Namun, mataku melebar sempurna. Terhenyak kaget, ketika tangan kekar melingkar di perut.
"Dek Liana ... percaya lah, abang hanya mencintai Adek."
Hatiku sakit. Dia menyebut nama Liana dan mengatakan secara blak-blakan perasaannya. Airmataku kembali jatuh. Kuabaikan semua itu. Mengikuti ritme yang Gus ciptakan kala menghadirkan kehangatan di antara kami. Cinta memenuhi dada kami. Aku tak peduli jika cinta dalam hatinya hanya untuk Liana.
Kami menjalani malam pertama tanpa kesadaran dari Gus Bed. Malam yang singkat baginya, karena usai mencapainya Gus kembali memejamkan mata. Menumpuk lelahnya dalam tidur. Ia bahkan tak sadar saat aku mencium dan memeluknya.
Namun, meski begitu bagiku ini adalah malam yang panjang. Malam pertama kali pria yang kucintai menyentuhku dengan cara halal.
________
Sebulan telah berlalu ....
Di acara tahunan pesantren, kami berkumpul mempersiapkan konsumsi di dapur. Meski badanku rasanya tak karuan belakangan. Mungkin lantaran akan datang tamu bulanan. Memang sudah lebih seminggu telat.
Karena berada satu tempat dengan kakak maduku, mau tak mau kami saling sapa. Canggung sekali rasanya. Entahlah, aku seperti merasa bersalah pada Liana. Padahal tak melakukan kesalahan apapun. Hingga seorang santri yang membawa bumbu datang, mencium baunya perutku rasanya diaduk-aduk.
"Huek."
Tanpa peduli tatapan semua orang atau apa pun, aku berlari ke kamar mandi. Tak kuat menahan mualnya, seolah dalam perut ingin dikeluarkan semua.
Kuakhiri rasa tak nyaman dalam perut dengan memuntahkannya. Namun, ternyata tidak juga muntah.
Ada apa ini? Aku belum pernah menyambut datang bulan dengan mual masuk angin begini.
Begitu ke luar, Mbak Aishwa sudah berdiri di depan pintu.
"MaasyaAllah, kamu pasti hamil, Dek," ucap Ning Aishwa mengusap perutku. Dia tersenyum senang.
"Hamil?" tanyaku tak percaya. Apa iya hamil?
Kutatap tempat di mana Liana berdiri, rupanya dia memaku menatapku. Apa dia juga berpikir bahwa aku hamil? Marah kah dia? Bukan kah seharusnya wajar jika istri kedua suaminya juga hamil sama sepertinya? Karena kami sama-sama istri Gus Bed.
"Wah, selamat, ya. Ubed pasti makin sayang sama kamu," sambung Ning Aishwa lagi.
Aku hanya tersenyum samar mendengarnya. Jika benar hamil betapa bahagianya aku. Mendapat keturunan dari Gus Ubaidillah.
"Apa Mbak sakit?" Liana bertanya begitu mendekat. Entah dia datang karena penasaran atau karena khawatir padaku?
Namun, belum lagi menjawab, Ning Aishwa menyambar pertanyaannya. "Dia sepertinya hamil, Dek."
Duh, aku jadi tak enak sendiri. Tapi bukan kah bagus jika Liana tahu aku hamil. Dengan begitu skors kami sama. Lalu Gus Bed bisa berbagi waktunya dengan adil antara Alhesa dan anakku kelak.
Tiba-tiba saja, Ning Aishwa pamit pergi. Tak lama datang dengan membawa tespack di tangannya. Dia bilang aku harus memastikan. Tanpa pikir panjang aku kembali ke kamar mandi dan memeriksa urine. Mataku melebar. Terkejut tapi sangat senang.
Aku hamil!
Next
Bahagianya .... Allah sangat baik. Meski tadinya aku berbuat curang memasukkan obat perangsang, bukan kah suatu kejadian tak akan terjadi tanpa izin Allah? Dan sekarang Dia mengirim hadiah terbaik untuk menyatukan aku dan Gus Bed. Kehadiran bayi ini pasti mampu merobohkan pagar yang Gus bangun antara kami.Kutunjukkan dua garis yang masih terlihat samar pada Ning Aishwa dan Liana. Kakak iparku tentu saja senang, tapi ... tidak dengan Liana. Wajah perempuan itu syok! Dia melangkah pergi begitu saja tanpa mengucap apa-apa padaku. Bahkan sekadar ucapan selamat."Wah, kenapa Liana seperti itu sikapnya? Bukannya dia harusnya kasih doa dan selamat?" Ning Aishwa mempertanyakan sikap Liana."Ehm. Biar saja Mbak, mungkin Liana belum bisa terima. Wajar saja kan. Dia pasti menyimpan cemburu," ucapku. Yah, dari dulu aku biasa bicara blak-blakan pada puteri kiai ini.Seperti halnya aku yang sangat cemburu p
Setiap hari aku dan Ibu Liana menjaga Gus juga Liana secara bergantian. Di samping keluarga yang datang setiap hari.Menebus obat, melapor kondisi terbaru. Juga memeriksa barangkali ada pergerakan. Meski memiliki kecemburuan pada Liana, aku berusaha ikhlas. Menjaga dan merawatnya, tak membedakan dengan yang kulakukan pada Gus Bed.Ibu Liana banyak diam saat aku memasuki kamar puterinya. Dia sepertinya belum ridha atas pernikahan kedua sang menantu.Sudah hampir seminggu, keduanya belum juga sadar. Kami bahkan punya kekhawatiran bahwa keduanya tak akan bisa bangun. Lantaran kecelakaan yang mereka alami mengakibatkan luka dalam serius.Hingga memasuki minggu kedua, saat aku menjaga Gus Bed di malam hari ..."Dek ...."Terdengar pelan suara dari lisan Gus yang sudah san
"Apa Bapak tidak merasa lapar?" tanya dokter selagi memeriksa detak jantungnya. Gus Ubed menggeleng."Hem. Nanti coba makan bubur sedikit demi sedikit agar terbiasa lambungnya. Sudah lebih seminggu Bapak koma." Dokter melepas benda yang menyangkut di telinga, stetoskop."Seminggu?" Gus Ubed terkejut. Pasalnya ia hanya merasa tidur untuk beberapa waktu."Lalu bagaimana dengan Liana?!" sambungnya lagi. Ia terlihat sangat khawatir. Pasti sekarang dia berpikir, jika dirinya saja bisa koma selama itu, apa Liana juga masih koma?Cukup Gus! Bisakah kamu tidak menunjukkan rasa khawatirmu di hadapanku?"Nanti Bapak bisa melihat keadaannya langsung." Dokter itu mencatat kondisi terbaru Gus Ubed di riwayat pasien.Kini ia tak peduli apa kata dokter dan menoleh padaku. Aku terkesiap."Ukhty, apa Liana belum sadar?" tanyanya dengan mata menyipit.
Akhirnya lelakiku pergi, menemui istri pertama yang sangat dicintai. Meninggalkanku dengan hati yang remuk dan semakin remuk. Lelaki yang tetap tampan meski terlihat pucat dan marah itu dibantu kakak iparnya.Mbak Aishwa dan Umi Aisyah bahkan hanya menatapku sesaat lalu mengikuti Gus Bed pelan.Aku harus menguatkan hati untuk tidak menangis di sini. Menahan semua rasa sakitku sendiri. Entah, sebenarnya masih ada kah yang menginginkan kehadiranku, Tuhan? Mungkin akan lebih baik aku menghilang, dan membuat mereka semua bahagia, tanpa aku yang mengotori pandangan.Allah ... Astaghfirullah. Hanya padaMu hamba berpegang.Kulangkahkan kaki pelan, berpura-pura tak peka akan sikap semua orang, dan merasa baik-baik saja.Meniti lantai keramik yang berjajar rapi memenuhi lorong teras rumah sakit, pikiranku kembali mengembara. Memikirkan semua kejadian. Sikap Gus
Melihat sikap Gus yang sangat dingin dan mengintimidasiku kali ini, entah kenapa hatiku bertanya, apa kah jika aku menikah dengan pria lain akan mengalami nasib sama? Melihat sikap semua orang, tiba-tiba aku ingin tahu rasanya hidup dengan pria yang mencintaiku.Lalu ingat bagaimana kejadian tadi saat bertemu dengan seorang pria. Lelaki itu menyapaku dengan sopan."Ukhty Raudah?"Mataku menyipit dengan dahi mengerut setelah berbalik. Mengingat siapa pria di depanku. Lelaki berjambang tipis, perawakan agak gemuk dan seorang wanita dengan perut membuncit di sampingnya.Kenapa dia bisa mengenalku? Padahal selama pulang dari Mesir tak bergaul dengan lelaki. Pun dulu sebelum keberangkatanku.Setelah lulus mondok aku bahkan hanya di rumah menunggu hari H pernikahan dengan Gus Bed, lalu insiden perkosaan yang dilakukan Bapak Liana dan rekannya, membuatku terpaksa meninggalkan Indonesia ka
"Ma-m-maaf, Gus." Aku mengucap dengan bibir bergetar. Takut Gus Bed marah dan menjauh dengan menceraikanku. Air mata sudah menggenangi mata lalu jatuh memenuhi pipi. Tanpa bisa kukendalikan.Dan ....Gus Ubed tak peduli!Wajahnya masih terlihat marah. Dia tak peduli aku menangis, menyesal dan takut.Jika Gus benar akan menceraikan, apa yang mesti kulakukan? Terlebih sekarang aku sedang dalam keadaan hamil.Gus Ubed mengusap wajahnya kasar saat aku sedikit mengangkat kepala. Ia seperti tak mengerti bagaimana membuang rasa kesalnya sekarang selain melampiaskan semua padaku. Tangannya memukul ranjang dengan masih terkepal.Aku takut Gus. Sungguh takut."Astagfirullah," desahnya menekan kemarahan yang bertumpuk-tumpuk dalam dada."Saya ...." Ucapanku tergantung. Dia
Gus masih tampak lemah. Kupegangi daun pintu kamar pasien yang sedikit terbuka. Berdiri menatap priaku dari kejauhan, lantaran ia memintaku untuk enyah dari hadapannya. Dan melarang mendekatinya.Sebagai istri, aku juga ingin memehaminya. Memberi waktu pria itu sendiri setelah tahu semua. Gus Bed sangat berhak untuk marah, istri nusyuz sepertiku layak mendapat hukuman darinya. Tentu saja, karena sebagai manusia berakal kita harus melihat dari sisi orang lain. Menempatkan diri di posisi sebagai Liana yang sangat cemburu, dan berada di posisi Gus Bed yang berusaha adil pada kami.Aku sungguh tak tahu, jika Gus pun tak menyentuh istri pertamanya. Kupikir ia telah berbuat tak adil, selalu bersenang-senang dengan Liana dan Alhesa serta mengesampingkanku.Inilah kebodohan dan kecerobohanku selanjutnya, berprasangka buruk, tanpa tabayyun mengambil tindakan orang lain dan menjadikan mereka korban. Bahkan hingga hampir kehilangan nyawa.Lelaki yang kini masih menyandar di atas ranjang itu, ta
Gus menatap Habib dengan ekspresi bingung. "Saya Habib, Gus. Mahasiswa yang pernah jadi ketua BEM di Mataraman. Hari itu saya yang menyambut Gus Bed di lorong kampus." Suara renyah Habib terdengar begitu hangat untuk orang yang baru ditemuinya.Sementara lelaki yang sempat beberapa kali menatap ke arahku dengan ekspresi dingin di atas ranjang, menautkan dua alis tebalnya. Ia seperti tengah memindai siapa sosok di hadapan. Namun, berakhir dengan gelengan kepala.4"Afwan. Ana lupa." Pria itu tersenyum samar. Seperti sebuah senyum, kala seseorang tak ingin berdamai pada orang lain? Apa Gus Bed marah pada laki-laki itu karena cemburu padaku? Jika iya, betapa bersyukurnya. Aku merasa dicintai, walau cinta itu tak ada seujung kuku cinta Gus Bed pada Liana.Ah, Raudah! Kenapa kamu mengkhayal? Tidak baik mengharap sesuatu di saat seseorang sedang sangat marah padamu. Kesalahanmu tak terampunkan. Lantaran sudah memisahkan dua orang yang saling mencintai. Karena perkara yang paling disenangi
'Fay?'Kenapa Liana tersenyum pada Fay? Dan menyebutnya sebagai suami? Apa dia hilang ingatan? Atau hilang akal memilih berpura-pura, karena saking muaknya pada Gus Bed yang menjatuhkan talak padanya? Apa iya dia sepicik itu? Kakak maduku itu kukenal baik selama ini. Mungkinkah perangai buruknya muncul karena merasakan hal yang sama denganku? Buta karena cemburu.Entahlah. Aku selalu saja memiliki prasangka pada Liana lantaran kecemburuan yang tak bertepi.Gus Bed bergeming melihat sikap istri pertamanya. Ya, tentu saja suami kami sangat terpukul. Wanita yang sudah lama dinanti-nanti dan akan segera dirujuk, malah menyebut nama pria lain. Dia pasti sangat syok dan terpukul."Suami? Jadi Li sudah menikah dengan Kak Fay, Bu?" tanya Liana kemudian."Ap-apa?" Ibu Liana melebarkan mata. Begitu juga dengan Gus Ubed dan semua orang yang ada di kamarnya.Apa yang terjadi sebenarnya dengan Liana? Dia terlihat bingung melihat reaksi semua orang."Apa maksud kamu Li?" Ibunya bertanya heran.Lia
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallaahu โanhu dari Nabi shallallaahu โalaihi wa sallam beliau bersabda:ุฃููุงู ุฃูุฎูุจูุฑูููู ู ุจูููุณูุงุฆูููู ู ููู ุงููุฌููููุฉูุููููููุง ุจูููู ููุง ุฑูุณููููู ุงููู ููููู ููุฏูููุฏู ููููููุฏูุ ุฅูุฐูุง ุบูุถูุจูุชู ุฃููู ุฃูุณูููุกู ุฅูููููููุง ุฃููู ุบูุถูุจู ุฒูููุฌูููุงุ ููุงููุชู: ููุฐููู ููุฏููู ููู ููุฏูููุ ูุงู ุฃูููุชูุญููู ุจูุบูู ูุถู ุญูุชููู ุชูุฑูุถููโMaukah kalian aku beritahu tentang istri-istri kalian di dalam surga?โ Mereka menjawab: โTentu saja wahai Rasulullaah!โ Nabi Shallallaahu โalaihi wa sallam menjawab: โWanita yang penyayang lagi subur. Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya, ia berkata: โIni tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa terpejam hingga engkau ridha.โ (HR. Ath Thabarani dalam Al Ausath dan Ash Shaghir. Lihat Ash Shahihah hadits no. 3380)๐๐๐"Ya, Gus. Tentu saja saya akan mencarikannya," jawabku cepat. Tak bisa kesembunyikan rasa senang ini. Lalu bergegas dengan meraih tas yang berada di ujung kursi dalam ruangan.Kam
Gus menatap Habib dengan ekspresi bingung. "Saya Habib, Gus. Mahasiswa yang pernah jadi ketua BEM di Mataraman. Hari itu saya yang menyambut Gus Bed di lorong kampus." Suara renyah Habib terdengar begitu hangat untuk orang yang baru ditemuinya.Sementara lelaki yang sempat beberapa kali menatap ke arahku dengan ekspresi dingin di atas ranjang, menautkan dua alis tebalnya. Ia seperti tengah memindai siapa sosok di hadapan. Namun, berakhir dengan gelengan kepala.4"Afwan. Ana lupa." Pria itu tersenyum samar. Seperti sebuah senyum, kala seseorang tak ingin berdamai pada orang lain? Apa Gus Bed marah pada laki-laki itu karena cemburu padaku? Jika iya, betapa bersyukurnya. Aku merasa dicintai, walau cinta itu tak ada seujung kuku cinta Gus Bed pada Liana.Ah, Raudah! Kenapa kamu mengkhayal? Tidak baik mengharap sesuatu di saat seseorang sedang sangat marah padamu. Kesalahanmu tak terampunkan. Lantaran sudah memisahkan dua orang yang saling mencintai. Karena perkara yang paling disenangi
Gus masih tampak lemah. Kupegangi daun pintu kamar pasien yang sedikit terbuka. Berdiri menatap priaku dari kejauhan, lantaran ia memintaku untuk enyah dari hadapannya. Dan melarang mendekatinya.Sebagai istri, aku juga ingin memehaminya. Memberi waktu pria itu sendiri setelah tahu semua. Gus Bed sangat berhak untuk marah, istri nusyuz sepertiku layak mendapat hukuman darinya. Tentu saja, karena sebagai manusia berakal kita harus melihat dari sisi orang lain. Menempatkan diri di posisi sebagai Liana yang sangat cemburu, dan berada di posisi Gus Bed yang berusaha adil pada kami.Aku sungguh tak tahu, jika Gus pun tak menyentuh istri pertamanya. Kupikir ia telah berbuat tak adil, selalu bersenang-senang dengan Liana dan Alhesa serta mengesampingkanku.Inilah kebodohan dan kecerobohanku selanjutnya, berprasangka buruk, tanpa tabayyun mengambil tindakan orang lain dan menjadikan mereka korban. Bahkan hingga hampir kehilangan nyawa.Lelaki yang kini masih menyandar di atas ranjang itu, ta
"Ma-m-maaf, Gus." Aku mengucap dengan bibir bergetar. Takut Gus Bed marah dan menjauh dengan menceraikanku. Air mata sudah menggenangi mata lalu jatuh memenuhi pipi. Tanpa bisa kukendalikan.Dan ....Gus Ubed tak peduli!Wajahnya masih terlihat marah. Dia tak peduli aku menangis, menyesal dan takut.Jika Gus benar akan menceraikan, apa yang mesti kulakukan? Terlebih sekarang aku sedang dalam keadaan hamil.Gus Ubed mengusap wajahnya kasar saat aku sedikit mengangkat kepala. Ia seperti tak mengerti bagaimana membuang rasa kesalnya sekarang selain melampiaskan semua padaku. Tangannya memukul ranjang dengan masih terkepal.Aku takut Gus. Sungguh takut."Astagfirullah," desahnya menekan kemarahan yang bertumpuk-tumpuk dalam dada."Saya ...." Ucapanku tergantung. Dia
Melihat sikap Gus yang sangat dingin dan mengintimidasiku kali ini, entah kenapa hatiku bertanya, apa kah jika aku menikah dengan pria lain akan mengalami nasib sama? Melihat sikap semua orang, tiba-tiba aku ingin tahu rasanya hidup dengan pria yang mencintaiku.Lalu ingat bagaimana kejadian tadi saat bertemu dengan seorang pria. Lelaki itu menyapaku dengan sopan."Ukhty Raudah?"Mataku menyipit dengan dahi mengerut setelah berbalik. Mengingat siapa pria di depanku. Lelaki berjambang tipis, perawakan agak gemuk dan seorang wanita dengan perut membuncit di sampingnya.Kenapa dia bisa mengenalku? Padahal selama pulang dari Mesir tak bergaul dengan lelaki. Pun dulu sebelum keberangkatanku.Setelah lulus mondok aku bahkan hanya di rumah menunggu hari H pernikahan dengan Gus Bed, lalu insiden perkosaan yang dilakukan Bapak Liana dan rekannya, membuatku terpaksa meninggalkan Indonesia ka
Akhirnya lelakiku pergi, menemui istri pertama yang sangat dicintai. Meninggalkanku dengan hati yang remuk dan semakin remuk. Lelaki yang tetap tampan meski terlihat pucat dan marah itu dibantu kakak iparnya.Mbak Aishwa dan Umi Aisyah bahkan hanya menatapku sesaat lalu mengikuti Gus Bed pelan.Aku harus menguatkan hati untuk tidak menangis di sini. Menahan semua rasa sakitku sendiri. Entah, sebenarnya masih ada kah yang menginginkan kehadiranku, Tuhan? Mungkin akan lebih baik aku menghilang, dan membuat mereka semua bahagia, tanpa aku yang mengotori pandangan.Allah ... Astaghfirullah. Hanya padaMu hamba berpegang.Kulangkahkan kaki pelan, berpura-pura tak peka akan sikap semua orang, dan merasa baik-baik saja.Meniti lantai keramik yang berjajar rapi memenuhi lorong teras rumah sakit, pikiranku kembali mengembara. Memikirkan semua kejadian. Sikap Gus
"Apa Bapak tidak merasa lapar?" tanya dokter selagi memeriksa detak jantungnya. Gus Ubed menggeleng."Hem. Nanti coba makan bubur sedikit demi sedikit agar terbiasa lambungnya. Sudah lebih seminggu Bapak koma." Dokter melepas benda yang menyangkut di telinga, stetoskop."Seminggu?" Gus Ubed terkejut. Pasalnya ia hanya merasa tidur untuk beberapa waktu."Lalu bagaimana dengan Liana?!" sambungnya lagi. Ia terlihat sangat khawatir. Pasti sekarang dia berpikir, jika dirinya saja bisa koma selama itu, apa Liana juga masih koma?Cukup Gus! Bisakah kamu tidak menunjukkan rasa khawatirmu di hadapanku?"Nanti Bapak bisa melihat keadaannya langsung." Dokter itu mencatat kondisi terbaru Gus Ubed di riwayat pasien.Kini ia tak peduli apa kata dokter dan menoleh padaku. Aku terkesiap."Ukhty, apa Liana belum sadar?" tanyanya dengan mata menyipit.
Setiap hari aku dan Ibu Liana menjaga Gus juga Liana secara bergantian. Di samping keluarga yang datang setiap hari.Menebus obat, melapor kondisi terbaru. Juga memeriksa barangkali ada pergerakan. Meski memiliki kecemburuan pada Liana, aku berusaha ikhlas. Menjaga dan merawatnya, tak membedakan dengan yang kulakukan pada Gus Bed.Ibu Liana banyak diam saat aku memasuki kamar puterinya. Dia sepertinya belum ridha atas pernikahan kedua sang menantu.Sudah hampir seminggu, keduanya belum juga sadar. Kami bahkan punya kekhawatiran bahwa keduanya tak akan bisa bangun. Lantaran kecelakaan yang mereka alami mengakibatkan luka dalam serius.Hingga memasuki minggu kedua, saat aku menjaga Gus Bed di malam hari ..."Dek ...."Terdengar pelan suara dari lisan Gus yang sudah san