Tak terasa waktu bergulir dengan sangat cepat sampai-sampai Kaira tidak menyadari kalau ini sudah hampir pukul tujuh petang. Artinya, jam kerjanya pun sudah lewat dua jam lalu.Kaira mengenakan penyumbat telinga saat bekerja tadi. Ada belasan dokumen yang perlu dia kurasi sebelum nantinya dokumen-dokumen tersebut hinggap di meja Davian. Belum lagi dia masih terus menerima jadwal masuk untuk Davian sehingga masih harus terus melakukan penyesuaian jadwal dan konfirmasi.Davian bilang dia ada urusan dengan Aldo sehingga Kaira tidak perlu ikut meskipun sebenarnya kewajiban Kaira adalah mengekori kemanapun Davian pergi. Namun mungkin Davian lebih menginginkan Kaira untuk menyelesaikan tugas-tugas dokumennya sekarang daripada ikut dengannya dan Aldo. Lagipula, Aldo ada disana, pria itu masih menjadi tangan kanan Davian untuk beragam urusan.Atau sejujurnya, Davian mungkin hanya menghindari Kaira setelah percakapan mereka tadi siang. Percakapan tanpa jawaban yang dipantik oleh kedatangan Tar
"Kaira?!"Suara cempreng itu berhasil menghentikan langkah Kaira yang tadinya hendak buru-buru menuju lift untuk naik ke ruangan Davian. Wanita itu memutar tubuhnya perlahan dan mengernyit saat menemukan siapa yang memanggilnya.Seorang wanita dengan rok span selutut dan rambut tatanan bergelombang beserta senyuman liciknya. Tidak, Kaira tidak buta apalagi lupa ingatan. Dia tahu dan ingat jelas siapa wanita yang kini setengah berlari menghampirinya dengan heels 12 sentinya itu. "Benar kamu ternyata!" Wanita itu kembali bersuara dengan sangat riang. Seolah dia menemukan mainan paling menyenangkan yang dapat dia mainkan untuk waktu yang lama.Kaira memutar bola matanya malas, sama sekali tidak berniat menanggapi tapi jika dia pergi begitu saja mungkin akan membuatnya kelihatan seperti menghindar dari sumber masalah. Dia tidak perlu upaya ekstra untuk menemukan gumpalan gempal nan botak yang berjalan dibelakang wanita tadi. Dengan kumis menyebalkannya turut tersenyum miring kearah Kair
"Lho, nggak bisa gitu dong, Pak? Semua itu kan hasil kerja keras saya!"Kaira tidak bisa lagi membendung emosinya ketika mengetahui bahwa proposal yang dia garap berminggu-minggu dengan susah payah nyatanya diklaim oleh orang lain. Apalagi karyanya tersebut berhasil membawa perusahaan mereka mendapatkan tender ratusan juta rupiah. Ironisnya, proposal itu sebelumnya sudah ditolak mentah-mentah oleh sang kepala divisi. Saat itu, Kaira tak bisa melakukan apapun sebab berpikir bahwa karyanya itu mungkin memang tak lolos seleksi. Tapi dia tentu menjadi emosi setelah mengetahui bahwa proposal yang ditolak itu justru lanjut diajukan atas nama orang lain. Dadanya naik turun begitu mendengar laporan dari salah satu rekan kerjanya. Kaira berjalan dengan wajah super tidak santai memasuki ruangan kepala divisinya dan meledak disana. Pria tambun usia empat puluhan dengan kepala hampir botak itu justru menanggapi santai kemarahan Kaira. Seolah tidak ada rasa bersalah, dia bahkan hampir tidak men
Baru saja meletakkan tas besarnya di lantai, Kaira harus kembali menahan pekikan di telinganya. Dia bahkan belum mendapat kesempatan untuk duduk atau sekedar meneguk segelas air. "Apa sih yang ada di pikiranmu, nduk? Kenapa kamu malah berhenti kerja dan balik ke kampung tanpa apa-apa? Kamu nggak ingat bagaimana perjuangan bapakmu supaya kamu bisa bayar kuliah?"Sudah dia duga. Selama empat jam perjalanan dari ibukota kembali ke kampungnya, Kaira sudah berusaha untuk menyiapkan diri dan menebalkan telinga mendengar ocehan dari bibinya. Setelah menyerahkan surat pengunduran diri bulan lalu, Kaira menyelesaikan sisa masa kerjanya dengan lebih banyak work from home. Selama itu juga dia berupaya untuk mencari pekerjaan baru. Sialnya, entah mengapa sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok meskipun pengalamannya sebagai staf pemasaran sudah menyentuh empat tahun. Beberapa interviewer menyayangkan bahwa dengan kualifikasinya, pencapaian Kaira bisa dianggap justru tidak sebanding
"Kamu nggak sepantasnya ngomong begitu sama bude kamu sendiri!"Usai makan malam, Kaira harus kembali mendengarkan ocehan dari ayahnya. Kali ini sebab bibinya itu mengadu bahwa Kaira menghinanya.Setelah bertahun-tahun tidak pulang dan bahkan baru mendengar cerita Kaira via telepon, bukannya menanyakan bagaimana perjalanan Kaira, dia justru harus kembali disalahkan sebab aduan sang bibi yang dilebih-lebihkan. Selama makan malam, sang bibi terus merusak suasana dengan menyudutkannya melalui sepotong kalimat yang memang kelepasan dia ucapkan tadi. Tapi dari sudut pandang Kaira, bukankah kalimat sang bude jauh lebih nyelekit daripada kalimatnya?Tapi mau seperti apapun pembelaan Kaira, sang ayah tidak akan membenarkan tindakannya. Pria itu akan tetap keras pada putrinya sendiri agar tidak bermasalah dengan adiknya itu."Kamu tuh kok nggak pernah rukun sama Bude Mita? Ada aja yang kalian ributkan," keluh sang ayah lagi.Kaira hanya bisa menanggapi dalam hati. Sebab semakin disanggah, sang
Kaira menganga mendengar pernyataan tak masuk akal yang baru saja merayap dalam rungu. Wanita itu mengejapkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa pemandangan dan kalimat yang baru saja dia dengar mungkin hanya halusinasi. Tapi, tidak. Dia dengan jelas dan secara real time dapat memastikan bahwa manusia-manusia yang duduk di sofa ruang tamunya itu nyata. Begitu juga dengan kekagetan yang turut dirasakan oleh ibu dan bapaknya yang masih berdiri disampingnya. Di antara rombongan itu, tampak sosok yang tak pernah ia bayangkan akan kembali dengan niat seperti ini—Alvero Rajendra, mantan kekasihnya. Wajahnya terlihat serius, namun ada sorot mata yang sulit diartikan oleh Kaira. Mereka sama sekali tidak pernah lagi bertukar sapa—bahkan via media sosial. Lalu secara tiba-tiba, Alvero muncul lagi dihadapannya. Membawa sebuah pernyataan yang sama sekali tidak masuk akal baginya. Melamar? Hubungan mereka bahkan sudah kandas bertahun-tahun lalu. Tidak ada satupun keluarga Kaira yan
Di balik jendela rumah yang sederhana, Bude Mita tak bisa menahan binar matanya saat melihat mobil mewah yang dikendarai keluarga Rajendra tadi. Mobil itu berkilau di bawah lampu jalanan kampung, memantulkan kemewahan yang tak pernah ia bayangkan akan hadir di depan rumahnya. Senyumnya melebar penuh antusiasme."Terima saja, Kaira!" Desaknya penuh harap, sambil melirik keponakannya yang tampak gelisah. Di dalam hatinya, Bude Mita merasa ini adalah kesempatan emas—kesempatan untuk mengangkat derajat keluarga dan mempermudah hidupnya.Dengan langkah mantap, Bude Mita mendekati Kaira yang tengah duduk termenung di ruang tamu. "Kaira, kamu lihat kan? Mobilnya saja sudah mewah begitu, bisa kamu bayangkan betapa beruntungnya kamu jika menikah dengannya?" ujar Bude Mita dengan nada penuh semangat.Seolah pembaca profil profesional, Bude Mita kembali menegaskan tentang Davian."Usianya sudah matang. Tiga puluh dua tahun itu tidak terpaut terlalu jauh sama kamu. Pekerjaannya sebagai arsitek
Sebagai pengangguran, Kaira tidak punya alasan untuk tetap berdiam diri saja di rumah. Terutama karena kedua orang tuanya bekerja, begitupula adik-adik sepupunya yang berangkat sekolah. Wanita itu tidak mau berduaan saja di rumah dengan bibinya yang toxic. Bisa habis seluruh kesabarannya jika harus mendengarkan ocehan menyebalkan dari wanita bermuka seribu itu.Dengan kaos santai dan celana panjang serta rambut yang dibiarkan tergerai dan wajah polos tanpa makeup. Kaira tampil sederhana dan siap keluar rumah setelah selesai menyiapkan sarapan dan bersih-bersih pagi. Dia melangkahkan kakinya menuju warung sang ibu yang tidak jauh dari rumahnya. Berniat untuk membantu disana daripada dia bosan di rumah. Ibunya sudah lebih dulu sibuk meladeni para pelanggan. Meskipun hanya warung sepetak kecil, barang yang dijual adalah kebutuhan sehari-hari yang sangat mudah terjual. Daripada harus ke pasar atau ke kota lagi untuk belanja bulanan, kebanyakan warga desa lebih memilih untuk berbelanja di