Tentang aku, hubunganku, dan kehidupanku. Semuanya terlihat suram tidak ada kejelasan sama sekali. Orang yang seharusnya dapat menjelaskan banyak hal padaku hanya diam tanpa mau memulai untuk berkomunikasi.
Dimana salahnya? Apa yang harus aku lakukan untuk mendapat jawaban yang pasti, jawaban yang sangat aku butuhkan agar aku bisa mengerti letak kesalahanku. Aku pun ingin diterima di dalam keluarga ini. Meski sulit untuk diungkapkan tapi jujur aku merasa bersyukur memiliki Tama di sisiku. Dia tidak memaksakan kehendaknya sama sekali. Pria dingin nan pendiam itu selalu memberikan apa yang yang aku butuhkan, untuk saat ini hidup berkecukupan sudah amat membantuku.
Aku hanya terdiam. Pikiranku melayang membayangkan suatu hal buruk yang akan terjadi. Entah kenapa kalimat yang diutarakan mamanya Tama terdengar sangat realistis. Jika benar aku mencintai Tama tidak mungkin aku membiarkan diriku berpakaian terbuka yang mana mempermudah orang-orang menganggapku sebagai wanita penggoda. Belum lagi sepertinya bukan hanya sesekali tapi disetiap kesempatan, dan bila benar perilakuku seburuk itu apa aku siap menerima kenyataannya?
Tentang aku yang berselingkuh di belakang Tama, apakah benar hal itu kulakukan dalam keadaan sadar? Seorang Tama. Pria yang memiliki segalanya, wajah yang tampan, pengusaha yang mapan, ditambah berbagai bisnis pusat perbelanjaan besar miliknya yang tersebar di berbagai kota menambah nilai plus tersendiri untuk pria itu. Dan sudah di pastikan hidupnya dikelilingi orang-orang hebat, harta berlimpah yang tidak akan habis sampai dia mati dan tentu saja para wanita cantik. Dan aku menyia-nyiakan pria seperti itu? Apakah aku bodoh?Sebenarnya aku tidak ingin terlalu terpaku pada kata-kata tadi. Aku belum tahu kejelasannya dan itu bukan hal yang dapat dipastikan untuk saat ini apalagi dari awal aku sadar Tama sama sekali tidak membicarakan soal perilaku minusku. Tapi jika mencoba merangkai kembali berbagai hal aneh yang kutemui semenjak aku sadar hingga saat ini tidak salah jika ucapan mamanya Tama aku benarkan. Koper yang berisi pakaian minim, dan lipstik merah merona yang memenuhi sebagian storage make-up ku. Untuk apa aku menggunakan barang-barang itu sedangkan aku sudah memiliki suami?"Luna." Tama mendekat ke arahku.Mataku terangkat menatapnya hanya sepersekian detik karena aku merasa malu. Kami sudah menikah berarti selama ini aku menghabiskan waktu hanya untuk berselingkuh.Sebelum dia sampai ke tempatku aku mencoba bergerak dengan kaki yang bergetar, dia mengulurkan tangannya untuk menolongku tapi aku memilih mundur. Tama mengepalkan tangannya yang tidak kusambut, dia terus menatapku."Di mana keluargaku?" Aku bertanya tapi tampak seperti memohon, "mungkin aku bisa ikut tinggal bareng mereka buat sementara. Kenapa nggak ada satu pun dari mereka yang datang buat jenguk aku." Aku mengesampingkan rasa maluku, jika yang dikatakan mamanya Tama tadi benar tidak seharusnya aku diam di sini dan ikut tinggal di rumah Tama."Kamu nggak akan pergi ke mana pun." Mata cokelatnya menatapku tegas."P-please, kalau nggak aku bisa pergi ke tempat adikku, atau ... kakakku ... ""Kamu anak tunggal.""Terus orang tuaku?" Tama diam tidak menjawab, "kalau nggak teman? Siapa pun orang yang aku kenal buat nginap malam ini aja."Lima jam setelah keluar dari rumah sakit aku benar-benar hanya mengikuti apa yang Tama katakan. Dokter memberitahuku jika aku menyamankan diri dan tidak memikirkan hal-hal yang tidak penting maka tingkat kesembuhanku dan kembalinya ingatanku akan berjalan cepat.
Ada ekspresi sedih di wajah Tama meski sesaat, dia kembali menatapku dalam.
"Kenapa diam Tama? Mereka ada di mana?" Aku terdengar putus asa menunggu Tama yang hanya diam sambil menghela nafas panjang. Pria itu terlalu sulit untuk didekati. Dia seperti memberi batasan tak kasat mata yang membuatku ragu untuk mendekat.
Tama menutup matanya sebentar sebelum beralih menatapku, "Aku nggak tahu teman macam apa yang kamu maksud karena teman-teman kamu itu selalu ganti setiap minggunya."
Apa itu sebuah penghinaan? Walau diucapkan dengan nada yang lembut tapi terdengar berbeda di telingaku. Jadi, aku tidak memiliki teman? Satu pun? Menyedihkan sekali hidupmu Deftia Aluna.
"Terus keluargaku?" Tama terdiam kembali menelisik diriku seolah menilai. Aku sudah tidak sabar, "Dytama."
Rahangnya mengeras sebelum menjawab, "Mama kamu pergi waktu kamu umur tujuh tahun. Sedangkan papa kamu ... beliau meninggal dua bulan yang lalu."
Aku menatapnya dalam. Batinku mempercayai semua ucapan Tama ketika dia menyebutkan tentang papaku. Entah kenapa ada rasa sesak yang menggerogot seolah luka yang sudah ditutup berusaha untuk dikorek kembali.
Aku menangis tanpa suara hanya linangan air mata yang membanjiri pipiku. Semuanya terasa berat kala mengetahui kebenaran yang tersimpan. Ini yang aku inginkan tapi bukan ini yang aku harapkan. Tama yang melihatku menangis segera mendekat dan mengusap pelan pundaku.
"Aku ... belum selesai nanya!" suaraku terdengar parau, "terus yang diomongin mami kamu tadi benar? K-kalo aku ... " kata-kata yang seharusnya mudah untuk diucapkan terasa berat untuk kuutarakan. Aku berulang kali membuka dan menutup mulutku tapi tidak ada sepatah kata pun yang berhasil terucap.
Tama menarikku masuk ke dalam dekapannya, aku menolak keras karena merasa tidak pantas mendapat kehangatan dari Tama. Bagaimana pun akulah sang penghancur dan Tama tidak boleh bersikap baik padaku. Tapi sayangnya aku terlena. Dekapan Tama terasa hangat dan ini yang aku butuhkan sekarang. Sebuah perhatian. Aku meletakkan tanganku di dadanya. Mencengkram erat kemejanya.
"Dengar. Aluna." Aku tidak sanggup untuk menatap matanya. Aku merasa seperti orang yang tidak tahu diri karena berani mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk berdekatan dengan Tama, "Tia."
Kepalaku menoleh mendengar panggilan Tama. Nama asing tapi menimbulkan sebuah percikan perasaan hangat.
"Kamu panggil aku Tia sebelumnya?" Aku tiba-tiba merasa marah pada diriku sendiri. Pada amnesia ini. Dan juga padanya, "pernikahan yang kita jalanin itu pernikahan yang seperti apa Tama? Hubungan apa yang kita miliki? Apa kita sering bertengkar? Apa kita saling kenal satu sama lain? Apa kita benar-benar saling mencintai? Kenapa rasanya hambar?"
Tama menatapku tajam terlihat kaget dengan apa yang aku katakan. Aku tidak merasa harus menyembunyikan semua kegelisahan yang aku rasakan. Tama berhak tahu apa yang aku rasakan.
Cengkramannya di lenganku semakin kencang sebelum tiba-tiba dia lepaskan tanpa sebab. Aku kecewa. Dia pasti tidak akan menjawab pertanyaanku lagi, kan? Selalu seperti itu. Dia peduli namun mengabaikanku secara bersamaan.
Aku segera mengalihkan pandanganku darinya. Sudah tidak mengharapkan apa pun, beranjak untuk menjauh karena percuma berada di satu tempat dengan seseorang yang selalu menghindar untuk menjawab setiap kali aku bertanya.
"I was your frist," langkahku terhenti, "kamu masih muda waktu itu, dua puluh satu tahun dan kamu rela memberikan diri kamu buat aku, Tia."
Sesuatu dalam hatiku terasa ringan, beban yang sebelumnya ada menghilang dalam sekejap, setidaknya pengalaman pertamaku kulakukan bersama dengan Tama bukan orang lain. Tapi hal itu belum menjawab semua keresahan yang masih mengganjal.
"Apa semua pertanyaan kamu sudah terjawab?"
Aku mengangguk, meski belum terlalu puas.
Tama menghela nafas, "Kita perlu istirahat. Kata dokter lebih baik ingatan kamu kembali secara alami. Nggak perlu dipaksakan."
Apa masih ada rahasia yang lain? Kenapa sulit untuk menceritakan hal yang seharusnya aku tahu?
Mimpi itu datang...Semerbak asap rokok, lampu disko yang berpijar dan juga suara musik di club membuatku mabuk. Dan semakin bertambah mabuk setelah aku menyesap habis empat batang rokok dengan sebotol vodka di tangan kananku. Aku bergoyang mengikuti irama musik, pinggulku kuliukan dengan sengaja untuk menggoda para pria yang ada di dalam sana. Mata-mata lapar itu menatapku penuh minat seperti binatang liar. Gairah dari pandangan mereka tidak mereka sembunyikan.Dress pass body yang kukenakan membuat bagian-bagian tubuhku menonjol dengan sempurna. Tatapan mereka membuat tubuhku semakin bertambah panas dan bergairah. Dengan sengaja aku menggigit pelan bibirku sambil memberi tatapan menggoda.Seseorang melingkarkan tangannya di pinggulku."Deftia Aluna?""Deftia Aluna Irfandi." Aku mengoreksi sambil tersenyum menunjukkan padanya cincin kawin yang terpasang indah di jari manisku, "gue udah nikah.""Menantang sekali." Dia mulai mengecup pelan punda polosku dan membuatku memberikannya ak
Suara pintu yang tertutup kencang membuatku menoleh. Aku mengernyitkan kening.Bi Susan? Kok cepat?Aku segera melangkah keluar untuk menyambutnya. Tapi ada dua suara yang kudengar. Mereka saling bersautan. Suara Tama dan seseorang yang tidak kukenal tentunya. Keduanya terlibat perdebatan.Aku merasa takut seketika. Kejadian terakhir soal perdebatan seperti ini kemarin berakhir dengan tidak baik. Apa kali ini mereka kembali memperdebatkan keberadaanku?Dengan jantung yang berdegup kencang aku segera menyembunyikan diriku di balik pintu untuk mencuri dengar percakapan mereka.Dari tempatku berdiri aku dapat melihat Tama. Dia tampak menawan dengan setelan jas biru tuanya dipadu dengan jam tangan platinum di pergelangan tangan kirinya dan tangan yang dimasukkan ke saku celana. Sepatunya terlihat mengkilap dan mahal, rambutnya sedikit tidak beraturan mungkin karena seharian dia sudah bekerja keras. Tama terlihat berbeda dengan penampilan semi rapinya. Seperti pengusaha-pengusaha yang seri
Aku tersenyum senang entah kenapa rasanya seperti memenangkan jackpot. Mataku memindai seluruh isi wardrobe. Memilih pakaian mana yang pantas digunakan untuk mendampingi Tama. Aku masih menggunakan jubah mandiku dengan rambut yang juga di balut handuk. Padahal aku tadi baru saja selesai mandi tapi melihat Tama bersama Sheila membuat keringat-keringat dalam tubuhku ikut tercecer keluar dan memaksaku untuk kembali membersihkan diri. Sebenarnya kenapa aku sangat marah? Padahal sebelumnya aku sangat menolak tentang adanya hubungan special diantara kami. Tapi tadi saat membayangkan Tama pergi keluar dengan Sheila membuatku naik darah seketika. Aku berusaha fokus kembali mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang malah akan memperlama diriku. Aku mengeluarkan gaun navy yang berkilauan karena adanya gliter di bagian dada. Dan dengan sembarangan mencobanya. Aku tertarik dengan model gaun berhalter-top ini tapi sayangnya bagian dadanya terlalu terbuka. Bukan tipe v line yang masih membungkus
"Luna." Tama mengguncang bahuku mencoba mengembalikan kesadaranku. Telingaku masih berdenging dan keringat dingin mulai membasahi pelipis. Aku masih sangat terkejut dengan ingatan yang yang datang.Wajah Tama tepat berada di depan wajahku. Dengan tangan yang masih bergetar aku melepas pelan pegangannya.Dia berbohong. Aku merasa tercekik. Jantungku berdetak kencang karenanya."Kamu kenapa? Kamu kedinginan? Kita pulang aja. Harusnya kamu nggak maksain diri.""A-aku, aku baik-baik aja." Aku berhasil mengeluarkan suaraku kemudian mundur menjauhinya."Kita harus pulang. Kamu pucat banget." Dia kembali mengusap pelan pundakku kemudian beralih menatap Rendi yang mengantar kami."Aku nggak apa-apa. Lanjut aja," kataku kesal."Nggak. Aku nggak mau ambil resiko kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu.""Aku bisa urus diri aku sendiri Tama.""Rendi bawa kita pul-""Aku bilang aku bisa urus diri aku sendiri!" Aku menekankan setiap kalimat. Rasa khawatir yang dia perlihatkan tidak membuatku terkes
Aku menatap nanar bayanganku. Memang apa yang aku harapkan dari pesta ini. Aku juga tidak mengetahui bagaimana kepribadianku sebelum kehilangan ingatan. Tapi tetap saja tidak wajar rasanya mendapat pelecahan seperti ini. Ditambah Tama juga hanya diam. Membuatku bertambah kesal.Setelah sedikit merasa tenang aku kembali memasuki ballroom hotel. Tidak seperti sebelumnya ketika aku dan Tama berdiri di tengah ruangan. Kini aku memilih untuk menyembunyikan diri di bagian paling ujung.Mataku menelisik ruangan mencoba menemukan Tama di tengah lautan manusia. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan sekarang dan Tama merupakan satu-satunya manusia yang bisa kupercaya.Saat ingin berbalik tiba-tiba seseorang menabrakku."Aduh. Maaf-maaf. Gue nggak sengaja. Maaf banget gue tadi emang lagi kurang fokus." Wanita yang menabrakku meminta maaf sambil menundukkan kepalanya dalam.Padahal bukan masalah besar jika hanya menyengol. Toh, aku juga dalam kondisi yang t
"Lyan," tiba-tiba sesosok pria datang menghampiri kami. Membuat pembicaraanku dengan Lyan spontan terhenti.Lyan sendiri tersentak. Dia segera berdiri dari kurisnya, "Damar!"Aku menatap pria itu kesal karena sudah menganggu pembicaraan kami. Pria itu terlihat lebih tinggi dari Tama. Dia mengenakan kemeja putih dan jas silver. jika disandingkan dengan Lyan mereka tampak serasi. Wanita itu terlihat sangat mungil disamping sosok Damar.Dia tidak tersenyum saat bertatapan dengan Lyan, "Aku udah cari kamu kemana-mana."Harusnya dia menanyakan keadaan istrinya. Tapi ini dia malah membuat gestur yang menyebalkan. Dia menatap tajam Lyan. Memojokkan wanita itu seakan semua memang karena Lyan yang tidak langsung menemuinya setelah sempat terpisah, "a-aku dari tadi di sini," cicitnya pelan.Aku tidak menyukai interaksi mereka yang terkesan asing. Bukan seperti pasangan pada umumnya meski pun hal itu juga terjadi padaku. Ekspresi Damar semakin berubah dingin saat melihatku."Kamu kenal dia?"Lyan
Aku tidak ingat bagaimana aku pulang dari pesta dan berakhir di tempat tidur dengan lingeri yang terlihat kontras dikulitku. Ketika aku bangun sisi tempat tidur Tama hanya tinggal seprai yang kusut. "Selamat pagi." Kepalaku tersentak ke arah pintu yang terbuka. Tama sedang bersandar di kusen pintu, sudah mandi, dan bersiap dengan setelan kantornya. Dia terlihat menawan dalam balutan jas mahal miliknya. "Pagi." Aku dengan santai menarik selimut hingga ke dada. Menutupi tubuhku yang tidak menggunakan bra. Tapi sesaat kemudian aku tersadar karena tingkah konyolku. Tama kan suamiku dan mungkin dia yang sudah menggantikan bajuku. Dia memperhatikan tetapi tidak berkomentar. "Kamu bisa turun sebentar? Jubahnya ada di lemari." "Oke," ujarku sambil mengangguk. Aku menunggunya pergi agar aku leluasa untuk pergi ke lemari pakaian tapi yang terjadi malah sebaliknya, Tama masih menungguku berdiri di sana. Dengan ragu-ragu aku mengeluarkan d
"Mbaknya yakin?" tanya wanita itu yang masih tercengang dengan kelakuanku. "Iya. Ini semuanya," jawabku pasti. Dia mengambil dress yang aku kenakan semalam dan membukanya di depanku, "Tapi ini dress keluaran Dior koleksi terbaru!" "Terus?" Aku bertanya. Tidak terlalu perduli. Jika dilihat memang tidak memenuhi syarat untuk masuk ke badan amal. Wanita di depanku masih berargument membuatku mengalihkan pandangan pada sopir taksi yang membawa tas terakhirku dan meletakkannya di sana. Dia bergumam ke arahku, "Dia itu nganggap kamu gila, nak." "Erm. Bukan gitu maksud saya tapi ... ini baju-baju mahal soalnya." "Semuanya?" tanya supir itu sambil melirik semua barang bawaanku dan juga diriku. Aku hanya mengangkat bahu, "Bukannya bisa kamu jual?" Kedua manusia berbeda usia itu menatapku, "Bapak tahu tempat buat jual barang kayak gini. Kalau kamu mau bapak bisa antar. Tapi tetap dengan tambahan ekstra," tawarnya. "Nggak usah. Tolong urus semuanya aja mbak. Kalau mau dijual juga nggak a