Tidak lama setelah mematikan panggilannya, Catra bergegas keluar dari perusahaannya dan pergi menuju restoran tempat anak dan istrinya berada.
Catra tersenyum hangat, saat matanya menangkap sosok mungil yang tengah fokus menyantap makan siangnya. Dia bergegas mendekat dengan langkah lebarnya.
"Mommy, Baby ... " panggil Catra dengan suara khasnya yang serak dan berat.
Gisa dan Dean dengan kompak menengkok ke arah sumber suara. Sebuah senyum, terbit di kedua sudut bibir dari Gisa dan Dean saat mengetahui siapa orang yang memanggilnya.
"Daddy!" panggil Gisa. Dia bangkit dan berjalan mendekat ke sisi suaminya. Gisa raih tangan sang suami untuk dia kecup.
Setelahnya, giliran Catra yang memeluk, serta mencium kening, bibir, serta dagu istrinya. Sebuah kebiasaan yang selalu mereka lakukan setiap kali mereka bertemu ataupun saat akan berpisah untuk bekerja.
Catra menghampiri anaknya, kemudian dia labuhkan bibirnya di atas kepala Dean. Dean men
Terima kasih sudah membaca dan menunggu setiap updatenya ya, Mommy sayang kalian đđ dukung Mommy terus, dan ramaikan kolom komentar ya! Sebentar lagi mommy up Bab 89,
"Oh iya Bu, maaf sebelumnya. Ini ada titipan." kasir tersebut memberikan secarik kertas kepada Gisa. Walaupun Gisa bingung, dia tetap mengambilnya, "Terima kasih!" ucap Gisa tulus dengan senyum ramah yang selalu tersimpul dari bibir merah mudanya. Gisa, Catra dan Dean keluar dari dalam restoran dan menunggu Pak Darto datang. "Daddy bisa kembali, sebentar lagi Pak Darto datang!" perintah Gisa pada suaminya. "Daddy ikut sama Mommy saja!" jawab Catra dengan wajah datarnya. "Ini masih jam kerja, Daddyyyyyy!" gerutu Gisa. "Tenang saja, Mommy. Dengan Daddy meliburkan diri pun, perusahaan tidak akan bangkrut!" jawabnya sombong. "Bukan gituuuuu ... " kesal Gisa tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya. "Daddy mau melanggar kebijakan yang Daddy buat sendiri?" lanjut Gisa mengingatkan, dengan kedua tangan yang dia lipat diatas pinggang. Bukannya takut, apa yang Gisa lakukan justru membuat Catra gemas. Ingin sekali
"Ayo kembali! Ada yang tidak beres dengan Kakek itu!" Catra memberikan keputusan sepihak nya dan bersiap untuk pulang ke rumah. "DADDY!!" pekik Gisa hampir menangis karena kesal. Kedua tangan Catra yang sudah tersimpan diatas setir dan kakinya yang sudah siap menginjak gas, dia urungkan niatnya tersebut saat telinga Catra menangkap suara bergetar dari istrinya. Catra menyerongkan badannya, kemudian menatap Gisa yang tengah menutup wajah menggunakan kedua tangannya. Selanjutnya dia memaling menatap Dean yang duduk di bangku belakang. Catra memajukan wajahnya seolah bertanya 'apa yang terjadi?' menggunakan kode pada anaknya tersebut. Seolah paham dengan apa yang Daddy-nya maksud dan apa yang ditanyakan padanya, Dean menjawab dengan menggedikan kedua bahunya serta tangan yang dia tengadahkan ke atas. Dengan kondisi yang masih kebingungan, akhirnya Catra memberanikan diri untuk bertanya kepada Gisa secara langsung. "Mommy, kenapa?" tanyany
Catra mengabulkan keinginan istrinya untuk pergi menemui Tante Melisa di rumah sakit. Sebelum keluar dari dalam mall, Gisa mencoba mengelilingi mall untuk mencari buah tangan yang akan di bawanya ke rumah sakit. Namun nihil. Gisa tidak dapat menemukan sesuatu yang pas untuk dia berikan kepada Tante Melisa. Mau membawa makanan pun rasanya Gisa takut. Takut makanan yang Gisa bawa, ternyata dapat memperburuk keadaan sang Tante. "Mau beli apa, Mom?" tanya sang suami saat melihat istrinya kebingungan. Dean sendiri tengah anteng di atas stroller yang Catra dorong, dengan dot di tangannya. Dean tidak memperdulikan kebingungan sang Mommy. Dia fokus untuk menghabiskan susu nya. Saat seperti sekarang ini, Dean terlihat seperti anak-anak lain pada umumnya. "Mommy bingung, Dad!" jawab Gisa sambil mematung di depan etalase sebuah toko, yang menyajikan berbagai macam cake dengan toping yang membuat mata orang yang melihatnya, berbinar mengag
"Kalau Daddy mau selesai, kita selesaikan saat ini juga tanpa menunggu ingatan Mommy kembali!" ucap Gisa kembali, membuat Catra menghentikan mobilnya secara mendadak. "MOMMY!!" bentak Catra membuat Dean menangis karena terkejut mendengar suara lantang sang Daddy. "D-Daddy ... " lirih Gisa terbata. Matanya yang sudah menyimpan begitu banyak kristal dalam pelupuknya, dalam seketika luruh bersama hatinya yang patah. Catra mengerang kencang sambil memegang kepalanya, "Aaarrghh ... " teriaknya frustasi. Ya, Catra frustasi. Frustasi dengan keadaan yang mengharuskannya untuk menyimpan rapat-rapat semua masa lalu, demi kesehatan mental istrinya. Bukan sekali dua kali Catra ingin menyampaikan fakta tentang masa lalu mereka. Namun, pesan dari dokter yang tau kondisi Gisa saat ini meminta Catra untuk tetap diam, sampai Gisa sendiri yang mengingat masa lalunya. Atau, anggap cerita dari tiga tahun lalu memang tidak pernah ada. Pesannya pada Catra.
Catra dan Gisa saat ini baru sampai di rumah sakit tempat Tante Melisa dirawat. Dua orang Bodyguard yang selalu mengikuti kemana sang tuannya pergi itu, datang mendekat setelah Catra memintanya untuk membantu. Gisa bergidik ngeri, melihat besar dan tingginya tubuh bodyguard suaminya itu. Mereka berdua membawa tiga buah pot berisikan bunga yang Gisa beli saat di jalan tadi. Catra memangku Dean. Sementara Gisa membawa buket bunga serta dua goodie bag berisi buku yang akan di berikan pada Melisa, dan goodie bag satu lagi, berisikan cake yang tadi dia beli. Gisa berniat memakannya di ruangan Tante Melisa. Catra berjalan di depan, membimbing bodyguard nya itu untuk sampai di lantai atas tempat sang tante di rawat. Seperti biasa, tangan Catra tidak lepas dari pinggang istrinya. "Daddy tidak apa-apa satu lift dengan mereka?" tanya Gisa pada suaminya. Gisa mengkhawatirkan kondisi suaminya, yang akhir-akhir ini selalu mual saat mencium aroma parfum orang lain.
"Ta-tante, minta sesuatu boleh?" bisiknya sangat pelan. Suaranya terdengar lirih menahan segala kesakitan nya. Gisa menatap mata sang Tante. "Apa tan? Tante mau apa?" tanya Gisa sambil mengelus kepala Melisa pelan. "Ta-tante, mau mi-minta satu hal saja," lirihnya kembali. Gisa mengangguk menyetujui permintaan tantenya itu. "Zu-Zurra ... " lirih nya mengucapkan satu nama, yaitu nama anaknya. Deg ... jantung Gisa berdetak kencang saat mendengar nama Fazzura di sebutkan. Hati Gisa tiba-tiba diselimuti ketidaknyamanan. 'Fazzura? Maksud Tante apa? Jangan sampai__' batin Gisa bertanya pada dirinya sendiri. "Ini tentang Zurra, boleh?" Melisa bertanya kembali dengan lirih. Gisa mengerjapkan matanya, mencoba mengembalikan fokusnya yang sempat melayang mencari jawaban dari pertanyaan sang tante. Gisa mengangguk sambil tersenyum. Sebuah senyuman yang terkesan di paksakan. Ya Gisa terpaksa tersenyum di hadapan sang tante, m
Siapa yang ke Korea?" tanya Catra bingung. "Hem? Abang belum bertemu Kakek? Kakek kan pulang ke Indonesia. Tadi pagi bahkan dia ke sini." ucap Fazzura membuat Catra dan Gisa mematung mendengar sang kakek pulang. "Kakek?" tanya Catra memastikan pendengarannya tidak salah. "Ya. Kakek Brahmana. Kakek yang dulu pernah meminta kita untuk menikah." ucap Fazzura sengaja. Deg ... Gisa terperangah mendengarnya. Rasa takut mulai menghampiri hatinya. Bayangan masa lalu mulai berkelebat silih berganti memenuhi otaknya. Masa lalu yang penuh penolakan dari orang-orang terdekatnya, membuat luka di hati Gisa tak kunjung sembuh dan berujung meninggalkan trauma yang mendalam. Catra diam. Dia tidak menanggapi perkataan Fazzura. Menurut Catra, permintaan kakek di masa lalu, merupakan permintaan yang konyol. Karena bagi Catra, Fazzura akan selalu menjadi adiknya. Sama seperti Kayanna. "Abang benar-benar gak tau, kalau kakek pulang?" tanya F
Abhi berjalan masuk ke dalam rumahnya dengan lunglai. Dasi sudah dia longgarkan, dan jas sudah Abhi tanggalkan. Dia lelah. Pagi hari, Abhi harus pergi untuk meninjau proyek ke luar kota, sementara siangnya Abhi mengambil alih pekerjaan yang seharusnya menjadi pekerjaan Catra. Abhi menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah apartemennya. Tampak Zeca tengah menonton televisi, dengan tangan terlipat di atas dada, dan kaki yang dia buat menyilang. Tubuhnya sendiri dia sandarkan pada sofa. "Sore, istri!" sapa Abhi pada Zeca. "Sore!" jawab Zeca singkat dan terkesan datar, dengan fokus yang tidak teralihkan. Abhi tidak sakit hati diperlakukan seperti itu oleh Zeca, yang notabennya sekarang sudah menjadi istrinya. Abhi cukup tau diri. Dia tidak meminta di perlakukan layaknya seorang suami pada umumnya. Zeca bertahan di sisinya pun, Abhi sudah sangat bersyukur. Anggap saja perlakuan Zeca saat ini, adalah karma dari keburukan Abhi di
Saat ini sudah pukul tiga dini hari. Gisa tengah tertidur pulas, ditemani Kayanna dan Abhinav yang tidak di ijinkan pulang oleh Catra. "Anna," panggil Catra sambil sedikit menggoyangkan tubuhnya agar bangun. "Mmmmhhhh ... " gumam Anna pelan. "Bangun!" "Kenapa sih, bang?" kesal Anna yang merasa tidurnya terganggu. "Abang pulang dulu. Kalau ada apa-apa bangunkan Abhi dan langsung hubungi Abang." Kayanna mengucek matanya sambil menatap jam dinding yang ada di ruangan Gisa. "Astaga Abang ... ini pukul tiga dini hari. Kenapa tidak pulang besok saja sih?" "Abang harus pulang sekarang. Besok pagi Abang ke sini sekalian membawa Dean," "Ya sudah. Hati-hati," Anna kembali tidur, sementara Catra pergi menuju parkiran dan pulang ke rumah Gisa. Kurang dari setengah jam, Catra sampai di rumah Gisa sambil menenteng goodie bag berisikan pakaian ganti miliknya. Begitu sampai, dia pergi menuju kamar Gisa kemudian mandi dan berganti pakaian. Setelah di rasa sudah bersih, Catra bergegas pergi me
Catra memasuki ruang operasi lengkap dengan baju steril biru telor asinnya. Walaupun sebagian wajahnya tertutupi masker, namun semua orang tau kalau pria tersebut adalah ayah dari anak yang akan mereka tolong kelahirannya itu. Sesaat para petugas medis membeku, tersihir dengan ketampanan Catra. Tubuh tinggi mendulang, mata tajam dengan bola matanya yang indah. Sungguh, jauh lebih tampan dari pada yang mereka lihat di televisi ataupun surat kabar. "Mom," sapa Catra sambil mengusap dan mengecup kening Gisa. Selanjutnya Catra berdiri di samping kiri Gisa. Gisa yang tengah memejamkan mata, kemudian membuka kedua matanya, kala mendengar sapaan lembut dari sang mantan suaminya itu. Dia berusaha tersenyum, ditengah ketegangannya. "Apa mommy sudah cantik?" tanya nya pada Catra. "Selalu. Mommy selalu jadi yang tercantik," jawab Catra membuat pipi Gisa memerah karena malu. "Daddy serius! Mommy gak mau bertemu baby dengan keadaan yang berantakan!" jelas Gisa. Catra tersenyum. "Tapi Daddy
Dengan segala kepanikan yang terjadi pada semua orang, akhirnya Gisa berhasil dievakuasi menggunakan helikopter yang didatangkan langsung dari kediaman Ganendra. Gisa di bawa menuju RS tempat dokter Rumi bekerja. Sungguh beruntung saat kejadian dokter Rumi ada di sana. Semua acara yang sudah di rencanakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Acara gender reveal, gagal. Lamaran? Tentu saja gagal juga. Bahkan cin-cin lamarannya masih tertanam di dalam kue yang belum sempat di potong oleh Gisa. Ditengah kepanikan semua orang, hanya Gisa lah satu-satunya yang terlihat tenang. Dia sibuk memperbaiki riasan wajahnya, sambil sesekali menenangkan anggota keluarganya yang lain. Gisa memalingkan wajah, menatap Catra yang tengah melipat kedua tangannya. Catra tidak banyak bicara. Dari awal hanya diam, sambil sesekali memperhatikan Gisa. Ditengah diamnya tersebut, semua orang tau kalau Catra tengah diliputi kegelisahan. Catra menutup mata, sambil menghembuskan nafasnya secara kasar. Selanjutny
Acara inti dari pesta Gender reverral akan segera dimulai. Semua tamu sudah berkumpul sesuai team yang mereka pilih. Team biru berdiri di sebelah kanan, dan tim merah muda, berdiri di sebelah kiri. Semua orang terlihat begitu antusias menunggu momen mendebarkan tersebut. Tidak terkecuali dengan Catra yang terlihat cemas, dan tegang. Gisa yang menyadari kegugupan yang di rasakan oleh Catra, lantas bertanya kepadanya. "Daddy, are you oke?" tanyanya. Catra tersenyum, mencoba meredam kegugupannya. Dia mengusap pipi Gisa, "It's oke. Daddy terlalu excited menunggu momen ini," dusta Catra. Pada kenyataannya, dia gugup menunggu momen lamarannya. Dia takut semua tidak berjalan sebagaimana yang sudah Catra bayangkan sebelumnya. Perihal jenis kelamin anaknya, Catra tidak terlalu mempermasalahkannya. Mau yang lahir anak laki-laki ataupun perempuan, dia akan tetap menyambut buah hatinya itu dengan penuh suka cita. "Mom, sebentar. Daddy ke kamar mandi dulu," ijin Catra pada Gisa. Dia perlu menen
Dari lantai atas villa, Gisa turun ditemani Catra yang berjalan di sampingnya. Wajah Catra terlihat tegang, namun tak mengurangi ketampanannya. Dia mengenakan kemeja baby blue, yang bagian tangannya dia gulung sebatas sikut. Sudah tau kan, Catra masuk team mana? Berbeda dengan Catra, Gisa justru menggunakan dress berwarna baby pink. Sebuah dress cantik, bermodel tutu dress, yang panjangnya hanya sebatas lutut. Malam ini, Gisa terlihat manis sepeti seorang balerina. Dia berhasil menjadi pusat perhatian orang-orang yang datang ke pesta. Dari sudut ruangan, seseorang menatap Gisa dengan penuh kerinduan. Dari sudut matanya, beberapa air mata, menetes tanpa seizinnya. "Tos, kita satu team!" celetuk Abhi, saat Gisa sampai di lantai bawah, tempat berlangsungnya acara. Abhi menggunakan kemeja merah muda, sama seperti Gisa. Gisa tersenyum, sementara Catra mendelik sambil berdecak seperti biasanya. "Ckk ... " "Kenapa kak Abhi memilih warna merah muda?" tanya Kayanna yang datang menghampiri
Acara yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besar Ganendra, akhirnya terlaksana. Semua persiapan di lakukan dari jauh-jauh hari. Di usia ke delapan bulan kehamilannya ini, tidak banyak yang Gisa pinta. Cukup sehatkan dan lancarkan sampai saat lahirannya tiba. Namun, pada akhirnya Gisa menyetujui permintaan kakek dari mantan suaminya itu, untuk mengadakan sebuah pesta perayaan kehamilan. Kebetulan jenis kelamin dari anaknya belum di ketahui, Gisa dan Catra memutuskan untuk mengadakan gender reverral party, dengan hanya mengundang kerabat terdekatnya saja. Tujuan kakek Brahmana meminta mengadakan pesta ini, tidak lain sebagai bentuk penebusan dosanya di masa lalu. Saat mengandung Dean, Gisa mengalami banyak penderitaan. Kakek berharap, dengan diadakannya pesta ini, dapat menggantikan memori masa lalu Gisa yang menyakitkan, dengan kenangan penuh kebahagiaan dari orang-orang terdekat dalam menyambut anggota keluarga baru yang sangat dinantikan kehadirannya itu. Acara itu sendiri, diadaka
Dengan wajah menahan kesal, pada akhirnya Catra tetap mengikuti Gisa untuk masuk kedalam hotel. "Kenapa harus di hotel?" pikir Catra dalam hatinya. Tidak jauh berbeda dengan Catra, disepanjang jalan menuju tempat pertemuannya, Gisa pun memasang wajah cemberut. Dia malu dengan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan heran. Bagaimana tidak heran, Gisa mengenakan setelan olahraga dipadukan dengan Stiletto dan tas pesta yang berkilau. Setelah keduanya berjalan di tengah keheningan, akhirnya mereka sampai di tempat yang menjadi tujuan Gisa. Sebuah restoran mewah, di lantai atas hotel. Catra tersenyum kecil, mentertawakan pikiran kotornya sendiri. "Oh ... di sini," celetuk Catra membuat Gisa menatapnya dengan tatapan tajam. "Ya! Menurut Daddy," Gisa mengangkat jari kemudian menunjuk dirinya sendiri. "Apa pantas memakai pakaian seperti ini saat masuk kedalam?" tanya Gisa sinis. "Tidak masalah. Mommy datang dengan piyama pun, tidak akan ada yang berani menegur mommy," jawab Catra denga
Novera sudah berlalu beberapa langkah dari hadapan Catra yang saat ini masih mengumpat, mengutuk Novera, yang sudah menghancurkan kegiatan intim dari bos-nya itu. Novera dengan terpaksa harus kembali ke hadapan Catra, dengan konsekuensi amarah dari bos-nya itu akan meledak kembali, begitu melihat dirinya. "Apalagi sekarang?!" Seperti dugaan Novera sebelumnya, Catra menaikan nada suaranya, begitu melihat Novera kembali. "He ... he ... " Novera tersenyum kaku, sambil tangannya sedikit menggaruk leher bagian belakangnya. "Sepuluh menit lagi kita ada rapat, pak!!" ucap Novera dalam satu tarikan nafas. Dengan cepat Novera membungkuk hormat, dan bergegas pergi sebelum Catra benar-benar mengeluarkan sumpah serapahnya. Catra memejamkan mata, sambil menghembuskan nafasnya secara kasar. Mood dia hari ini benar-benar hancur. Dia sudah cukup lelah, sehingga melupakan rapat yang sudah diaturnya dari jauh-jauh hari. Sebuah tangan lembut, menepuk punggungnya dengan pelan, seakan-akan tengah menen
Sebelum membaca bab ini, harap baca ulang bab sebelumnya. ^^ *** Peletak! Catra menyentil dahi Gisa menggunakan telunjuk dan ibu jari yang dia lipat. "Gila mommy bilang?" tanya Catra. Nada bicaranya sudah lebih lembut daripada sebelumnya. Catra kemudian mengusap kepala Gisa dengan lembut. Tubuh Catra sedikit condong ke depan, menatap manik coklat milik Gisa. "Ya. Sepertinya Daddy memang gila. Daddy gila karena berpisah dengan, mommy," ucap Catra terdengar seperti sebuah gombalan. Sejak kapan seorang Catra yang terkenal dingin, sudi melontarkan gombalannya di tempat seperti ini? Entahlah. Hanya dia dan Tuhan yang tau. Gisa mengerutkan kening, melihat perubahan Catra yang tiba-tiba. "Sepertinya lift ini berhantu. Kenapa si keras kepala ini berubah lembut dalam beberapa saat saja?" batin Gisa berbicara pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak heran, beberapa waktu yang lalu, saat mereka berdua bercerai, Catra terkesan dingin dan tidak ramah dengan Gisa. Tapi saat ini, Catra kembali pad