan meninggalkanku di sini. Di ruang tamu yang membuatku mematung tanpa kata. Kehidupan kami sudah beda. 180 derajat berbeda sejak satu tahun yang lalu meninggalnya Ayah.
Aku tidak mungkin berhenti kuliah di semester tujuh. Skripsiku juga sudah setengah jalan. Bulan depan memang tahun ajaran baru dan aku harus membayar uang kuliah seharga 7,5 juta rupiah. Dulu, uang segitu selalu Ayah siapkan sebelum tenggat. Namun, sekarang sudah beda. Pemasukan keluargaku hanya bersumber dari toko kelontong yang tidak seberapa. Belum lagi kakakku yang baru membuat masalah karena terlilit utang pinjaman online.
Apakah solusi untuk semuanya adalah menikah?
Menikah dengan Mas Harun adalah mimpi buruk. Aku akan menjadi Ibu Rumah Tangga yang baik dan diperintahkan beranak pinak setiap tahun. Aku paham agama, kok. Aku tahu menikah itu ibadah dan anak adalah rezeki. Ayah juga membekaliku banyak ilmu agama. Namun, bukan pernikahan seperti itu yang kuimpikan. Aku memiliki bayangan yang lebih indah, di mana saat pagi aku berangkat ke kantor diantar suami sembari mengantar anak sekolah. Ketika pulang sudah ada makanan yang disediakan pembantu. Memasak, mencuci, membereskan rumah, bukanlah kewajiban seorang istri. Jadi, nggak salah kalau aku tidak menganggapnya sebagai prioritas, kan?
“Hidupmu bakal enak sama keluarga Harun, Na. Keluarganya terpandang, di mana-mana dipuji. Semua keluarganya orang alim. Kamu nggak perlu pusing lagi tentang uang. Tinggal duduk manis sambil nyusuin anak juga sudah aman. Mau minta apa aja juga pasti diturutin.” Mbak Tasya yang baru dari dapur ikut menceramahiku. Dia membawa sekaleng minuman soda dan sepiring nasi. Jam sepuluh malam adalah waktunya untuk bangkit dari kasur dan memulai kehidupan di bumi. Matanya sayu karena pola hidup yang menentang waktu normal. Hot pants dan tank top adalah outfit andalan yang dikenakannya ke sana ke mari. Belahan dadanya yang montok sengaja dipamerkan, apalagi kalau sedang menyapu di teras. Dia memang sengaja membangun image sebagai wanita penggoda. Ibu-ibu RT sebelah saja ada yang melabrak karena suaminya sengaja lewat depan rumah untuk mencari Mbak Tasya.
“Kalau gitu Mbak Tasya aja yang nikah sama dia.”
“Dia sukanya kamu. Harun tahu bentukan cewek yang mudah diatur,” kata Mbak Tasya sambil menyunggingkan senyum mengejek merendahkan. Aku mengembuskan napas berat. Ingin sekali aku membalas ejekannya, tapi otakku sudah terasa sangat penuh dan hampir meledak.
“Meski kita nggak punya hubungan darah, tapi aku juga berharap kamu dapat jodoh yang terbaik.”
Bullshit!
Astagfirullah, aku mengumpat.
Tidak ada satu kata pun yang kupercaya darinya. Mbak Tasya itu manusia bermuka sepuluh. Dia pandai berkamuflase melebihi kemampuan alami bunglon. Anehnya, kenapa dia tidak menggunakan kelebihannya itu untuk kabur dari tagihan utang yang menjeratnya?
***
“Hari ini jangan pulang malam-malam. Harun mau ke sini. Seenggaknya temui dia dulu. Dia anak baik. Banyak Kyai yang mau menjodohkan anaknya sama dia, tapi dia milihnya kamu. Harusnya kamu bersyukur. Jaman sekarang jarang cowok alim kayak gitu.”
Sarapan pagiku bukanlah nasi goreng, nasi uduk, apalagi sandwich, tapi ceramah Ibu yang kembali mengingatkanku tentang Mas Harun. Aku tidak tahu apa yang membuat Mas Harun tertarik denganku. Di desa ini banyak gadis lain yang lebih menarik dariku. Apa benar yang dibilang Mbak Tasya kalau aku terlihat mudah diatur?
Aku tinggalkan permasalahan rumah di rumah saja karena permasalahanku di kampus jauh lebih pelik. Apalagi kalau bukan dengan Pak Abi. Si dosen muda yang membuat setiap mahasiswa bimbingannya kalang kabut tak karuan. Kakak tingkatku saja ada yang sampai dua tahun untuk menyelesaikan skripsi dengannya. Itu pun setelah diberi surat peringatan oleh Kepala Jurusan.
Katanya kalau dosen muda yang belum menikah memang begitu. Emosinya belum stabil karena belum punya pasangan. Hormonnya juga nggak seimbang. Makanya pelampiasannya adalah dengan menjadi dosen yang membuat mahasiswa stress dan semakin lancar mendoakannya untuk segera mendapat jodoh. Ya, doa itu pula yang kupanjatkan sekarang. Aku berharap Pak Abi segera menemukan tambatan hati dan bisa lebih lunak memperlakukanku.
Koridor penghubung antara front office dan ruang dosen terdengar riuh orang bergosip. Di perjalananku menuju ruangan Pak Abi, aku sedikit mendengar sesuatu dari dua mahasiswa yang duduk di kursi tunggu. “Masa anaknya? Ya Ampun, diam-diam ternyata sudah nikah. Kok kita nggak tahu? Mana anaknya udah gede. Patah hati banget gue.”
Aku mengetuk pintu ruangan Pak Abi yang sedikit terbuka sebanyak tiga kali. Namun, tidak ada jawaban. Baru di ketukan keempat ada seseorang yang membukakan pintu. Seorang anak kecil yang sedang memegang iPad mendongak ke arahku. Matanya berbinar dan lesung pipinya terlihat jelas saat tersenyum. Apa anak ini yang dikira mahasiswa tadi sebagai anak Pak Abi?
Aku berjongkok untuk menyejajarkan padangan dengannya.
“Mama,” ucapnya.
Mama?
Anak ini memanggilku Mama. Kukira dia hanya bercanda, tapi dia kembali mengulangi kata ‘Mama’ berulang kali sampai Pak Abi datang dengan membawa sebotol air mineral.
Aku langsung berdiri untuk menyapanya.
“Selamat pagi, Pak Abi,” ucapku dengan sedikit menundukkan kepala untuk menunjukkan rasa hormat.
“Pagi.”
Anak itu menarik-narik kemeja yang kukenakan. Dia menatapku dengan sorot matanya yang polos dan jernih. Ada pembatas yang seperti kaca rapuh di dalamnya. Dia memeluk pinggangku dengan erat dan menjatuhkan kepalanya di tubuhku.
“Mau sampai kapan kamu berdiri di sana? Saya mau masuk,” kata Pak Abi yang membuatku sadar. Aku langsung menjauh dari pintu masuk untuk memberinya jalan.
“Masuk!” perintah Pak Abi kemudian.
Aku tersenyum kepada anak ini sambil mengusap kepalanya. “Mau ikut Kakak masuk?”
Dia mengangguk dengan tetap menempel kepadaku. Anak ini sangat manis. Aku ingat dia. Kami pernah bertemu sekali malam itu. Dia sudah banyak berubah. Anak-anak memang cepat bertumbuh. Mengagumkannya, dia masih mengingat wajahku. Aku bisa merasakan itu meski dia tidak mengatakan sepatah kata selain kata ‘Mama’. Namun, yang perlu kutanyakan sekarang, kenapa dia ada di sini? Kenapa dia bisa bersama Pak Abi?
Pak Abi membolak-balik laporanku. Sesekali matanya memicing untuk memastikan bacaan yang ada. Sudah hampir empat bulan aku menemuinya secara rutin di setiap Kamis pagi. Namun, setiap bertemu dan berhadapan dengannya seperti ini aku selalu merasa deg-degan. Ekspresi wajahnya yang tenang malah membuatnya mirip dengan psikopat berdarah dingin. Sorotan matanya yang tajam selalu sukses mengintimidasiku. Belum lagi kalau mulutnya sudah terbuka. Aura cabai langsung bisa membuatku mematung tanpa berani membantah. Bukan dia bau mulut, tapi kalimatnya sering membuatku sakit hati. Ralat. Bukan sering, tapi selalu. “Kamu mengerjakannya sambil minum obat tidur, ya?” ucap Abi ketus dengan tatapan yang tak teralih dari lembaran kertas di hadapannya. “Enggak, Pak.” “Tipo semua, untuk untk, penelitian penelilian. Gimana saya mau baca isinya kalau tulisannya nggak enak dibaca? Perbaiki itu dulu, saya nggak suka berantakan!” ujarnya. Sebagai mahasiswa yang hidupnya tergantung dengan dosen, aku tidak
Meski kukatakan tidak ingin menemui, tapi pada akhirnya aku di sini. Berdiri di depan gerbang rumah yang bertulis nama Abimayu di sudutnya. “Cepat ke sini, saya akan ganti uang transporasi. Segera!” titah dari Pak Abi memintaku untuk langsung menuju ke perumahan elit di kawasan Jakarta Selatan. Aku menekan bel yang ada di ujung pagar sebanyak dua kali sampai ada seorang wanita yang membukanya. Wanita paruh baya itu tersenyum dan memintaku untuk mengikutinya. Aku langsung mematung seketika saat kulihat ada seonggok manusia menghampiriku. Rasanya tidak sopan menyebut dosen dengan sapaan seonggok. Tapi, memang itu kenyataannya. Dengan jelas aku bisa melihat tubuhnya yang terlihat sangat kokoh dan … atletis. Astagfirullah! Ini nggak boleh Una. Buru-buru aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Pak Abi tidak telanjang dada, hanya kaus putihnya yang agak transparan itu membuat mataku leluasa melihat bayangan-bayangannya. Gejolak di dalam diriku malah sibuk menebak bagaimana bentuk seutuhny
Nikah. Nikah. Nikah. Kata itu masih memenuhi otakkau sampai sekarang. Kira-kira orang yang berlalu lalang di depanku ini sudah memikirkan pernikahan belum, ya? Mereka tampak asyik bercanda, apalagi segerombolan mahasiswa baru yang percakapannya baru sebatas ‘Nanti main ke kos siapa?’. Saat ini aku sedang duduk di taman kampus sambil menikmati sekotak susu. Hari mulai senja dan aku masih setia di sini. Dua sahabatku yang paling cantik jelita masih berada di kelas bersama adik tingkat. Mereka mengulang mata kuliah Riset Komunikasi Strategis di semester lima karena ketahuan menyontek waktu ujuan. Dua manusia itu memang sekali-kali perlu diberi efek seperti ini biar jera. Dari sekian orang yang melewatiku, ada satu pria yang langsung menuju ke arahku ketika kami bertatapan. Senyumannya yang selalu cerah bersatu dengan cahaya jingga senja. “Sendirian aja, nggak takut diculik?” ucap Kak Alex sambil duduk di sampingku.
Aku baru saja pulang setelah nonton film bersama Sherin dan Wawa di bioskop. Bagi kaum jomlo, nonton bersama sahabat adalah momen yang lebih bahagia daripada kencan. Mau kencan sama siapa, kan, nggak punya pacar? Pukul sepuluh malam aku baru sampai di rumah. Bertepatan aku masuk, si manusia kalong alias Mbak Tasya baru keluar kamar. Kadang aku kesal dengan Ibu, apa pun yang dilakukan Mbak Tasya tidak akan diprotes olehnya. Ibu rela menjaga toko dari pagi sampai malam untuk memenuhi kebutuhan sembari menabung membayar utang Mbak Tasya, sedangkan anaknya hanya leha-leha nggak jelas. Lalu, aku? Aku malah disuruh nikah. Mbak Tasya dulu bekerja di biro travel umroh dan haji. Bayangkan saja, cewek yang hobinya buka-bukaan kayak Mbak Tasya kerja di lingkungan yang mengharuskan memakai pakaian tertutup dan sopan. Dia nggak betah dan sering membuat kesalahan, akhirnya dipecat. Sejak tiga bulan lalu sampai sekarang dia belum kerja lagi. “Sesekali hidup kayak manusia normal, Mbak.
Hatiku terasa sesak. Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini? Selama ini aku menjadi Hamba yang baik. Kenapa Allah mengujiku bertubi-tubi? Katanya setiap masalah ada hikmahnya. Dari peristiwa ini, hikmah apa yang bisa kuambil? Hikmah kalau keluargaku adalah orang yang menjualku? Aku sudah melajukan motor sekuat yang kumampu. Aku tidak peduli dengan klakson yang mengingatkanku untuk tidak ugal-ugalan. Sudah tak terhitung berapa kali aku ngerem mendadak atau hampir serempetan dengan kendaraan lain. Aku benar-benar tak peduli dengan semuanya. Mungkin malam ini juga aku akan mati konyol di jalanan. Yang penting aku sudah memakai helem. Selebihnya biar takdir yang bekerja. Ayah, katamu aku harus menurut ke Ibu. Tapi, apakah perintahnya ini patut kuturuti? Apa Ayah nggak marah kalau aku dipaksa menikah demi utang? Siapa manusia di bumi ini yang benar-benar menyayangiku seperti Ayah? Pandanganku semakin kabur karena tertutup lapisan bening yang sama sekali tidak mau berhen
Aku meringis ketika cairan infus membersihkan lukaku. Perihnya langsung membuatku tersadar kalau aku baru saja membuat repot Pak Abi. Aku tidak tahu kecelakaan tadi di mana dan kenapa Pak Abi bisa mengenaliku yang mengenakan helem. Selama perawat melakukan tugasnya, otakku malah berpikir bahwa aku baru saja menumpuk utang. Uang lagi, uang lagi! Pak Abi masuk ketika perawat sudah selesai. “Kamu hapal nomor orang tuamu?” Aku menggeleng. Bukan karena tidak hapal, tapi aku tidak mau berhubungan dengan Ibu dulu. “Setelah ini saya langsung antar kamu pulang.” Aku menggeleng lagi. “Saya berantem sama Ibu saya.” “Kalau gitu kamu harus minta maaf. Gara-gara kamu berantem dengan ibumu, kamu kecelakaan, motor rusak, dan badanmu luka.” Ingin sekali kuplester mulut Pak Abi. Dia berbicara asal yang membuatku kembali terpancing emosi. Aku mengatur napas sejenak, kemudian mendongak ke Pak Abi yang berdiri di dep
Jalanan Kota Jakarta masih saja ramai di jam yang sudah dini hari. Aku menatap ingar bingat jalanan itu dari balik jendela mobil. Kendaraan yang berlalu lalang, gedung yang gemerlap, dan orang-orang dengan kesibukannya masing-masing. Entah apa yang mereka lakukan di jam selarut ini. Apa mereka sama sepertiku? Apa kami sama-sama menjadi makhluk bumi yang sedang merasakan sakitnya pengkhianatan? Aku merebahkan kepala di sandaran mobil. Kucari posisi ternyaman dengan tatapan yang tak teralih dengan pemandangan di luar. Otak, hati, dan fisikku semuanya kelelahan. Badanku seperti baru saja digebuki warga saking pegalnya. Hatiku lelah karena baru mendapakan serangan dadakan. Otakku rasanya seperti baru diforsir berpikir selama 24 jam untuk mengerjakan ujian tanpa jeda. Mataku yang sedari tadi menangis juga sudah sembab dan terasa sangat berat. Suasana mobil yang tenang membuatku seperti dininabobokkan. Aku memejamkan mata sejenak selama perjalanan. Rasa lelah ini sudah tidak bis
Aku tak peduli dengan pernikahan. Aku tak peduli dengan Pak Abi. Aku tak peduli setelah ini bagaimana. Yang jelas, aku suka dipeluk begini. Aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Namun, kenapa pelukannya seperti begitu pas untukku? Apa tubuhku dan tubuhnya dirancang seperti lego yang saling mengikat? Aku baru saja memberikan anggukan untuk permintaan mama Pak Abi. Aku tahu ini salah. Ini nggak benar. Ini bahkan lebih menjijikan dari pernikahan dengan Mas Harun yang demi uang. Aku juga paham ini akan menimbulkan banyak kejutan ke depannya. Namun, tidak salah kalau aku begitu mendamba pelukan ini, kan? Sekarang aku bisa lupa dengan tamparan Ibu dan Mbak Tasya. Aku bahkan tidak merasakan sakitanya kulitku yang baru tergores aspal tadi. Ini … ini sangat nyaman. Air mataku luruh begitu saja. Ini bukan air mata kebagiaan setelah lamaran absurd tadi. Ini air mata karena aku sangat begitu rindu. Aku tidak pernah dipeluk Ibu. Kalau ada yang mau men
“Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di
Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m
Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken
Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata
Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka
Aku menganggap urusanku dengan Kak Alex sudah selesai. Sejak kejadian di kantin, esoknya Jessica mengirimkan video untukku. Video itu berisi permintaan maaf darinya. Aku tahu itu bukan permintaan maaf yang tulus, tapi tak apa, aku tetap memaafkannya. Sisanya biar menjadi urusan Tuhan Yang Maha Esa.Sekarang aku harus melanjutkan hidupku lagi. Tanggal sidang sudah ditetapkan dan aku perlu menyiapkan banyak hal, terkhusus mentalku. Beruntung suamiku sangat supportif, meski caranya sangat menyiksa. Setiap malam kepalaku pasti benjol akibat diketok dengan pulpen olehnya. Tenang, itu bukan KDRT, ketokan pulpen itu nggak sakit karena setelahnya dihadiahi kecupan yang lebih banyak.Hari ini hari terakhirku untuk menghadap ke Bu Ambar sebelum sidang. Setelah ini aku akan fokus ke persiapan di luar materi.“Kamu pernah bilang mau melanjutkan S2, kan?” tanya Bu Ambar tiba-tiba.“Iya, Bu.”Bu Ambar menyodorkan sebuah brosur untukku. Pelan-pelan kubaca setiap rangkaian huruf yang tertera. Ini br
Kami duduk berhadapan di kafe yang kebetulan tepat berada di samping minimarket. Aku sperti de javu ketika bersamanya seperti ini. Aku mengingat saat kami berbincang penuh emosi pada saat itu. Semoga hari ini aku dan Kak Alex bisa bicara dengan kepala dingin. Dia pasti ingin mendengar cerita lebih lengkap tentang kejadian di kantin tadi.“Apa kabar?” tanyanya.“Baik. Kak Alex apa kabar?”“Semoga baik-baik saja.” Dia menyunggingkan senyum dipaksa.Kami kembali diam dan larut dalam pemikiran masing-masing. Aku ingin sekali membuka pembicaraan dengannya. Aku ingin dia bercerita banyak hal. Meski tanpa ada perasaan ingin saling memiliki, apa aku masih boleh menjadi temannya? Aku mau mendengarnya membahas persoalan politik yang sedang disorot.“Kamu diapain aja sama Jessica?” tanyanya lagi.“Cuma itu ….”Aku tidak melanjutkan perkataanku secara detail. Bukan karena aku tidak percaya atau membencinya. Hanya saja ini sangat cangung. Aku merasa tidak nyaman. Aku ingin mengeluarkan banyak kata
“Strategi gue berhasil. Akhirnya lo ngaku. Sebenernya gue nggak yakin-yakin banget. Tapi, setelah mengaitkan dengan gosip yang lo ditolak Kak Alex setelah bertahun-tahun pedekate, gue coba aja. Ternyata berhasil. Hati-hati Jes, lo nggak kenal siapa Una. Kalau lo tahu posisinya dia sekarang, pasti lo langsung sujud di kaki—”“Wa, aku malu. Kita jadi tontonan. Udahan aja, yang jelas udah jelas kalau mereka yang lakuin.” Aku menarik tangan Wawa untuk menjauh, tapi dia menolak. Sebenarnya aku lebih takut kalau Wawa keceplosan mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Lagian, Jessica tahu dari mana tentang hubungan kami? Aku sama sekali nggak pernah terlihat akrab dengan Mas Abi saat di kampus. Jangan bilang dari Kak Alex? Tapi, kayaknya enggak, deh.“Perbaiki dulu tabiat lo supaya gue bisa terkesan,” ucap Kak Alex ke Jessica. Setelah itu dia pergi lagi. Dia tidak menghadap ke arahku. Dia nggak bicara denganku. Memangnya aku berharap apa? Kak Alex sudah memberi batasan yang jelas antara kami.“S
Di sinilah aku berada. Aku dan Wawa menghampiri segerombolan mahasiswa yang berada di salah satu meja kantin. Ini memang wilayah yang sering mereka pakai. Selain Jessica dan keenam sahabatnya, di meja ini juga ada beberapa cowok. Aku tidak mengenal mereka, entah dari jurusan ilkom atau jurusan lain. Yang jelas mereka semua terlihat akrab. Wawa tanpa gentar langsung membelah kerumunan itu dan berhadapan dengan Jessica. Semua orang yang ada di kantin memperhatikan kami. Aduh Wawa, dia malah menggiringku untuk menjadi pusat perhatian! “Lo yang ngerjain Una, kan?” Tanpa pembukaan apalagi ucapan salam, Wawa langsung bertanya ke Jessica. Wanita berambut kecokelatan yang sedang duduk itu hanya memperhatikan Wawa dengan ekspresi terganggu. Bola mata kebiruannya seolah mengisyaratkan kalau dia tidak tahu apa-apa. Kemudian, dia beralih menatapku. Aku bisa lihat sorotan merendahkan darinya. “Siapa, ya?” tanya Jessica. Nah, apa kubilang, Jessica nggak mungkin kenal aku. Di jurusan yang seangk