"Ya Allah, Ukhty. Itu istrinya sampe bela-belain beli obat perangsang lho." Ustazah Tika, salah seorang rekan mengajar sekaligus sahabatku menunjuk gambar seorang wanita dengan perut buncit dalam ponselnya.
"Lho kenapa? Dia cantik kok." Jelas aku penasaran. Aku juga ingin hamil anak suamiku, tapi mana mungkin terjadi jika disentuh saja tidak.
"Iya, pengen hamil tapi suaminya gak nafsuan. Mungkin karena terlalu stres bekerja. Jadi mereka berinisiatif pakai obat perangsang," jawabnya.
"Suaminya ndak marah?"
"Ya ndak lah, kan kesepakatan berdua. Mungkin dia juga jengah, masa hamilin bininya aja ndak bisa. Laki-laki itu harga dirinya tinggi. Dan itu kelemahan mereka." Tika bicara lebih lanjut.
Aku manggut-manggut saja mendengar penjelasannya. Andai Gus Bed begitu. Bisa diajak bicara memperbaiki hubungan kami yang hambar. Apa gunanya aku menggebu-gebu mencintai dan menginginkannya, tapi sikapnya sedingin es. Jangankan menyentuh, memandangku saja tidak.
Aku tahu sejak awal dia mengatakan memberiku kebebasan memilih, bertahan dengan sikap kakunya atau meminta cerai. Namun, apa dia juga tidak memikirkan perasaan keluargaku. Setelah anak gadis mereka dinikahi, lalu cerai setelahnya. Pernikahan kami bahkan belum berjalan sehari.
Aku tiba-tiba mendapat ide dari kasus yang Ukhty Tika paparkan. Bukankah masalah rumah tangga kami sama?
"Jadi ... boleh menggunakan obat perangsang?" tanyaku dengan menyembunyikan niat dariku sendiri.
"Kalau melakukannya dengan pasangan halal, kenapa tidak? Asal kandungan obatnya juga halal. Apalagi kalau hubungan keduanya bermasalah karena urusan ranjang. Misal si suami atau si istri tidak bergairah." Wanita berkulit hitam manis itu memperinci keterangan.
Oh, baiklah. Ini adalah hal darurat dalam rumah tanggaku. Maka kuyakini, keadaan ini dalam syariat, membolehkan seseorang untuk mengambil jalan tersebut.
Maaf kan aku Gus. Ini demi keutuhan rumah tangga kita. Aku juga wanita normal yang ingin dicintai, meski tak sebanyak cintamu pada Liana.
_________
Hari itu juga kuputuskan ke luar pesantren, menemui penjual obat yang kudapat nomornya dari internet. Bukan hal sulit ternyata mendapat obat-obatan tersebut. Penjualnya menjamur hampir di semua kontent yang kukunjungi. Hanya saja selama ini aku cuek karena tak membutuhkannya.
Kuhubungi Mbak Aina, seorang sopir wanita yang selama ini bekerja untuk keluarga Abah Yai. Wanita berusia 35 tahun itu sudah bekerja lebih dari lima tahun pada keluarga pesantren. Lantaran ada waktu-waktu tertentu seorang wanita perlu pergi dalam hal mendesak. Dan keberadaan pria dalam satu mobil dengan wanita non mahram sangat dihindari.
Begitulah, Kiai Abdullah sangat menjaga hingga detail pergaulan antara laki-laki dan perempuan di pesantren Darul Falah. Aturan yang membuatku jatuh cinta dan sangat mengingini menjadi bagian dari pesantren sejak dulu. Qodarullah, Allah mentakdirkanku menjadi menantu Kiai dan Ummi Aisyah.
"Mbak ke Zero Market, ya. Ada yang mau saya beli di sana." Kukatakan tujuan. Aku dan penjual obat tersebut memang janjian bertemu di Zero Market. Setidaknya perlu waktu sekitar setengah jam ke sana.
Sampai di lokasi, sebelum memutuskan bertemu, kusempatkan ke Masjid lebih dulu untuk menunaikan sholat, karena waktu ashar telah tiba. Usai sholat, kuperiksa ponsel. Penjual memberikan lokasinya. Rupanya ia sudah berada di area Zero Market.
[Mbak, saya sedang di toko teman saya, namanya 'Toko Amanah'. Letaknya di lorong paling depan setelah pintu masuk] chat penjual tersebut.
[Baik. Saya ke sana] Send.
Segera kukemas mukena yang kugunakan untuk menyempurnakan pakaian untuk sholat. Lalu segera bangkit. Tak ingin kehilangan banyak waktu, karena tidak mau ke-magriban sampai di pesantren. Karena rasanya aib sekali, seorang wanita yang ke luar masuk pesantren dalam keadaan gelap.
"Mbak!"
Seseorang memanggilku dari arah samping pintu market.
Saat menoleh seorang pria mengangkat satu tangannya ke arahku. Ketika mendongak dan melihat papan 'Toko Amanah', barulah aku yakin bahwa pria itu adalah penjual obat perangsang yang kupesan.
Aku pun mendekat. Mengeluarkan uang yang sudah kusiapkan dari rumah. Seharga yang tertera dalam flyer iklan. Pria itu tersenyum. Namun, ada maksud lain dari senyumnya. Menggoda. Cepat kuserahkan uang dan mengambil barangnya lalu pergi.
Ini lah alasan aku tak suka bertemu pria asing apalagi sampai bertransaksi seperti ini. Aku sampai risih sendiri. Namun, sekarang adalah keadaan yang mendesak. Rata-rata penjual obat kuat dan sejenisanya adalah para pria. Mereka rela menanggalkan rasa malu menjual barang-barang tak lazim demi memenuhi kebutuhan.
"Maaf, Mbak. Ini kurang," ucapnya menahanku pergi. "Saya melebihkan obat lain agar kerjanya ekstra."
Aku mengerutkan kening. "Obat lain? Tapi saya tidak memesannya."
Pria itu menaikkan sebelah bibirnya. "Berikan saja, saya jamin obat itu akan sangat berguna buat Mbak. Harusnya buat orang secantik Mbak tidak perlu barang-barang kaya gini."
"Sudahlah, katakan berapa saya harus menambah?" Kuhentikan omong kosongnya yang coba menggodaku.
"200 ribu."
Aku mendesah. Tak tanggung-tanggung dia meminta lebihan. Mungkin karena dia tahu customernya berasal dari orang berada.
"Ya, sudah." Kurogoh uang dari dalam tas.
Namun, tatapanku berhenti pada sosok pria lain yang muncul dari penjual obat.
"Mon? Belum selesai?" tanya pria yang sempat kutemui di resepsi Gus dan Liana, di rumah sakit, dan sekarang ... ada di toko ini.
Ingatanku melayang ke masa lampau, bertahun-tahun yang lalu. Malam di mana aku ke luar dari bus. Masih terngiang jelas ucapan seseorang dalam obrolan mereka.
"Iya, nih. Sepi toko akhir-akhir ini."
"Lo nunggu kurir ...."
Kulayangkan pandang menyapu deretan dagangan yang terjejer di Toko Amanah persis di hadapanku.
'Ini kah tokonya?'
Aku memaku memikirkan nasibku. Dunia tak seluas yang kukira. Dengan sangat mudah Allah mempertemukan penjahat yang telah merenggut kesucianku.
"Mbak, ada yang salah?" Pria muda di depanku membuatku terhenyak. Kutatap wajahnya, apa penjual obat ini juga salah satu pelakunya. Bisa iya. Tapi bisa juga tidak.
Namun, keduanya tak mengingatku? Gila. Apa karena hari itu mereka melakukannya dalam keadaan gelap?
Aku bergegas meninggalkan area toko. Syok, marah dan ... takut. Yah, meski aku sangat ingin mereka mendapatkan hukuman tapi aku juga belum siap.
"Mbak cepat!" ucapku pada Mba Aina yang stay di mobil.
"Baik, Ning."
Deru mobil terdengar setelah dinyalakan. Begitu meluncur kuminta pada Mbak Aina untuk berubah haluan.
"Mbak kita ke kantor polisi dulu," pintaku pada orang yang memegang kendali mobil.
"Kantor polisi?" Mbak Aina tampak bingung.
"Iya." Aku sangat gelisah akhir-akhir ini. Masa lalu kembali membayang dan menambah buruk hari-hariku yang tak seindah hari-hari milik Liana, istri pertama Gus Bed.
Memberi hukuman setimpal pada mereka, harusnya bisa mengurangi kemalangan yang kujalani sekarang. Mereka bukan hanya menrenggut kesucianku, tapi juga cinta dan masa depanku dengan Gus Ubadillah.
"Apa terjadi sesuatu tadi Ning? Apa Ning dijambret atau diganggu orang?" tanyanya lagi.
"Em, ikuti saja ya, Mbak. Maaf. Oya, saya minta tolong, jangan beri tahu siapapun bahwa saya telah ke kantor polisi."
"Em, ya-ya Ning." Mbak Aina menjawab ragu.
Langkahku gemetar memasuki kantor dengan lambang keamanan negara. Takut jika ada yang tahu dan memberitakan hingga viral. Bagaimana nanti pesantren Darul Falah menghadapi beritanya?
Namun, jika tidak melaporkan kasusku, bagaimana pula memberi hukuman pada orang-orang jahat itu?
_____________
Next
Aku menunggu Gus dengan gelisah. Segala sesuatunya telah kupersiapkan termasuk penampilan yang sudah mirip pelacur. Tapi bukankah menggoda dan genit pada suami itu halal dan dianjurkan? Jika aku tak bisa mendapatkan Gus lantaran dia menutup hati, biar aku yang datang dan membukanya dengan caraku.Dua jam menunggu Gus Bed, dan tak ada tanda-tanda ia datang. Aku mulai lelah dan mengantuk. Hingga kurasakan seseorang menyentuhku. Ketika membuka mata dengan berat, pria berwajah tampan itu memegangi tubuhku di atas ranjang.Namun, bukan tatapan penuh gairah yang membuatku hangat, atau ciuman bahwa ia menginginkanku, Gus bergerak menjauh karena kaget.Dia masih dingin, meski raga kami tak ada jarak seperti ini.Aku sangat malu. Segera kuraih selimut dan minta maaf. Bangkit dari ranjang. Untung saja obat yang kubeli kemarin masih dalam genggaman."Em, biar saya buatkan minuman hangat untuk
Namun, mataku melebar sempurna. Terhenyak kaget, ketika tangan kekar melingkar di perut."Dek Liana ... percaya lah, abang hanya mencintai Adek."Hatiku sakit. Dia menyebut nama Liana dan mengatakan secara blak-blakan perasaannya. Airmataku kembali jatuh. Kuabaikan semua itu. Mengikuti ritme yang Gus ciptakan kala menghadirkan kehangatan di antara kami. Cinta memenuhi dada kami. Aku tak peduli jika cinta dalam hatinya hanya untuk Liana.Kami menjalani malam pertama tanpa kesadaran dari Gus Bed. Malam yang singkat baginya, karena usai mencapainya Gus kembali memejamkan mata. Menumpuk lelahnya dalam tidur. Ia bahkan tak sadar saat aku mencium dan memeluknya.Namun, meski begitu bagiku ini adalah malam yang panjang. Malam pertama kali pria yang kucintai menyentuhku dengan cara halal.________Sebulan telah berlalu ....Di acara tahunan pesantren, kami ber
Bahagianya .... Allah sangat baik. Meski tadinya aku berbuat curang memasukkan obat perangsang, bukan kah suatu kejadian tak akan terjadi tanpa izin Allah? Dan sekarang Dia mengirim hadiah terbaik untuk menyatukan aku dan Gus Bed. Kehadiran bayi ini pasti mampu merobohkan pagar yang Gus bangun antara kami.Kutunjukkan dua garis yang masih terlihat samar pada Ning Aishwa dan Liana. Kakak iparku tentu saja senang, tapi ... tidak dengan Liana. Wajah perempuan itu syok! Dia melangkah pergi begitu saja tanpa mengucap apa-apa padaku. Bahkan sekadar ucapan selamat."Wah, kenapa Liana seperti itu sikapnya? Bukannya dia harusnya kasih doa dan selamat?" Ning Aishwa mempertanyakan sikap Liana."Ehm. Biar saja Mbak, mungkin Liana belum bisa terima. Wajar saja kan. Dia pasti menyimpan cemburu," ucapku. Yah, dari dulu aku biasa bicara blak-blakan pada puteri kiai ini.Seperti halnya aku yang sangat cemburu p
Setiap hari aku dan Ibu Liana menjaga Gus juga Liana secara bergantian. Di samping keluarga yang datang setiap hari.Menebus obat, melapor kondisi terbaru. Juga memeriksa barangkali ada pergerakan. Meski memiliki kecemburuan pada Liana, aku berusaha ikhlas. Menjaga dan merawatnya, tak membedakan dengan yang kulakukan pada Gus Bed.Ibu Liana banyak diam saat aku memasuki kamar puterinya. Dia sepertinya belum ridha atas pernikahan kedua sang menantu.Sudah hampir seminggu, keduanya belum juga sadar. Kami bahkan punya kekhawatiran bahwa keduanya tak akan bisa bangun. Lantaran kecelakaan yang mereka alami mengakibatkan luka dalam serius.Hingga memasuki minggu kedua, saat aku menjaga Gus Bed di malam hari ..."Dek ...."Terdengar pelan suara dari lisan Gus yang sudah san
"Apa Bapak tidak merasa lapar?" tanya dokter selagi memeriksa detak jantungnya. Gus Ubed menggeleng."Hem. Nanti coba makan bubur sedikit demi sedikit agar terbiasa lambungnya. Sudah lebih seminggu Bapak koma." Dokter melepas benda yang menyangkut di telinga, stetoskop."Seminggu?" Gus Ubed terkejut. Pasalnya ia hanya merasa tidur untuk beberapa waktu."Lalu bagaimana dengan Liana?!" sambungnya lagi. Ia terlihat sangat khawatir. Pasti sekarang dia berpikir, jika dirinya saja bisa koma selama itu, apa Liana juga masih koma?Cukup Gus! Bisakah kamu tidak menunjukkan rasa khawatirmu di hadapanku?"Nanti Bapak bisa melihat keadaannya langsung." Dokter itu mencatat kondisi terbaru Gus Ubed di riwayat pasien.Kini ia tak peduli apa kata dokter dan menoleh padaku. Aku terkesiap."Ukhty, apa Liana belum sadar?" tanyanya dengan mata menyipit.
Akhirnya lelakiku pergi, menemui istri pertama yang sangat dicintai. Meninggalkanku dengan hati yang remuk dan semakin remuk. Lelaki yang tetap tampan meski terlihat pucat dan marah itu dibantu kakak iparnya.Mbak Aishwa dan Umi Aisyah bahkan hanya menatapku sesaat lalu mengikuti Gus Bed pelan.Aku harus menguatkan hati untuk tidak menangis di sini. Menahan semua rasa sakitku sendiri. Entah, sebenarnya masih ada kah yang menginginkan kehadiranku, Tuhan? Mungkin akan lebih baik aku menghilang, dan membuat mereka semua bahagia, tanpa aku yang mengotori pandangan.Allah ... Astaghfirullah. Hanya padaMu hamba berpegang.Kulangkahkan kaki pelan, berpura-pura tak peka akan sikap semua orang, dan merasa baik-baik saja.Meniti lantai keramik yang berjajar rapi memenuhi lorong teras rumah sakit, pikiranku kembali mengembara. Memikirkan semua kejadian. Sikap Gus
Melihat sikap Gus yang sangat dingin dan mengintimidasiku kali ini, entah kenapa hatiku bertanya, apa kah jika aku menikah dengan pria lain akan mengalami nasib sama? Melihat sikap semua orang, tiba-tiba aku ingin tahu rasanya hidup dengan pria yang mencintaiku.Lalu ingat bagaimana kejadian tadi saat bertemu dengan seorang pria. Lelaki itu menyapaku dengan sopan."Ukhty Raudah?"Mataku menyipit dengan dahi mengerut setelah berbalik. Mengingat siapa pria di depanku. Lelaki berjambang tipis, perawakan agak gemuk dan seorang wanita dengan perut membuncit di sampingnya.Kenapa dia bisa mengenalku? Padahal selama pulang dari Mesir tak bergaul dengan lelaki. Pun dulu sebelum keberangkatanku.Setelah lulus mondok aku bahkan hanya di rumah menunggu hari H pernikahan dengan Gus Bed, lalu insiden perkosaan yang dilakukan Bapak Liana dan rekannya, membuatku terpaksa meninggalkan Indonesia ka
"Ma-m-maaf, Gus." Aku mengucap dengan bibir bergetar. Takut Gus Bed marah dan menjauh dengan menceraikanku. Air mata sudah menggenangi mata lalu jatuh memenuhi pipi. Tanpa bisa kukendalikan.Dan ....Gus Ubed tak peduli!Wajahnya masih terlihat marah. Dia tak peduli aku menangis, menyesal dan takut.Jika Gus benar akan menceraikan, apa yang mesti kulakukan? Terlebih sekarang aku sedang dalam keadaan hamil.Gus Ubed mengusap wajahnya kasar saat aku sedikit mengangkat kepala. Ia seperti tak mengerti bagaimana membuang rasa kesalnya sekarang selain melampiaskan semua padaku. Tangannya memukul ranjang dengan masih terkepal.Aku takut Gus. Sungguh takut."Astagfirullah," desahnya menekan kemarahan yang bertumpuk-tumpuk dalam dada."Saya ...." Ucapanku tergantung. Dia
'Fay?'Kenapa Liana tersenyum pada Fay? Dan menyebutnya sebagai suami? Apa dia hilang ingatan? Atau hilang akal memilih berpura-pura, karena saking muaknya pada Gus Bed yang menjatuhkan talak padanya? Apa iya dia sepicik itu? Kakak maduku itu kukenal baik selama ini. Mungkinkah perangai buruknya muncul karena merasakan hal yang sama denganku? Buta karena cemburu.Entahlah. Aku selalu saja memiliki prasangka pada Liana lantaran kecemburuan yang tak bertepi.Gus Bed bergeming melihat sikap istri pertamanya. Ya, tentu saja suami kami sangat terpukul. Wanita yang sudah lama dinanti-nanti dan akan segera dirujuk, malah menyebut nama pria lain. Dia pasti sangat syok dan terpukul."Suami? Jadi Li sudah menikah dengan Kak Fay, Bu?" tanya Liana kemudian."Ap-apa?" Ibu Liana melebarkan mata. Begitu juga dengan Gus Ubed dan semua orang yang ada di kamarnya.Apa yang terjadi sebenarnya dengan Liana? Dia terlihat bingung melihat reaksi semua orang."Apa maksud kamu Li?" Ibunya bertanya heran.Lia
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallaahu โanhu dari Nabi shallallaahu โalaihi wa sallam beliau bersabda:ุฃููุงู ุฃูุฎูุจูุฑูููู ู ุจูููุณูุงุฆูููู ู ููู ุงููุฌููููุฉูุููููููุง ุจูููู ููุง ุฑูุณููููู ุงููู ููููู ููุฏูููุฏู ููููููุฏูุ ุฅูุฐูุง ุบูุถูุจูุชู ุฃููู ุฃูุณูููุกู ุฅูููููููุง ุฃููู ุบูุถูุจู ุฒูููุฌูููุงุ ููุงููุชู: ููุฐููู ููุฏููู ููู ููุฏูููุ ูุงู ุฃูููุชูุญููู ุจูุบูู ูุถู ุญูุชููู ุชูุฑูุถููโMaukah kalian aku beritahu tentang istri-istri kalian di dalam surga?โ Mereka menjawab: โTentu saja wahai Rasulullaah!โ Nabi Shallallaahu โalaihi wa sallam menjawab: โWanita yang penyayang lagi subur. Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya, ia berkata: โIni tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa terpejam hingga engkau ridha.โ (HR. Ath Thabarani dalam Al Ausath dan Ash Shaghir. Lihat Ash Shahihah hadits no. 3380)๐๐๐"Ya, Gus. Tentu saja saya akan mencarikannya," jawabku cepat. Tak bisa kesembunyikan rasa senang ini. Lalu bergegas dengan meraih tas yang berada di ujung kursi dalam ruangan.Kam
Gus menatap Habib dengan ekspresi bingung. "Saya Habib, Gus. Mahasiswa yang pernah jadi ketua BEM di Mataraman. Hari itu saya yang menyambut Gus Bed di lorong kampus." Suara renyah Habib terdengar begitu hangat untuk orang yang baru ditemuinya.Sementara lelaki yang sempat beberapa kali menatap ke arahku dengan ekspresi dingin di atas ranjang, menautkan dua alis tebalnya. Ia seperti tengah memindai siapa sosok di hadapan. Namun, berakhir dengan gelengan kepala.4"Afwan. Ana lupa." Pria itu tersenyum samar. Seperti sebuah senyum, kala seseorang tak ingin berdamai pada orang lain? Apa Gus Bed marah pada laki-laki itu karena cemburu padaku? Jika iya, betapa bersyukurnya. Aku merasa dicintai, walau cinta itu tak ada seujung kuku cinta Gus Bed pada Liana.Ah, Raudah! Kenapa kamu mengkhayal? Tidak baik mengharap sesuatu di saat seseorang sedang sangat marah padamu. Kesalahanmu tak terampunkan. Lantaran sudah memisahkan dua orang yang saling mencintai. Karena perkara yang paling disenangi
Gus masih tampak lemah. Kupegangi daun pintu kamar pasien yang sedikit terbuka. Berdiri menatap priaku dari kejauhan, lantaran ia memintaku untuk enyah dari hadapannya. Dan melarang mendekatinya.Sebagai istri, aku juga ingin memehaminya. Memberi waktu pria itu sendiri setelah tahu semua. Gus Bed sangat berhak untuk marah, istri nusyuz sepertiku layak mendapat hukuman darinya. Tentu saja, karena sebagai manusia berakal kita harus melihat dari sisi orang lain. Menempatkan diri di posisi sebagai Liana yang sangat cemburu, dan berada di posisi Gus Bed yang berusaha adil pada kami.Aku sungguh tak tahu, jika Gus pun tak menyentuh istri pertamanya. Kupikir ia telah berbuat tak adil, selalu bersenang-senang dengan Liana dan Alhesa serta mengesampingkanku.Inilah kebodohan dan kecerobohanku selanjutnya, berprasangka buruk, tanpa tabayyun mengambil tindakan orang lain dan menjadikan mereka korban. Bahkan hingga hampir kehilangan nyawa.Lelaki yang kini masih menyandar di atas ranjang itu, ta
"Ma-m-maaf, Gus." Aku mengucap dengan bibir bergetar. Takut Gus Bed marah dan menjauh dengan menceraikanku. Air mata sudah menggenangi mata lalu jatuh memenuhi pipi. Tanpa bisa kukendalikan.Dan ....Gus Ubed tak peduli!Wajahnya masih terlihat marah. Dia tak peduli aku menangis, menyesal dan takut.Jika Gus benar akan menceraikan, apa yang mesti kulakukan? Terlebih sekarang aku sedang dalam keadaan hamil.Gus Ubed mengusap wajahnya kasar saat aku sedikit mengangkat kepala. Ia seperti tak mengerti bagaimana membuang rasa kesalnya sekarang selain melampiaskan semua padaku. Tangannya memukul ranjang dengan masih terkepal.Aku takut Gus. Sungguh takut."Astagfirullah," desahnya menekan kemarahan yang bertumpuk-tumpuk dalam dada."Saya ...." Ucapanku tergantung. Dia
Melihat sikap Gus yang sangat dingin dan mengintimidasiku kali ini, entah kenapa hatiku bertanya, apa kah jika aku menikah dengan pria lain akan mengalami nasib sama? Melihat sikap semua orang, tiba-tiba aku ingin tahu rasanya hidup dengan pria yang mencintaiku.Lalu ingat bagaimana kejadian tadi saat bertemu dengan seorang pria. Lelaki itu menyapaku dengan sopan."Ukhty Raudah?"Mataku menyipit dengan dahi mengerut setelah berbalik. Mengingat siapa pria di depanku. Lelaki berjambang tipis, perawakan agak gemuk dan seorang wanita dengan perut membuncit di sampingnya.Kenapa dia bisa mengenalku? Padahal selama pulang dari Mesir tak bergaul dengan lelaki. Pun dulu sebelum keberangkatanku.Setelah lulus mondok aku bahkan hanya di rumah menunggu hari H pernikahan dengan Gus Bed, lalu insiden perkosaan yang dilakukan Bapak Liana dan rekannya, membuatku terpaksa meninggalkan Indonesia ka
Akhirnya lelakiku pergi, menemui istri pertama yang sangat dicintai. Meninggalkanku dengan hati yang remuk dan semakin remuk. Lelaki yang tetap tampan meski terlihat pucat dan marah itu dibantu kakak iparnya.Mbak Aishwa dan Umi Aisyah bahkan hanya menatapku sesaat lalu mengikuti Gus Bed pelan.Aku harus menguatkan hati untuk tidak menangis di sini. Menahan semua rasa sakitku sendiri. Entah, sebenarnya masih ada kah yang menginginkan kehadiranku, Tuhan? Mungkin akan lebih baik aku menghilang, dan membuat mereka semua bahagia, tanpa aku yang mengotori pandangan.Allah ... Astaghfirullah. Hanya padaMu hamba berpegang.Kulangkahkan kaki pelan, berpura-pura tak peka akan sikap semua orang, dan merasa baik-baik saja.Meniti lantai keramik yang berjajar rapi memenuhi lorong teras rumah sakit, pikiranku kembali mengembara. Memikirkan semua kejadian. Sikap Gus
"Apa Bapak tidak merasa lapar?" tanya dokter selagi memeriksa detak jantungnya. Gus Ubed menggeleng."Hem. Nanti coba makan bubur sedikit demi sedikit agar terbiasa lambungnya. Sudah lebih seminggu Bapak koma." Dokter melepas benda yang menyangkut di telinga, stetoskop."Seminggu?" Gus Ubed terkejut. Pasalnya ia hanya merasa tidur untuk beberapa waktu."Lalu bagaimana dengan Liana?!" sambungnya lagi. Ia terlihat sangat khawatir. Pasti sekarang dia berpikir, jika dirinya saja bisa koma selama itu, apa Liana juga masih koma?Cukup Gus! Bisakah kamu tidak menunjukkan rasa khawatirmu di hadapanku?"Nanti Bapak bisa melihat keadaannya langsung." Dokter itu mencatat kondisi terbaru Gus Ubed di riwayat pasien.Kini ia tak peduli apa kata dokter dan menoleh padaku. Aku terkesiap."Ukhty, apa Liana belum sadar?" tanyanya dengan mata menyipit.
Setiap hari aku dan Ibu Liana menjaga Gus juga Liana secara bergantian. Di samping keluarga yang datang setiap hari.Menebus obat, melapor kondisi terbaru. Juga memeriksa barangkali ada pergerakan. Meski memiliki kecemburuan pada Liana, aku berusaha ikhlas. Menjaga dan merawatnya, tak membedakan dengan yang kulakukan pada Gus Bed.Ibu Liana banyak diam saat aku memasuki kamar puterinya. Dia sepertinya belum ridha atas pernikahan kedua sang menantu.Sudah hampir seminggu, keduanya belum juga sadar. Kami bahkan punya kekhawatiran bahwa keduanya tak akan bisa bangun. Lantaran kecelakaan yang mereka alami mengakibatkan luka dalam serius.Hingga memasuki minggu kedua, saat aku menjaga Gus Bed di malam hari ..."Dek ...."Terdengar pelan suara dari lisan Gus yang sudah san