🏵️🏵️🏵️
“Baru pulang?” tanya Ayah kepadaku. Aku pun berdiri di sampingnya.
“Iya, Ayah.” Aku menjawab sembari menyunggingkan senyuman.
Entah kenapa aku merasa kalau pria yang duduk bersama Ayah sedang memperhatikan diriku. Aku meliriknya, terlihat guratan tipis di pipinya. Ia mengembangkan senyuman. Ia tampak sok akrab, padahal aku tidak mengenalinya sama sekali.
“Masih ingat anak Om?” tanya Ayah kepadanya. Aku curiga melihat tingkah Ayah yang mengangkat alis kanannya kepada pria itu.
“Pasti, Om. Mana mungkin saya lupa.” Ih, ia masih tetap sok kenal.
“Tapi kalian udah lama tidak bertemu. Mungkin udah belasan tahun.” Ayah kembali melanjutkan pembicaraannya.
“Saya selalu menyimpan fotonya, Om.” What? Foto? Sejak kapan ia punya fotoku. Lihat wajahnya juga baru kali ini. Pemuda itu benar-benar berlebihan.
“Foto waktu masih kecil?” tanya Ayah.
“Bukan hanya saat masih kecil, Om. Saya bahkan punya banyak fotonya.” Pemuda tersebut kembali tersenyum.
Mana mungkin ia kenal aku sejak kecil, ketemu juga baru beberapa menit ini. Namun, kenapa ia mengaku telah lama mengenalku? Pun Ayah juga terlihat akrab dengannya. Sementara bagiku, ia sangat asing.
“Rena ke dalam, ya, Ayah.” Aku pun membalikkan badan mengarah pintu masuk rumah. Namun, sebelum aku melangkah, pemuda itu memanggilku.
“Rena, apa kabar?” Ia benar-benar sok akrab.
Aku pun kembali berbalik badan lalu menatapnya dengan wajah kesal. Eh, ia malah menunjukkan barisan gigi putihnya yang tampak rapi. Aku lebih terkejut lagi saat ia memainkan mata kanannya kepadaku. Ternyata pemuda itu tidak hanya sok akrab, tetapi juga sok semuanya. Aku kesal.
“Kenapa diam aja, Ren? Arfan lagi nanya kabar kamu, tuh.” Ayah kembali membuka suara. “Panggil dia ‘Mas’ karena dia lima tahun di atasmu.”
Ternyata nama pemuda sok akrab itu Arfan. Entah kenapa aku tidak ingin membalas sapaannya. Mungkin karena ia telah menunjukkan kesan pertama yang membuatku kesal terhadapnya. Julukan yang pantas untuknya adalah sok … entahlah.
Untuk menghargai Ayah, aku pun membuka suara. “Aku kabar baik, Mas.”
“Besok aku yang anterin kamu ke kampus, ya.” What? Pemuda itu benar-benar membuatku makin kesal!
“Nggak perlu,” jawabku singkat.
“Kenapa?” Pertanyaannya membuatku makin kesal terhadapnya.
“Nggak usah sok akrab, deh. Kenal juga nggak.” Aku melontarkan kalimat itu, kemudian memilih beranjak memasuki rumah.
Aku melangkah ke kamar lalu menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Aku meraih ponsel dari tas, ternyata ada pesan masuk. Aku pun membuka benda tersebut, kemudian membaca pesan dari nomor yang tidak tersimpan.
[Kamu tetap cantik dan menawan seperti dulu.]
Siapa pengirim pesan itu? Kenapa ia sangat berani menuliskan kalimat tersebut kepadaku? Apa mungkin Mas Arfan yang mengirimkan pesan itu? Jika memanga benar, artinya Ayah yang telah memberikan nomor ponselku kepadanya karena mereka tampak akrab.
🏵️🏵️🏵️
Mentari kembali menyapa dengan cahayanya yang sangat cerah. Sungguh agung Yang Mahakuasa sebagai penciptanya. Benda langit itu selalu menyinari alam semesta dan aku sangat bahagia menyambut sinarnya.
Hari ini, aku bersiap-siap ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian, aku pun menyiapkan tas dan buku, kemudian keluar kamar menuju meja makan.
Sungguh, aku menyaksikan pemandangan langka pagi ini. Pemuda yang berkunjung ke rumahku kemarin, kini duduk di meja makan bersama Ayah, Bunda, dan Al—adik semata wayang yang masih duduk di bangku SMA kelas sebelas. Kenapa Al masih di meja makan? Kenapa ia tidak sekolah?
“Arfan udah nungguin kamu dari tadi.” Ayah langsung memberikan laporan.
“Nggak ada yang minta dia nungguin Rena, Yah.” Aku memberikan jawaban dengan nada kesal. Aku pun memilih duduk di samping Al.
“Kok, jutek banget, Kak?” Al melontarkan pertanyaan yang tidak penting menurutku.
“Nggak usah ikut campur. Kenapa kamu nggak sekolah? Ini udah jam delapan kurang,” kataku sambil melihat arloji di tangan kananku. Aku ingin tahu apa alasan Al masih di rumah saat waktu sekolah.
“Ketahuan banget pikiran Kakak lagi di tempat lain, padahal aku udah bilang kalau aku libur. Anak kelas dua belas lagi ujian.” Aku baru ingat ternyata Al libur. Aku pun segera mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi goreng buatan Bunda.
Pagi ini, aku tidak sepenuhnya menikmati sarapan yang telah Bunda hidangkan. Aku kembali kesal melihat sikap laki-laki yang bernama Arfan tersebut, eh, maksudku Mas Arfan. Saat ini, posisi duduk kami berhadapan. Ia tersenyum kepadaku.
Apa yang Mas Arfan janjikan kemarin, pagi ini ia tepati. Ternyata dirinya benar-benar datang untuk mengantarku ke kampus. Aku tidak mampu menolak karena menghargai orang tuaku. Aku juga tidak ingin dianggap sebagai gadis sombong atau apalah namanya. Setelah selesai sarapan, kami pun berangkat ke kampus.
“Kenapa diam aja?” tanya Mas Arfan saat mobilnya meluncur menyusuri jalan menuju kampus.
“Maksud kamu, aku harus sok akrab gitu?” Aku memberikan jawaban dengan nada ketus.
“Juteknya nggak hilang-hilang, ya?”
“Nggak usah merasa sok kenal, deh. Ketemu juga baru kemarin.”
“Yang bener?”
“Ya, iyalah.”
“Kapan selesai nyusun skripsi?” Sepertinya ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Apa urusannya denganmu?”
“Aku udah nggak sabar untuk segera melamarmu.” Pernyataan yang ia keluarkan benar-benar membuatku naik darah.
“Apa? Kamu salah orang.”
“Aku nggak mungkin salah, Renata Cantika Ardian.”
Aku tidak mengerti kenapa Mas Arfan tahu nama lengkapku. Apa mungkin Ayah yang memberitahukannya? Kenapa Ayah melakukan itu? Bagiku, Mas Arfan adalah pemuda asing yang tiba-tiba muncul dan bersikap sok akrab.
“Kamu udah sampai.” Aku melihat ke luar, ternyata kami sudah berada di depan kampus tercinta, STIE Pembangunan Tanjungpinang. Sejak kapan ia tahu kalau aku kuliah di sini?
Mas Arfan segera turun lalu membukakan pintu untukku. Entah kenapa mahasiswi-mahasiswi yang masih berada di sekitar pagar melihat ke arah kami. Apa yang mereka pikirkan? Aku pun langsung keluar dari kendaraan roda empat itu lalu memasuki kampus tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Mas Arfan.
“Tunggu, Ren!”Aku mendengar suara Devi—sahabatku.
Aku pun menghentikan langkah lalu berbalik. Aku kembali kesal karena ternyata Mas Arfan masih berdiri di samping mobilnya. Ia melambaikan tangan sembari tersenyum kepadaku. Ia benar-benar menyebalkan.
“Mentang-mentang diantar cowok ganteng, nggak nyadar ada sahabat sendiri di dekat pagar.” Devi memukul bahuku pelan.
Apa? Cowok ganteng? Sepertinya Devi melihat Mas Arfan dari lubang jarum. Bagiku, ia hanya merasa sok ganteng. Entah dari mana datangnya pemuda itu hingga membuat hariku menjadi tidak bersemangat. Ia sangat menyebalkan.
=========
🏵️🏵️🏵️Aku masih tidak habis pikir kenapa Mas Arfan berani melontarkan kalimat yang tidak masuk akal menurutku. Berani-beraninya pemuda itu mengucapkan sesuatu yang membuatku ingin mengeluarkan amarah.Apa Mas Arfan tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan tadi saat di mobil? Bagaimana mungkin ia mengeluarkan kata melamar kepada gadis yang baru bertemu dengannya dalam dua hari ini? Ini benar-benar tidak masuk akal.Siapa Mas Arfan sebenarnya? Kenapa aku tidak mengenalnya? Sementara ia mengaku telah lama mengenalku. Kenapa aku tidak mengingat Mas Arfan sama sekali? Ia benar-benar membuatku penasaran. Kesal!“Ren, dari tadi kamu diam aja. Ada apa?” Devi kembali memukul pundakku.“Aku lagi kesel.” Aku memberikan jawaban sembari berjalan menuju ruangan Bu Riani, dosen pembimbing kami berdua.“Kesel kenapa?” Devi pun menyejajarkan langkahnya di samping kananku.“Kesel aja.”“Oh, ya, cowok ganteng tadi siapa, sih? Kok, baru hari ini nganterin kamu ke kampus?” Entah kenapa Devi mengingatkan
🏵️🏵️🏵️Mas Arfan adalah cucu salah satu tetanggaku yang tinggal di luar kota Tanjungpinang. Aku masih sangat ingat kalau keluarganya menetap di Palembang. Dulu, ia berkunjung ke kota ini hanya saat liburan sekolah. Ia mengunjungi rumah kakek dan neneknya. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dirinya lagi setelah kami dewasa.Mas Arfan pernah mempermalukanku saat dirinya liburan kelulusan SMP. Ia memgirimiku surat, tetapi justru Tiara—temanku yang membacakannya. Di dalam surat itu, Mas Arfan mengutarakan isi hatinya. Ia mengaku suka dan jatuh cinta kepadaku. Aku benar-benar kesal dan sangat malu jika mengingat kejadian tersebut. Nama panggilannya kala itu bukan Arfan, tetapi Fandy.“Surat apa ini, Bang?” tanya Tiara kepada Mas Arfan. Kami pun akhirnya menghentikan permainan kasti yang sedang kami gemari waktu itu.Mas Arfan tidak memberikan respons, ia hanya tertunduk. Ketika Tiara membacakan isi surat pemuda yang kini berada di sampingku, di depan teman-teman lain, hati ini bena
🏵️🏵️🏵️Bagiku, ini seperti mimpi karena pemuda yang dulu membuatku kesal, kini ada di depan mata. Aku tidak pernah menyangka kalau akhirnya kembali bertemu dengan dirinya. Ia telah tumbuh menjadi sosok yang berwibawa. Stop, Rena! Jangan memujinya walaupun hanya dalam hati.Kenapa aku sepolos ini hingga bersedia memenuhi keinginan Mas Arfan? Aku kesal jika mengingat jawaban Ayah tadi. Beliau sama sekali tidak mengerti dengan perasaan anaknya, padahal tadi aku berharap agar Ayah tidak memberikan izin kepada Mas Arfan karena telah membawaku ke tempat ini.Aku benar-benar bingung dengan sikap Ayah. Kenapa beliau bersikap seolah-olah sudah sering bertemu dengan Mas Arfan? Aku sangat tahu kalau Mas Arfan tidak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi setelah menuliskan surat untukku kala itu. Ini aneh, tetapi nyata.“Hai, Mah. Coba tebak, deh, Fandy bawa siapa.” Ya, aku tahu namnya Fandy waktu kecil. Entah kenapa sekarang berubah menjadi Arfan.Aku dan Mas Arfan kini berada di ruangan ya
🏵️🏵️🏵️Ternyata Mas Arfan mengikutiku. Ia menyejajarkan dirinya berjalan di samping kananku. Aku tidak mengerti kenapa pemuda itu masih saja tidak berhenti menggangguku. Ia seolah-olah ingin mengetahui apa pun yang aku lakukan. Ia tidak sewajarnya bersikap seperti itu karena dirinya bukan siapa-siapa bagiku.Seandainya Kak Dylan yang berada di posisi Mas Arfan sekarang, aku pasti akan langsung menggandeng tangannya. Namun, itu tidak mungkin karena kenyataannya, Kak Dylan hanya ada di dunia maya. Ia selalu menolak bertemu denganku di kehidupan nyata walaupun kami sudah sangat sering berbalas pesan bahkan menelepon.Sebenarnya, aku sangat bingung kenapa Kak Dylan tidak bersedia bertemu denganku, padahal ia mengaku sangat mengagumi bahkan mencintaiku. Jika dirinya bersedia bertemu denganku, aku ingin memperkenalkannya kepada Devi. Sahabatku itu selalu meledekku yang masih berstatus jomlo.“Ngakunya udah punya cowok yang dicintai, tapi mana? Tunjukin, dong.” Devi sering melontarkan kal
🏵️🏵️🏵️ Malam ini seperti biasa, kami makan bersama di meja makan. Sambil menyantap menu yang disuguhkan asisten rumah tangga di rumahku, aku kembali mengingat kata lamaran yang Mas Arfan ucapkan. Kenapa pemuda itu tampak yakin kalau aku yang akan mendampingi dirinya kelak? Di samping itu, mamanya juga bersikap seolah-olah aku pasti tinggal di rumah mereka nanti. Kenapa saat aku telah menyerahkan hati dan perasaanku kepada Kak Dylan, justru Mas Arfan tiba-tiba muncul? Jika memang benar ia serius ingin melanjutkan hubungan pertemanan masa kecil kami ke jenjang yang lebih serius, harusnya ia hadir lebih awal, bukan sekarang. Aku merasa semuanya sudah terlambat. Aku akui kalau dulu hati dan pikiranku tidak ingin lagi mengingat Mas Arfan setelah kejadian waktu itu. Namun, jika ia menemuiku lebih cepat dan bukan sekarang, mungkin aku akan berpikir untuk mempertimbangkan lamarannya. Aku tidak yakin langsung menolak niatnya. “Ren, tadi Ayah ketemu Om Mandala.” Ayah membuyarkan lamunanku
🏵️🏵️🏵️ Aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Arfan sebagai calon pasangan hidupku. Tidak ada gunanya lagi menunggu Kak Dylan yang tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Ia bahkan memblokir semua akun sosial media milikku yang selama ini kami gunakan sebagai alat komunikasi. Nomor ponselnya juga tidak dapat dihubungi. Apa mungkin ia tahu kalau aku akan segera menikah dengan pemuda lain? Namun, bagaimana ia tahu tentang hal itu? Status sebagai sepasang kekasih dengannya, hanya dalam dunia maya. Aku belum pernah bertemu secara langsung dengannya. Lagi pun, aku juga tidak mengetahui seperti apa wajahnya. Di samping Kak Dylan yang telah menghilang, aku juga tidak kuasa menolak kebaikan Mas Arfan dan keluarganya. Mereka selalu bersikap layaknya keluarga terhadapku walaupun kenyataannya, aku dan Mas Arfan belum resmi menjadi pasangan suami istri. Mas Arfan tiap hari berkunjung ke rumah dan mengantar jemput aku kuliah. “Dek, besok kita pesan cincin nikah, ya. Besok, kan, Minggu. Aku ng
🏵️🏵️🏵️ Hari ini, aku pun resmi menyandang status sebagai istri Mas Arfan. Aku masih merasa seperti mimpi karena harus berpisah dengan Ayah dan Bunda setelah acara resepsi selesai tadi sore. Sekarang, aku berada di kamar yang sama dengan Mas Arfan. Aku tidak kuasa menahan air mata saat ingat pelukan Bunda. Ayah dan Bunda berpesan agar aku bersikap layaknya seorang istri dan menantu yang menghormati suami dan mertua. Mereka juga mengaku sangat yakin kalau aku pasti hidup bahagia bersama Mas Arfan. Ayah mengatakan kalau Mas Arfan pemuda baik dan bertanggung jawab. Sejak kemunculan Mas Arfan di rumah kami, Ayah tidak jarang memuji perbuatan laki-laki itu. Aku tidak tahu sejak kapan Ayah mulai berkomunikasi dengan Mas Arfan hingga beliau selalu mengaku sangat bangga memiliki menantu seperti pria yang kini berstatus sebagai suamiku tersebut. Ayah hanya menjelaskan kalau Mas Arfan sudah lama meminang aku dan ingin membuatku bahagia. Aku hanya terdiam mendengar apa yang Ayah sampaikan.
🏵️🏵️🏵️ Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Sungguh, tatapan Mas Arfan membuatku salah tingkah. Entah kenapa pandangan itu sangat sendu dan seolah-olah menghilangkan akal sehatku. Apakah diriku menginginkan sesuatu harus terjadi? Tidak! Aku harus membuang jauh-jauh pikirin seperti itu. Aku masih harus fokus kuliah dan sedang menjalani bimbingan dengan dosen untuk menyusun skripsi. Aku belum siap mengandung anak Mas Arfan. Lagi pun, aku belum memiliki cinta untuknya. Aku harus menghentikan adegan ini, apalagi saat ini, Mas Arfan mulai mengusap-usap pipiku lalu berpindah ke bibir. Aku yakin kalau dirinya pasti ingin melanjutkan apa yang seharusnya terjadi tadi malam. Aku segera menepiskan tangannya, lalu menolaknya sekuat tenaga hingga ia terbaring di samping kiriku. Tidak menunggu lama, aku segera duduk, kemudian beranjak dari tempat tidur. “Maafin aku, Mas, karena belum mampu memenuhi keinginanmu,” ucapku. “Kenapa, Sayang?” tan
🏵️🏵️🏵️Ia selalu menghubungi Ayah selama kuliah di Jakarta. Ia meminta Ayah supaya tetap bersabar menunggu dirinya untuk mengajakku duduk di pelaminan. Ternyata ia berhasil menjadikan aku istrinya dan saat ini sedang mengandung anaknya.Jika mengingat semua pengorbanannya, aku sangat terharu. Bertahun-tahun lamanya, ia dengan sabar menunggu agar bersatu denganku. Sungguh, itu merupakan usaha yang sangat luar biasa. Aku bangga menjadi wanita pilihannya. Ia tidak hanya tampan, tetapi juga sangat bertanggung jawab.🏵️🏵️🏵️Setelah dua bulan kemudian, aku pun melahirkan putra yang sangat tampan. Mas Arfan mengaku sangat terharu karena aku telah memberikan penerus untuknya. Sejak awal, orang tuanya berharap akan mendapatkan cucu laki-laki karena dalam keluarga besar Mas Arfan lebih banyak perempuan.Sementara aku hanya berserah kepada Allah karena bagiku, anak laki-laki maupun perempuan sama saja, yang penting sehat dan tidak kurang satu apa pun. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur ata
🏵️🏵️🏵️Mas Arfan sangat sedih karena aku tidak berusaha mencari tahu sosok yang mengirimkan barang-barang tersebut walaupun ia sudah banyak memberikan petunjuk. Ia mengaku kalau aku sulit untuk ditaklukkan. Akhirnya, ia pun memilih cara lain dengan berperan sebagai Kak Dylan. Di samping itu, ia juga ingin menuangkan kisah kami dalam bentuk novel.“Pantas aja kamu berani muji istri Kak Dylan di depanku. Ternyata itu diriku sendiri.” Aku memukul pelan dadanya mengingat kejadian di mana aku cemburu kepada diriku sendiri.“Kan, istriku memang cantik.”“Terus, kenapa dulu kamu bilang kalau aku pasti sedih dan marah jika berhubungan dengan Kak Citra dan madunya?” Aku tetap ingin tahu alasannya.“Karena mereka tahu tentang Dylan. Aku nggak mau kalau mereka sampai membongkar penyamaranku. Itu akan membuat kamu sedih dan marah. Ternyata dugaanku benar. Kamu pun pergi dari rumah.”Terus terang, awalnya aku sangat kesal, tetapi pada akhirnya aku mengakui sangat bangga memiliki Mas Arfan dan ke
🏵️🏵️🏵️Waktu menunjukkan pukul 16.10 Wib, Mas Arfan pun tiba di rumah Ayah dan Bunda. Aku langsung menyambutnya dengan mencium takzim punggung tangannya, lalu kami langsung menuju kamar. Ia tampak bingung, mungkin karena perubahan sikapku.Aku memintanya duduk di tempat tidur, sedangkan aku mulai mengemasi barang-barang karena sore ini, kami akan kembali ke rumah orang tuanya. Benar kata Bunda, tidak baik jika aku meninggalkan rumah suami saat sedang ada masalah. Kasihan papa dan mama mertua.Setelah selesai mengemasi semua barang-barang yang kami bawa ke rumah ini, aku pun duduk di samping Mas Arfan. Aku sudah yakin akan meminta maaf dan menyatakan cintaku kepadanya. Ia pantas mendapatkan balasan cinta dari istrinya, bukan sebagai Kak Dylan, tetapi dengan sosok Mas Arfan.“Mas … aku ….” Aku tidak kuasa menahan air mataku agar tidak jatuh.“Kamu kenapa, Sayang?” Ia langsung mengusap air mataku.“Aku minta maaf atas sikapku selama ini.”“Kenapa harus minta maaf? Kamu nggak salah, Say
🏵️🏵️🏵️Kak Citra pun bercerita panjang lebar tentang persahabatannya dengan Mas Arfan. Ia mengaku tertarik terhadap suamiku hanya saat masih sekolah saja. Setelah ia tahu kalau Mas Arfan sangat mencintaiku, ia pun mundur dan memilih menjadi sahabat.“Aku ingin minta maaf, Kak.” Aku sudah yakin untuk jujur kepadanya.“Minta maaf untuk apa?”“Aku pernah menuduh Kak Citra bermain api dengan Mas Arfan di belakangku. Aku pernah benci banget sama Kak Citra. Maafin aku, Kak.” Akhirnya, aku berhasil mengeluarkan kata maaf itu.“Santai aja. Aku paham apa yang kamu rasakan. Kamu pasti nggak terima jika suami kamu sangat dekat dengan wanita lain. Iya, ‘kan?”“Iya, Kak.”Kak Citra kembali bercerita bahwa dirinya hanya mencintai Kak Rangga. Ucapannya kala itu tentang ingin mengambil miliknya, ternyata suaminya sendiri. Ia kembali ke kota ini karena Kak Rangga sekarang bekerja di kota ini juga. Sementara wanita yang berada di antara mereka, masih tetap di Jakarta.Kak Citra juga menceritakan baga
🏵️🏵️🏵️Pagi ini setelah sarapan bersama, aku meminta izin kepada papa dan mama mertua untuk menginap di rumah orang tuaku selama beberapa hari. Aku sengaja tidak mengatakan alasan sebenarnya. Mereka tidak perlu tahu kalau aku sedang marah dan kesal terhadap Mas Arfan.Kedua orang tua itu memberikan izin, tetapi aku melihat perubahan di wajah mama mertua saat melihat koper yang Mas Arfan masukkan ke bagasi mobil. Aku tidak tahu apa yang beliau pikirkan. Mungkin aku terkesan egois, tetapi Mas Arfan yang memaksaku bersikap seperti itu.Entah kenapa laki-laki yang mengaku sangat mencintaiku, tega menyimpan identitasnya dari pendamping hidupnya. Sungguh, aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Mas Arfan. Ia sudah beberapa kali membuatku kecewa. Kenapa dirinya harus melakukan cara itu? Apa tujuannya?Aku selalu merasa bersalah karena belum menyatakan perasaan cinta kepadanya, tetapi kenyataannya, dulu aku dan dirinya saling jujur dengan perasaan kami ketika ia menjadi Kak Dylan. Pantas sa
🏵️🏵️🏵️“Aku pengen santai, Mas. Jangan bahas itu sekarang.” Aku ingin menghindar dari pertanyaan yang membuatku harus berpikir.“Boleh aku tahu siapa cowok yang dulu kamu cintai? Sebelum nikah, kamu pernah bilang nggak bisa mencintaiku karena dia.” Kenapa ia harus mengungkit hal itu? Bagaimana mungkin aku mengatakan kebenaran? Apa yang akan ia katakan kalau laki-laki yang dulu aku cintai hanya ada di dunia maya.“Kenapa kamu nanya itu sekarang, Mas?”“Aku hanya ingin tahu, siapa cowok beruntung itu karena hingga detik ini, kamu belum pernah bilang cinta padaku walaupun sebenarnya aku merasakan cintaku udah terbalas. Tapi aku ingin banget dengar langsung dari bibirmu.” Sepertinya ia ingin mendengar pengakuan perasaanku terhadapnya. Apakah aku harus jujur sekarang? Sementara itu, aku merasa kalau dirinya masih menyembunyikan sesuatu.Tidak! Lebih baik aku mengalihkan pembicaraan seperti yang biasa ia lakukan. Ia yang telah mengajariku untuk melakukan itu. Aku tidak tahu sampai kapan h
🏵️🏵️🏵️Aku merasa tidak ada yang perlu dicemburui karena aku dan Kak Dylan sekarang sama-sama sudah memiliki pasangan. Lagi pun, apa yang aku harapkan dari laki-laki yang selalu menghindar jika diajak bertemu? Ia bersedia ingin menemuiku saat itu ketika aku telah resmi menyandang status sebagai istri Mas Arfan.Penolakan untuk bertatap muka membuatku ragu dengan cinta yang selalu Kak Dylan ucapkan, walaupun kenyataannya aku selalu menentang kata hatiku kalau ia laki-laki yang sangat peduli dan penuh perhatian. Namun, sampai kapan aku akan menjalani hubungan tanpa adanya kepastian?Aku harus bersyukur karena memiliki suami yang sangat mencintaiku, walaupun aku sempat ragu dengan cinta itu karena Mas Arfan seperti seseorang yang suka menyembunyikan sesuatu yang akhirnya baru aku ketahui. Namun, entah kenapa aku masih merasakan kalau dirinya belum jujur sepenuhnya. Apa ini hanya perasaanku saja?Terbukti tadi saat di kantor, ia tampak yakin memuji kecantikan istri Kak Dylan. Itu seolah
🏵️🏵️🏵️“Baru beberapa bulan, Kak. Aku aja kaget. Belum pernah lihat wajahnya, eh, tahu-tahu udah punya istri sekarang. Beruntung banget jadi istrinya.” Penjelasan adik tingkat itu membuatku sedikit kesal. Apa mungkin aku cemburu? Namun, untuk apa? Bukankah aku telah menggantikan posisinya di hatiku?Tidak! Aku harus ingat kalau Mas Arfan yang terbaik untukku. Kalau memang Kak Dylan masih mengingatku, tidak mungkin ia menyembunyikan status barunya dariku. Mungkin selama ini, ia menganggapku hanya ilusi semata.“Dia tetap stay di Jakarta?” Aku tetap ingin tahu tentangnya.“Yang aku dengar, sih, dia udah lama nggak stay di Jakarta, tapi belum sampai tahunan.”“Jadi, dia stay di mana sekarang?”“Nggak tahu, Kak. Tapi satu hal yang baru aku ketahui, ternyata novel-novel yang dia tulis selama ini untuk wanita yang sangat dia cintai dan sekarang menjadi istrinya.”Aku kembali terkejut mengetahui kenyataan baru tentang Kak Dylan. Awalnya, aku mengagumi dirinya karena hampir semua karya-kary
🏵️🏵️🏵️ Sore ini, Mas Arfan mengajakku menemui Kak Citra dan suaminya di salah satu kafe yang ramai pengunjungnya. Aku bersedia bertemu tetangga masa kecilku itu karena ingin mengetahui apa kegiatan Mas Arfan selain kuliah selama di Jakarta. Saat aku menanyakan hal tersebut kemarin, Mas Arfan seolah-olah mengalihkan pembicaraan. Aku berharap menemukan jawaban dari rasa curiga dan penasaranku setelah bertemu Kak Citra. Lagi pun, aku sangat ingat kalau wanita itu pernah berkata kalau dirinya tahu semua hal tentang Mas Arfan. Sementara aku sebagai istri, belum tahu sepenuhnya tentang suami sendiri. Selama ini, aku terkesan tidak peduli karena belum memiliki perasaan cinta untuk Mas Arfan. Namun sekarang, rasa ingin tahuku makin menggebu tentangnya. Sebagai seorang istri, aku berhak tahu seperti apa suamiku sebenarnya. Pernikahan karena perjodohan membuatku belum mengenal sepenuhnya karakter Mas Arfan. Bagiku, ia sosok yang sulit ditebak. Namun, satu bukti nyata telah aku ketahui kal